Pages

Tuesday, 31 January 2012

Cerpen "KADO SPESIAL"


KADO SPESIAL
Posted by PuJa on August 23, 2008
AS Sumbawi

Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah genap lima tahun. Dan selama itu, kehidupan rumah tangga kami bisa dikatakan berjalan lancar. Percekcokan kecil mungkin biasa. Tapi, percekcokan hingga menyebabkan Hamidah sampai pulang ke rumah orang tuanya, kupastikan belum pernah. Menurutku, keadaan ini disebabkan aku sangat mencintainya. Begitu pula sebaiknya.
Kami menikah dijodohkan oleh orang tua kami. Sebelumnya kami belum saling mengenal. Saat itu, umurku dua puluh empat tahun. Suatu hari, Bapak memanggilku. Di atas punggung kasur kamarnya, ia terbaring sakit. Wajahnya tampak lelah. Namun, sinar matanya menunjukkan kebahagiaan yang tercipta dari ketabahannya. Di tangannya, jalinan tasbih berputar perlahan-lahan oleh jari-jarinya yang bergerak lemah. Kata dokter, Bapak terserang kanker darah. Sementara Bulik Min, duduk di sampingnya.
“Kemari, anakku,” kata Bapak tersenyum melihatku datang. Aku mendekat. Kulihat Bulik Min membantunya untuk duduk bersandar pada kayu ranjang yang berukir. Kemudian pamit pergi. Dalam hati aku menyangka ada sesuatu yang penting yang akan dikatakan oleh Bapak.
“Duduklah.”
Ia diam sejenak sembari tersenyum padaku.
“Kau sudah besar, anakku. Kau juga sudah sarjana sekarang. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat”, ia berhenti sejenak. “O, ya, Bapak minta maaf. Bapak tidak bisa hadir pada wisudamu.”
“Tidak apa-apa, Bapak. Sekarang ini, kesembuhan Bapak adalah
kebahagian terbesar bagi saya.”
Ia mendesah pelan dengan tetap tersenyum. Sementara jalinan tasbih
di tangannya terus berputar. “Tidak, anakku. Kau sendiri tahu tentang sakit Bapak ini. Kata dokter, Bapak hanya bisa bertahan paling lama satu bulan lagi.” Bapak diam sejenak.
“Tapi, manusia pasti kembali kepada-Nya. Entah, kapanpun itu. Siapa pun manusia tak bisa mengelak ketika maut datang menjemput. Dan akhir-akhir ini, aku merasa Emakmu menginginkan agar aku segera menyusulnya ke alam sana.”
Tiba-tiba aku teringat Emak. Tiga tahunan yang lalu ia meninggal dunia. Saat itu, aku merasakan bahwa kami akan sangat kehilangan. Seorang ibu dan seorang istri yang begitu baik. Kehidupan keluarga yang begitu hangat. Aku tahu sebagaimana aku, Bapak sangat sedih ditinggal Emak. Ya, bagi seorang laki-laki seperti Bapak, anak dan istri merupakan belahan jiwa, kesayangannya. Memang keduanya mempunyai tempatnya sendiri-sendiri. Tapi, di situlah letak kesempurnaannya.
Setelah ditinggal Emak, dalam beberapa kesempatan ketika aku pulang ke rumah, sering kudapati Bulik Min menasehati Bapak untuk menikah lagi —karena waktu itu usia Bapak masih belum terlalu tua— juga dengan diam-diam berusaha mencarikan calon istri. Aku sebenarnya tak keberatan jika Bapak menikah lagi. Namun, Bapak tak berminat. Dan suatu hari, barangkali karena saking seringnya terlontar nasehat dari Bulik Min, Bapak dengan tegas memintanya untuk menghentikan usahanya. Mencarikan pengganti Emak. Saat itulah aku menyadari bahwa Bapak sangat mencintai Emak. Ya, begitu pula sebaliknya. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah ini yang disebut dengan pernikahan dunia sampai akherat”
“Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, anakku,” katanya. Sebentar kuangkat wajahku menatap matanya tanpa berkata apa-apa.
“Kau adalah satu-satunya anakku yang masih hidup. Dan sebelum aku menyusul Emakmu, juga saudara-saudaramu, aku ingin melihat kau menikah.”
Aku tersentak. Namun sebelum sempat berbicara, Bapak sudah mendahului. “Dengarkan dulu,” katanya kemudian ia meminta untuk memanggil Bulik Min.
***
Dari Bulik Min aku tahu bahwa Bapak dan Bulik Min dengan diam-diam telah mencarikan calon istri bagiku. Dia anak gadis teman Bapak, namanya Hamidah. Bulik Min meyakinkan aku bahwa Hamidah adalah anak yang baik dan sopan. Hormat pada orang tua. Meskipun hanya lulusan madrasah setahun yang lalu, dia tergolong gadis yang cerdas.
“Semuanya tergantung padamu, San. Tapi, kau tak boleh membuat keputusan sebelum bertemu dengannya,” katanya.
“Kapan?”
“Lusa. Dan aku yakin kau akan tertarik kepadanya. Karena aku yakin bahwa Hamidah memang diciptakan untuk dirimu.”
***
Memang aku tak pernah menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis. Kecuali pertemanan biasa. Tapi, aku tak terlalu bodoh jika disuruh menilai tentang mereka satu-persatu. Jika saat itu aku menjalin hubungan khusus dengan seorang gadis teman kuliah, maka barangkali aku akan mengabaikan Hamidah demi dia. Ya, aku akan memilih calon istriku sendiri. Tak perlu sampai harus dicarikan oleh orang tua.
Sore itu Bulik Min bertanya tentang keputusanku. Entah kenapa, aku segera mengiyakannya tanpa berdebat terlebih dahulu. Dalam hati, aku merasakan ada sesuatu yang menyuruhku untuk menuruti keinginan Bapak. Yang terakhir kali sebelum ia meninggal dunia. Apakah ini yang disebut pengorbanan seorang anak” Ah, kenapa aku harus berkorban begitu besar. Menyerahkan hidupku untuk hidup bersama dengan seseorang yang belum kukenal. Dan tak bijak kiranya jika orang tua menuntut pengorbanan dari anaknya untuk kebahagiaannya sendiri.
Tiba-tiba terlintas dalam kepalaku tentang kedua orang tuaku yang begitu menyayangiku. Memberikan segala yang terbaik bagiku. Mereka juga selalu mengabulkan segala keinginanku yang menurut mereka memang baik bagiku.
Dulu, ketika aku baru saja lulus dari SMA, aku mengatakan kepada mereka bahwa aku ingin kuliah di luar kota. Pada mulanya Emak tidak mengizinkanku, dengan alasan rasa sayangnya kepadaku yang membuatnya tak tega melepaskan diriku berpisah darinya. Namun, aku tetap berkeras. Akhirnya Emak memberikan izinnya.
Sebenarnya, bisa saja aku berkata; tidak. Dan jika demikian, aku yakin setelah itu Bulik Min akan datang lagi kepadaku dengan calon istri baru. Tentu saja terlebih dahulu harus melewati persetujuan Bapak. Karena Bapak telah mengganggap aku telah siap untuk menikah, selain keinginannya sebelum meninggal dunia, maka, bukan hal yang main-main untuk menetapkan langkah selanjutnya. Tapi, aku tidak melakukan hal itu. Barangkali karena hal ini juga yang membuatku mengiyakannya adalahk ketika dipertemukan dengan Hamidah, aku merasakan ada sesuatu yang menarikku kepadanya. Entah, apa itu. Apakah cinta?
***
Hari itu kami berkumpul, membahas kehidupan keluarga. Tujuh hari yang lalu Bapak meninggal dunia. Namun, dia sempat melihat aku duduk bersama Hamidah di pelaminan. Bahkan dia cukup lama bertahan dari waktu yang diperkirakan oleh Dokter.
Dalam kesempatan itu, aku sebagai ahli waris mengajukan pendapat bahwa biarlah Bulik Min dan suaminya yang mengurus usaha-usaha milik Bapak seperti sebelumnya. Juga tinggal di rumah ini. Ya, Bapak memang orang kaya di daerah kecamatan yang terpencil ini. Sudah pergi haji tiga kali. Barangkali juga terkaya. Ia mempunyai sawah di mana-mana, perkebunan jati, penggilingan padi, toko pertanian, dan sebagainya. Dan aku masih ingin melanjutkan kuliah lagi di luar kota.
***
Sudah lima tahunan ini aku menikah dengan Hamidah. Pada mulanya, aku ragu, apakah aku benar-benar mencintai Hamidah? Atau ini terjadi gara-gara sikap kompromiku sehingga aku mau menikah dengannya? Namun, akhirnya aku tahu bahwa aku memang benar-benar mencintainya. Saat itu, tiba-tiba aku teringat perkataan Bulik Min; bahwa Hamidah
diciptakan untuk diriku.
Memang aku tahu, Hamidah juga mencintaiku. Namun, aku sering terganggu dengan cintanya itu. Aku melihat ada pengorbanan yang terasa lebih besar di dalam cintanya. Penghormatan seorang wanita kepada suaminya yang lebih besar dari cinta yang wajar. Dia juga sangat menghormati orang tua. Dulu, ketika Bapak masih hidup. Hamidah menggantikan Bulik Min, mengurus Bapak yang sedang sakit.
Hampir tiap hari ketika aku ada di rumah, Hamidah sendiri yang mengurus segala keperluanku sehari-hari. Mulai dari menyiapkan makanan, mencuci baju, menyetrika, dan sebagainya.
“Kau seharusnya tak terlalu keras bekerja. Karena kau nyonya rumah ini. Biarlah pekerjaan seperti itu dikerjakan oleh pembantu,” kataku suatu hari. Ya, di rumah peninggalan Bapak ini, sejak semula memang banyak pembantu yang bekerja. Namun, dia mengatakan bahwa pekerjaan tersebut tidaklah terlalu berat baginya. Di samping itu, dia ingin melayani segala kebutuhanku dengan tangannya.
Karena aku merasa kasihan bahwa dia akan kecapekan dalam bekerja, maka aku membeli mesin cuci, kompor listrik, dan alat-alat modern lainnya. Namun, tak pernah kulihat dia menggunakannya meskipun dia sudah tahu cara menggunakannya.
Hampir tiap pagi ketika subuh telah tiba, dia membangunkanku. Dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air putih. Suatu kali aku pernah berkata kepadanya: “Sayang, pekerjaan seperti ini sesekali saja kaulakukan. Jangan tiap hari. Karena aku lebih suka kalau kautinggal dalam pelukanku hingga subuh akan kehilangan waktunya.”
“Tidak baik seorang wanita pagi-pagi bermalas-malasan..”,” katanya sembari tersenyum manis. Saat itu, aku melihat bahwa dia sangat cantik. Kalah bidadari-bidadari yang pernah tercipta dalam pikiranku. Segera kutarik dia dalam pelukanku.
Setahun setelah menikah dengan Hamidah, aku membeli rumah di luar kota tempat aku melanjutkan kuliahku. Dalam suatu kesempatan, aku mengajak dia pindah ke rumah itu. Juga menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikannya. Kuliah. Dalam pikiranku, aku ingin dia bersentuhan dengan dunia luar. Biar dia tahu, bahwa dunia seorang wanita tidak hanya berada di sekitar rumah. Ya, aku sadar bahwa lingkungan desa yang membesarkan dirinya, daerah yang terpencil, telah membentuk pandangan hidupnya yang tidak seimbang. Di samping itu, biar dia tidak kaget bahwa ada dunia selain dunianya. Namun, dia berkeras menolak untuk pindah. Dia juga menolak untuk kuliah. Dalam hati aku berkata sendiri, bahwa hal ini harus dilakukan dengan pelan-pelan.
Di rumah peninggalan Bapak yang cukup luas, aku menjadikan salah satu ruangan kamar sebagai perpustakaan. Dengan koleksi buku yang kubeli dan cukup banyak jumlahnya, baik itu karya penulis-penulis luar negeri maupun dalam negeri. Baik penulis laki-laki maupun perempuan. Aku berharap istriku membaca buku-buku itu. Ketika pulang, setelah mendapat gelar Magister, aku menjadi dosen, aku sering meminta bantuan Hamidah untuk membacakan buku di kamar kami, terutama karya penulis wanita seperti R.A. Kartini, Fatima Mernissi, Jane Austen, Karen Amstrong dan sebagainya.
Dengan kebiasaan seperti ini, aku berharap dalam diri Hamidah tumbuh keinginan untuk membaca, belajar, menambah wawasan. Dalam kesempatan itu, aku juga kerap meminta komentar-komentarnya. Dari situ, aku pun tahu bahwa sebenarnya Hamidah perempuan cerdas. Namun, barangkali karena rasa hormatnya kepadaku, suaminya, dia tak pernah membantah ketika dengan sengaja aku membuat perdebatan dengannya.
Meskipun Hamidah tak mau diajak pindah ke luar kota, tinggal di rumah yang telah kubeli beberapa tahun yang lalu, selama ini, ia tidak pernah menolak jika kuajak tinggal beberapa hari di rumah itu. Hampir tiap tahun ketika liburan akhir kuajak dia ke sana. Sementara selisih jarak di antara keduanya mencapai seratus enam puluhan kilometer. Sekitar tiga sampai empat jam perjalanan dengan menggunakan bus atau mobil. Seperti juga hari itu, kami berdua pergi dengan naik bus. Sebenarnya, aku mempunyai mobil yang seringkali kupakai untuk perjalanan pulang-pergi seminggu sekali. Dan jika mau, maka pasti ada sopir yang mengantar kami dengan mobil tersebut.
Tapi, aku tak mau. Karena aku hanya ingin berdua dengan Hamidah tanpa seorang pun kami kenal. Sepanjang perjalanan maupun ketika tinggal di rumah di luar kota tersebut.
Sudah tiga hari kami tinggal di sana. Kami berdua banyak menghabiskan waktu untuk berkeliling kota, pergi mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di sana. Tentu saja bukan panorama pegunungan maupun pantai. Tapi, wisata permainan elektrik. Sebenarnya, Hamidah tidak terlalu suka untuk pergi-pergi dari rumah. Namun, dia tidak bisa menolak karena aku rada memaksanya dengan berpura-pura kesal.
***
Sore itu, kami kedatangan dua orang teman semasa menyelesaikan magisterku dulu. Din dan Ratna, begitulah namanya. Mereka berdua sepasang kekasih dan sama-sama merupakan fungsionaris sebuah partai politik. Mereka kerap bepergian bersama dari kota satu ke kota lainnya. Dan sepanjang yang kuketahui, mereka belum menikah.
Dulu, semasa menyelesaikan magister, Din kuajak tinggal bersamaku di rumah itu, karena Din juga merupakan teman lamaku. Di samping aku butuh teman, aku pikir lebih baik Din menggunakan uangnya untuk keperluan lainnya daripada untuk menyewa tempat tinggal. Apalagi, dia selama ini telah membiayai hidupnya sendiri.
Sepanjang yang kuketahui, Din hanya membiayai hidupnya dari menulis. Selain itu, tak pernah kutahu dia berusaha untuk mencari pekerjaan. Hari-hari luangnya diisi dengan menulis opini, artikel, untuk kemudian dikirimkan ke media massa. Meskipun tulisannya kerap dimuat, yang juga berarti dia mendapatkan honorarium, Din kerap kekurangan uang. Dia memang boros. Namun, ketika dia terang-terang mengatakan kepadaku bahwa dia butuh uang, entah kenapa, aku selalu memberikan uang yang dimintanya. Bagiku, sejumlah uang yang kuberikan kepada Din bukanlah apa-apa. Ya, aku diam-diam mengaguminya. Aku melihat dalam dirinya ada suatu karakter yang menarik bagiku. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari aku kerap merasa jengkel dengan perbuatannya yang seenaknya sendiri, tapi aku tidak bisa untuk mengusirnya atau menjauh darinya. Ya, dia adalah laki-laki yang penuh vitalitas, tegas, berjiwa pemimpin, berwibawa. Kadang-kadang aku ingin menjadi laki-laki seperti dirinya.
Suatu hari Din memperkenalkan aku dengan Ratna. Teman satu jurusan dengannya. Mereka berdua beda jurusan denganku. Pada wilayah inilah, aku kerap merasa jengkel dengan Din, karena dia sering membawa Ratna menginap di kamarnya. Aku sendiri merasa risih dengan kelakuannya ini. Di samping itu, tidak hanya aku dan Din saja yang tinggal di rumah itu. Ada dua orang pembantu yang kutarik dari pekerjaannya di rumah peninggalan Bapak. Sudah seringkali aku menasehatinya, bahkan juga menyuruhnya untuk menikah dengan Ratna, namun Din tak menghiraukannya. Untunglah, keadaan seperti ini tidak berlangsung lama karena kebetulan beberapa bulan kemudian, Din pindah ke Ibu Kota. Dia tidak meneruskan kuliahnya. Pada awalnya aku tidak enak dengan Din. Aku merasa bahwa kepergiannya disebabkan oleh sikapku.
“Tidak, San. Aku pergi karena memang aku mau pergi. Ada seorang kawan yang merekomendasikan aku sebagai salah seorang kader pada salah satu partai politik di sana. Dan kautahu sendiri, politik adalah jalanku,” katanya.
Ya, memang demikian. Dulu, ketika masih kuliah S1, Din memang terkenal sebagai aktifis mahasiswa yang sangat progresif. Pemikiran-pemikirannya kritis. Tegas dan revolusioner. Apalagi ditambah karakternya yang menawan. Maka maklumlah, banyak di antara para mahasiswa yang mengaguminya.
Hari itu, Din dan Ratna pun pergi.
***
Dari percakapan di antara kami, aku pun tahu bahwa kedatangan Din dan Ratna ke kota ini adalah untuk menghadiri seminar yang diadakan oleh sebuah organisasi perempuan. Mereka berdua termasuk pembicaranya. Sebenarnya, malam itu mereka disediakan penginapan oleh panitia. Tapi, karena aku kebetulan ada di rumah, juga dengan istriku, maka mereka berdua memutuskan untuk menginap di rumahku. Kemudian dengan telepon selulernya mereka memberitahu kepada panitia.
“Besok, ikutlah bersama kami datang ke seminar tersebut,” kata Din kepadaku dan istriku.
***
Seminar yang membicarakan tentang peranan wanita itu selesai beberapa waktu yang lalu. Banyak yang hadir dalam seminar tersebut. Ruangan seminar penuh sesak. Sebagian besar adalah kaum perempuan. Meskipun begitu, acara seminar tersebut berjalan dengan lancar. Para pembicaranya pun sangat menarik di dalam mengulas suatu permasalahan. Namun, sepanjang aku memperhatikan, di antara para pembicara, Din yang mendapatkan sambutan paling hangat dan meriah dari para peserta. Dia masih seperti yang dulu. Bahkan lebih dari yang dulu.
Sore itu, aku dan Hamidah sudah tiba di rumah. Duduk-duduk di beranda rumah sembari menikmati secangkir kopi. Juga suasana sore yang cukup cerah. Tak lupa pula bercakap-cakap tentang seminar tadi. Sementara Din dan Ratna tidak bersama kami. Di tempat seminar tadi, mereka pamit hendak mengunjungi beberapa kenalannya.
“Kapan mereka berdua kembali ke Ibu Kota?” kata Hamidah dengan tiba-tiba. Memecah diam.
“Memangnya ada apa, sayang?”
“Ehm,”. aku ingin mengundang mereka makan malam di sini. Sebelum
mereka kembali”“ katanya perlahan.
“Ide yang bagus, sayang,” aku menyambut gembira. Sebenarnya, aku merasa cukup aneh dengan sikap istriku ini. Aku membayangkan bahwa jika kami benar-benar makan malam, maka, obrolan yang terjadi akan dipenuhi dengan persoalan-persoalan mengenai dunia aktivis dan politik. Padahal selama ini, ketika aku mengajak istriku berdiskusi tentang persoalan-persoalan tersebut, dia tampak enggan. Kalaupun selama ini dia melayani, aku masih menganggap bahwa itu tak lain adalah rasa hormatnya kepadaku. Tapi, aku senang dengan kemajuan ini. Bukankah ini yang selama ini kuharapkan dari istriku” Dan sore itu juga, aku menelepon Din. Menyampaikan undangan makan malam.
Keesokan malamnya, kami makan bersama. Istriku sendiri yang menyiapkan segalanya. Mulai hidangan pembuka, menu utama, maupun hidangan penutup. Dalam kesempatan itu, Din dan Ratna memuji istriku yang tidak hanya cantik, tapi juga pandai memasak. Bahkan dengan terang-terangan Ratna minta diajari untuk memasak.
“Boleh,” kata istriku. Benar-benar saat itu aku merasa bangga
kepadanya.
Memang benar, obrolan yang terjadi selama di meja makan sebagian besar adalah persoalan-persoalan tentang dunia aktivis dan politik. Dan aku kembali merasa bangga sekaligus kaget dengan apa yang diperbuat istriku. Ia tidak hanya lebur dalam permbicaraan tersebut, tapi juga melontarkan pemikiran-pemikiran yang cemerlang.
Setelah acara makan malam selesai, aku kemudian menyeret Din keluar menuju beranda, membiarkan istriku berbicara dengan Ratna. Aku ingin berbicara berdua dengan Din, terutama mengenai hubungannya dengan Ratna.
“Kapan kalian menikah”“
“Mungkin nanti setelah pemilu.”
“Aku pikir, sebaiknya cepat-cepat kaunikahi Ratna. Kasihan dia. Selama ini selalu setia menyertaimu ke manapun kau pergi. Kautahu, bagi seorang perempuan, kepastian, kejelasan status merupakan sesuatu yang amat penting.”
“Ya, aku tahu. Tapi, untuk sekarang ini aku belum siap.”
“Apalagi yang perlu kausiapkan?”
“Ya, banyak. Begitu banyak yang masih harus kuselesaikan. Dan untuk waktu dekat ini, pencalonanku dalam pemilu adalah konsentrasi utama,” katanya menekan suara. Ya, begitulah Din. Sementara di dalam rumah, terdengar istriku dan Ratna terlibat dalam percakapan yang terdengar cukup menarik.
***
Pagi hari, aku melihat istriku sudah berdandan rapi. Aku heran. Dia menggunakan busana muslim yang kubelikan beberapa tahun yang lalu. Dulu, ketika kusuruh untuk memakainya, dia tak pernah mau. Katanya busana muslim tersebut terlalu ketat Di samping itu, akan menjadi pusat perhatian jika dipakai pergi kondangan, atau pengajian.
“Iih, cantiknya. Mau ke mana, sayang”“
“Pergi,” katanya tanpa memalingkan dirinya dari kaca rias.
“Tinggallah di sini sebentar!” Dia tersenyum manja. Menggodaku.
“Apakah kau tidak mengajakku?”
“Tidak. Karena aku sudah ada janji dengan”.Mbak Ratna.”
“Memangnya mau pergi ke mana?”
“Tidak boleh tahu. Ini urusan perempuan.” Aku beranjak mendekatinya. Memeluknya dari belakang.
“Iiiiih, Mas Hasan. Nanti rusak semua, lho,” katanya sembari meronta
manja. Dua hari sudah, aku dibikin kaget oleh istriku.
***
Sepuluh hari kami tinggal di rumah itu, dan ini sudah melebihi rencana sebelumnya, tujuh hari. Pagi itu kami pulang ke rumah peninggalan Bapak. Sementara itu, Din dan Ratna juga kembali ke Ibu Kota.
***
“Apakah Mas masih berharap aku mau pindah ke rumah itu”“ kata Hamidah suatu malam ketika liburan akhir semester tinggal beberapa hari lagi.
“Kenapa? Kau ingin tinggal di sana?”
“Ya, itu kalau…”
“Tentu, sayang. Aku sangat mengharapkan hal itu. Bersamamu setiap hari.”
***
Tiga bulan sudah kami tinggal di rumah itu. Dan aku senang dengan perubahan yang terjadi pada diri istriku. Dia tidak seperti yang dulu ketika masih tinggal di rumah peninggalan Bapak, hanya berdiam diri di rumah saja. Tapi, dalam waktu tiga bulan itu, dia kerap pergi mengikuti kegiatan sebuah organisasi perempuan yang dulu pernah mengadakan seminar itu. Ketika berada di rumah, aku kerap pun melihat dia membaca di perpustakaan.
Dalam hubungannya dengan diriku, dia masih mengurus segala keperluanku sehari-hari, meskipun tidak setiap hari seperti yang dulu. Di samping itu, dia sudah menggunakan peralatan modern. Hampir tiap pagi juga ketika subuh telah tiba, dia masih sering membangunkanku, dengan keadaan sudah rapi dan dandanan sederhana. Juga dengan secangkir kopi dan segelas air putih, meskipun juga tak setiap hari seperti yang dulu.
Mengenai keadaan yang terakhir ini, entah kenapa, tiba-tiba aku merasakan ada sedikit kehilangan dalam diriku. Namun, hal itu segera ditimpali oleh yang lain; bukan ini dari dulu kauharapkan dari dirinya.
Suatu hari, Din dan Ratna mengunjungi kami. Dari pembicaraan yang terjadi, aku tahu bahwa Din dicalonkan oleh partai politiknya untuk menjadi anggota dewan tingkat wilayah Propinsi ini. Bukan Ibu Kota. Dan aku, tak menolak ketika Din mengatakan bahwa dia dan Ratna untuk beberapa waktu ini tinggal di rumahku. Kuperhatikan istriku sangat bersemangat dengan kedatangan mereka ini.
Hampir tiap hari, kutemui istriku terlibat dalam percakapan di antara mereka bertiga. Kadang berdua-dua. Istriku dengan Din, juga dengan Ratna. Tidak hanya itu, mereka juga kerap bepergian selama satu hingga tiga hari mengikuti kegiatan organisasi perempuan. Ya, aku salut dengan istriku, ketika tahu bahwa dia terpilih sebagai wakil ketua. Padahal, paling lama dia aktif di sana tak lebih dari enam bulan dan kegiatan kampanye yang dilakukan oleh Din.
Suatu hari aku oleh Bulik Min diminta pulang ke rumah peninggalan Bapak. Paklik Jan, suaminya, opname di rumah sakit. Di sana aku tinggal dua hari. Ketika pulang, seperti biasa rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada dua orang pembantu. Seperti biasa pula, aku menduga bahwa Din, Ratna, dan istriku pun pergi. Namun malam itu, aku tidak tidur sendirian. Istriku ternyata pulang.
“Ke mana Ratna” Kok nggak bersama kalian?“ kataku kepada istriku.
Istriku kemudian menjawab bahwa kata Din, Ratna pagi tadi pergi ke Ibu Kota. Ada rapat Partai yang harus diikuti. Istriku juga mengatakan bahwa Ratna juga tidak pamit kepadanya. Dalam pikiran, aku merasa aneh. Apakah dia tidak menghadiri rapat? Kenapa Ratna tidak pamit kepada istriku?
Pagi itu aku menemui Din. Bertanya tentang keberadaan Ratna. Dan jawaban Din sama persis dengan apa yang dikatakan istriku.
***
Suatu siang Ratna meneleponku di kampus. Dia ingin bertemu. Katanya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan. Dalam kepala aku jadi bertanya-tanya. Dan aku masih harus memberi kuliah terakhir.
Setelah jam kuliah berakhir, aku segera pergi menemui Ratna.
***
Ternyata benar. Sesuatu yang penting itu mengenai istriku dan Din. Ratna mengingatkan aku bahwa Din ingin memiliki istriku. Dia ingin merebutnya dariku. Sementara tentang kepergian Ratna, sebenarnya tidak ada ada rapat Partai. Dia pergi karena bertengkar dengan Din. Malam itu, Ratna mencoba mengingatkan Din bahwa Hamidah adalah istriku. Istri teman baiknya sendiri. Namun, Din malah marah-marah kepadanya.
***
Akhir-akhir ini, istriku dan Din semakin akrab. Kerap kulihat mereka berdua pergi bersama. Dan sepanjang yang aku tahu, mereka tidak pergi untuk bersenang-senang. Menghadiri kampanye atau acara lainnya. Di rumah, sering kudapati mereka mengobrol bersama. Dan ketika aku bergabung, entah kenapa kurasakan keterasingan dalam diriku.
Sehari-hari aku jarang berbicara dengan istriku. Setiap kali aku bertemu dirinya. Entah kenapa aku tak bisa menggerakkan lidahku merangkai kata untuk membuat percakapan setelah basa-basi kecil pertemuan. Telah terjadi kekakuan di antara kami. Dan inilah yang menyebabkan setiap kami bertemu, kami ingin segera menghindar. Di samping itu, istriku sama sekali sudah tidak menyiapkan kebutuhanku sehari-hari. Semua dikerjakan oleh pembantu. Dan di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih dan secangkir kopi darinya untukku.
Suatu malam ketika hendak tidur, aku berkata kepadanya: “Aku rindu segelas air putih dan secangkir kopi di pagi hari.” Dan keesokannya, dia membuatnya untukku. Namun, keesokannya lagi, dia sudah tidak melakukannya lagi.
***
Setelah Ratna tidak bersama kami, aku merasa khawatir dengan Din. Ya, dia memang agresif. Dan apa diinginkannya, dia selalu berusaha sampai dapat. Bahkan dengan merampas pun dia tak peduli. Ini pula yang tidak diinginkan Ratna, yang menasehatiku untuk mengingatkan Din. Bahkan kalau perlu mengusirnya dari rumahku. Namun, entah kenapa ketika hendak mengingatkannya, aku selalu tidak bisa. Akhirnya, aku hanya bisa menumpuk-numpuk rasa cemburuku.
***
Sudah hampir lima tahun ini aku menikah dengan Hamidah. Namun, akhir-akhir ini aku merasa bahwa Hamidah bukan milikku. Dia tidak lagi seperti yang dulu. Dia sudah berubah. Dan menurutku, perubahan itu disebabkan oleh Din. Dulu, aku sangat menginginkan Hamidah menjadi perempuan yang aktif seperti sekarang ini. Tak bosan-bosannya aku berusaha agar Hamidah mempunyai kesadaran bahwa kehidupan seorang perempuan tidak hanya melulu berada di dalam rumah.
Kini semua telah berbeda. Memang, Hamidah telah menjadi perempuan yang aktif. Namun, kurasakan ada yang hilang di antara kami. Akhir-akhir ini, Hamidah sama sekali sudah tidak menyiapkan segala keperluanku sehari-hari. Semua ditelah dikerjakan oleh pembantu. Sementara di pagi hari, sudah tidak ada lagi segelas air putih dan secangkir kopi darinya untukku. Apakah ini? Yang menyebabkan dia seperti ini. Yang pasti bukanlah kesibukannya. Namun, cinta. Ya, hanya cinta yang mempunyai kekuatan yang membuat dirinya menjadi perempuan seperti sekarang ini. Dulu, begitu sulitnya aku ingin dia seperti sekarang ini. Namun, setelah bertemu Din. O, Tuhan, ternyata istriku memang mencintainya.
***
Besok; usia pernikahanku dengan Hamidah akan genap lima tahun. Sementara aku tak juga bisa menutup mata malam ini. Kemarin, aku terjaga dari tidur. Aku kemudian keluar rumah. Ingin duduk-duduk di luar menikmati suasana malam. Ketika hendak mencapai pintu, tiba-tiba aku mendengar sebuah ratap tangis mengalun pelan. Kucari ke asal suara. Ternyata istriku. Dia duduk menekuk lututnya di beranda samping sendirian. Aku merasa kasihan melihat dirinya seperti itu.
Perlahan-lahan kudekati dia. Kemudian kuusap kepalanya. Tiba-tiba dia memegang kedua kakiku erat sekali, seperti memohon kepadaku untuk melepaskannya. Membiarkannya terbang bebas.
Malam bertambah tinggi. Dan kini, aku ingin bebas.. Dan aku sadar bahwa untuk bebas, maka harus membebaskan. Ya, karena aku sangat mencintainya. Aku tak layak menginginkan dirinya seperti yang kuinginkan, jika dia sendiri menolak untuk itu. Biarlah Hamidah menjadi dirinya sendiri. Bahkan jika dia ingin lepas dariku. Maka, karena cintaku, aku rela melepaskannya.
***
Sebelum berangkat ke kampus pagi itu, aku mencari istriku. Ingin menyampaikan bahwa nanti malam aku ingin mengajaknya pergi makan malam. Merayakan ulang tahun pernikahan kami. Seorang pembantu mengatakan kepadaku bahwa istriku ada di ruang perpustakaan. Aku pun ke sana. Namun sebelum sampai pintu, aku mendengar istriku berkata keras sekali. Kedengarannya seperti terjadi sebuah pertengkaran. Buru-buru aku menuju pintu.
“Kau sangat memalukan. Pergi! Aku muak melihatmu! Dan asal kautahu, kupastikan tak ada yang bisa mengangkat kembali dirimu di mataku. Karena hanya bicaramu yang besar,” kata istriku.
Kulihat wajah Din memerah. Dia ingin mengucapkan sesuatu. Namun, dia mengurungkannya setelah melihat aku berdiri di belakang istriku menatapnya tajam.
“Pergi!!”
Din pun bergegas pergi.
***
Di kampus aku masih bertanya-tanya tentang apa yang telah terjadi antara Din dan istriku. Tiba-tiba HP-ku berdering. Ternyata, Ratna. setelah berbasa-basi sebentar, dia kemudian mengatakan bahwa kemarin sore dia pergi ke rumahku. Waktu itu di rumah hanya ada istriku dan pembantu.
***
Malam hari, aku di rumah. Duduk di hadapan meja makan yang penuh dengan hidangan. Juga kue tart dengan angka 5. Kami tidak jadi pergi. Istriku ingin merayakan ulang tahun pernikahan kami di rumah saja. Aku juga minta pembantu untuk meninggalkan rumah. Hanya untuk malam ini, karena istriku mengingkan hal itu.
Sementara menunggu istriku keluar dari kamar, aku teringat kembali pertanyaan-pertanyaan yang beredar di pikiranku. Apa yang sebenarnya terjadi? Tentunya yang telah terjadi di antara Din, Ratna, dan istriku. Namun kemudian, aku melupakannya. Barangkali memang lebih baik aku tak mengetahuinya. Ya, aku tak akan bertanya tentang hal itu.
Aku sudah mempunyai kado spesial untuknya. Dan itu tak lain adalah kebebasannya. Aku akan membiarkan dirinya terbang. Terbang seperti merpati. Karena aku tahu, dia pasti akan kembali kepadaku ketika dia yakin bahwa rumahnya ada di dadaku.
“Mas, ada apa?“ dia mengagetkanku. O, Tuhan. Betapa indahnya dia. (*).
Jogjakarta, 2004

0 comments:

Post a Comment