Bidadariku
Posted by PuJa on February 27, 2012
Daisy Priyanti
http://www.suarakarya-online.com/
Semenjak kematian ibu dan ayah, aku hanya hidup berdua dengan Ri. Dua adik perempuanku yang lain, Lily dan Nan, ikut tewas dalam kecelakaan itu. Kalau saja Senin pagi itu aku tidak menghadiri pemakaman kakek, tentu tubuhku akan hancur terbakar pula seperti mereka.
Ibu dan ayah tidak meninggalkan warisan apa-apa selain rumah beserta isinya yang aku tempati. Tidak uang di bank, rumah lain, atau sebidang tanah. Hanya Ri, adik terkecilku yang baru berumur seumur ibuku saat melahirkan Ri.
Ri adalah bidadariku. Aku membesarkannya sebagaimana darah dagingku sendiri. Aku membiayainya dengan uang sebagai guru di TK, karena memang tidak ada sanak keluarga untuk dimintakan tolong. Kalau pun ada. aku memilih tidak mengharapkan kebaikan mereka.
Bertahun-tahun kami hidup berdua. Hanya berdua, karena sebenarnya di dalam hatiku tidak ada lagi ruang untuk lelaki. Bagiku cukup Herman, orang yang memacariku seama delapan tahun dan menikah dengan perempuan lain yang lebih cantik dan lebih muda dariku, tepat ketika aku berulangtahn ketiga puluh.
Aku menyesali kebodohanku karena telah bersedia dibohongi selama bertahun-tahun. Aku hanya bisa menyesal. Aku tidak mungkin meratap sepanjang hidup hingga kewarasanku hilang. Lagi pula aku masih memilii Ri, dan aku bisa menyibukkan diri dengan murid-muridku.
Aku tidak pernah melarang Ri mengenal lelaki. Saat seorang berumur 22 tahun sering menjemputnya tiap Sabtu sore, aku tahu dia telah menemukan kekasih. Aku hanya mengingatkan,”Ri, berhati-hatilah pada lelaki.” tanpa harus kujelaskan, aku yakin dia mengerti. Pengalamanku dengan Herman cukup menjadi cermin baginya. Juga pengalaman Andini, tetangga seberang rumah kami yang jadi gila karena tunangannya membatalkan pernikahan.
Tapi, memang susah mengurus buah hati di saat dunia dipenuhi pemuda-pemuda hippies yang menjadikan kebebasan sebagai agama, lirik lagu dan puisi sebagai kitab suci, serta narkotik dan seks sebagai ritual ibadah. Orang menjuluki mereka generasi baru bernma generasi paling slebor dalam sejarah hidup manusia.
Akibatnya, sia-sia saja aku membimbing Ri. Lelaki itu pun sangat tidak menghormatiku. Jam malam yang kuberlakukan hingga pukul 10 malam tiap sabtu kian serng dilanggar. Dia sering mengantar Ri setelah tengah malam, tanpa ucapan “Maaf, kami terlambat” atau “Saya pulang, permisi.” Gayanya seperti lelaki-lelaki tengik yang pernah kulihat.
Suatu malam pernah kuperingatkan pemuda itu. Juga Ri. Tapi… ah, ternyata Ri juga tidak lagi menghormatiku. Dia marah-marah dan tidak mempedulikanku. Akhirnya aku berpikir bahwa Ri harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Kubiarkan dia pergi ketika memilih menikah dengan lelaki itu dalam usia sama dengan usia ibu saat menikah dengan ayah.
Aku sebenarnya tidak ingin pernikahan itu. Bagiku jlan mereka masih jauh. Masih banyak yang harus mereka lakukan daripada menikah. Sebab, apa yang bisa dilakukan seorang lulusan SMA yang tidak mempunyai keahlian apa-apa? Mereka harus melihat kenyataan bahwa hidup ini susah. Tapi, mereka terlalu dimabuk asmara. Tidak ada pesta dan tidak ada yang diundang. Keluarga lelaki itu memang menikahkan mereka tanpa pesta apa-apa. Usai menghadap pendeta, Ri pergi bersama pemuda itu. Hm, perempuan kecil yang dulu selalu kukecup keningnya, kini pergi dengan sebuah kapal.
Kuhampiri pemuda itu. Aku menatap matanya,jauh ke dalam jiwanya, namun dia memalinkan wajah. “Jagalah Ri baik-baik. Kalau tidak, aku akan menyusahkanmu.”
Dia malah tertawa tanpa menatapku. “Memangnya apa yang akan Anda lakukan? Membunuhku?”
Aku menyungging senyum. Lalu dia pergi, menggandeng Ri yang termangu memandangku. Sejak itu aku tidak pernah melihat mereka. Ri sepertinya melupakan rumah tempat kami lahir dan dibesarkan.
Suatu pagi, 16 bulan kemudian, bidadariku datang kembali ke rumah milik almarhumah ayah.
“Kak … ” cuma kata itu yang diucapkan Ri. Aku diam saja, memeluknya seperti selalu aku lakukan. Tapi, kurasakan pelukanku kali itu lebih erat.Iba yang menyergap membuatku memeluknya erat. Batinku berbisik, “Tuhan, apa terjadi padanya?”
Aku melihat kebalikan luar biasa. Dulu Ri bidadariku yang sangat cantik. Kulit putih dan lekuk tulang yang sempurna, dia menjadi idaman teman sebayanya. Kecantikan ibu memang menurun padanya. Nilai-nilai sekolahnya sejak TK hingga akhir SMA selalu 8 atau 9. Ibu dan ayah selalu menanamkan pemikiran pada anak-anaknya bahwa perempuan harus pintar dan mandiri, suoaya tidak diremehkan lelaki. Tapi, aku tidak menyangka pemikiran itu telah dikoyak-koyak lelaki yang dicintainya.
Kini aku melihat orang lain. Dengan tubuh kering kerontang, pucat, dan mata cekung, Ri lebih pantas disebut mayat hidup daripada bidadariku, meski garis garis kecantikan masih tersisa di wajahnya. Aku mengaliri jemari di wajahnya yang dihiasi lebam kebiruan. “Apa yang telah terjadi padamu. Ri?” Aku menangis.
Dia hanya tertunduk. Wajahnuya tersembunyi di balik rambutnya yang panjang, tergerai tanpa disisir. Lalu aku mengajak bidadariku masuk ke rumah. Setelah menyuruhnya membasuh badan dan mengganti pakaian, aku membimbingnya beristirahat di kamar tempat dia dulu selalu kubacakan dongeng sebelum tidur. Kubawakan dia segelas susu coklat hangat. “Minumlah, Ri.”
Dia segera menghabiskan minuman itu.
“Apa yang sudah terjadi padamu,Ri?” Aku bangkit dari kursi berjarak satu langkah dari tempat tidur.
“Aku tidak bahagia hidup dengannya,” Ri mulai bicara, “dia tidak sebaik yang aku kira. Janji-janjinya mengenai hidup bahagia hanya karangan agar aku mengikutinya. Satu bulan setelah pernikahan itu, aku tahu dia hanya seorang bajingan. Sikap baiknya selama ini hanya untuk menutupi keburukannya.”
Sebenarnya, aku tahu Ri menikah dengan lelaki yang menggemari alkohol, heroin, ganja dan ampethamine. Tapi, aku tidak mengira lelaki itu akan memukul Ri ketika tidak memiliki uang untuk membeli baang-barang laknat itu. Yang paling menyakitkan, dia sering menyerahkan Ri kepada teman-teman lelakinya untuk mendapatkan uang atau barang barang laknat itu. “Dia selalu mengancam akan membunuhku bila menolak,” ucap Ri terisak. “Dia malah menonton saat aku ditiduri teman-temannya. Sering pula aku dipaksa pakai barang-barang itu. Katanya, supaya aku tidak cepat letih dan tetap gembira.”
Aku tidak mempunyai kata-kata. Semua perasaan telah menyumpal mulutku dan menyesakkan dadaku. Aku langsung teringat tawa menghina lelaki itu saat membawa Ri pergi.
Esoknya aku mengetuk pintu kamar Ri. Aku sengaja membangunkan agak siang. Aku tahu dia sangat lelah. Semalaman kami banyak cerita tentang hidupnya bersama lelaki itu.
“Ri, bangun… sudah jam sebelas. Aku sudahmenyiapkan sarapan.”
Sepi.
“Ayolah bangun, Sayang…”
Masih Sepi.
“Widuri…”
Tetap sepi.
Berbagai pikiran buruk segera menyergap otakku. Aku memegang gagang pintu. Ternyata tidak dikunci. Aku menjerit keras. tubuh Ri tergeletak tak bergerak di atas lantai. Darah segar membasahi lantai dan piyama yang dikenakannya. Sebilah belati bergagang warna perak tergeletak di dekat tangan kanannya.
Aku menghambur ke arahnya. Memeluk tubuhnya dan menangis sejadinya. Selembar kertas kutemukan di atas kasur, ditulis tinta merah: “Tinta ini darahku sendiri. Aku terlalu nista ntuk kakak dan semua orang. Aku ingin lepas dari penderitaanku. Aku ingin bebas. Dan, aku ingin merasakan kematian di kamarku sendiri.”
Bidadariku telah menggorok lehernya sendiri. Beberapa tetangga dan teman mengantarkan Ri ke pemakaman, selain aku, pendeta, dan pekerja pemakaman.
Semalaman aku memperhatikan rumah kecil bercat putih kusam itu dari balik kaca mobilku. Pukul satu dinihari, aku melihat seorang lelaki muda berambut ikal sebahu memasuki pekarangan. Dia memakai kaus oblong hitam dan jaket blue jeans lusuh yang lengannya digulung di batas siku.
Aku keluar dari mobil dan menghampirinya. “Berto …”
Lelaki itu menoleh dan meneliti wajahku. “Ah, Anda rupanya. Bagaimana keadaan Ri? Baik baik saja? Dia kabur dari rumah ini, katanya untuk menemuim dan riondu dengan kamarnya. Aku biarkan saja. Di mana dia sekarang?”
“Ri baik-baik saja. FDia memintaku menjemputmu.Dia menunggumu di pondok.Kami sedang bermalam di sana.”
Dia mengangguk.
Aku mengajaknya masuk ke mobil, dan pergi ke sebuah pondok di kaki bukit yang biasa digunakan para pelancong menginap. Udara sangat dingin menyambut kami. Aku memperlakukan dia istimewa. Kutuangkan secangkir kopi panas untuknya, dari termos yang kubawa. Tetapi, dia malah menatap curiga padaku dan cangkir itu.
“Kamu mengira aku memberimu kopi itu racun, ya?” Aku tersenyum tipis. “Bagaimana mungkin? Aku hanya seorang guru yang kurang bergaul.”
“Mana, Ri? Anda katakan dia menunggu disini.”
“Mungkin dia tidur di kamar. Dia pasti lelah.”
Tanpa dipersilakan, dia menghabiskan isi cangkir. Tak lama kemudian dia terjerembab jatuh dari kursi. Begitu terbangun, tangan dan kakinya telah terikat kuat di kursi kayu panjang. dia tidak bisa bererak. Dia memang lelaki bodoh, dan selalu meremehkan perkataanku.
Lama kami disana. kulihat jam di pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir subuh.
“Apa yang Anda lakukan?” lelaki itu menggumam. Membuka mata dan menatapku.
Aku memandangi wajahnya.
“Jawab pertanyaanku, perempuan laknat.”
Kuludahi wajahnya. “Kamu ingat perkataanku untuk menjaga Ri baik-baik sebab kalau tidak aku akan menyusahkanmu?”
Dia maah tertawa. “Memangnya apa yang akan Anda lakukan? Membunuhku?”
Kalimat dan mimik yang sama.
“Iya!” Dia menghardikku, “Jawab, perawan tua? Atau Anda sudah tidak perawan lagi, ya?”
Dia tertawa keras. Aku hanya menatap matanya, jauh ke dalam jiwanya.
“Heeeei” Dia berteriak cemas dan kebingungan, melolong minta tolong meski tahu sia-sia saja kaena tidak ada seorang pun yang mendengar. Tubuhnya berlumur keringat dingin. Dia menjerit dan meraung-raung. Bagiku, suaranya seindah alunan seorang Matt Monro atau Rio Febrian ditimpali bunyi dedaunan yang terdengar laksana simfoni karya Beethoven atau Mozart.
Itulah lagu kematian untuknya.Aku duduk di bangku kayu tua di depannya, memperhatikan keringat yang terus membasahi sekujur tubuhnya. Memerhatikan bagamana dia terus meraung dan menangisminta belas kasihan.
Tetapi, apa dia mendengar jeritan bidadariku ketika dipukulinya? pa dia mendengar rintihan bidadariku ketika dia dipaksa melayani tema-teman lelakinya? Apa dia mendengar raungan bidadariku ketika barang-barang laknat itu merajam tubuhnya? apa dia tahu bagaimana tidak enaknya merasakan sakit?
Kemudian, aku begitu membenci suaranya yang mulai menyakiti telinga dan kepalaku. Kuambil belati bergagang warna perak yang kuselipkan di anak tangga teras. Kuhentikan suaranya, kugorok lehernya. Darah pun menyembur ke mana-mana. ***
/25 Februari 2012
0 comments:
Post a Comment