Pages

Tuesday, 31 January 2012

“Politik Sastra” Versus “Politik Tekstual Sastra”


“Politik Sastra” Versus “Politik Tekstual Sastra”
Posted by PuJa on August 11, 2008
Hudan Hidayat

“Politik tekstual sastra” sangat berbeda dengan “politik sastra”, “sebagaimana jaringan urat dan daging dalam tubuh”. Perbedaan yang telah dilompati oleh Tuan Edy A Effendi. Lompatan semacam ini, adalah kehendak untuk mencampur dan mengabur fenomena hidup.

Feminisme sebagai fenomena kehidupan, membawa wacana peran perempuan dan peran lelaki. Tapi, saat Simone De Beauvoir pandang-memandang dengan dunia dan mulai menuliskan bukunya Second Sex, bukanlah “politik tubuh” tapi “politik tekstual tubuh”.
Upayanya membongkar konstruksi budaya patriarkal yang bukan dalam arti gerakan, adalah investigasi sejarah yang mengikutkan ceruk-meruk pikiran, tentang hakekat tubuh perempuan dan tubuh lelaki.
“Politik tekstual tubuh” ini baru menjadi “politik tubuh”, saat seorang Gadis Arivia di Indonesia mendirikan Jurnal Perempuan.
Mengapa “politik tubuh” dengan prinsip kebenaran diperlukan?
Karena hampir mustahil mengantarkan “politik tekstual tubuh” kehadapan publik tanpa medium institusi. Dan apakah maksud kedua tokoh yang berlainan ruang dan waktu ini, dengan “politik tubuh” dan “politik tekstual tubuh”, kalau bukan didorong oleh hasrat untuk menunjukkan dan menggapai keberagaman eksistensi, demi kesetaraan dan keadilan itu sendiri?
Kita bisa tak sepakat dengan argumen Simone De Beauvoir, saat ia melacak tubuh dalam varian species. Misalnya, saya belum diyakinkan oleh kategori “takdir” yang menjadi sub-judul bukunya. Bagi saya kata-kata “takdir” merujuk kepada yang transendental. Tapi bagi Simon, kata “takdir’ hanya berhenti pada “data biologis” beragamnya species.
Tapi dengan begitu, pelacakan terhadap hakekat peran tubuh perempuan dan lelaki telah terhenti. Sebab, awal dari spirit De Beauvoir, adalah untuk mengejar mula pertama dari, atau bagi, kesetaraan yang menjadi medan perjuangan kaum perempuan terhadap dominasi dan ragam laku lelaki?
Eksposenya yang amat indah itu (saya terkenang keindahan Frued saat ia menuliskan psikoanalisa) , tidak menjawab siapakah manusia lelaki pertama dan manusia perempuan pertama, dan bagaimana corak mengada kedua manusia yang berbeda jenis kelamin ini?
Kalau “data biologis” De Beauvoir tidak menemukan jawaban atas kemungkinan instinktif yang terbawa oleh gen, maka sebuah embrio patriakal pastilah bermula dari interaksi manusia lelaki pertama dan manusia perempuan pertama, yang tentu saja berkembang dan meluas pada lingkungan awalnya.
Sebab, konstruksi kebudayaan patriarkal yang kita kenal kini, adalah turunan belaka dari lingkungan awal yang berkembang dan meluas itu.
Tapi, kapan mulainya dan di mana awalnya?
Adalah “politik tubuh” yang mengantarkan “tubuh” menjadi kristal, dan “politik tekstual tubuh” yang membuat unsur kristal berbinar. Persis seperti “tubuh malam” yang menggelar dirinya, tapi kunang-kunang malam yang membuat mata bisa memandang keelokannya. Atau politik negara yang mengantarkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Tuan Edy A Effendi dalam postingnya, bolak-balik menggunakan pemakaian antara “politik sastra” dan “politik tekstual sastra” yang bercampur, seraya hendak menarik saya pada, atau mengingatkan peran akan, niat untuk membongkar “politik sastra”. Bahwa sejarah sastra 13 tahun terakhir melibatkan saya dalam peran semacam itu.
Tapi Tuan Edy lupa, bahwa statemen itu ditempatkan bukan sebagai pernyataan terpisah tapi bersambung. Yakni: ketertarikan saya akan “politik tekstual sastra”.
Dalam sambungan semacam itu, kata “tidak ada niat” itu harus ditempatkan. Sebab hanya berhenti pada membongkar “politik sastra”, maka tubuh yang bercahaya itu akan kehilangan peluang untuk menguakkan unsurnya (tubuh yang indah, kata Dewi). Ia hanya akan berhenti pada peristiwa. Berhenti pada “politik tubuh”. Pada “politik sastra”. Ini sama dengan dunia tanpa tujuan. Atau manusia berjalan tanpa tahu mengapa langkahnya gontai.
“Politik tubuh” atau “politik sastra” yang signifikan, hadir puluhan tahun silam saat seorang penyair menerbitkan bukunya. Tapi substansi buku itu bukan lagi menjadi “politik sastra” atau peristiwa sastra yang dimaksud Tuan Edy, tapi telah menjadi “politik tekstual sastra”.
Begitulah saya membaca ketika seorang penyair Sutardji calzoum Bachri dengan radikal dan konsisten menggeluti temanya dalam bukunya O Amuk Kapak. Sebutan radikal dan konsisten, bagi sang seniman, adalah kesetiaannya menggeluti tema bahwa ia mencari kedalaman dengan temanya, bahwa ia konsisten dengan upaya terhadap temanya itu.
Seorang seniman bukanlah terutama seseorang yang menasbihkan dirinya sebagai pembongkar “politik sastra”. Dia bukanlah seorang politisi sastra (seperti diterminologikan pada dirinya sendiri oleh Saut Situmorang). Tapi seorang yang dipukau oleh isi sastra itu sendiri. Dipukau oleh dunia ini sendiri. Persis seperti anak kecil yang terpesona memandang keluasan alam. Atau seseorang takjub ketika benda abstrak (pikiran) bisa menghasilkan benda konkret (grafis huruf).
Mengapa saya gemar membaca Sutardji?
Karena pada penyair ini, kata radikal dan konsisten yang didambakan Tuan Edy, bekerja dengan intensitas yang tiada terkira.
Adalah salah, kalau karena ketertarikan saya, lalu seseorang memandang bahwa itu adalah upaya seorang Hudan untuk membongkar seorang Sutardji dalam aspek “politik sastra” dan “politik tekstual sastra”nya.
Seorang sutardji tidak melakukan “politik sastra” (kecuali mungkin perannya sebagai aktor intelektual di dalam “pengadilan puisi” di Bandung itu). Tapi melakukan habis-habisan “politik tekstual sastra”.
“Politik tekstual sastra” Sutardji, bekerja dalam dua bidang secara simultan. Bidang yang saling menopang sekaligus saling menjauhi. Kata yang hendak dilepaskannya dari makna, adalah sebuah tindakan revolusioner dalam dunia sastra Indonesia modern. Di saat sastrawan angkatan 45 dan 66 masih berkelindan dengan derap dan arus revolusi, yang meninggalkan jejaknya pada penciptaan realis, maka Sutardji terbang dan menebang langit dengan kapaknya meminjam esai Mariana tentang Sutardji. Apakah yang ditebang Sutardji?
Sebuah langit sebagai benda alam?
Tapi Sutardji menebang juga konvensi bersastra di negeri kita. Dengan melepaskan fungsi makna dari kata, Tardji bukanlah sebagaimana disebutkan Ignas Kleden sebagai, atau hanyalah, sebuah strategi literer yang hanya bisa dirujukkan pada semangat penciptaan, sehingga tidak perlu dikejar maksudnya dalam bingkai common sense.
Sebab cara pandang seperti ini, seolah meledek upaya pencarian Sutardji, seolah tak akan sampai upaya seperti itu. Atau di bidang prosa, seolah menggaung kembali kata-kata resah Iwan Simatupang: Hans (HB. Jassin), dapatkah kita melewati ambang yang tak terkatakan itu?
Tapi “politik tekstual sastra” Tarji benar-benar memberikan cara pandang lain. Bukan hanya bertarung dengan konvensi sastra yang melingkupinya. Tapi terutama bertarung dengan gagasan sastranya sendiri. “Politik tekstual sastra” itu akhirnya harus berhadapan dengan dirinya sendiri sebagai penyair.
Dan itu dimulai dari kredonya yang amat terkenal itu: kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Segera muncul: kalau kata bukan alat maka ia hanya pengertian belaka. Tapi dapatkah ada pengertian tanpa adanya kesadaran? Dan apalah artinya kesadaran tanpa medium bagi seorang penyair atau novelis. Dan medium itu adalah kata. Dan pada mulanya kata adalah titik yang ditarik menjadi garis lurus, yang berkelok menjadi huruf.
Karena pengertian adalah kesadaran, maka kita dapati makna yang terurai pada puncak-puncak yang ditunjukkan Sutardji sendiri dalam puisinya, sebagai “alat” bagi pengertian Sutardji dan pembaca puisi Sutardji.
Kata memang bukan alat (belaka) untuk mengantarkan makna. Tapi kata menjadi medium bagi kesadaran jiwa.
Tesis inilah yang saya pilih saat menuliskan “kredo seni di atas kredo puisi”.
Ketika kata menjadi bebas, kebebasannya bukanlah terbang dan menebang semata semantik, menceraikan dirinya sehingga tak terjejah lagi. Kata bebas dan terbang untuk mencari kata-kata lain yang kiranya cocok untuk dayanya sendiri. Yang membuat kreatif, kata Tardji.
Tapi tetap: kata yang terbang dan menebang itu, adalah dan hanyalah benda mati tanpa kesadaran. Pengertian pun adalah benda mati tanpa kesadaran. Persis seperti Tuhan adalah nothing tanpa dunia dan manusia. Atau Tuhan menjadi nothing tanpa diriNya. Sebab tiap kesadaran membutuhkan ruang, seperti roh membutuhkan tubuh sebagai ruang.
Karena itu Tuhan menubuh pada dunia.
Atau roh menubuh pada badan manusia.
Dan kesadaran menubuh pada kata-kata.
Dengan lain perkataan, kata memang adalah medium untuk mengantarkan pengertian. Tapi pengertian kreatif, yang menjauh dari pengertian sehari-hari dalam maknanya.
Di sinilah titik pisah antara “kredo seni di atas kredo puisi”.
Begitulah saya menemukan kreatifitas “menceraikan” kata ini, atau kata-kata yang bebas itu, bukan terutama pada sajak “hampa nilai” yang diajukan Ignas Kleden (ping di atas pong). Tapi juga pada permainan penceraian tipografi yang berakibat pada pengubahan makna yang sampai pada kita.
Dalam sebuah kajiannya yang sangat bagus tentang Sutardji (tapi kapan Ignas akan menulis sebuah buku tanpa diundang? Dan inilah poltik sastra itu!) yang dimuat dalam harian Kompas (Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri), Ignas menunjukkan kontradiksi pikirannya sendiri.
Bagi saya, demikian Ignas, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad. »
Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujdukan apa yang telah dia deklarasikan.
Perhatikanlah kekaguman seorang Ignas akan Sutardji yang membawa serta perlawanan bawah sadarnya – daya kreatif Ignas. Sebuah kontradiksi diletakkan Ignas: bukankah saat saat sang penyair sanggup mewujudkan apa yang telah dideklarasikannya, adalah pemenuhan bagi konsistensi dalil-dalilnya?
Syang Hai yang dikutip Ignas bisa menjadi representasi bagi kreatifitas Sutardji memainkan kata. Juga melepaskan kata dari makna dan pengertiannya. Tapi hilangkanlah larik terakhir (sembilu jarakMu merancap nyaring), apakah Ignas masih mengatakan puisi itu seolah gumam seseorang yang berzikir menyebut nama Tuhan? Tidakkah ia menjadi sebuah permainan kata yang memang unik dan kita rasakan keindahan penyebutan-penyebut annya, tapi menjadi sesuatu yang gelap dalam tingkat penafsiran: apakah ini? Apakah yang dikehendaki sang penyair dengan sebuah struktur kata yang mengingatkan saya pada sebuah olahraga di masa kecil: pingpong. Di mana kata berjatuhan dari bidang satu ke bidang yang lain, seolah bola putih yang kecil itu.
Ping di atas pong
Pong di atas ping
Ping ping bilang pong
Pong pong bilang ping
Mau pong? Bilang ping
Mau ping? Bilang pong
Mau mau bilang ping
Ya pong ya ping
Ya ping ya pong
Tak ya pong tak ya ping
Ya tak ping ya tak pong
Kutakpunya ping
Kutakpunya pong
Pinggir ping kumau pong
Tak tak bilang ping
Pinggir pong kumau ping
Tak tak bilang pong
Sembilu jarakMu merancap nyaring
Dalam sebuah sajak yang sarat humor (jadi tidak benar kalau sastra Indonesia, tegang dan kekurangan humor seperti kata Ayu Utami dalam kolomnya di sebuah media), Sutardji datang dengan “puisi prosa” tapi mengandung magis puisi: ikan membawa air dalam mulut taman, katanya. Sebuah larik yang mengejutkan : bagaimana mungkin seekor ikan membawa air (ke) dalam mulut taman? Pastilah air yang dibawanya itu tersimpan dalam mulutnya. Lalu ia keluarkan ke taman itu. Tapi permainan tipografi puisi menjelaskan bukan itu maknanya.
ikan membawa air
dalam mulut
taman
Dengan membaca sajak ini dalam tipografinya, terlihat makna itu. Tapi pola larik itu diletakkan, juga pemakaian «tanda tanpa tanda», membuat kita membaca puisi itu seolah prosa, sehingga kita sampai pada kesimpulan, atau sejenak kesimpulan itu terserap, pada pengasingan kata dengan misteri maknanya (seolah ikan itu membawa air dalam mulut taman).
Sejauhnya saya ingin menghindar dari kategori Saut Situmorang, yang menempatkan sastra sebagai dunia kangou yang harus memakan kurban dengan jalan saling menumbangkan. Saya melihat sesuatu bekerja bukan sebagai penumbangan tapi sebagai “bagaimana cara memandang ». Dunia ini memang tempat orang berpandang-pandanga n. Karena itu kalau saya membuat “kredo seni di atas kredo puisi”, bukanlah lalu saya meniatkan untuk menumbangkan Sutardji. Tapi melihat cara lain seperti cara lain yang dilihat Sutardji.
Atau kalau saya tidak bersetuju dengan pandangan dominan di negeri ini, yakni mereka yang menganut bahwa pengarang sudah mati setelah karyanya lahir. Sebab saya mempunyai angle lain. Bahwa seni itu, sungguh adalah kehidupan itu sendiri. Kehidupan dimana fiksi dan fakta berimpit, saling menunjukkan dirinya seperti dua sisi mata uang dari keping yang sama.
Dan itulah seni fiksi dan seni fakta – sebuah basis bagi pengertiaan saya tentang dunia penciptaan.
Barukah basis itu? Tidak. Kita bisa melihat seni fiksi dan seni fakta ini bekerja dalam tubuh dalang, dimana cerita wayang kita kagumi bukan hanya pada peristiwa yang diceritakan sang dalang, tapi oleh gerak dan gerik dari tubuh sang dalang.
Tuan Takdir mengobarkan « polemik kebudayaan » seraya dengan angkuh membenamkan tradisi sebagai sebuah masa lalu yang tak perlu diingat lagi. Tapi serentak dengan itu, segera pula ia memasuki kontradiksinya sendiri.
Katanya:
Hal itu bukan sekali-sekali berarti, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang tumbuh itu tiada akan terdapat sesuatu element prae-Indonesia jua pun. Pertentangan semangat prae-Indonesaia bukanlah pertentangan 100 persen, pertentangan dalam segala hal.
Tapi dia menulis juga, tentang “kebudayaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudayaan Jawa, sambungan kebudayaan Melayu, sambungan kebudayaan Sunda atau kebudayaan yang lain.”
Atau seperti kata-kata Armijn, “kita mengakui keindahan pantun. Tapi tempatnya bukan pada masa kini.”
Tapi dengan cepat keangkuhan seperti ini patah oleh sebuah disertai Dahm, yang memperlihatkan betapa seorang Sukarno dibayang-bayangi oleh tradisi wayang yang digemarinya sejak kecil, yang telah membuat dirinya menjadi pemimpin modern Indonesia.
Dan itulah seni fiksi dan seni fakta. Kenyataan hidup yang menunjukkan dua sisi dari keping uang yang sama.
Ada yang hendak saya ulang-ulang, bila berhadapan dengan sejarah. Saya tak ingin mengatakan orang budaya telah kalah dengan orang politik. Tapi dengan getir saya bisa berkata: bahwa orang budaya tidak ada yang serevolusioner orang politik dalam temanya.
Sebab, bila orang politik melakukan perjuangan politik sampai masuk penjara dan dengan gemilang menuliskannya dalam teks politik (Indonesia Menggugat atau Renungan Indonesia misalnya), maka orang budaya menyerah pada sensor “Balai Pustaka”?
Lihatlah metapora yang dipakai dalam novel di kedua angkatan itu (Balai Pustaka dan Pujangga Baru). Tak satu pun kita temukan metapora tentang bebasnya Indonesia dari penjajahan kolonial. Tokoh-tokoh novel di dalam kedua angkatan itu, seolah kehilangan daya imajinasinya untuk memetaporakan kebebasan Indonesia melalui peristiwa dan makna novel yang diceritakannya. Padahal klaim bahwa sastra adalah alat perjuangan bangsa sudah menjadi jargon.
Bahkan pada angkatan 45 pun, metapora tentang kebebasan ini tak kita temui. Sehingga kita menjadi sedih saat Jassin dalam bukunya Kesusastraan Indonesia Jaman Jepang, demi mencari metapora yang saya maksudkan, memaksa puisi Chairil « Hampa » sebagai metapora bagi kehendak untuk kemerdekaan Indonesia.
Kita tahu, Hampa bukanlah sebuah puisi yang bisa dicantelkan dalam bingkai kehendak untuk merdeka itu, karena Hampa adalah sebuah puisi dimana mekanisme jiwa Chairil sudah tidak tahan lagi akibat jalan hidup yang dipilihnya sendiri.
Tuan Edy dalam postingnya menuntut saya agar radikal dan konsisten dalam berkata-kata. Agar jangan bereksistensi secara palsu saat berada di ruang manapun. Menarilah seperti dirimu, katanya. Tapi Tuan Edy lupa, apakah pengertian ruang dalam zaman yang makin menyempit ini? Dan apakah pengertian palsu?
Bagi saya sebuah milis yang serius dengan temanya, senilai dengan sebuah ruang koran atau ruang buku. Dan apakah peserta milis ini masuk ke dalam “ruang yang lain”? Tentu tidak. Sebab ruang kini sudah berimpit: kita menjadi anggota suatu milis seraya tetap membaca dunia.
Kafka telah lama meninggalkan kita, dan karena itu ruang jiwanya tak mungkin berimpit pada ruang kita. Tapi sebagai orang yang datang belakangan, ruang jiwa Kafka masuk ke dalam ruang privat saya. Ruang privat yang saya pelihara dengan baik.
Tapi dalam ruang itu saya mesti menyisihkan ruang bagi otensitas saya sendiri. Saya juga harus menyisihkannya untuk ruang bagi nilai in absentia yang saya rindukan. Sebagai seorang seniman saya harus mampu menangkapnya untuk dihadirkan bukan pada masa depan tapi pada masa sekarang.
Lama saya merenungi masa depan itu seperti buah apel di mana pohonnya ada tapi tidak terlihat dengan mata fisik kita. Atau entah di kandung telur siapa dan di sperma lelaki mana seorang “Hitler” yang lain. Ia ada di suatu tempat, di lelaki dan perempuan yang akan datang kemudian, sebagaimana sebuah rahim dan sperma yang akan membawa Newton yang lain. Atau mungkin “mereka” sudah hadir di masa kini? Siapa yang tahu. Dalam keseluruhan gerak semesta maha-luas ini, kita hanya setitik debu yang sombre sendiri.
Pohon apel itu hanya bisa dilihat dengan mata jiwa. Sebuah kesadaran yang membelah diri dengan radikal, yang tak hanya berpuas dengan tepuk tangan atau menangguk pujian (yang nyatanya kerap dilakukan melalui politik sastra yang berlebihan itu), adalah kesadaran yang mungkin bisa menangkap pohon yang telah hadir tapi tidak kelihatan itu.
Apakah palsu, kalau kita bereksistensi dengan ruang kita sendiri? Kalau kita tidak pernah beranjak dari ruang kita sendiri.
Palsu adalah sebuah tindakan eksistensi yang mengingkari hati nurani, yang dalam dunia politik menjadi samar mana strategi mana niat yang sudah dikebiri.
Pada seorang seniman kepalsuan terbaca pada temanya, pada ungkapan jiwanya saat dia menulis. Tema sastra dari sebuah jiwa yang palsu suka membalik angin. Kalau badai besar datang dia sembunyikan temanya dalam retorika yang mengebiri pendiriannya. Kalau badai reda dia kembali dengan temanya.
Sikap gagah-gagahan yang datang dari dunia kanak-kanak seperti itu, tentulah bukan etos yang kita kehendaki.
Mengapa demikian?
Karena saya meyakini kesusastraan bukanlah sekedar pajangan huruf-huruf untuk olahraga pemikiran.
Tidak.
Kesusastraan adalah hidup itu sendiri.
Hidup dari rentang sakrataul maut, dari serius dan main-main.
Mungkin main-main adalah sebuah bonus bagi jiwa yang resah dan gundah. Mungkin main-main adalah salah satu mekanismenya agar dia tidak gila. Tapi selebihnya kesusastraan adalah upaya menguakkan kebenaran. Menguakkan kebenaran sambil bermain-main. Karena bermain-main sesungguhnya adalah wajah lain dari sebuah kesungguhan.
Tentu saja menguakkan kebenaran bagi sastra adalah mengambil jalan menikung. Dalam tiap tikungan itu ia melambung, melambungkan pikiran untuk berimajinasi secara bebas, untuk berfantasi secara bebas. Karena hanya dengan kebebasan itulah barangkali pohon yang tak kelihatan tapi ada itu bisa dipetik. Dimakan buahnya oleh orang kini atau orang yang akan datang.
Tubuh kita boleh mati. Tapi pikiran kita akan abadi sebagai obor bagi mereka yang mencoba meraih misteri Tuhan dalam tiap bidangnya, dengan umpan yang mungkin dari kesusastraan.
Dalam dunia semacam itu, sungguh tidak ada tempat bagi sikap yang palsu. Apalagi sikap yang hanya seolah-olah telah berhasil menguakkan kebenaran lalu menghardikkannya dengan paksaan, padahal ia baru berjalan-jalan di kulit kebenaran. Kulit yang terasa sebagai dunia formal-moral- agama yang hendak mengkerangkeng kebebasan manusia dalam tiap ciptaan dan ekspresinya. Dari mereka yang miskin tafsir.
Karena tidak mau terkerangkeng, saya mencoba membuat kategori sendiri dalam upaya merebut makna dunia. Makna yang saya kategorikan sebagai takdir dunia, misteri dunia dan tafsir dunia.
Karena itu saat membaca Kitab itu lagi, saya melihat ketimpangan demi ajaran moral yang baik, seolah buruk itu bukan dari Tuhan sebagai implementasi dari kategori takdir.
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf. Dan Yusufpun bermaksud (melakukannya pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.”
Inilah ayat tentang pelajaran pornografi, yang dengan sangat berani diceritakan oleh sang Penguasa Bumi. Berani, karena melibatkan Nabi yang dipilihnya sendiri.
Berhadapan dengan penceritaan semacam itu, tidaklah diperlukan imajinasi dan fantasi yang luar biasa untuk membayangkan sebuah pergumulan demi “permainan burung” yang akan berlangsung.
Segeralah kita tahu betapa Tuhan sayang pada kita. Mengajarkan bukan saja pandai berbicara tapi melatih imajinasi dan fantasi sebagai alat ampuh demi menguakkan rahasiaNya di langit dan di bumi.
Menyadari betapa tak terperikan rahasia langit dan bumi, maka Dia membekali manusia dengan kebebasan berpikir tanpa batas, yang diajarkanNya secara imajinatif dan fantastik tentang benda-benda dan nafsu-nafsu manusia.
Tapi manusia mengkerangkeng kebebasan itu ke dalam tafsir yang sungguh bertolak belakang dengan apa yang Ia sendiri ingin maksudkan:
“Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaicha), akan tetapi godaan itu demikian besarnya sehingga andaikata dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu dia jatuh ke dalam kemaksiatan.”
Bukankah teks itu sendiri yang berkata, bahwa keduanya saling menginginkan? Bahwa kemudian Yusuf melihat tanda dari Tuhannya maka “tanda” itu tidak serta merta menggugurkan “keinginan” yang sudah terlanjur menjalar ke dalam diri Yusuf.
Ataukah kita harus menafsirkan seperti ini: keinginan tersebut menjalar ke dalam diri Yusuf tapi secepat kilat ia berhenti, karena melihat tanda itu.
Tapi apa pula bedanya perdefinisi “keinginan” seperti itu? Toh Tuhan tidak sedang bermain pokrol bambu.
Tuhan mencintai manusia. Tapi manusia suka membuat orang lain “malas” mencintai Tuhan.
Sebagaimana begitulah adanya.
Tapi tak begitu seharusnya.
Jakarta, 26 april 2008

0 comments:

Post a Comment