Proses Kreatif
Posted by PuJa on August 23, 2008
Dari Sebuah Titik ke Titik yang Lain
Mashuri
Selama saya berproses, saya merasa antara karya saya yang satu dengan karya lainnya itu ditempa dan dilalui dengan proses yang berbeda. Antara prosa dan puisi, juga dirangkai dan ditemukan dalam proses yang berbeda pula. Tentu bukan hanya bertaruh perihal bentuk semata, tapi juga nalar estetik, kegelisahan, juga gagasan yang melingkupinya.
Terus terang, saya merasa memaparkan proses kreatif itu bukanlah hal yang mudah. Meski begitu, saya berusaha memaparkannya.
Sebenarnya, dalam proses kreatif puisi, saya pernah mengungkapkannya dalam sebuah even beberapa waktu lalu. Tentu paparan saya itu berbumbu kegenitan, juga keangkuhan, sebagaimana yang kerap muncul dan melekat pada diri penyair, apalagi penyair yang bertradisi puisi gelap, seperti saya. Tradisi yang saya maksudkan adalah beberapa tradisi perpuisian, baik itu dunia, Indonesia maupun Jawa, yang saya suntuki selama ini, yang ada di antaranya mungkin tidak tercatat dalam sejarah sastra.
Meski demikian, saya tak bisa menepuk dada sebagai seseorang yang sudah selesai dan menemukan bentuk atau gaya pengucapan yang final dan sempurna. Saya jauh dari itu. Saya selalu merasa, apa yang telah saya tulis itu barulah mula. Apalagi tak jarang, puisi-puisi saya menjadi sesuatu yang lain, yang kadang menyerang dan menolak untuk saya taklukkan. Pun dari sinilah saya bisa menimba satu kearifan, bahwa sebenarnya sang penyair itu bukanlah manusia super. Ia juga manusia.
Berikut ini saya sertakan pengakuan proses kreatif saya, terkait dengan puisi, yang saya tulis dalam rangka Temu Sastrawan Jawa Timur 2003, di Blitar, 19-21 Juli 2003. Pengakuan ini tanpa saya tambahi atau saya kurangi. Kala itu, saya mendaku diri sebagai orang ‘dikenal sebagai penyair dan penggurit’. Saya menyertakannya dalam kesempatan ini, dengan pertimbangan, untuk melihat sejauh mana saya berkembang. Sejauh mana saya telah bergeser dari satu titik ke titik lainnya. Saya khawatir, jangan-jangan saya masih berkubang di tempat mula dan hanya berjalan di tempat dalam memahami diri saya sendiri dalam ‘mencipta’.
“Ketika saya diminta menulis proses kreatif saya, terus terang saya mengalami kesulitan. Tetapi, saya berusaha merumuskannya, meskipun rumusan saya ini hanya sekilas saja. Siapa tahu, dari yang sekilas itu bisa diperoleh gambaran yang lebih tuntas.
Bagi saya, menulis puisi adalah berusaha menyadari masa lalu, serpih-serpih ingatan yang berserak dan keterputusan ruang yang mengambang. Dalam berpuisi, saya seperti diseret untuk lebih mengenal lebih dekat artefak-artefak yang ada di luar kesadaran saya itu, untuk bersentuh, berakrab ria dan merumuskan sebuah ungkapan-ungkapan puitis. Di sana, saya berhadapan dengan sejuta peristiwa yang bergemuruh, yang menantih untuk saya sentuh. Peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam kepala saya.
Memang tidak selamanya, saya mampu merumuskan perjumpaan dan persinggungan itu. Ada celah-celah yang saya sadari sukar untuk dimasuki, karena saya sendiri merasa dalam celah yang tak terbatas terra incognita. Di sana, suara-suara memang kerap ramai terdengar dan kadang sepi, dan di sanalah saya kerap merasakan adanya persinggungan itu.
Jika kemudian sering mengangkat konsepsi waktu, unsur-unsur mitologi, dengan renik puitiknya, hal itu karena saya tak kuasa menghadapi tekanan dari dalam diri untuk merangkum suara-suara itu. Suara itu memang tak sepenuhnya dapat saya rangkum, terkadang patah-patah, karena ketika kata-kata yang ada meloncat keluar, ia berada di ruang kontrol kesadaran saya. Saya bisa memilihnya dan bisa membuangnya, sesuai dengan kebutuhan saya dalam menyusun puisi.
Terkadang saya terjatuh pada posisi yang ektrem, sarkas dan penuh umpatan. Bahkan saya kadang sering mendedahkan ungkapan-ungkapan yang tak layak dikonsumsi. Tetapi, saya menganggapnya sebagai sebuah bentuk kemurnian dari ucapan. Kesadaran saya berusaha menyaringnya dan ternyata hasilnya memang mengarah pada ungkapan semacam itu. Karena itu, saya anggap sebagai bentuk kesadaran saya.
Jika kemudian itu menjadi pilihan puitik saya, itu juga bukan tanpa latar belakang yang panjang. Latar kultural saya memang tidak bisa dikesampingkan dalam hal ini. Saya seperti memiliki semacam persepsi dan visi terhadap ruang lingkup penciptaan yang tidak bisa dilepaskan dari ruh kultur yang melahirkan saya. Saya memiliki keinginan untuk ‘membaca’ kembali, sekaligus mendobraknya, dan itu sudah terasa mengakar dalam pola kreasi yang saya hasilkan.
Untuk menunjang pengembaraan saya, seputar kearifan hidup, wacana dan segala hal yang berada di luar diri saya, saya menggunakan bacaan-bacaan sebagai pembanding. Hanya saja, semuanya tadi, hanya sebagai semacam masukan untuk memperkaya apa yang sudah ada di kepala dan ingatan saya, meski retak, luka dan berpatahan.
Di atas luka dan dendam sejarah itulah saya berpuisi”.
Sebagai seorang yang masih berproses, jemari saya kerap gatal untuk menambahi atau merevisi pengakuan proses kreatif saya tersebut. Sebab pada perkembangannya saya menemukan hal-hal baru dalam proses saya berpuisi; hal-hal itu tidak demikian ‘muluk’ untuk memberi notasi besar pada sebuah perubahan dalam berbahasa, alih-alih dalam kehidupan yang demikian luas dan maha-kompleks. Tak jarang, saya hanya ingin bertaruh dalam wilayah kemanusiaan saya: bertaruh diri menjadi saksi atas hidup dan kehidupan, berdedikasi pada ‘wilayah’ saya dengan segenap kemampuan, juga menyulut orang lain untuk berkarya.
Saya hanyalah seorang manusia biasa.
Dalam prosa saya memiliki pertaruhan yang berbeda dengan puisi. Saya demikian sadar, bahwa ada ide, gagasan atau hal-hal yang lebih bagus dan tepat ditulis dalam bentuk puisi, tetapi ada juga yang sangat tepat untuk ditulis dalam bentuk prosa, baik itu cerpen maupun novel. Meski demikian, bukan berarti saya abai pada adanya kemungkinan menyuguhkan sebuah karya dalam bentuk puisi-prosa atau prosa-puisi, senyampang saya menikmatinya, serta ada alasan ‘tertentu’ yang melatarinya, baik dalam pertaruhan estetik maupun tuntutan kreatif.
Dan, ketika saya memutuskan menuangkan kegelisahan dan gagasan saya dalam novel, seperti Hubbu dan yang sekarang sedang saya garap, saya pun punya pertimbangan tersendiri. Saya merasa, kegelisahan saya itu cukup tepat ditulis dalam prosa. Bukan berarti hal itu mematikan insting puitif saya, karena bagaimana pun saya bermula dari puisi; Bila dalam prosa saya bertabur puisi dan puitis, saya itu hal yang lumrah saja.
Namun begitu, saya masih tetap memiliki acuan yang selalu menjadi dasar saya berproses. Acuan saya tetaplah saya seorang yang bolak-balik pulang antara tradisi dan kekinian, antara yang lalu dan sekarang, antara mitos dan logika. Tetapi segalanya saya ikhtirkan beralur pada tradisi, tetapi dengan cara baca yang lain. Saya tak bisa mencecap kemurnian pembangkangan seperti seorang Malin Kundang terhadap Bunda, pun saya tak bisa terus terpesona oleh sihir Bunda sebagaimana Sangkuriang dan selalu ingin memilikinya.
Perihal personifikasi ‘strategi’ menghadapi tradisi dan kekinian ini, saya kerap berlaku sebagai Arok, yang begitu berhasrat pada dunia dan ingin merengkuhnya. Saya kerap bertindak: merebut sesuatu yang bukan milik saya untuk menjadi milik saya, dengan menambal sulam apa yang sudah ada atau memenggal yang usang. Saya kerap bertindak sebagai seorang Jawa yang lain, Jawa yang tak menunggu, tapi tetap berpijak pada jejak-jejak yang masih ada untuk melangkah lebih jauh.
Di daerah saya, di Lamongan yang kampung itu, begitu banyak situs, mitos, keyakinan, dan ‘peninggalan lama’ yang sebenarnya ‘merampok’ dari khasanah lain atau khasanah yang sudah mapan di belahan Jawa yang lain. Semisal Semar, Joko Tingkir, Damarwulan-Ratu Kenconowungu, lokasi perang Bubat dengan terbunuhnya puteri Sunda Diah Pitaloka, muasal Gajah Mada, Dewi Sekardadu dan lainnya. Tokoh-tokoh atau peristiwa yang pada zamannya memang menjadi ikon dan penanda dari sebuah zaman.
Namun saya bukanlah ‘Arok’ yang utuh. Saya bukanlah seseorang yang berambisi merebut sesuatu dengan membabi buta, lalu menjadi perubah sebuah kondisi. Saya hanya melakukan apa yang saya mampu dan mungkin saya bisa lakukan dengan kemampuan saya. Saya pun berperan sebagai seorang yang dengan kebetulan dikaruniai obsesi, lalu ingin mewujudkan obsesi itu. Obsesi yang tentu berpulang pada potensi diri.
Dengan sikap batin itulah, Hubbu saya tulis. Saya pun sangat bererendahhati mendaku bahwa novel ini bukanlah novel yang sempurna. Saya hanya ingin bercerita perihal dunia yang pernah saya cecap: dunia pesantren, dusun-kampung-desa, pewayangan, mitologi; sederet dunia yang ketika berhadapan dengan dunia kota, yang juga pernah saya cecap, kadang mengalami berbagai reduksi, transformasi, juga ihwal yang bernama keterpenggalan dan keterpecahan.
Mungkin pandangan saya itu terlalu moralis, juga terkesan klise dan kuno, apalagi ketika saya membenturkan antara desa yang bercitra damai dan alami dengan kota yang riuh. Realitas sekarang yang terjadi seakan membalik itu. Namun, saya mencoba menggali lebih jauh. Saya menemukan sesuatu: sebenarnya ada yang keliru dengan pertumbuhan kota-kota kita, desa-desa kita, juga tumbuhnya kedasaran kita perihal ruang. Saya merasa ada yang kurang pas dan dipaksakan ketika citra antar tempat itu ‘disamaratakan’, disatubahasakan. Saya melihat bahwa antara kota dan desa itu harus tetap ada dan berbatas.
Mungkin juga terkesan klise jika saya terus menerus mendesakkan hal lainnya: bahwa ada yang salah dalam pemahaman masa lalu kita. Memang, di balik kekinian kita itu ada masa lalu, tapi sebuah masa yang masih bisu. Kekinian kita begitu terasa tanpa akar, meski sebenarnya akar itu ada. Namun akar itu tak pernah bisa dilihat dengan jelas. Saya selalu dihantui dengan satu ‘kenyataan’: ada yang salah dengan masa lalu yang sampai ke saya. Saya selalu gelisah bila memikirkan itu. Sungguh.
Ketika saya harus memenggal masa lalu, terlalu banyak risiko. Saya termasuk orang yang tak begitu tegar untuk bersayonara dengan silam saya, lalu melenggang dengan tanpa melihat ke belakang. Spionpun rasanya tak mencukupi jiwa saya untuk menyantuni gugatan dari masa lalu saya.
Saya merasa trauma sejarah yang ada selalu saja berkutat pada tempat yang sama, ditutupi dan tidak dibongkar agar ada kejelasan dan kejernihan. Saya yang merasa belum tuntas dengan masa lalu, lalu dihajar dengan ‘proyek’ masa depan yang demikian menantang dan terbentang di depan mata. Juga begitu menggoda.
Saya sangat menggelisahkannya. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana rupa masa depan saya, jika masa lalu tak berpunya, sedangkan masa kini tak berdaya. Apalagi yang saya hadapi kini adalah dunia, dengan dinamika yang deras, dan percepatan yang luar biasa. Saya sering membayangkan diri saya limbung, dan pada akhirnya terpecah.
Saya sangat tak nyaman melihat kondisi itu. Saya melihat masa depan saya begitu bermasalah, penuh ranjau. Meski saya tahu perkembangan teknologi canggih, tapi sebenarnya saya tak turut di dalamnya. Diam-diam saya menolak percepatan yang demikian luar biasa dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. Saya merasa disapih. Pun jika saya turut, itu pun karena tuntutan sosial saya. Adakalanya saya merasa, saya tidak bisa hadir di sana, saya sengaja dihadirkan dan dipaksa hadir. Saya merasa diperbudak!
Itulah beberapa kegelisahan saya. Kegelisahan yang mendasari saya berproses.
Awalnya, gagasan yang merasuk ke Hubbu adalah gagasan awal dari tesis saya. Perihal masa lalu dan masa kini, juga masa depan. Namun saya berpangkal pada titik tolak yang agak spesifik: belum tuntasnya bangunan Islam dan Jawa yang sering disebut dengan jargon gagah sinkretisme Islam-Jawa. Saya melihat, sinkretisme yang diandaikan damai dan berhasil itu sebenarnya belum selesai. Masih menyisakan celah dan masalah.
Saya menelusurinya ke berbagai bukti tertulis, juga bukti keseharian, yang menunjukkan bahwa Islam-Jawa yang dianggap sudah menyatu itu ternyata masih juga harus dibenahi. Dalam satu sisi, saya seperti Nietzsche yang menemukan bahwa ‘patung’ filsafat barat yang diandaikan mulus di luar itu ternyata berlubang di dalamnya. Dan, saya begitu berahi untuk melihat lubang itu. Di sisi yang lain, saya kurang bisa mengukur seberapa banyak pengetahuan masa lalu yang terpenggal dan tak sampai ke saya.
Oleh karena itu, saya merunutnya lewat tradisi. Apalagi kebetulan, saya adalah anak dari tradisi. Di sinilah, saya pun berusaha masuk dalam wilayah simbol yang menjadi latar kultur saya. Kebetulan saya termasuk dalam ‘Jawa yang lain’ dalam istilah Denys Lombard. Jika Jawa diandaikan itu sebagai dunia yang subur dan hijau, saya adalah Jawa yang berdebu, berada di sekitar pegunungan kapur utara, dekat pesisir, dengan pemukiman yang berderet sepanjang jalan yang gersang.
Dalam Hubbu saya menghadirkan sebuah desa Jawa yang hijau, yang dikepung persawahan, dengan kali-kali gemericik, dengan ikan-ikan kecilnya. Meski desa yang saya sebut adalah Alas Abang, sebagai sebuah semesta Jawa yang ndesit, alias udik, tetapi sebenarnya saya ingin membalik anggapan yang sudah ada. Kaum Abang atau Abangan, dalam jagat ‘agama’ Jawa, dianggap tidak Islami. Di sini, saya mencoba memberi nuansa Abang atau Abangan yang Islami. Siapapun tahu, dalam trikotomi Geertz, Abangan selalu saja dianggap tidak Islami.
Di sisi lain, saya menulis Hubbu tidak dalam konsentrasi yang melulu dan tercurah begitu penuh. Jadi waktu persisnya berapa lama saya tulis pun saya tak bisa memastikannya. Saya menulisnya di sela-sela kesibukan saya yang waktu itu memang sedang banyak. Kebetulan saya bekerja sebagai jurnalis sebuah harian di Surabaya. Pun saat itu saya dipercaya kawan-kawan mengelola Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar. Pun saya kebetulan juga sedang berikhtiar untuk memasu ilmu di pascasarjana di sebuah institut agama negeri di Surabaya.
Titik picunya memang ketika saya sedang gelisah terkait dengan tesis. Meski begitu, gelisah saya sebenarnya berakar cukup panjang seperti yang sudah saya ungkapkan tadi. Yang dari kegelisahan itu saya mengumpulkan data-data. Saya pun kesulitan untuk menelusuri dengan pasti bagaimana tesis yang ilmiah, melompat ke ranah imajinasi. Saya merasa ada sebuah titik singgung yang menjembatani tema yang sedang saya geluti dengan nalar fiksi saya. Dalam pergulatan itu, ternyata bukan tesis yang selesai, tapi novel yang ‘jadi’. Saya memberi tanda kutip pada jadi, karena bagi saya, jadi itu bukanlah sebuah akhir. Hingga kini tesis saya tak kunjung rampung.
Saya menyadari bahwa penyampaian tesis dan novel berbeda, jika tesis saya bila menguak sesuatu menjadi demikian runut dan gamblang dan merujuk pada buku-buku dan hasil penelitian yang sudah ada, tapi dalam sastra saya mencoba dan bertaruh dengan sesuatu yang lain. Ada yang sebenarnya bisa digamblangkan tapi saya rasa kurang ‘fair’ jika ditulis apa adanya. Pun saya bermain dalam wilayah fiksi yang tentu saja memiliki kaidah-kaidah fiksi, yang kadang lebih asyik jika main umpet-umpetan, atau kadang asyik hanya menyediakan ruang bagi pembaca, sehingga pembaca bisa mengisinya sendiri, dengan imajinasi dan pengetahuannya.
Dan, yang terpenting bagi saya adalah Hubbu bisa menggelitik orang untuk menulis atau membaca yang lain, atau merunut pengetahuan lainnya, sehingga menghasilkan karya baru dan memperoleh pengetahuan yang baru pula. Jika di Surabaya, maka kata itu bisa berarti: “Aja golek matengan ae, Cuk!” alias, jangan hanya cari yang sudah jadi, Kawan! Dengan kata lain, saya hanya ingin menunjukkan jalan dan silahkan lewati sendiri. Apakah saya menyusahkan dan membebani pembaca? Saya kira, tidak juga. Saya menganggap pembaca itu cerdas. Ada kalanya, seorang penulis memang membuat karya khas dan hanya pembaca yang tekun yang bisa melihat kedalamannya.
Demikianlah, sekelumit proses kreatif saya. Semoga bisa menjadi kisi-kisi yang mampu membuka ruang diskusi yang khusyu’ dan menyenangkan. Semoga saya adalah seseorang yang bisa lebih baik dari kemarin, sudah melangkah dari satu titik ke titik lainnya. Juga tetap tawadlu’ dan istiqomah dalam berprores. Wallahu muwafiq ila aqwamit-thariq! (*)
0 comments:
Post a Comment