Pages

Monday 2 January 2012

Merebut Wacana Agama dan Seksualitas

Merebut Wacana Agama dan Seksualitas
Posted by PuJa on January 2, 2012
Hasnan Bachtiar

Book Review: Agama, Seksualitas, Kebudayaan. Esai, Kuliah dan Wawancara Terpilih Michel Foucault; Michel Foucault, disunting oleh Jeremy R. Carrette; Jalasutra; Cetakan I, 2011; xxvi + 366 halaman.
TEKS FILSAFAT itu seperti hantu yang mengejutkan, terus berlari tanpa henti, mengejar manusia-manusia pemberani maupun yang ketakutan. Itulah kali ini, terbit satu karya yang sangat penting dalam khazanah filsafat, “Agama, Seksualitas, Kebudayaan. Esai, Kuliah dan Wawancara Terpilih Michel Foucault” (2011).
Dalam teks ini, pikiran-pikiran Foucault, tiada pernah puas untuk menggoda pengetahuan. seorang saleh atau ateis sekalipun, akan “tergoncang” tatkala terjebak dalam hiburan-hiburan filosofis yang dimainkan. Dalam segala uraian filsafatnya, tidak ada benar dan salah, tidak ada baik dan buruk, bahkan tidak ada kekuasaan yang paling pasti, dan manusia seperti mengalami masa akhir zaman yang belum waktunya.
Namun hal ini sangat berbeda dengan Nietzsche. Jika guru penuh curiga ini merasa muak dengan segala kepastian moral, filsafat dan pengetahuan, maka Foucault punya kehendak yang berbeda, yaitu “mengapresiasi” segala tindakan bodoh kepastian yang dimaksud Nietzsche. Menguasai dunia tanpa menggadaikan kehormatan.
Lazim diketahui bahwa, seluruh pikiran filsafat modern tidak benar-benar tulus untuk menuliskan kebenaran. Seluruhnya adalah kuasa. Apapun bentuk pengetahuan yang ditulis, adalah topeng bagi pemilik kuasa, kehendak, rasio dan tubuh.
Artinya, Nietzsche hendak mengungkapkan rasa kecewa yang sangat mendalam, bagi segala kepalsuan Barat Modern. Filsuf gila ini tertawa keras, terbahak, namun itu hanya ejekan, caci maki dan ketidakberdayaan atas tubuh orang lain.
Kata orang Jerman, Himmelhoch jauchzend, zum Tode betrübt, atas segala yang terjadi mereka lebih suka, Bersorak melonjak sampai surga, tetapi muram sampai mati. Atas dasar itulah kemudian Nietzsche meneriakkan bahwa, “Tuhan telah mampus!”
Sedangkan Foucault, kendati punya iman nihilis yang sama dengan gurunya, ia tidak pernah lagi membunuh Tuhan. Manusia baginya, dialah tuhan baru yang sesungguhnya. Sejak berabad-abad “manusia” selalu menjadi pusat pembicaraan, sumber ilmu dan satu-satunya pemegang hak khazanah filsafat dan pengetahuan. Manusia dan kemanusiaan (humaniora), inilah yang hendak diakhiri eksistensinya.
Tatkala Emmanuel Kant berujar, “Marilah bangun dari tidur dogmatis,” dengan nada yang sama, Foucault bersyair, “Marilah bangun dari tidur antropologis.” Antropologi di sini bukanlah disiplin ilmu yang teknis, namun sebagai keseluruhan ilmu kemanusiaan yang kompleks (homo mensura), yang sudah sejak lama dikukuhkan sebagai aturan baku dan final (taken for granted), seolah menjadi pakem dari langit yang tak bakal runtuh oleh gugatan filsafat.
Filsuf Perancis ini tidak pernah “merengek”, tatkala tahu bahwa kekuasaan telah merajalela menindas liyan. Karena – sekali lagi – ia bukanlah lagi berwujud manusia, yang punya kepentingan ketubuhan. Ia adalah wacana liar yang siap merusak, merobohkan, membunuh dan meruntuhkan kapan saja, tanpa ada satupun “manusia” yang mampu secara manusiawi menangkap atau mengurungnya.
Dalam buku, “Agama, Seksualitas, Kebudayaan,” Foucault hendak membongkar wacana-wacana agung yang sejak lama dibungkam. Bahkan di era pascamodern kini, hubungan-hubungan rumit antara agama, seksualitas dan kebudayaan, selayaknya hanya diwakili satu bahasa, yaitu “tabu”.
Dengan kelincahan metodis yang diterapkan, dalam suka cita, ia membeberkan kebenaran-kebenaran seksualitas, agama dan kebudayaan tanpa malu-malu, tiada lagi kata “tabu”. Foucault menjelaskan, “…belum pernah seksualitas menikmati pengertian natural yang lebih langsung, dan belum pernah ia mengenal ‘kebahagiaan ungkapan’ yang lebih besar ketimbang dalam dunia Kristen, berupa tubuh yang jatuh dan dosa” (2011: 65).
Ketika manusia terjerumus dalam perzinahan, lalu bertobat melalui program pengakuan dosa, di situlah terungkap kenikmatan yang luar biasa, di mana kejahatan, berubah menjadi kebaikan sejati. Menurut Foucault, agama di sisi lain telah membuka jalan bagi kemerdekaan yang paling manusiawi. Sembari menertawakan, kita bisa menanyakannya kembali di muka gereja, “Lalu kebenaran ini apa? Bukankah itu hanya ungkapan, bukankah kebenaran hanyalah sebatas kata-kata, cara manusia berbahasa, suatu wacana?”
Secara lebih khusus menyinggung wacana seksualitas, dalam tradisi religius dikenal dengan istilah teologi negatif. Teologi ini membahas hal yang dianggap buruk oleh masyarakat, lalu dirubah citranya menjadi hal yang menarik untuk dihargai. Agama, atas kerja wacana, bisa saja tunduk agar mengapresiasi seksualitas dan merayakannya tanpa takut berdosa.
Dalam banyak kesempatan, penulis buku the History of Sexuality ini, memanfaatkan karya-karya sastra Marques de Sade. Sade adalah sastrawan yang kerap mencipta tulisan erotis dan berbau estetika persetubuhan. Tulisan-tulisan itu terbit di masa-masa di mana kekuasaan menghendaki etika, kebudayaan dan hukum-hukum agama yang membungkam seksualitas secara total. Dengan kata lain, di zaman klasik, Sade telah merayakan teologi negatif yang sangat menggoncang. Bagi Foucault, mengapresiasi seksualitas berarti membincang, sekaligus membongkar, bahwa rezim pengetahuan Barat hanyalah citra, bahasa dan wacana yang bisa kapan saja ditaklukkan.
Demikianlah, literatur filsafat ini, secara jernih mengumandangkan perebutan wacana seksualitas, agama dan kebudayaan, dalam pasar raya tafsir pengetahuan. Tentu saja, buku filsafat yang spesifik ini sangatlah penting. Namun, tidak kalah penting dari itu semua bahwa, buku ini juga mengandung fragmen-fragmen dari sebuah jilid yang tidak diterbitkan. Buku ini menyertakan bab khusus yang benar-benar baru menyangkut agama Kristen, seksualitas dan diri. Akhirul kalam, karena begitu berharganya buku ini, semoga bisa melengkapi khazanah filsafat kontemporer di Indonesia.
*) Penulis adalah peneliti filsafat Michel Foucault

0 comments:

Post a Comment