Pages

Sunday, 15 January 2012

Pendidikan Sex Lewat Sastra Jawa

Pendidikan Sex Lewat Sastra Jawa
Posted by PuJa on January 15, 2012
Widodo DS
http://www.kompasiana.com/eyangwid

SERAT Centhini adalah salah satu naskah sastra Jawa yang bermutu tinggi dan lengkap. Buku kuno ini setebal 4.200 halaman terbagi dalam 12 jilid. Dia sekaligus merupakan asset budaya Jawa yang tak ternilai harganya. Ditulis tahun 1814 – 1823 M. Tim penulis dipimpin oleh Kangjeng Adipati Anom Amangkunegara III, yang kemudian menjadi raja Surakarta, dengan gelar Sinuhun Pakubuwana V (1820 – 1823 M). Para penulisnya adalah para pujangga keraton. Mereka adalah R. Ng. Ranggasutrasna, R.Ng. Yasadipura II, dan R.Ng. Sastradipura atau Kiyai Haji Muhammad Ilhar.
Tema utama Serat Centhini adalah Suluk Tambangraras Amongraga. Tokoh utama Amongraga mempunyai isteri bernama Tambangraras. Sastra Jawa kuno ini memuat pelajaran berbagai bidang ilmu antara lain sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur rumah adat Jawa, pengetahuan alam, agama, falsafah, tasawuf, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kekebalan tubuh, perlambang, adat-istiadat, tatacara budaya Jawa, etika, ilmu pengetahuan (sifat manusia, dunia flora, dunia fauna, obat-obatan tradisional, makanan tradisional), berbagai bidang seni, bahkan juga memuat pendidikan sex! Karena memuat berbagai bidang ilmu dan budaya maka Serat Centhini juga disebut sebagai Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Agar supaya buku yang tebal ini menarik bagi para pembaca atau para pendengarnya, maka teks buku disusun dalam bentuk tembang.
Pencipta buku ini menamakan bukunya Serat Suluk Tambangraras; namun masyarakat luas lebih senang menyebut Serat Centhini. Serat Centhini ada 6 versi. Salah satunya dinamakan Serat Centhini Pisungsung, kini berada di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Serat Centhini Pisungsung dipersembahkan oleh Raja Pakubuwana VII untuk Ratu Belanda, pada tahun 1912. Centhini adalah nama abdi (pembantu) Tambangraras, isteri Amongraga, tokoh utama dalam buku ini.
Pendidikan sex bagi sebagian besar orang Jawa masih dianggap tabu. Apalagi pada akhir abad 19, ketika Serat Centhini beredar di masyarakat. Namun karena teks pendidikan sex tersebut disajikan dalam bentuk sastra yang dirangkum dalam tembang, maka sesuatu yang bersifat pornografis menjadi tidak terlihat (terlalu) pornografis.
Sekedar sebagai contoh berikut cukilan Serat Centhini Jilid V Pupuh 356 Dhandhanggula bait 162: (4) iki mau duk ki adipati/anggarejeg kembenku linukar/sun benakken lukar maneh/sinjang ingong rinangkut/lajeng dheprok-dheprok tinarik/lambungku nyeng den angkat/angadeg rinangkul/ngong nangis anyengkah-nyengkah/kinukuhan ngapithing sarwi ngarasi/anguyeg payudara//
Jika tembang tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, teks tembang ini terasa pornografis. Yang jelas, syair tembang tersebut mengisahkan “upacara pembukaan” orang yang akan melakukan “perkawinan”.
Serat Centhini Jilid VIII pupuh 487 Pangkur bait 2,3, dan 16, jika diterjemahkan akan terasa porno banget! Bait-bait tersebut mengisahkan “permainan” babak puncak dan akhir. Serat ini juga melukiskan terdapat 21 tipe perempuan, berdasarkan dari sifat dan bentuk jasmaninya. Bahkan semua jenis istilah yang terkait dengan “hubungan suami-isteri” juga tersimpan dalam Serat Centhini. Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia terasa amat “saru” dan “seru”
Dalam Serat Centhini Jilid 1 Pupuh 30 Sinom Bait 33 terdapat pelajaran sexology yang positip. Yakni si pengarang menganjurkan agar suami-isteri jangan “bercampur” pada waktu fajar (matahari mulai terbit sampai terbenam). Jika nasehat tersebut dilanggar, maka anak yang terlahir akan hidup sial selamanya! Istilah bahasa Jawa: tuna liwat atau sangat celaka. Apalagi jika matahari tepat di atas kepala! Jangan sekali-kali “bergaul-ria”. Jika dilakukan, anak yang lahir akan menjadi tukang tenung atau menjadi kawan setan-iblis! Larangan yang lain, suami-isteri jangan “bertempur” pada tanggal 1 dan tanggal terakhir bulan Jawa, jika dilakukan, anak yang lahir akan berbadan kunthet (kecil/kerdil). Dan jangan “bercampur” dalam suasana gelap gulita! Harus ada cahaya lampu, meski hanya remang-remang. Perbuatan yang suci tersebut harus dilakukan dengan cara yang sopan atau dalam suasana suci pula. Misalnya, sebelumnya, suami-isteri harus mengambil air wudhu (buat kaum muslimin), sholat sunnah, disertai doa-doa tertentu, yang sesuai tuntunan agama.
***
____________12 April 2011
Dijumput dari: http://kesehatan.kompasiana.com/seksologi/2011/04/12/pendidikan-sex-lewat-sastra-jawa/

0 comments:

Post a Comment