Pages

Sunday 8 January 2012

Grup Musik Pentassakral




Grup Musik Pentassakral
Sajian Tradisi dalam Bungkus Modernisme
Padang Ekspres • Minggu, 08/01/2012 11:14 WIB • Ganda Cipta—Padang


Komposisi musik yang diaransir dengan memasukan unsur musik atau dendang tradisionil Minang ke dalam pola musik modern melahirkan warna orkestrasi yang unik. Demikianlah indentitas musik dari Pentassakral, walaupun sejatinya grup musik ini tidak pernah mendefenisikan jenis musik apa yang mereka buat dan mainkan.

Malam itu, Senin (26/12), mereka membawakan 11 lagu yang lirik-liriknya berasal dari puisi-puisi penyair Indonesia. Sebut saja, Upita Agustin (Senandung Perempuan Negeriku), Harris Efendi Thahar (Lagu Bunga), Hartoyo Andang Jaya (Perempuan-Perempuan Perkasa), Agung Bawantara (Catatan Suku Bajau), serta puisi dari pimpinan Pentassakral sendiri, Alda Wimar (Hitam Merah Kuning Padangku).

Sebagai pementasan pamungkas dari program pementasan seni 2011 di Taman Budaya Sumbar, grup musik indie yang berdiri 1 Muharram 1412 Hijriah atau tahun 1991 Masehi ini tampil memukau dan meninggalkan kesan mendalam bagi penonton saat itu.

”Banyak orang yang bisa bermusik dan membuat lagu. Banyak juga grup musik di Kota Padang bahkan Indonesia yang memiliki kemampuan bermusik lebih baik dari Pentassakral. Tapi, grup ini memiliki kelebihan yang tidak bantak dimiliki grup musik lain,” kata seniman Sumbar, Rizal Tanjung, kepada Padang Ekspres seusai pementasan.

Apa itu? Puisi-puisi yang mereka nyanyikan tidak kehilangan makna dan sampai  ke penonton.  Maka, wajar jika penonton malam itu sering memberi tepuktangan di setiap akhir lagu yang mereka bawakan dan tidak beranjak sedikit pun dari tempat duduk hingga pertunjukkan benar-benar tuntas.

Jika disimak proses kreatif yang dijalani Pentassakaral, mereka tidak asal melagukan puisi. Ada seleksi ketat yang dilakukan. Di mana mencari kedalaman makna dari sebuah puisi merupakan sebuah proses yang tidak bisa tidak untuk mereka lakukan. Dalam pencarian tersebut tidak dilakukan sendiri oleh personel grup. Mereka juga membawa penulisnya mendiskusikan puisi yang dibuat.

Lalu musikalitas yang terdapat dalam sebuah larik-larik puisi juga dijadikan pertimbangan. Jika dalam sebuah puisi ada satu bait tidak memiliki musikalitas, mereka akan lebih memilihnya untuk dibacakan saja. ”Unsur musikalitas dalam sebuah puisi yang akan dinyanyikan itu penting. Kalau tidak ada, lalu dipaksa untuk dinyanyikan, makna dari puisi bisa hilang,” sebut Alda Wimar.

Kemudian, sudah barang tentu penggarapan komposisi musik jadi hal utama. Pentassakral memilih jalan proses kreatif yang menarik dalam mencipta komposisi musik. Mereka memasukan roh musik tradisi yang berbeda-beda pada setiap lagunya. Misalnya, pada lagu Hitam Merah Kuning Padangku. Lagu ini dibuat berdasarkan pada puisi karya Alda Wimar dengan judul sama. Gamad sebagai salah satu jenis kesenian tradisi Kota Padang menjadi roh musik tradisi dalam komposisi musik lagu tersebut.

Dari Hoyak Tabuik hingga Yogyakarta
Awalnya Alda Wimar terpesona dengan keberagaman musik tradisi Minangkabau. Seperti di Pariaman ada Indang, di Limapuluh Kota ada kesenian Sirompak yang memiliki dendang yang khas, di Padang ada Gamad, dan beberapa daerah lainnya. Berangkat dari hal itu, terpikir olehnya untuk membuat lagu berdasarkan musik atau kesenian tradisi Minagkabau tapi dalam sajiannya dibungkus dengan bentuk musik modern.

Untuk mewujudkan keinginannya itu, diajaklah istrinya Nina Rianti yang sebenarnya seorang vokali dengan basic seriosa. Lalu diajaknya pula sejumlah seniman lain, seperti Ridwan Tulus, Thamrin Ismael, Andre Ajo, Jufrial, Evamiswalda, dan beberapa yang lainnya. Maka terbentuklah Pentassakral dengan lagu pertama yang mereka buat adalah Pesta Desa.

Lagu ini terinspirasi dari tradisi Hoyak Tabuik di Pariaman, yang menurut Alda Wimar merupakan pesta rakyat yang paling kolosal di Minangkabau dan juga Indonesia.
”Sebenarnya Pesta Dansa memiliki dua roh musik tradisi, Indang Pariaman dan dendang yang khas dari Sirompak Taeh Limapuluh Kota. Jadi dalam membuat lagu kami melakukan pembelajaran mendalam dalam sebuah materi, hingga pergi pada daerah di mana seni music tersebut lahir. Nina (istrinya), yang memiliki basic vocal seriosa saya paksa belajar dendang Sirompak itu ke Taeh, Limapuluh Kota,” tutur Alda Wimar.

Hingga kini, mereka telah mengadakan pertunjukan di berbagai kota di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia. Sebagai grup musik yang merasakan diri marjinal dari riuhnya seni musik populer, Pentassakral telah membuat kurang lebih 70 lagu dalam kurun waktu 21 tahun.

Sebagai grup musik yang tidak memilih jalur musik populer dan mampu bertahan selama kurun waktu yang panjang tersebut, bukanlah suatu yang mudah bagi Pentassakral. Grup ini pun sempat vakum bahkan hampir bubar setelah pementasan terakhirnya di Yogyakarta tahun 1997.

”Bagi saya Pentassakral adalah sebuah grup kesenian. Dalam arti grup ini tidak menawarkan diri sebagai tempat untuk bisa mencari uang. Tapi lebih mengutamakan sebagai tempat untuk berksenian. Dari awal saya tekankan kepada teman-teman bahwa di sini bukanlah tempat untuk mencari uang,” ujarnya. Itulah salah satu yang membuat grup ini sempat vakum lama dan hampir bubar.

Awal Kembali
Momentum gempa Sumbar 2009 secara tidak langsung membawa berkah bagi Pentassakral untuk kembali lahir. Tepat kira-kira pada awal tahun 2010, Alda yang juga memiliki usahan rekaman videoa, ketika itu diajak IDEP Bali untuk membuat film rumah tahan gemapa. Kebutulan mereka bertanya menganei ada atau tidak lagu yang bisa dijadikan soundtrack film.

Pertanyaan tersebut disambut Alda dengan menawarkan empat buah lagu-lagu Pentassakral. Meski tertarik dengan lagu-lagu yang ditawarkan tersebut, orang-orang IDEP Bali meminta mereka untuk merekam kembali lagu-lagu yang ditawarkan itu, karena mereka menilai kualitas rekaman tersebut kurang baik.

”Lima tahun sebelum, kami pernah dijanjikan seorang teman dari Swiss, Ruth Bard, yang suka dengan karya-karya kami ini untuk merekam lagu-lagu Pentassakral. Nah, ketika janji itu ditagih dan ditepatinya dari situlah lahir sebuah album kami yang berjudul Pentassakral Minangkabau Sunrise,” terang Alda Wimar.

Album tersebut memuat 12 lagu. Sebagaian besar lagu pada album tersebut mereka bawakan pada pementasan Pentassakral yang bertajuk ”Senandung Perempuan Negeriku” tempo hari. Album ini punya arti besar bagi Alda Wimar dan Pentassakralnya. Ini sebagai tonggak awal kembalinya Pentassakral, selain sebagai rekam jejak dari sejarah perjalanan Pentassakaral yang penuh liku.

”Ya, kami bersukur juga dengan bantuan dari Ruth tersebut. Karena bantuannya tersebut berlebih sehingga kami bisa membangun sebuah studio. Ke depan saya berharap, keberadaan studio ini bisa membuat Pentassakral lebih baik dan bisa memberi honor bagi personelnya, tanpa kami mengabaikan idealism proses kreatif yang selama ini telah kami jalani untuk bisa tetap bertahan dan menjadi lebih besar,” tandasnya. (***)
[ Red/Redaksi_ILS ]

http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=20786

0 comments:

Post a Comment