Perjalanan Menyatu dengan Tuhan
Posted by PuJa on May 17, 2012
Danarto *
http://majalah.tempointeraktif.com/
MUSYAWARAH BURUNG: Faridu’d-Din Attar
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1983, 253 halaman
MAKA, berkumpullah segala macam burung, baik yang dikenal maupun tldak, di dunia ini. Burung-burung itu – menyelenggarakan musyawarah. Makhluk yang bisa terbang ini sadar bahwa ternyata kerajaan burung tak memiliki raja. Pada hal, menurut keyakinan mereka, tidak ada negeri di dunia ini yang tak beraja. Dan tak ada suatu negeri yang mampu menyelenggarakan pemerintahannya dengan baik tanpa raja.
Keadaan kerajaan burung yang demikian tak boleh dibiarkan terus. Lalu tampillah Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman, memimpin mereka. “Aku memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan rahasia-rahasia ciptaan,” kata Hudhud di tengah majelis. Ia bercerita bahwa sebenarnya mereka mempunyai raja sejati, Simurgh namanya, yang tinggal di Pegunungan Kaukasus. Ia raja segala burung.
Raja burung yang perkasa ini dekat dengan mereka. Tapi mereka jauh darinya. Tempat persemayamannya tak dapat dicapai, dan tiada lidah yang dapat mengucapkan namanya. Di muka Simurgh tergantung seratus ribu tabir cahaya dan kegelapan. Dan dalam kedua dunia itu tak ada yang dapat menyangsikan kerajaannya. Simurh raja berkekuasaan mutlak di sebentang semesta. Ia bermandikan kesempurnaan, keagungan, dan kesucian. Ia tak membukakan diri sepenuhnya meski di tempat persemayamannya sendiri. Dan tentang ini tak ada pengetahuan dan kecerdasan yang dapat meraihnya.
Uraian Hudhud memikat burung-burung itu. Dengan bersemangat, musyawarah itu membicarakan keagungan raja mereka. Lalu mereka tak sabar lagi, ingin segera berangkat bersama-sama mencarinya. Tapi ketika menyadari betapa jauh dan pedihnya perjalanan nanti, mereka jadi ragu-ragu. Lalu mereka keberatan untuk berangkat dengan dalihnya masing-masing. Bulbul, misalnya, tak mungkin meninggalkan tempat karena begitu besar hasratnya untuk menyebarkan senandung cinta. Merak enggan meninggalkan kemewahannya. Rajawali tidak mau berpisah dengan para raja di dalam istana. Namun, Hudhud mampu meyakinkan mereka. Perjalanan menuju Simurgh satusatunya tujuan dalam hidup, meskipun amat sukar ditempuh. Dan hanya dengan cinta segala kesukaran dapat diatasi. Mereka pun berangkat.
Akhirnya, tinggal 30 ekor saja yang sampai di balairung Simurgh. Dan ketika mereka bertatap muka dengan Raja, mereka tak berbeda dengan-Nya. Tiga puluh (si-murgh) burung adalah Simurgh, dan Simurgh adalah tiga puluh burung itu sendiri.
Puisi alegoris Faridu’d-Din Attar (1110-1230), Musyaarah Burung, merupakan salah satu monumen kesusastraan sufi di samping Masnawi karya Jalaluddin Rumi (1217-1273). Diterjemahkan oleh Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds terjemahan C.S. Nott dari Mantiqu’t Thair.
Attar – yang waktu mudanya suka mengembara ke Mesir, Syria, Arab Saudi, India, dan Asia Tengah lahir di Nishapur (di Iran sekarang), sekota dengan Pujangga Omar Khayyam. Ditilik dari namanya, Attar, mistikus besar ini dianggap turun-temurun bergerak dalam usaha apotek, kedokteran, dan wangi-wangian.
Awal kesufian Attar, menurut cerita, yaitu ketika pada suatu hari di depan kedai parfumnya ia mengusir seseorang yang disangkanya pengemis. Ternyata, pengemls itu seorang sufi. Ia menjawab bahwa tak ada kesukaran baginya untuk pergi. Sebaliknya bagi Attar. Apakah ia sanggup pergi begitu saja sambil meninggalkan kekayaannya yang berbau wangi itu? Sindiran sufi ini mengena di hati Attar. Ia serta-merta meninggalkan kekayaannya. Faridu’d-Din Attar, yang tewas dipenggal prajurit Jenghis Khan ketika berusia 110 tahun, mendapat julukan Sauthus Salikin – cemeti orang yang mengerjakan suluk.
Musyawiarah Burung, yang ditulis Attar selama tiga tahun (1184-1187), didahului puji-pujian kepada Allah Yang Maha suci dan utusan-Nya, Nabi Muhammad, serta ucapan selamat kepada burung-burung. Buku yang mirip dongeng ini menggambarkan pemikiran Attar – pelajaran sufisme dengan tujuh jenjang (maqam) Lembah Pencarian, Lembah Cinta Lembah Keinsafan, Lembah Kebebasan dan Kelepasan, Lembah Keesaan, Lembah Keheranan dan Kebingungan, serta Lembah Keterampasan dan Kematian. Sedangkan Seyyed Hossein Nasr, dalam Sufi Essays, mencatat adanya 40 tingkatan berdasarkan ajaran sufisme Abu Sa’id ibn Abi’l-Khayr.
Kekatan Musyawarah Burung sebagai karya adalah kemampuan menghadirkan lambang secara sempurna. Burung sebagai lambang manusia sangat lentur bagi penggambaran roh yang setiap saat siap melesat dari dalam tubuh. Diselang-selingnya kisah para nabi dan para sufi, menghadirkan Musyawarah Burung sebagai karya yang “modern”, sejauh struktur dan bentuk penyuguhan menjadi bagian penting pengucapan seorang sastrawan.
Bagi seorang sufi, nomor satu adalah Allah. Nomor dua adalah Allah. Dan nomor tiga adalah Allah. Setiap jengkal perjalanan mistik seorang sufi adalah ujian. Dan ujian itu dapat berupa apa saja, termasuk keluarga dan harta. Karena tujuan hidup adalah untuk kembali menyatu dengan Allah, dengan sendirinya semuanya dikesampingkan.
Ibnu Arabi (1102-1240), yang mempunyai paham wihdatul wujud (kesatuan wujud), meyakini bahwa Wujud (Yang Ada) itu hanya Satu. Dalam tiap-tiap yang berwujud itu terdapat sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Jika ada perbedaan antara yang tampak dan tidak, maka perbedaan itu hanya rupa dan ragam dari hakikat Yang Esa.
Arabi menulis puisi: Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba Demi syu’urku, siapakah yang mukallaf? Kalau engkau katakan Hamba, padahal ia Tuhan Atau engkau kata Tuhan, yang mana yang diperintahkan? (terjemahan Hamka dalam Tasauf, Perkembangan, dan Pemurniannya). Jalaluddin Rumi juga menulis puisi Orang Tuhan yang menerangkan pandangannya yang Serba-dalam-Illahi.
Bahwa “beragam jenis burung yang terlihat di dunia ini hanyalah bayang-bayang Simurgh” (Musyawarah Burung, halaman 60), mendudukkan Attar, Arabi, dan Rumi sebagai mata rantai yang berurutan. Dan sebagaimana para sufi lainnya, bagi Attar hanya cinta yang dapat menghantarkan kita ke haribaan Allah. Lalu penyatuan pun berlangsung: Hamba tak tahu apakah Engkau hamba atau hamba Engkau, hamba telah menjadi tiada dalam Engkau dan keduaan pun lenyaplah.
*) Danarto, Sastrawan yang banyak mempelajari sufisme /10 Maret 1984
Dijumput dari: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1984/03/10/BK/mbm.19840310.BK42424.id.html
0 comments:
Post a Comment