Pages

Thursday, 24 May 2012

Meratapi Matinya Retorika


Meratapi Matinya Retorika
Posted by PuJa on May 20, 2012
P Ari Subanyo *
Kompas, 21 Maret 2009

BAHASA adalah penemuan manusia yang paling menakjubkan: manusia sungguh-sungguh sapiens (bijaksana, berbudi) hanya karena ia ”loquens” (bertutur), tulis Paul Chauchard dalam Le Langage et La Pensee (terjemahan A Widyamartaya, Bahasa dan Pikiran, 1983).
Bagaimana jika pernyataan Chauchard itu disandingkan dengan liputan Kompas (1/3) berjudul ”Menyoal Tata Krama DPR”, ”Dengar Suara Dewan”, dan artikel Eep Saefulloh Fatah, ”Kepatutan Para Legislator”, yang menyoroti perilaku berbahasa para anggota DPR yang arogan, kasar, tidak sopan, dan tanpa tata krama? Juga dengan artikel L Wilardjo, ”PakiPelecehan” (Kompas, 28/2)?
Pernyataan Chauchard hanya sebatas utopia! Keberadaban berbahasa para wakil rakyat kita begitu rendah. Seorang anggota DPR bahkan tampak santai menanggapi kegemasan publik atas pernyataannya: ”Bahasa yang saya gunakan itu bahasa po- litik. Sidang DPR itu kan panggung politik dan kami politisi. Itu bahasa yang biasa.”
Apa yang hilang dari keadaban anggota legislatif yang terhormat? Layakkah para politisi menciptakan ”ragam bahasa politik” yang mengabaikan tata karma?
Retorika
Mencermati praktik berbahasa kaum legislatif—setidaknya dalam liputan Kompas tersebut—segera tercium aroma kematian. Retorika—keterampilan berbahasa terawal dalam peradaban manusia— agaknya sudah ajal.
Dalam tradisi Yunani klasik abad ke-5 SM, retorika lazim dipahami sebagai seni bertutur untuk memengaruhi pendengar atau mematahkan pendapat lawan. Corax, Tisias, dan Gorgias adalah tokoh-tokoh retorika perdana. Lalu Plato dan Aristoteles meletakkan dasar retorika yang sistematis dan ilmiah, dilanjutkan Cicero dan Quintilian pada zaman Romawi.
Plato—dalam dialog Gorgias—semula sebenarnya menampik teknik-teknik retorika. Menurut dia, persuasi bertentangan dengan upaya memperoleh pengetahuan. Tukang retorika bukanlah ahli. Mereka sekadar memproduksi keyakinan, bisa benar bisa sesat. Mereka memanipulasi ketidaktahuan masyarakat di persidangan dan majelis rakyat. Socrates bahkan menuding retorika sebagai seni menipu yang hanya membuahkan keadilan semu. Plato mulai berpikir positif dalam dialog berikutnya (Phaedrus). Ia menekankan, orator harus memahami pikiran (daya tangkap) pendengarnya, mampu mengolah argumen sesuai pikiran pendengarnya, dan melakukan itu semua pada saat yang tepat.
Aristoteles berpandangan lebih positif. Dengan penuh hormat ia memahami retorika sebagai jalan menuju kebenaran dan keadilan. Dibedakannya retorika menjadi tiga. Pertama, oratori (tuturan) deliberatif yang tenang dan penuh pertimbangan, cocok untuk keperluan politik dan perundangan. Setiap kata mengarah pada yang baik dan yang bijaksana. Kedua, oratori forensik yang pas untuk mengungkap kekeliruan tindakan, penyebab, serta motif-motifnya. Ketiga, oratori epideiktik yang mencerminkan kebajikan dan kejahatan. Pilihan kata, laras bicara, dan kemampuan mengendalikan gelegak emosi akan menunjukkan tabiat moral sang pembicara.
Cicero—politisi, penulis, dan orator ulung—mewujudkan retorika sebagai paduan antara kearifan berpikir dan keindahan bertutur. Menurut dia, pada saat bersamaan, seorang orator harus menciptakan tiga ”seni”: membuktikan (docere), menyenangkan (delectare), dan menyentuh perasaan (movere). Kemudian Quintilian—dalam buku De Institutione Oratoria—menguraikan lebih rinci teknik- teknik beretorika.
Jadi, retorika yang sistematis-ilmiah tidak hanya menuntut keterampilan berbicara (oratorical skills), tetapi juga sikap etis (ethical bearing). Kemampuan teknis- oratoris yang dilengkapi sikap mulia-etis itu lalu diyakini sebagai bagian dari seni hidup (the art of living). Maka, orator seperti Agathon, Polus, Licymus, Evenus, Alcimadas, Polycrates, Callippus, dan Thrasymachus memperoleh tempat terhormat dalam masyarakat. Retorika tidak hanya mengantar mereka menjadi politisi dan negarawan, tetapi juga dihormati sebagai seniman. Betapa indah kehidupan jika para politisi dan negarawan sekaligus juga seniman.
Prinsip kesopanan
Bahasa memang beragam. Ragam bahasa antara lain ditentukan oleh bidang penggunaannya, termasuk politik. Jadi, benar ada entitas bernama ragam bahasa politik, seperti dikatakan legislator kita, Effendi MS Simbolon.
Van Dijk (Parliamentary Debates, 2000) menyiratkan, kerja (utama) para politisi di parlemen adalah berdebat. Gedung parlemen dan sidang DPR merupakan panggung debat. Namun, karena mereka bukan kusir, tetapi aktor-aktor terpilih yang mengemban tugas mulia sejarah sebagai penyambung lidah—maka digaji tinggi oleh—rakyat, debat parlementer mestinya bukan debat kusir. Seturut anjuran Plato hingga Quintilian, sikap etis menjadi rambu perilaku para wakil rakyat tatkala berdebat.
Geoffrey Leech (Principles of Pragmatics, 1983) menyadari, tuturan yang melulu berorientasi pada kejelasan informasi justru berpotensi mengacaukan tujuan komunikasi. Misalnya, lalu terpicu konflik sehingga harmoni sosial terusik. Maka, Leech mengajukan Prinsip Kesopanan (Politeness Principles) yang mencakup enam maksim (rambu) komunikasi, yakni maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan, maksim penerimaan, maksim kerendahhatian, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Jadi, meskipun memiliki fatsoen-nya sendiri, ragam bahasa politik seyogianya tetap etis, sesuai dengan Prinsip Kesopanan.
Saat meratapi retorika yang terkapar mati, berkelebat kisah ini. Syahdan, filsuf agung bangsa Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tze, ditanya oleh muridnya, ”Guru, apa yang pertama-tama akan Guru kerjakan andai kata Guru diberi kekuasaan memimpin negara?” Jawab sang filsuf, ”Pertama-tama saya akan memperbaiki bahasa. Mengapa? Karena selama penggunaan bahasa tidak beres, maka yang diucapkan bukanlah yang dimaksud, yang dimaksud tidak dikerjakan, dan yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Akibatnya, hukum jadi kacau, pemerintah ruwet, negara berantakan.”
Sayang Kung Fu-tze tidak hidup di sini, pada zaman kini, dan menjagokan diri sebagai caleg atau capres. Kalau iya, kita pasti berbondong-bondong memilihnya.
* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/03/meratapi-matinya-retorika.html

0 comments:

Post a Comment