Pages

Saturday, 15 September 2012

Sastra Sunda dan Kendala Kebangkitannya


Sastra Sunda dan Kendala Kebangkitannya
Posted by PuJa on August 28, 2012
Linda Sarmili
Suara Karya, 25 Agus 2012

Dalam rangka mengaktualisasikan kembali sastra dan bahasa Sunda – yang selama ini dinilai terancam punah – digelarlah baru-baru ini Kongres Bahasa dan Sastra Sunda di Cibulan, Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Kongres tersebut menghadirkan sejumlah pemerhati sastra dan bahasa Sunda dari seluruh daerah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, juga hadir komunitas masyarakat pecinta sastra dan bahasa Sunda dari berbagai daerah. Hadir dalam kesempatan itu pengurus lembaga sastra dan bahasa Sunda, juga budayawan sekaligus praktisi bahasa Sunda Ayip Rosidi.
Dibuka secara resmi oleh pejabat terkait dari Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasiskan Seni Budaya, Drs Syamsul Lussa, kongres tersebut langsung menghangat dengan bermunculannya sejumlah pertanyaan yang tendensius.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain berbunyi: “Bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu warga Jawa Barat, kini terkesan dilupakan oleh warga Jawa Barat sendiri. Bagaimana pemerintah mengatasinya?”
“Kenapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkesan tidak peduli dengan beragamnya keluhan masyarakat mengenai ancaman punahnya bahasa Sunda”
“Di sekolah tingkat dasar pun pengajaran bahasa Sunda sudah semakin jarang dilakukan. Yang justru marak dan menjadi kebangaan anak-anak adalah jika mereka diajarkan bahasa Inggris. Akibatnya bahasa Sunda benar-benar dikucilkan oleh warga Jawa Barat sendiri.”
“Kenapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak peduli dengan usaha-usaha memajukan Sastra Sunda?”
Adalah Syamsul Lussa yang kemudian mengaku kaget dan prihatin mendengar munculnya ancaman yang bisa membelenggu kelangsungan hidup bahasa Sunda.
“Sebagai komunitas masyarakat yang luas penyebarannya, banyak pula populasinya di sekitar Jawa Barat dan sekitarnya, sepantasnya bahasa Sunda tetap dilestarikan. Lembaga-lembaga pendukung kelangsungan hidup bahasa Sunda juga harus tetap dihidupkan. Semua itu perlu mengingat bahasa Sunda merupakan bagian dari aset bangsa. Bahasa Sunda tidak saja merupakan ikon kebanggaan masyarakat Jawa Barat, tetapi juga bagian dari kebangaanmasyarakat Indonesia seutuhnya,” ujar Syamsul Lussa.
Karena itu, Syamsul Lussa mendukung semua usaha yang dilakukan masyarakat agar bahasa Subda tetap dilestarikan. Jika pada saat ini dirasakan sendiri oleh masyarakat Sunda bahwa bahasa Sunda sudah terancam punah, maka segala penyebabkan yang memungkinkan punahnya bahasa Subda dari muka bumi nusantara ini, semua warga Jawa Barat harus memeranginya.
Penegasan Syamsul Lussa itu disambut baik oleh jajaran pengurus lembaga bahasa dan Sastra Sunda. Yayat Hendayana dari lembaga bahasa dan sastra Sunda misalnya mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat jangan lagi bersikap acuh, tidak peduli, atas ragam usulan masyarakat yang prihatin melihat bahasa dan sastra Sunda makin terpinggirkan.
“Coba cermati pengajaran bahasa Sunda di tingkat SD. Hampir di seluruh SD di Jawa Barat tidak ada lagi pelajaran bahasa Sunda. Guru bahasa Sunda bahkan tidak pernah diperbarui sejak lama. Akibatnya, bahasa Sunda menjadi pelajaran yang asing di kalangan anak-anak SD di Jabar,” ujar Yayat.
Mantan Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Barat itu mengusulkan Pemda Provinsi bersikap aktif, kembali melakukan penekanan agar kurikulum pengajaran bahasa Sunda diaktifkan kembali. Pelajarran bahasa Sunda, kata Yayat Hendayana, harus dibangkitkan kembali sejak anak-anak di bangku Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar hingga sekolah menegah atas.
“Saya juga mengusulkan Pemprop Jawa Barat secara rutin mengangkat tenaga guru khusus untuk mata pelajaran bahasa Sunda, baik untuk di tingkat SD maupun sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selama ini karena keterbatasan tenaga pengajar bahasa Sunda, akibatnya banyak sekolah mengganti pelajaran bahasa Sunda dengan pelajaran bahasa Inggris,” lanjut Yayat Hendayana.
Beberapa guru dari sejumlah sekolah dasar, dan sekolah lanjutan manggut-manggut saja manakala usulan Yayat Hendayana itu didiskusikan. Menurut Rohmat Mutaqien, salah seorang guru SD dari Bogor, pengajaran bahasa Sunda di sekolah tempatnya mengajar memang sudah lama hilang. Pelajaran bahasa Sunda yang sebelumnya rutin diajarkan setiap minggu sebanyak 6 jam kini diganti dengan pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Penyebab semua itu, karena guru bahasa Sunda tidak ada.
Minat anak-anak mendalami bahasa Sunda, khusus di kawasan kota Bogor juga sudah sangat menipis. “Mereka bahkan mengaku tidak punya kebanggaan dan apresiasi yang baik setiap diberikan pendidikan bahasa Sunda. Bisa begitu, mungkin karena tenaga pengajarnya yang tidak ada, juga karena literatur kebahasaan Sunda yang relatif sulit didapatkan,” ujar Rohmat.
Jadi, bila ada usaha membangkitkan kembali bahasa dan sastra Sunda, Rohmat mengusulkan agar pihak terkait sekaligus menghidupkan perpustakaan bahasa Sunda yang di dalam perpustakaan itu juga terdapat literatur sastra Sunda. Tenaga pendidik khusus untuk bahasa Sunda juga harus diangkat lagi dan disebar ke seluruh Jabar.
Ayip Rosidi, budayawan, sastrawan yang juga pengamat kebahasaan Sunda menilai, tidak ada kata terlambat untuk membangkitkan lagi bahasa dan sastra sunda. “Jujur saya sedih melihat perkembangan yang merosot dalam pembinaan bahasa Sunda. Tapi, tidak ada kata terlambat jika Pemerintah Daerah memang masih punya keinginan membangkitkan lagi pembinaan bahasa Sunda.
Sebagai warga Sunda, saya memang selalu ingin melihat bahasa Sunda bagus pembinaannya. Sekarang pembinaan bahasa Sunda merosot tajam. Bahkan banyak anak-anak yang lahir di tatar Sunda tidak paham bagaimana bertutur sopan dan enak mengenai bahasa ibunya. Padahal nenak moyang banyak generasi muda di Jawa Barat sekarang adalah asli Sunda,” jelas Ayip Rosidi.
Jadi, apa usul kang Ayip untuk mengatasi hal itu? “Yah serahjkan saja sama orang-orang di DPRD Jabar dan para penguasa di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat untuk menanganinya. “Saya sudah capek usul, usul, usul trus, tapi pemerintah daerahnya emang Torek! Pura pura tidak mendengar,” ujar Kang Ayip yang pernah lama menjadi dosen mengenai kebudayaan Indonesia di Jepang. Ayip Rosidi juga mengingatkan, jika Pemprov Jabar benar-benar berniat membangkitkan lagi bahasa dan sastra Sunda, semua itu karena diamanatkan dalam aturan kependidikan yang ditetapkan lembaga pendidikan dunia (Unesco): bahwa pendidikan bahasa ibu wajib diajarkan kepada anak-anak usia SD di setiap daerah. Kalau Pemrov Jabar tidak menghiraukan hal itu, sama artinya pemerintah daerah Jabar mengangkangi aturan Unesco.
Bagaiaman dengan dunai sastra sunda? Menurut Ayip Rosidi, sastra Sunda masih lebih bagus pertumbuhannya, sekalipun di sekolah-sekolah di Jabar juga sudah relatf susah mendapatkan penghajaran khusus mengenai sastra Sunda kepada muridnya. Namun demikian, pembinaan sastra Sunda tetap jalan, meski dilakukan secara perseorangan oleh beberapa sastrawan Sunda.
Ayip Rosidi juga rutin menjalankan kegiatan “Rancage”, ajang pemberian penghargaan khusus kepada para sastrawan Sunda, sastrawan yang menelurkan karya-karya sastra terbaru dalam bahasa Sunda.
Semoga usaha yang dilakukan Ayip Rosidi dan komunitas sastrawan Sunda lainnya tetap bisa melestarikan sastra Sunda. ***
Dijumput dari: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=309891

0 comments:

Post a Comment