Kritikus Sastra di Sumut Ketinggalan Zaman
Posted by PuJa on June 20, 2012
Yulhasni *
http://www.analisadaily.com/
Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.
Sengaja saya mengutip tulisan M Raudah Jambak berjudul ‘’Tanpa Kritikus Sastrawan tetap Lahir’’ di rubrik Rebana harian ini (1/4) untuk membuka sebuah tahapan pemahaman kita tentang kritik dan cara pendekatannya, terutama jika dikaitkan dengan sastra di Sumatera Utara. Tulisan itu muncul sebagai respon atas tulisan saya berjudul ‘’Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut’’ yang dimuat harian ini pada 18 Maret 2012.
Sejarah panjang kritik sastra Indonesia tentu melahirkan bermacam pendekatan. Pada level tertentu di beberapa perguruan tinggi, pendekatan karya sastra masih melekat dalam satu konsep ‘’sastra yang otonom’’. Cara pandang ini sebenarnya telah lama ditinggalkan oleh kaum akademisi di beberapa daerah, terutama Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Cara pandang seperti itu, meminjam Faruk HT, erat kaitannya dengan bagian integral dari kritik sastra Indonesia modern yang bermetamorfosis dari cara pandang sastra modern yang berkisar pada soal oposisi hierarkis antara kebenaran dengan kesemuan; kenyataan dengan representasi; dan kedalaman dengan permukaan.
Konsep bahwa sastra adalah dunia yang otonom mengakibatkan tidak terjadinya proses dialektika dalam kritik sastra di daerah ini. Saya kemudian harus memberi catatan penting soal betapa tertinggalnya daerah ini dalam hal kritik sastra itu sendiri.
Cara pandang kita terhadap sastra, terutama yang dimuat di media cetak di daerah ini, seringkali alergi dengan perkembangan teori sosial yang berkembang di dunia. Bahkan lebih ironisnya, di perguruan tinggi pun, teori-teori sosial baru yang kemudian bermuara kepada pendekatan karya sastra, ternyata tidak mendapat tempat. Alhasil, studi mahasiswa pun akhirnya terpola kepada model teori struktural yang sebenarnya telah jadi fosil tersebut.
Model pendekatan karya sastra di daerah ini sudah semestinya diarahkan kepada bentuk-bentuk baru dalam teori ilmu sosial. Sastra tidak lagi harus berdiri di menara gading yang dengan sendirinya harus dipahami dalam teks tertulis saja. Memahami beberapa novel sejarah seperti Berjuta-juta dari Deli karangan Emil W Aulia atau Acek Botak karya Idris Pasaribu, semestinya harus didekati dengan model teori postkolonial. Jika teks dalam kedua karya ini didekati dengan model struktural, maka esensi utama dari keduanya tidak akan tercapai. Teori postkolonial memungkinkan teks dalam kedua novel, dipahami sebagai pesan penting tentang penindasan model Barat atas Timur. Satu konsep yang sejak lama sudah diperkenalkan oleh Edward Said.
Beberapa puisi, cerpen, naskah drama dan novel telah lahir di daerah ini. Selalu saja penilaian atas karya tersebut berhenti pada struktur karya, tanpa mampu memberi ruang pemikiran yang lebih luas tentang apa di balik teks karya tersebut.
Bangku perkuliahan semestinya cepat keluar dari kungkungan teori-teori klasik yang telah usang. Dalam sejarah pendekatan karya sastra, perkembangannya begitu cepat. Kita mengenal urutan teori sastra, yakni teori moral, teori ekspresif, biographical criticism, new criticism, psikoanalisis, marxisme, reader response (resepsi), strukturalisme, postrukturalisme dan dekonstruksi, posmodernisme, feminisme, new historicism, poskolonialisme dan cultural studies.
Pada saat sekarang, ketika berbagai ilmu sosial berkembang, teori pun mengikutinya lewat seperangkat metode yang digunakan. Makanya, konsep Critical Analysis Discourse (CDA) atau Analisis Wacana Kritis menjadi relevan dikembangkan untuk melihat kesejatian karya sastra di daerah ini. Widyastuti Purbani dalam tulisan berjudul ‘’Metode Penelitian Sastra’’ menulis kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Ruth Wodak -seorang pemikir neo-marxis yang banyak dipengaruhi Mazhab Frankfurt model Jurgen Habermas- hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.
Dengan menggunakan metodologi seperti ini, kita mampu menangkap pesan-pesan penting adanya relasi kekuasaan pada novel Berjuta-juta dari Deli dan Acek Botak. Kungkungan struktur yang membangun kedua novel tersebut tidak lagi sebagai hal yang harus diributkan, ataupun kemudian ditarik berbagai cara untuk mengkaji dalam konsep sastra yang otonom tersebut.
Karya-karya sastra di daerah ini mungkin terlalu banyak yang berbicara tentang protes sosial atas ketidakadilan majikan (tuan) terhadap buruh, terutama jika mencermati praktik dehumanisasi di perkebunan. Sayangnya, dalam studi-studi sastra kontemporer di daerah ini, terlalu sedikit yang mencoba melirik karya tersebut lewat pendekatan baru dalam ilmu sosial. Selain itu karya-karya sejenis ini telah lama dikubur oleh rezim Orde Baru karena dinilai bagian dari sebuah model gerakan politik, seperti apa yang terjadi pada karya-karya pengarang pengikut Lekra. Hal yang sama juga terjadi terhadap karya sastra etnis Tionghoa yang hilang tak berbekas sebagai akibat praktik ‘kasar’ Orde Baru.
Sastra Melayu-Tionghoa atau Sastra Indonesia-Tionghoa, seperti ditulis Irwansyah, adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir, hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.
Patut disayangkan, karena model pendekatan dalam kritik sastra di daerah ini masih percaya kepada struktur karya yang mengakibatkan banyak karya sastra yang tidak mendapatkan apresiasi dari pembaca. Kritikus sastra -entah ada atau tidak di daerah ini- terperangkap kepada satu model yang keliru, yakni melihat karya hanya dalam batasan karya sebagai bentuk yang otonom. Kekeliruan ini akibat studi sastra yang juga keliru dalam menerjemahkan perkembangan teori sastra di Indonesia.
Penilaian karya sastra tidak berhenti hanya pada persoalan layak atau tidaknya seorang redaktur media cetak menilai sebuah karya. Sayangnya tulisan Raudah Jambak keliru menafsirkan pemikiran saya tentang apa itu ‘teori kritis’ dan ‘kritik teoritis’. Teori kritis memandang sastra dengan konsep antiotonom, sedangkan kritik teoritis merupakan model kritik terhadap karya sastra dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tidak ada hal yang krusial ketika seorang redaktur media cetak menjadi penilai karya sastra, akan tetapi konsep yang saya maksud adalah peranan ‘orang luar’ terutama mereka yang selalu mengaku sebagai kritikus sastra di daerah ini untuk tidak terkungkung dengan metode pendekatan yang sudah kadaluarsa alias ketinggalan zaman.
*) Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU /08 Apr 2012
0 comments:
Post a Comment