Bumi dan Langit Melindungiku
Posted by PuJa on June 2, 2012
Sunaryono Basuki Ks
http://www.suarakarya-online.com/
Wayan berjalan tersaruk-saruk di tanah becek menuju tanah tegalan yang ditumbuhi batang-batang kelapa yang sudah tua buahnya. Walau kakinya terasa sakit, dia terus melangkah sebab ingin segera memanjat batang-batang kelapa itu dan memetik buahnya. Sudah waktunya dia memetik buah kelapa, dan hasilnya harus segea dijual dan uang penjualannya diserahkan pada Gusti Made yang tinggal di rumah besar di kota. Hampir tidak pernah Gusti Made datang menengok kebun kelapanya, dan mungkin juga tak peduli mengenai hal itu. Anak-anak Gusti Made juga tak ada yang tinggal di kota itu, kebanyakan sudah merantau ke Surabaya dan Jakarta. Yang paling dekat tinggal di Denpasar.
Di antara batang-batang kelapa itu dia menanam batang pisang, puluhan batang jumlahnya, atau mungkin ratusan, dan batang pisang itu gampang tumbuh dan tak perlu dipelihara. Setelah dipetik buahnya yang sudah tua, batang pisang dirobohkan, dan batang yang baru sudah siap bergegas tumbuh untuk memberikan buah. Bunganya pun laku dijual, dimasak menjadi sayur yang digemari. Namun dia sering memberikan bunga itu pada tetangga-tetangganya yang memerlukannya.
Bilamana tiba musim panen seperti ini, para pemetik datang tanpa mendapat komando, seolah mereka sudah tahu kapan saatnya memanen butir kelapa. Bukan itu saja, anak-anak dari sekitar situ ikut berdatangan dan saat butir kelapa itu jatuh ke tanah, mereka dengan memelas minta sebutir, dan tentu saja dia memberikannya pada mereka. Entah berapa puluh butir kelapa yang berpindah ke tangan mereka, namun dari ribuan butir kelapa, jumlah itu sepertinya memang harus diikhlaskan untuk diberikan pada mereka. Terkadang ada yang minta setandan pisang yang sudah tua, dan dia tak bisa menolak permintaan itu.
Seusai saat panen dan butir-butir kelapa telah terkumpul, seseorang yang datang dengan sebuah truk menghitung hasil panen itu dan menyerahkan sejumlah uang pada Wayan. Para pemetik kelapanya sudah bersiap untuk menerima upahnya. Wayan masih menyisihkan beberapa butir kelapa yang akan diolah istrinya menjadi minyak goreng.
Disamping itu, mereka masing-masing telah membawa beberapa butir kelapa dan beberapa sisir pisang. Di rumah Gusti Made di kota, Wayan duduk bersimpuh di lantai menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas dan sepiring pisang goreng. Dia telah menyerahkan hasil penjualan kepala dan pisang, dan membawa pula setandan pisang yang sudah hampir masak, dan tiga botol minak goreng yang dibuat dari santan kelapa murni. Sambil mengepulkan asap rokoknya, Gusti Made berkata sambil tersenyum:
“Kok hanya segini, Yan?”
“Maaf Gusti. Sudah dipotong ongkos petik sepuluh orang.”
“Oh, gitu.”
Nampaknya Gusti Made tidak bermaksud menuntut mendapat bagian lebih banyak. Dia saat masih muda sering ikut menangani pemetikan kelapanya. Dan dia juga tahu bahwa memetik kelapa berarti membagi-bagi rejeki dengan orang sedesanya. Kelapa adalah milik bersama orang-orang selingkungannya. Dia juga tahu bahwa di luar musim panen pun mereka kadang memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa butir untuk keperluan sehari-hari. Apalagi Wayan pasti tahu kebiasaan itu. Belum lagi dengan tanaman pisang yang sering “tidak sengaja” dirobohkan dan diambil bunganya, kemudian diambil buahnya.
Sehari-hari Wayan menjaga kebun kelapa luas itu, empat hektar luasnya bersama keluarganya. Kebun kelapa itu terbentang antara tepi jalan raya yang membujur ke timur-barat sampai menjilat bibir pantai di utara. Sering Wayan berjalan di bawah batang-batang kelapa itu sampai ke pantai dan di sana dilihatnya pantai yang berpasir lembut, dan ombak di laut membiru yang tenang. Beberepa perahu nelayan nampak di laut agak ke tengah.
Istri dan dua orang anaknya berteduh di bawah gubuk yang dibangun dengan dinding batako setinggi orang dna bagian atasnya dinding gedek, dan atapnya daun kelapa yang sudah tua. Tanah mereka mungkin seluas lima are ( 500 m2) terpisah dari ladang kelapa dengan jalan raya. Tanah mereka terletak di sebelah selatan jalan raya. Eantah, katanya dulu Gusti Made punya tanah sekitar dua hektar di situ, namun semuanya sudah terjual kecuali tanah yang ditempati Wayan. Wilayah itu sudah berkembang menjadi sebuah desa yang makin meluas. Terkadang seorag dua turis manca negara melintas di desa itu dengan mengendarai sepeda. Mungkin mereka menginap dihotel besar beberapa kilomeyer jauhnya ke arah barat dari desa itu.
Istrinya memanfaatkan tanah yang tersisa dengan membuat kolam ikan dan menanam sayuran, sekedar untuk mereka makan sehari-hari. Di atas tanah itu juga tumbuh tiga atau empat batang kelapa yang sudah dapat dipetik buahnya.
Selain itu, istri Wayan mengolah pisang menjadi kripik pisang. Wayan sengaja menyisihkan sejumlah batang pisang untuk keperluan dirinya sendiri, namun tidak mencolok mengurangi jatah pisang yang harus dia setor pada Gusti Made. Untuk jenis pisang manis, diunduh ketika sudah tua benar, lalu dikupas dan ditaruh di atas tampah, dilapisi dengan lembaran plastik agar tidak dicari lalat. Tampah-tampah itu dijemur beberapa hari sampai pisang-pisang itu menjadi pisang salai.
Sesekali seseorang dari kota datang dan membeli kripik pisang dan pisang salai itu untuk dijual kembali di kota dengan harga berlipat. Walaupun Wayan tahu makanan itu mahal bila dijual di kota, dia tidak pernah berusaha menjualnya langsung ke kota. Andaikata saja dia tahu, dia dapat memasok toko kue dengan pisang salai dan kripik pisang, mungkin dia tertarik menjualnya ke kota.
“Ah, bagi-bagi rejeki,” katanya pada istrinya, dan setuju dengan pendapat itu. Mereka sudah bersyukur telah mendapat rejeki itu, dan tidak lupa memanjatkan doa setiap hari di tempat sembahyang kecil di sudut pekarangan rumah mereka.
Musim petik sudah tiba kembali. Kaki Wayan masih terseok-seok namun dia tetap datang ke tempat memetik. Bahkan dia kali ini ingin ikut memanjat batang kelapa. Setelah hujan, batang kelapa agak licin. Ketut salah seorang pemetik memperingatkan:
“Hati-hati Yan. Belik.”
Wayan hanya tersenyum dan mulai memanjat pohon yang dipilihnya. Sabit diselipkan di pinggangnya dan dengan cekatan dia menapak pada batang kelapa yang sudah dicukil untuk tempat kaki berpijak. Namun, malang tak dapat ditolak.
Belum sampai setengah tinggi batang, kaki Wayan tergelincir, dia kehilangan keseimbangan dan meluncur ke bawah. Untung sabitnya jatuh lebih dahulu jadi tidak melukai dirinya dan dia jatuh berdebum ke tanah. Teman-temannya berlarian ke arah Wayan jatuh, lalu menggotongnya pulang. Wayan tak mampu bangkit, dan mereka membawanya ke dukun ahli patah tulang. Di rumah dukun, tubuh Wayan dibungkus dengan pasir hangat dan dia harus berbaring diam selama beberapa hari. Istri Wayan hanya bisa menangis. Wayan berbisiik lirih:
“Coba kamu lapor ke Gusti Made.”
Para pemetik kelapa itu meneruskan pekerjaannya sampai selesai, sampai truk yang mengambil kelapa itu datang dan sampai ongkos memetik kelapa dibagikan dan sampai mereka semua pergi membawa pisang, beberapa butir kelapa dan uang tunai untuk membeli beras.
Gusti Made tidak segera datang menengok sampai Wayan sembuh, bisa berjalan walau harus dibantu dengan tongkat. Hari itu sebuah mobil sedan datang dan diparkir di depan gubuk Wayan. Turun dari mobil Gusti Made dan tiga orang lelaki berpakaian perlente, yang segera diperkenalkan pada Wayan yang menyambut mereka.
“Ini Pak Wayan, penyakap 2 tanahku,” katanya. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk padanya. Tanpa basa basi, Gusti Made meminta Wayan mengantar para tamu itu berkeliling kebun kelapa sampai ke bibir pantai, dan mereka semua mengangguk-angguk, dan akhirnya Gusti Made berkata pada Wayan:
“Mereka membeli kebun kelapa kita.”
“Maksud Gusti Ajie? Saya harus keluar dari gubuk saya?”
“Oh, tidak. Nanti aku suruh urus surat-uratnya agar tanah itu resmi menjadi milikmu.”
Dalam hati Wayan bersyukur tidak kehilangan tempat tinggal yang sudah dia tempati semenjak dengan almarhum ayahnya dulu.
Dan, tak sampai beberapa lama, sejumlah batang kelapa ditebang, namun beberapa lagi yang masih muda dibiarkan tegak, bersama sebuah hotel yang terdiri dari pondok-pondok wisata yang indah.Di tengah-tengahnya dibangun sebuah kolam renang dengan air jernih membiru. Untunglah Wayan masih diberi pekerjaan sebagai tukang kebun. Wilayah itu sekarang ramai dikunjungi wisatawan asing.***
* Singaraja, 18-19 Maret 2012
0 comments:
Post a Comment