Orientasi Filsafat dalam Sastra
Posted by PuJa on May 24, 2012
Frans Ekodhanto
http://koran-jakarta.com/
Seandainya aku mampu bunuh diri dengan cara yang tak serupa dengan yang pernah terjadi, pasti sudah kulakukan bunuh diri itu.
Demikianlah beberapa penggal kalimat yang terdapat dalam kumpulan cerpen Chavchay Syaifullah berjudul Keringatku Terkuras di Ranjang Muhammad. Cerpen itu berusaha mengangkat persoalan sosial keberagamaan, juga kritik terhadap cara beragama yang kerap meminggirkan peran perempuan dan keluarga.
Menurut pengakuan Chavchay, kumpulan cerpen tersebut sebelumnya sudah pernah didiskusikan di Universitas Pakuan, Bogor. Kali ini, kumpulan cerpen tersebut diluncurkan di Newseum Jakarta, Sabtu (28/4). Acara itu dimeriahkan dengan pementasan monolog oleh beberapa aktor dan aktris teater.
Seperti novel dia sebelumnya, Payudara dan Sendalu, dalam penyajian cerpennya kali ini, Chavchay tetap banyak berbicara soal filsafat. Pada cerita yang berjudul “Profesor Filsafat”, “Filsuf Jalanan Itu Bernama Otong”, atau “Penhor”, misalnya, Chavchay ingin bicara banyak soal aspek-aspek dalam filsafat, seperti diktum-diktum umum dalam filsafat dan ajaran-ajaran tentang filsafat.
Filsafat kontemporer kerap menspesifikasikan dirinya ke dalam ilmu pengetahuan, menjadi bagian kecil, bukan bagian besar atau induk dari ilmu pengetahuan. Hasil dari kondisi tersebut tak jarang melahirkan kerja-kerja yang sangat spesifik berdasarkan ilmu pengetahuan. Namun, melalui kumpulan cerita pendek ini, filsafat seolah-olah dilahirkan kembali ke dalam rumusan-rumasan baru yang selanjutnya membuat orang terbuai untuk mempelajari dan menyukai filsafat sebagai bagian besar dari ilmu pengetahuan.
Dalam cerita “Profesor Filsafat”, misalnya, dia berusaha menarasikan kondisi konkret dari masyarakat yang tidak lagi ingin bicara mengenai hal mengawang-awang. Masyarakat yang jenuh dengan teori ingin bicara hal-hal objektif tentang kehidupan yang dialaminya, seperti persoalan kemiskinan, kelaparan, pendidikan, budaya, dan agama yang tidak direpotkan dengan rumus, teori, dan konsep-konsep yang tak terbilang.
Selain persoalan filsafat, di buku ini, pria lulusan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara itu bicara tentang feminisme, agama, dan sosial. Unsur feminisme bisa ditemukan pada cerpennya yang berjudul “Aminas” dan unsur sosial bisa ditemukan pada “Angin Merah di Samping Gedung Perpustakaan”, “Nasehat Nenek Sihir”, dan beberapa judul lainnya.
“Saya tidak mau sastra dijadikan ajang pemahaman kata-kata. Sastra yang baik bukanlah persoalan kemampuan dalam menyusun kata-kata. Bagi saya, sastra adalah medan perjuangan untuk menyampaikan keberpihakan pada suatu hal sebagai suatu bentuk pernyataan sikap sehingga kerja-kerja dalam kesusastraan harus jelas posisinya,” tutur sastrawan angkatan 98 itu.
Chavchay berharap sastrawan bisa mendialogkan lebih baik sastra dan filsafat, dua dunia yang berangkat dari peristiwa konkret yang dialami sejarah kemanusiaan. “Filsafat menjadi bagian yang besar dari ilmu pengetahuan, bagian yang menawarkan kebijaksanaan hidup dan mengonsep, sedangkan sastra memberi fantasi, merayakan parodi isu pada ironi,” pungkas sastrawan pemilik novel Payudara tersebut.
/06 Mei 2012
0 comments:
Post a Comment