Pages

Wednesday, 3 October 2012

Ekapisme Dalam Politik Sastra


Ekapisme Dalam Politik Sastra
Posted by PuJa on October 3, 2012
Happy Ied Mubarak
Radar Banjarmasin, 26 Agu 201

Banjarbaru semakin digadang-gadang menjadi kota kebudayaan dan kesustraan. Saya percaya benar bahwa meski publik sastra Banjarbaru mungkin tidak lebih baik daripada di kota dan kabupaten lain di Kalimantan selatan tetapi setidaknya kota ini punya inisiatif dan dukungan infrastruktur yang relatif lebih siap dibanding kota dan kabupaten lainnya, meski harus saya akui saya tidak banyak mengetahui dinamika kesusastraan di kota-kota yang dimaksud.
Ada berbagai konsep yang telah, sedang, dan akan siap-siap untuk digagas untuk ditampilkan di panggung bundar Mingguraya setiap bulannya. Dari yang konvensional, sekadar baca puisi, duet, bermonolog dll hingga ekspresi sastra kontemporer sampai ke beyond innovation seperti tarung puisi. Yang terakhir ini konon murni kreasi dari maestro kita, Ali Syamsudin Arsy (ASA). Kalau di TPI ada tarung dangdut, kenapa di Mingguraya tidak boleh ada tarung puisi? Di luar dari pro kontra tentang hukum-hukum estetikanya, tarung puisi mungkin akan menjadi salah satu master piece ASA, selain gumam tentu saja.
Alhamdulillah, saya yang tidak memiliki wawasan tentang puisi kecuali keterlenaan tak putus-putus akan keindahan universalnya yang bernama sastra, sempat satu kali membacakan puisi milik pak Hamami Adaby. Waktu itu, Hudan Nur – si Pipit kecil itu – menembak dari belakang pentas. Sebelumnya ia juga membidik sahabat saya yang terkasih –Sandi Firly – untuk “membacakan sesuatu, apa saja.” Redaktur sastra Media Kalimantan dan novelis pilihan ubud writers itu menyesal kemudian, “Seandainya tahu, saya bacakan kepada mereka bab awal dari novel The Kite runner-nya Hosseini.” Kini Sandi tumun. Dia katanya bersiap untuk membacakan puisi pada pentas panggung bundar ke depannya. Dengan semangat Ied Mubarak ini, dia jelas mulai berniat merintis karir menjadi penyair. Amin ya Robbal Alamien…
Yang terbaru, tanggal 24 nanti panggung Mingguraya akan meminjam tema dari isu yang actual tentang Rohingya. Dalam dunia yang multipolar hal ini menarik karena persilangan garisnya terlalu bias. Tetapi bukankah justru karena itu dia menarik? Sesuatu yang sedang terjadi jauh melintasi batas geografi, suku, ras, budaya, sedang dilawan oleh sesuaatu lainnya (yang romantis) di sebuah tempat yang terpisah ribuan kilometer. Oleh puisi pula. Ilmu rekayasa sejarah dan politik internasional jelas mengalami kegagapan intelektual membaca fenomena ini.
Saya percaya apapun bentuknya pembacaan puisi itu nantinya menjadi semacam doa atas tregadi kemanusiaan. Nurani para seniman, penyair, sastrawan, yang sangat peka, tidak akan membiarkan kekejaman terjadi kepada sesama manusia. Mungkin akan ada tarung puisi untuk mengartikulasikan perjuangan imanen di hati masing-masing. Betapa kita semua ini jika diijinkan sangat gatal untuk bertarung melawan pemerintahan otoriter di Myanmar untuk membela saudara-saudara kita.
Di saat Banjarbaru telah melangkah jauh dengan ide-idenya tentang tarung dangdut dan -mungkin saja- sastra perlawanan lewat panggung-panggungnya yang dinamis, riuh dan revolusioner, nun jauh di ibu kota sastra sedang bergelut dengan permasalahan yang sungguh serius. ASKS Banjarmasin tahun ini berlangsung dengan kabar tak mengenakan. Saya membaca beberapa artikel dan juga maklumat. Dan menanyakan hal ini kepada beberapa teman. Rata-rata mereka mengatakan lebih baik tidak berkomentar apapun. Saya tidak tahu kenapa harus begitu. Salah seorang Begawan sastra yang saya temui juga menghindar untuk menuliskan isu ini karena flaming dan “terlalu rawan.”
Saya tidak tahu kenapa bisa rawan. Karena informasi yang saya baca sangat gamblang. Dan dituliskan dengan sangat sadar. Ada pihak yang mengundurkan diri karena sesuatu dan lain hal. Itu bukanlah hal baru. Dan “ sangat wajar” terjadi bagi dunia kesustraan kita yang belum bisa mendapatkan identitas dari miskinnya modal kultural pemerintah untuk menjadikan sastra sebagai misalnya, satu aspek penting dari pembangunan daerah. Apa yang berlangsung selama ini hanyalah edisi dari ketidakberdayaan dan lemahnya bargaining sastra dan sastrawan untuk mengambil tempat di tribun lapangan rekayasa sejarah yang disana dimainkan politik, kekuasaan, kepentingan dan uang. Para sastrawan hanyalah supporter haram yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dan dipentungi kapan saja oleh kebijakan-kebijakan atas nama birokrasi dan keamanan resmi pertandingan.
Ironisnya, kubu-kubu antar supporter tak hanya membuat sastra semakin tidak diuntungkan posisinya, tetapi juga membuat segalanya makin kabur dan tidak terjelaskan. Tidak jelas yang mana lapangannya yang sedang main siapa, supporter mana duduk di tribun apa, yang mana stadion untuk para pemain cadangannya yang tidak mengerti apa-apa dan sebagainya.
Mungkin itu hanya semacam dialektika. Sekadar kompromi. Bahwa romantisitas sastra tidak selalu harus dihidupi dengan idealisme serupa. Di sisi lain, kelemahan tidak bisa dicanggih-canggihkan dengan gagasan patriotis tentang “penyelamatan sastra atau ASKS.” Bahwa “lebih baik sedikit daripada kada ada.” Mereka yang telah telanjur mengirim naskah untuk lomba dan naskahnya telah ketlingsut tanpa tahu kemana mereka bisa menuntut hanya bisa merutuk. Sementara kepanitian transisi pemungutak karcis tak menyisakan seusap tenggang rasa sedikitpun kepada mereka untuk masuk dalam stadion. Di saat kita sedang menerapkan sejenis belas kasihan kultural kepada saudara-saudara kita yang jauh di negeri Rohingya, kenapa kita tidak mengimplementasikannya melalui perlawanan yang jelas dan lebih berharga diri di tanah kita sendiri?
Ketika menyadari jawabannya, saya makin sedih : Justru karena kita tidak bisa mengambil peran sentral untuk membebaskan sastra kita sendiri dari ketergantungan modal lalu akhirnya lebih baik menolehkan wajah ke negeri-negeri yang jauh dengan tema-tema yang abstrak?
Dijumput dari: http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/Budaya%20dan%20Sastra/34023

0 comments:

Post a Comment