Pages

Monday 2 January 2012

Standardisasi Pendidikan

Standardisasi Pendidikan
Posted by PuJa on January 1, 2012
Asarpin

Standardisasi pendidikan tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif, hendak distandarkan. Cara berpikir standar semacam ini sudah lama dijalankan, dan terus dilanjutkan dengan model-model yang sepintas beda tapi tampaknya mengungkapkan hal yang sama.
Apa sesungguhnya makna berbeda bagi kita di hari ini? Benarkah perbedaan adalah berkat dan membawa rahmat? Kalau ya, mengapa begitu sering kita menyaksikan pertikaian hanya karena kita beda agama, beda budaya, beda suku, beda bahasa dan beda warna kulit, hingga beda cara? Dan pendidikan agama, yang selama ini kita klaim instrumen yang diharapkan membawa rahmat, ternyata tak berbuat banyak, bahkan tak jarang menimbulkan akibat sebaliknya. Lalu apakah agama masih pantas dianggap sebagai pembawa rahmat dan kedamaian?
Jika memang Tuhan menciptakan perbedaan agar manusia saling mengenal, menyapa dan hidup berdampingan dengan kekeluargaan, pantaskah kita sebagai manusia mengingkari keragaman yang diciptakan oleh Tuhan itu? Kalau ada di antara kita merasa terganggu dengan pluralitas dan kemajemukan agama, bahasa, suku, adat, warna kulit, apakah ini artinya kita mengingkari kehendak Tuhan?
Sayang sekali kita tak pernah siap untuk beda: beda pikiran, beda penampilan, beda segalanya. Jika ada sesuatu yang beda dari kebanyakan, tak jarang kita memberi cap gila. Padahal perbedaan adalah inheren dalam kehidupan manusia. Keunikan dan keragaman, potensi alamai kita yang terhebat, sudah semestinya kita akui kembali, kita hargai kembali, dan kita berdayakan kembali. Jangan jadikan hidup melulu seragam dengan acuan standar tanpa tahu nikmatnya perbedaan.
Ada sebuah dongeng Afrika yang bertajuk Hati Seekor Elang, yang diceritakan kembali oleh Dawna Markova, Ph.D dalam sebuah bukunya tentang pendidikan. Pada suatu hari, ketika mengembara ke mana-mana, seorang perempuan dan anak lelakinya tiba di sebuah peternakan unggas. Anak laki-laki itu begitu ingin tahu. Ia menekankan wajahnya ke pagar kawat berkarat yang membentengi ratusan ayam. “Ibu, ada seekor ayam yang kelihatan aneh dalam kandang ini. Ia tidak seperti ayam lainnya”. Ketika perempuan itu memandangi burung yang ditunjukkan oleh anaknya, seorang laki-laki berpakaian kotor mendekati mereka.
“Apa yang kamu lakukan pada ayam-ayamku?” ia menggeram.“Cuma melihat saja. Tetapi, maukah anda memberi tahu saya tentang burung ganjil yang berimpit-impit di sudut sana? Ia tampak sangat berbeda dengan ayam-ayam lainnya. Sesungguhnya, saya pikir, ayam itu mungkin adalah elang yang masih muda”. “Tidak mungkin”, jawab sang petani. “Aku sudah memilikinya sejak ia baru menetas. Ia bertingkah dan makan seperti seekor ayam, karena itu ia adalah seekor ayam”. “Bolehkah kami masuk ke kandang ini untuk melihatnya lebih dekat lagi?” “Lakukan saja apa maumu,”, gerutu laki-laki itu.
Perempuan itu dan anaknya harus membungkuk agar bisa melewati pintu kandang. Ia berlutut dan menggendong burung itu. “Kamu adalah seekor elang, bukan ayam. Kami bisa terbang. Kamu bisa terbang bebas!” Ia mengangkat burung itu di atas kepalanya dan membubungkannya ke udara. Burung itu mengepakkan sayapnya sekali, dua kali, namun jatuh tepat di paruhnya ke lantai, kemudian mulai mengais lumpur. Petani itu, menyaksikan dari sudut pagar lainnya, mendengus. “Sudah kubilang. Burung itu adalah sesekor ayam, hanya ayam biasa. Kamu ini buang-buang waktu saja!”
Perempuan itu berniat ingin membeli burung itu untuk anaknya. Dan si petani tidak keberatan. Maka terjadilah transaksi. Burung itu di bawah oleh perempuan itu dan anaknya di sebuah tebing yang luas. Anaknya mengangkat burung muda itu setinggi tangannya dan berkata: “Kamu punya hati seekor ekor. Saya tahu kamu punya. Kamu baik-baik saja dan makhluk yang sangat indah. Burung seperti kamu mestinya bebas. Bentangkan sayapmu, ikuti hatimu, dan terbanglah. Terbang, burung elangku, terbang!” Elang tersebut meluncur dengan lancar membuat sebuah lingkaran besar di atas mereka berdua, di atas pertanian dan lembah. Perempuan itu dan putranya tak pernah lagi melihat elang itu. Mereka tidak pernah tahu arah yang dituju hati sang elang. Yang mereka ketahui adalah bahwa elang itu tidak akan pernah kembali ke kandang ayam.
Kesalahan paling umum yang kita buat sebagai orang tua dan guru adalah berpikir bahwa seseorang tak dapat membuat perbedaan. Malah kita singkirkan cara berpikir berbeda. Kita selalu mengejar yang sama, yang seragam. Dan ini adalah tragedi pendidikan yang sangat menyedihkan!
Jarang sekali kita melakukan apa yang dilakukan anak kecil tentang ayam yang dianggapnya elang itu. Pendidikan yang baik sejatinya membantu siswa menemukan elang dalam dirinya. Anak-anak bukanlah ayam-ayam dan tidak perlu menjalani kehidupannya seakan-akan mereka adalah ayam.
Alam mencintai keragaman. Keragaman intelektual merupakan suatu kondisi alami dan anugerah bagi spesies kita. Dalam bahasa agama, keragaman adalah rahmat. Perbedaan tak mungkin terelakkan. Kita tak bisa menolak keragaman karena ia niscaya dalam kehidupan kita. Semua yang berbeda menjadi bagian dari kita, maka anak-anak akan berhenti menghakimi, mengisolasi, dan mengasari mereka yang tidak sesuai dengan norma-norma yang terstandardisasi sejauh mereka mengenal dengan baik potensi perbedaan. Kondisi keragaman merupakan sumber daya sekaligus tantangan yang mau tidak mau harus dihadapi dengan cara-cara mengenal potensinya yang akan membawa berkat.
Kita semua memiliki aspek diri yang beda. Inilah yang justru menjadikan kita manusia. Tatkala kita dapat menerima dan mengintegrasikan beda-beda dengan tepat, maka alam dan Tuhan akan mendatangkan rahmat bagi kita. Kita berusaha mengubah seluruh yang beda seakan-akan perbedaan itu sesuatu yang harus diperbaiki, diakali, diisolasi dan dihancurkan sepenuhnya. Hasilnya adalah hilangnya getaran, vitalitas dan energi kehidupan. Saat kehilangan perasaan akan keunikan dan perbedaan kita, kita menjadi komponen lain di dalam roda dan kehilangan setiap pemahaman mengenai tujuan hidup.
Sejak kecil anak-anak kita telah kehilangan kapasitas dan potensi mereka untuk berbeda. Seluruh sistem dan norma kehidupan dibuat se-standar mungkin. Bahkan mirip baju tentara, seluruh pakaian fisik dan batin kita seragam. Mirip paduan suara, jadilah kita kehilangan kreasi dan kemampuan untuk mengenal keragaman ciri-ciri.
Dalam pendidikan, kita mengukur pembelajaran melalui tes-tes yang tersatandardisasi, menggolongkan mereka sebagai ini dan itu, mengisolasi siapa pun yang berbeda, seakan-akan mereka adalah penyakit. Sungguh, inilah hasil pendidikan penyeragaman warisan Orde Baru yang sampai kini belum terkikis, bahkan kian tebal dan banal!
Untuk menghadapi realitas perbedaan sebagai keniscayaan itu, dimana batas-batas kultural bangsa dan negara sudah semakin menyempit, yang kita butuhkan kini adalah semangat keterbukaan menerima segala yang beda, kemudian mengakui sebagaimana kita mengakui dan memelihara tubuh kita sebagai anugerah dari yang ilahi.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

0 comments:

Post a Comment