Pages

Saturday, 31 December 2011

Sekilas “Riwayat Negeri Debu”


Sekilas Riwayat Negeri Debu
Oleh Yopi Setia Umbara

Ketangkasan Jefta H. Atapeni dalam merekonstruksi pengalaman juga kedalaman pengetahuan, membuat puisi-puisinya begitu kaya referensi dan tentu saja nikmat untuk dihayati. Dalam antologi puisi Riwayat Negeri Debu (Kiara Publishing, 2011) ia menunjukan pula bagaimana keintimannya dengan bahasa. Kelihaiannya memadukan pengalaman dan kemampuannya berbahasa, menjadikan puisi-puisinya bukan sekadar pengalaman yang ditulis ulang. Melainkan, menjadi sebuah karya yang memiliki nilai estetis.
Di dalam setiap pengalaman Kakak Jefta yang kemudian berbunga puisi, ia menyuguhkan renungan-renung
an tentang kehidupan. Pada setiap aku lirik dalam puisi-puisinya ia menimbang hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tentu saja manusia dengan Tuhannya. Sehingga setiap pengalaman tersebut tampak sebagai kesadaran aku lirik sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan yang taat.

Seperti dalam puisi “Lanskap Hidup” (hal. 87) Kakak Jefta mencurahkan kegelisahan hidup manusia hidup laksana laut yang terbentang di mata/beriak, bergelora menerpa semua perahu/ dengan segala daya berlayar mencari hawa kedamaian//…di tengah laut semakin gelap dan pekik bergelora/ perahu-perahu terus berlayar/jala yang dilepas adalah doa dan mantra, iman dan sihir/dan matahari tinggal symbol untuk aku baca dan terka/dengan mata tertutup dan bibir terkatup…//…pada matahari yang padam, laut yang gelap/saat risau ini membatu/aku temui semua dunia lain dalam hymne dan wahyu:/bila tiba waktunya aku pun kembali berlabu/pada dermaga awan di tanganNya.
Pada puisi tersebut Kakak Jefta mengilustrasikan hidup laksana laut dengan manusia hanya sebagai bagian paling kecil dari sebuah kehidupan yang begitu luas. Aku lirik dalam puisi ini menunjukan pula kesadaran sebagai bagian kecil dari laut yang dilayarinya. Maka, dari kesadaran itulah, aku lirik pada “Lanskap Hidup” senantiasa berserah atas hymne dan wahyu. Sehingga bila tiba waktunya aku lirik akan kembali berlabu (mungkin maksudnya berlabuh) padaNya.
Selain kesadaran pada persoalan pokok manusia, Kakak Jefta juga menonjolkan sensitivitasnya sebagai penyair pada hal-hal yang eksotis dan misteri. Pada beberapa puisinya dapat dilihat bagaimana Kakak Jefta seringkali tersentuh oleh eksotisme sebuah tempat, atau sesuatu cerita di balik sebuah tempat yang pernah ia singgahi pada suatu waktu. Di mana bagi setiap penyair, sebuah tempat yang eksotis adalah berkah baginya untuk menciptakan karya. Atau, dengan kata lain, puisi selalu tiba-tiba mendatanginya dari tempat-tempat demikian.
Misalnya, pada puisi “Requiem Pantai Ketapang”, “Labirin Kota Karang”, atau bahkan pada puisi “Di Gunung Tengkorak”. Pada puisi-puisi tersebut, Kakak Jefta bukan hanya mengilustrasikan suasana tempat-tempat tersebut bagi pembaca, tapi lebih dari itu, sebagai penyair ia tampak mencoba berkomunikasi dengan lanskap, ruang, dan waktu di mana puisi hinggap padanya. Lantas setiap kata-kata yang tersusun dalam baris-baris puisinya menjadi refleksi bukan lagi sebatas impresi.
Di balik itu semua, pada sebagian puisi-puisinya tampak pula bahwa Kakak Jefta adalah penyair yang melakolis dan romantis. Kelembutan kata-kata khas para pecinta dapat dibaca pada puisi “Ziarah Puisi, Pengantin Hujan”, “Risau Alam Pegunungan”, atau “Kepada Langit Kepada Cahaya”. Tentu saja, bahwa puisi-puisi itu tidak sekadar ekspresi rasa cintanya pada arti yang sempit, akan tetapi suatu ekspresi cinta yang bermakna lebih luas. Walau, barangkali latar belakang puisi itu tercipta disebabkan adanya sosok-sosok tertentu.
Selain itu, Kakak Jefta juga tampak cukup gigih menciptakan puisi-puisi yang berdasarkan pada sejarah, cerita rakyat, atau sebuah legenda. Kegigihan seperti demikian tentu saja sangat menarik. Bahkan, Goethe sekali pun terpengaruh oleh teori Herder mengenai volkslied (lagu/puisi rakyat), sehingga membuat Goethe begitu terbuka pada kebinekaan khazanah sastra, pada semua genre, dan pada sastra semua bangsa.
Puisi “Mata dan Menara Kebebasan”, “Tragedi 1943”, atau “Cerita Lain Tentang Batu Badaun” adalah beberapa puisi yang berlatar belakang cerita rakyat, sejarah, dan legenda yang disajikan ulang dalam puisi oleh Kakak Jefta. Di mana dalam puisi-puisi tersebut, tentu saja diberikan sentuhan imajinasi. sehingga, puisi-puisi tersebut bukan jadi sekadar sebagai cerita yang ditulis ulang. Melainkan, menjadi sebuah karya yang menawarkan pemaknaan lain.
1. Sekilas Riwayat Negeri Debu, pengantar peluncuran antologi puisi Riwayat Negeri Debu karya Jefta H. Atapeni, disampaikan di Hall B Gd. FPBS UPI, Bandung, 7 Desember 2011

0 comments:

Post a Comment