Pesan Chairil untuk Lelaki Patah Hati
Posted by PuJa on July 29, 2012
Eko Hendri Saiful *
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
(Senja Di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)
Seorang gadis yang bernama Sri Ayati telah membius Chairil hingga ia larut dalam keteduhan cinta yang membawanya dalam kedukaan. Dan salah satu kedukaan yang dialaminya, terangkum dalam makna-makna puisi Senja Di Pelabuhan Kecil. Pelopor angkatan 45 ini telah menuntun kita untuk memberi makna cinta lewat karyanya yang ditulis dengan puncak permenungan hati.
Seperti penggalan bait puisi di atas yang berjudul Senja Di Pelabuhan Kecil. Sebuah puisi yang telah mengantarkan Chairil ke alam kedewasaan. Sekalipun kenangan pahit yang dimunculkan lewat sosok Sri Ayati masih begitu lekat dalam roh puisi. Namun, puisi ini akan selalu hidup dalam jiwa para lelaki yang dirundung patah hati. Sekaligus menjadi inspirasi untuk membangkitkan kembali kesegaran jiwanya.
Seperti pesona molek bunga melati, cinta itu terlukiskan dengan aroma keindahan. Namun, memahami ungkapan Maria Teguh bahwa sesungguhnya keindahan itulah yang akan menjelma menjadi penderitaan. Seperti para lelaki yang sedang mengalami patah hati. Merasa hidup kesendirian dan dekat dengan tali penggantung diri. Pandangan matapun menjam ketika harus berjumpa dengan sosok yang bernama perempuan. Seakan-akan musuh paling ditakuti yang membawa busur dengan anak panah paling tajam.
Puisi Senja Di Pelabuhan Kecil, sebuah puisi ratapan kepatahhatian seorang pemuda asal Pulau Sumatra yang bernama Chairil Anwar. Puisi yang penuh dengan aroma luka karena ketidakmampuan dalam menaklukkan hati Sri Ayati. Bait-baitnya terisi sebuah keputusasaan yang mendera laki-laki ketika tergores oleh pisau penolakan. Pisau yang yang selalu ditakuti oleh para lelaki.
Di sisi lain, Senja Di Pelabuhan Kecil telah membantu kesuksesan Chairil dalam mengarungi dunia seni (sastra). Lewat Karyanya yang berwujud lukisan indah persetubuhan bahasa dan makna, Chairil telah meninggalkan pesan mendalam bagi manusia yang benar-benar memahami makna etika dalam sastra. Hingga ia, dengan puncak ketermasyurannya diakui sebagai seorang sastrawan sejati sepanjang masa. Dan hingga kini sosok Chairil Anwar seakan-akan masih hidup dengan mendampingi kita dan hadir dalam roh dan tubuh karya-karyanya.
Beberapa bulan yang lalu saya bertanya pada dosen saya pada waktu jam kuliah. Saya bertanya tentang cara dan kondisi yang tepat untuk menulis. Lalu dengan bijaksana dosen, juga seorang pengolah kata mengatakan bahwa menulis bisa dalam kondisi apapun, dimanapun, dan dengan cara apapun. Baik sedang dalam kondisi berduka maupun sedang bahagia. Entah kita sedang menetaskan air mata maupun sedang mengumbar senyumnya. Namun, dia juga mengatakan bahwa jika benar-benar memiliki keinginan untuk menulis, maka kita harus rajin mencari masalah. Dan masalahlah yang akan menjadi stimulus hati dan pikiran kita sehingga tangan kita bergerak dan mampu menggerakkan pena. Lalu bagaimana caranya mencari masalah?
Salah satunya adalah dengan melukai hati kita. Karena hati yang terluka bisa menyadarkan kita mengenai hakikat manusia seutuhnya. Tuhan tidak akan menciptakan kebahagian tanpa disiapkan kesedihan.dan sebetulnya kesedihan dan kebahagiaan itu sangat tipis bedanya. Selain, hati yang terluka juga mampu menggertak eksistensi kita sebagai Khalifah Fil ardl.
Namun, disisi lain hati yang terluka juga mampu menggugah manusia untuk terus berjuang menggapai cita-citanya. Karena hati yang terluka merupakan proses yang wajib ada dalam dunia kepenulisan. Kita mau menulis maka kita membutuhkan masalah dan kita pun harus mencari-cari masalah.
Penulis buku, Mereka bilang aku monyet, Djenar Mahesa Ayu, pernah mengatakan bahwa modal seorang penulis adalah luka. Intinya jika kita mau menulis harus banyak melukai diri kita sendiri. Djenar juga mengatakan bahwa rata-rata orang tidak bisa menulis karena beberapa hal. Salah satunya karena tidak memiliki masalah.
Albert Einsten, dulu semasa kecilnya adalah seorang anak yang biasa bahkan memiliki rata-rata pemikiran di bawah teman-temannya. Hampir setiap hari di selalu mendapatkan ejekan dari teman-temanya. Dan ibunyalah yang satu-satunya orang saat itu membelanya. Dia telah mengubah ejekan hatinya menjadi sebuah energi positif yang membuatnya dikenang sebagai ilmuan sepanjang masa. Dia terlahir dari hati yang terluka akibat ejekan teman-temannya.
Setiap teks maupun koteks, dalam deretannya selalu mengandung makna dan konteks yang berbeda beda. Teks itu hanya mampu kita tafsirkan dengan jalan membuka hati dan pikiran. Begitu pula seharusnya kita menjalani kehidupan. Karena seorang Chairil telah berpesan pada kita, bagi para lelaki patah hati, untuk hidup dengan keberanian dan keyakinan selama seribu tahun lagi. Terpenting seberapa besar ketabahan kita menjalani proses hati yang terluka. Karena seorang lelaki yang patah hati, seorang lelaki yang beruntung . Lelaki yang diberikan kesempatan untuk memilih hati yang lain.
Eko Hendri Saiful, Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) STKIP PGRI Ponorogo.
0 comments:
Post a Comment