Hiperbola Agus R Sarjono *
Posted by PuJa on June 4, 2012
Saut Situmorang **
http://boemipoetra.wordpress.com/
Dalam dunia puisi, salah satu persoalan penciptaan yang terpenting adalah bagaimana mempertemukan puisi dan politik dalam sebuah sajak. Bagaimana seorang penyair mesti menulis puisi politik hingga puisi tersebut benar-benar memiliki nilai estetik dan tidak terjerumus menjadi sekedar slogan politik yang dibungkus dalam penampilan sebuah puisi. Begitu pentingnya isu ini hingga, ironisnya, banyak penyair sering lupa untuk memperhitungkannya dan akibatnya hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan umum tentang kondisi sosial politik yang ada dalam baris-baris teks yang mengingatkan pembacanya kepada baris-baris dalam sebuah puisi. Pernyataan-pernyataan umum itu sendiri biasanya dilontarkan dalam nada tunggal yang sangat monoton, yaitu penyair/narator dikesankan sebagai nabi kesepian yang sedang menghujat masyarakat di sekitarnya. Kebenaran moral yang secara tak sadar diklaim dengan semena-mena oleh sang penyair/narator akhirnya hanya membuat “puisi”nya itu gagal menjadi puitis tapi berhasil menjadi retorika. Rumitnya persoalan penciptaan puisi politik bisa dibuktikan dari begitu banyaknya penyair yang menulis puisi politik, atau “sajak protes”, tapi hanya segelintir saja yang berhasil membuat namanya diakui secara umum sebagai penyair puisi politik, penyair terlibat (engaged poet).
Membaca buku kumpulan puisi Agus R Sarjono Suatu Cerita dari Negeri Angin: Sejumlah Sajak Asli dan Satu Sajak Palsu (Jendela 2003) memberikan sebuah kesan betapa penyairnya berusaha untuk menghasilkan satu buku kumpulan puisi politik. Walau judul dan anak judul buku tidak menunjukkan tema khusus ini, ketigapuluh sembilan sajak dalam kumpulan Suatu Cerita dari Negeri Angin sebenarnya dimaksudkan sebagai “puisi penggugat”, meminjam istilah Berthold Damshauser seperti yang dikutipkan pada sampul belakang buku. Apa “yang digugat dan diprotes adalah keadaan di Indonesia, baik di zaman Orba maupun zaman yang disebut ‘zaman reformasi’”. Kalau hanya ini yang menjadi keistimewaan buku ini maka hal itu tidak begitu istimewa sebenarnya, karena protes atas kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dalam bentuk puisi banyak ditulis dalam sejarah sastra Indonesia. (Agus Sarjono sendiri, dalam sebuah wawancara yang juga dilampirkan dalam buku ini, menyatakan bahwa “sebetulnya, tidak banyak benar penyair di Indonesia yang menulis mengenai masalah politik. Sepanjang tahun 70-an sampai 90-an hampir tidak ada penyair yang menulis sajak kritik sosial yang menonjol, kecuali tentu saja Rendra”. Kita tentu saja dengan mudah bisa membantah pernyataan redaktur Horison, majalah sastra satu-satunya di Indonesia, ini dengan menyebutkan dua nama penyair yang sudah dikenal luas dalam sastra Indonesia tapi yang entah bagaimana bisa terlupakannya: Wiji Thukul dan Sutardji Calzoum Bachri.)
Apa yang membuat buku kumpulan puisi kedua Agus Sarjono ini merangsang minat kita untuk membacanya, dan sekaligus untuk membuktikannya, adalah penggalan kutipan pada sampul belakang buku dari dua sumber (luar negeri) yang berbeda, yaitu Berthold Damshauser dari Universitas Bonn, Jerman dan “Poetry on the Road”, Bremen, Jerman.
Berthold Damshauser, dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Bonn, Jerman sekaligus juga penterjemah karya sastra Indonesia ke dalam bahasa Jerman, menyatakan bahwa apa yang menarik dan merupakan kebesaran Agus Sarjono sebagai penyair (Indonesia) adalah bahwa “puisi penggugat” atau protes yang dituliskannya itu “disampaikan dengan suara puitis yang unik, beragam, dan baru”. Dan dari keunikan, keberagaman, dan kebaruan dalam “suara puitis” Agus Sarjono tersebut terdapat sebuah unsur teks khas yang menonjol yang mewarnai keseluruhan kumpulan puisinya, yaitu humor hitam (black humour), bahkan “humor yang sangat hitam, yang toh tak mampu menutupi keprihatinan mendalam yang terdapat di belakangnya”.
Sementara kutipan dari publikasi acara puisi “Poetry on the Road” yang diikuti Agus Sarjono tak lebih tak kurang memperkuat apa yang dinyatakan Berthold Damshauser tentang isi puisinya di atas, cuma dengan tambahan bahwa Agus R Sarjono adalah “penyair muda terkemuka dari Indonesia”.
Dalam “proses kreatif”nya sebagai penyair, Agus Sarjono sendiri mengakui –seperti dinyatakannya dalam halaman “Semacam Pembukaan” dalam buku dan dielaborasinya dalam wawancara dengan Linda Voute yang saya maksud di atas– bahwa dia sebenarnya “ingin menulis sajak dengan gaya dan tema yang lain sama sekali dengan gaya dan tema yang selama ini [dia] geluti dan sebagiannya terbit dalam buku [Suatu Cerita dari Negeri Angin]. Gairah untuk menulis sajak yang lain sama sekali tersebut sangat meluap, sebesar dan semeluap gairah[nya] untuk mendapati nasib yang lain sama sekali bagi negeri[nya]. Namun karena negeri dan tanah air[nya] masih berhadapan dengan nasib dan urusan yang itu-itu juga, maka [dia] harus menerima nasib untuk menuliskan sajak-sajak dengan tema dan gaya sebagaimana pembaca temui dalam buku [Suatu Cerita]. [Karena dia] tidak bisa (dan tidak ingin) berpaling”. Dan alasannya menulis “puisi penggugat” seperti yang dikumpulkan dalam Suatu Cerita bukanlah untuk “mendidik saudara-saudara setanah air” [tentang kondisi sosial politik Indonesia] “lewat sajak” tapi “justru ingin belajar dan bukan mengajar, ingin bertanya dan bukan menjawab, dan sesekali menangis atau berduka bersama orang-orang pinggiran di berbagai pelosok negeri[nya] yang tidak punya massa, tidak punya kekuasaan, tidak punya harta, tidak punya partai, dan terus-menerus dibisukan”.
Kejujuran pengarang seperti ini tentu saja membantu pembaca untuk lebih memahami karya yang sedang dibaca, walaupun konon, kata orang, “maksud pengarang” tidak memiliki relevansi terhadap proses interpretasi pembaca (intentional fallacy). Bukankah “pengarang sudah mati” begitu karangannya dibaca pembacanya, hegemoni pengarang diganti oleh hegemoni pembaca?
Absolutisme hitam-putih semacam ini, tentu saja, tidak sehat dan tidak perlu dalam sebuah peristiwa interpretasi karya seni karena bukankah istilah “seni” itu sendiri sudah menyiratkan adanya pengertian tentang “kebebasan individu” yang mesti ada baik dalam proses kreatif penciptaan maupun proses kreatif pembacaan.
Bertolak dari konsep pembacaan seperti inilah maka kejujuran pengarang bernama Agus R Sarjono relevan untuk dipakai juga dalam menginterpretasi “puisi penggugat”nya dalam buku Suatu Cerita, disamping, tentu saja, faktor-faktor lain seperti teks puisi itu sendiri dan relasi intertekstualnya (yaitu apa yang disebut sebagai “the anxiety of influence” –bahwa “pengaruh” bukanlah seperti yang umumnya dipahami sebagai “pinjaman” langsung, atau asimilasi, atas materi dan bentuk dari karya-karya pengarang sebelumnya tapi melibatkan juga terjadinya distorsi yang drastis atas karya-karya pengarang pendahulu tersebut– oleh kritikus dekonstruksi Amerika Serikat, Harold Bloom) dengan teks-teks puisi lainnya dalam sejarah sastra Indonesia. Dan hiperbola, pernyataan berlebihan yang disengaja atau pelebih-lebihan fakta secara ekstravagan demi menimbulkan efek tertentu, merupakan trope utama/dominan yang mewarnai bahasa buku kumpulan puisi Agus R Sarjono ini: mulai dari judul/sub-judul buku, penggalan kutipan di sampul belakang buku, kata pengantar penyair, wawancara, dan ketigapuluh sembilan “puisi penggugat” itu sendiri, tentu saja.
***
Apakah yang dimaksud penyairnya dengan “Negeri Angin” pada judul buku dan sajak yang menjadi judul buku kumpulan puisi Agus Sarjono ini? Karena “Semacam Pembukaan” dari penyair dan isi wawancara tidak menjelaskan apa maksud istilah ini, maka saya berusaha mencari jawaban apa kira-kira “Negeri Angin” itu pada sajak dimaksud, tapi saya tetap tidak menemukannya. Apa yang saya temukan adalah hiperbola bahasa yang, mungkin, dimaksudkan untuk menimbulkan efek surreal pada pembacanya. Perhatikan kutipan bait pertama ini:
“Bendungan di kampungku yang dibangun
oleh seribu jam penataran, seratus upacara
dan sepuluh sangkur, pada sebuah subuh
berderak-derak dan runtuh. Airmata
yang berpuluh tahun tertahan
pecah menderas menyapu jalanan
lalu berubah menjadi genangan darah.
Orang-orang bergegas mengeramasi rambut
dan ingatannya di sana”. (Sebuah Cerita dari Negeri Angin)
Apakah pecahnya bendungan telah menimbulkan “kesadaran” pada orang-orang kampung, termasuk si narator puisi sendiri, seperti yang disiratkan oleh prosesi “mengeramasi rambut dan ingatan” itu? Kalau benar, maka “bendungan” itu adalah simbol “penindasan”, “airmata yang berpuluh tahun tertahan”? Dan kesadaran apakah yang ditimbulkannya? Kenapa “airmata” berubah menjadi “genangan darah” dalam sebuah peristiwa timbulnya “kesadaran” dari sebuah realitas “penindasan”? Dan di manakah “kampungku” itu berada?
Antologi pertanyaan seperti ini akan terus menerus saya ajukan untuk memaksa “puisi penggugat” Agus R Sarjono memberikan saya “sebuah cerita dari negeri angin” atas teks-teksnya.
Bait kedua sajak “Sebuah Cerita dari Negeri Angin” tidak memberikan tambahan informasi apa-apa, kecuali kekerasan fisik yang tidak ada relevansinya dengan plot sajak dan sebuah frase yang cuma berisi “tentang sebuah saat sebuah musim/di sebuah negeri yang padat/berisi angin//
“Kesadaran” yang disiratkan terjadi oleh bait pertama sajak ternyata cuma interpretasi saya yang keterlaluan saja. Sajak ini tidak membicarakan terjadinya sebuah “’perubahan” keadaan kondisi sosial politik di “kampung” sang narator tapi merupakan parade hiperbola kekerasan fisik yang mengingatkan saya pada film kartun anak-anak semacam Tom & Jerry dimana representasi kekerasan fisik tidak diniatkan untuk menghasilkan katarsis tapi sekedar hiburan yang menggelikan. Inilah yang saya maksudkan:
“Tetanggaku yang gemar cerita, pernah menangkap
seorang pesulap yang entah mengapa sibuk
mengendap-endap di ruang tidur kampungnya.
Setelah dicekik dan ditebas lehernya,
ternyata tak sebuah cerita pun mengalir
dari kerongkongannya. Dari potongan
urat lehernya, hanya gas yang memancar keluar
diiringi denging sirine, semacam isyarat darurat
dari sebuah kapal yang tengah karam. Sejak itu
penduduk kampungku ramai-ramai melepas
kepala mereka dan menggantinya
dengan buah kelapa: keras dan berair.
Buat persiapan, ucap mereka, jika seluruh
kampung hangus terbakar, kepala kami
masih bisa basah menyimpan ingatan
tentang anak-anak tersayang yang mengembara
ke kota-kota, bersekolah atau bergelandangan
mengais hari depan”.
Apa yang membuat saya heran membaca bait ketiga sajak “Suatu Cerita” ini adalah sebuah ketidakjelasan lagi tentang “kampung” sang narator. Bukankah pembaca pada bait pertama sudah diberitahu bahwa setting sajak adalah kampung narator, “kampungku”, dan ini berarti “desaku”, bisa tempat asal usul orangtua sekaligus tempat kelahiran narator seperti pada istilah “kampung halaman”, tapi jelas tidak pernah dipakai untuk merujuk tempat tinggal dalam perantauan di luar kampung halaman, tapi kenapa referensi kepada “kampung” tetangganya memakai akhiran “nya”, bukan “kami” misalnya? Bukankah “tetangga” di kampung halaman biasanya juga berasal dari kampung halaman tersebut?
Juga, kenapa “seorang pesulap” yang “sibuk” mengendap-endap di ruang tidur kampung” tetangga narator? Makna referensial semacam apa yang ingin diciptakan dengan pemakaian istilah “pesulap” ini? Lalu, apakah “maksud” tekstual dari bait ketiga ini dalam konteks keseluruhan sajak? Atau dalam kata lain, apa sebenarnya yang ingin diceritakan oleh sajak ini dengan segala absurditas metafor dan hiperbola yang membebaninya?
Keterpesonaan pada hiperbola berlebihan melalui parade absurditas metafor yang, bagi saya, tidak berhasil menimbulkan efek surreal pada totalitas imaji tiap sajak, sebenarnya, membuat saya berpikir bahwa Agus Sarjono cuma “main-main” saja dalam bukunya ini. Maksud saya, dia sebenarnya sedang berusaha melakukan eksperimentasi penulisan kolase surrealistik, yaitu semacam penjajaran dua imaji yang berbeda, atau lebih, untuk melahirkan sebuah efek fantastik pada pembacanya, seperti yang dilakukan kaum Surrealis dan Realis-magis, tapi tidak mencapai hasil yang diharapkan, mungkin, karena ketidakjelasan konsepsi penulisan. Saya ambilkan contoh sederhana berikut ini:
“Kutebarkan remah roti
Di taman kota Amsterdam bersalju
Beribu-ribu burung merpati
Berbondong-bondong menyerbu
Kutebarkan remah makanan
Di taman kota Jakarta terik siang
Beribu gelandangan dan anak jalanan
Serempak datang menerjang”. (Pantun Latihan)
Pertama-tama, adalah sangat mengherankan bahwa seorang penyair Indonesia seperti Agus R Sarjono, yang juga redaktur majalah sastra Indonesia, bisa sampai “lupa” apa sebenarnya yang dimaksud dengan pantun itu! Secara sederhana, bukankah sebuah pantun memiliki pakem persajakan: satu bait terdiri dari empat baris, masing-masing baris terdiri dari empat kata, dimana dua baris pertama merupakan sampiran (biasanya memakai imaji-imaji alam) dan dua baris terakhir isi pantun, dan keseluruhannya dirangkai dalam sistem musik berpola rima-akhir abab. Dari penjelasan sederhana ini jelaslah bahwa “Pantun Latihan” di atas bukanlah sebuah pantun karena tidak memiliki karakterisasi sebuah pantun, kecuali pola rimanya yang sengaja dibuat abab itu.
Perbandingan yang dilakukan dengan penjajaran dua setting tempat dan isinya yang sangat berbeda satu sama lainnya pada sajak ini adalah kolase yang saya maksudkan di atas: remah roti vs remah makanan, Amsterdam bersalju vs Jakarta terik siang, burung merpati vs gelandangan dan anak jalanan, berbondong-bondong menyerbu vs serempak datang menerjang.
Pemakaian hiperbola pun tidak luput dari sajak paling pendek dalam kumpulan puisi ini. Di sini hiperbola dipakai untuk menunjukkan drastisnya perbedaan antara kedua tempat, kedua kota, kedua budaya tapi dengan penekanan pada kondisi negatif negeri sendiri dan romantisisme negeri orang lain. Walaupun terkesan betapa sadomasokisnya sang narator dalam pameran pengejekan diri sendiri ini, di sisi lain dia sebenarnya tak lebih hanya bayangan saja di kedua tempat yang dia sebutkan itu, yaitu seorang pengunjung anonim di sebuah taman kota. Keberadaannya pada kedua taman kedua kota itu mirip dengan keberadaan seorang turis yang mencatat apa yang dilihatnya dengan snapshot kamera untuk pengisi album foto perjalanan belaka. Saya, misalnya, bisa mempertanyakan apakah “makna” istilah “salju” bagi kota Amsterdam tidak sama dengan “makna” “terik siang” bagi kota Jakarta dalam konteks budaya masing-masing. Bukankah “salju” merepresentasikan “musim dingin”, musim yang dianggap negatif dalam budaya Barat, sementara “musim panas”, “musim terik siang” merupakan musim yang selalu dinanti-nantikan? Kesalahkaprahan nuansa makna kontekstual semacam ini merupakan sebuah cacat tekstual yang dalam versi lain juga mewarnai sajak-sajak lain dalam kumpulan Suatu Cerita.
Pelebih-lebihan fakta secara ekstravagan demi menimbulkan efek tertentu yang menjadi ciri-utama Suatu Cerita, bagi saya, hanya menimbulkan efek pelebih-lebihan fakta belaka, hiperbola demi hiperbola belaka, dan tidak berhasil menciptakan kesan surrealitas yang absurd fantastis. Kalau para penyair “puisi mbeling” dengan segala absurditas “estetika main-main” mereka jelas-jelas menulis untuk mencapai efek humor, ekspresi dari bagaimana penyair “memandang semua kehidupan dalam diri dan luar lingkungannya secara menyeluruh, lugu dan apa adanya” seperti yang dinyatakan Bapak Puisi Mbeling Indonesia Remy Sylado, maka keseriusan sikap Agus Sarjono dalam memandang “puisi penggugat”nya yang dikumpulkannya dalam buku Suatu Cerita ini (bahkan dicetak ulang!) justru menimbulkan efek surreal yang gagal dilakukan sajak-sajaknya!
Perhatikanlah kutipan bait pertama dari sajak berjudul “Timang-timang” berikut ini: “Di manakah kita sebelumnya pernah berjumpa, anakku/sayang, ketika engkau menangis untuk pertama kali, bagai nasib/di keluasan dunia? Aku menduga-duga dari mana/ segala airmatamu bermula. Adakah karena langit/kosong sepi, atau darah yang tak putus-putus tumpah/di berbagai belahan sejarah: Auschwitz, Shabra,/Shatilla, Bosnia, Somalia, Chechnya dan tanah-tanah air/di batinku, selalu saja meninggalkan luka menganga/tak seindah luka yang kau tinggalkan di tubuh ibumu//yang berbahagia”.
Bagaimanakah kita akan mengikuti logika puitis antara “airmata” anak sang narator dengan daftar kota-kota dunia yang merupakan simbolisme penindasan internasional itu? Berhasilkah pemakaian hiperbola yang terkesan sangat serius ini?
Pemakaian hiperbola, terutama hiperbola yang berlebihan, seperti yang dominan dalam kumpulan puisi Suatu Cerita, sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk mencapai efek puitis yang menakjubkan seperti yang dilakukan Walt Whitman atau Allen Ginsberg dari khazanah puisi Amerika Serikat atau para penyair Surrealis seperti Aimé Césaire dari Martinique, Karibia. Dan pemakaian hiperbola biasanya pun cukup sering dilakukan dalam penulisan “puisi politik” di khazanah sastra dunia. Saya menduga ketidakberhasilan Agus Sarjono dalam memanfaatkan hiperbola dalam Suatu Cerita adalah karena sajak-sajaknya itu masih dalam tahap “pantun latihan” semata. Penguasaannya atas metafor, dalam konteks puisi yang menggugat dan memprotes kondisi sosial politik Indonesia kontemporer, belum maksimal, mungkin karena posisinya sebagai pengunjung taman kota seperti yang saya sebut di atas. Sementara nada pengucapan keseluruhan sajaknya dalam buku ini sangat kuat mengingatkan saya kepada nada pengucapan sajak-sajak moralis Taufiq Ismail. Saya malah curiga bahwa Taufiq Ismail merupakan pengaruh terbesar dalam keterpesonaannya pada hiperbola yang dihiperbolakan.
Berdasarkan hal-hal inilah saya tidak setuju dengan pendapat Linde Voute, Berthold Damshauser dan publikasi “Poetry on the Road” yang ditempelkan pada buku puisi Suatu Cerita dari Negeri Angin yang mengklaim bahwa Agus R Sarjono adalah “penyair muda terkemuka Indonesia” yang “kebesaran[nya] sebagai penyair” terletak pada keunikan, keberagaman, dan kebaruan ekspresi suara puitisnya, bahwa “dia menulis dengan cara yang berbeda dibanding para penyair lain yang menulis mengenai ketidakadilan sosial di negerinya”.
*Dibacakan pada acara “Ketika JOGJA Menghakimi JAKARTA”, 28 Mei 2003 di auditorium IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta.
**Saut Situmorang, pencinta cersil Kho Ping Hoo, tinggal di Jogjakarta.
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2012/03/25/hiperbola-agus-r-sarjono/
0 comments:
Post a Comment