Jeng Niniek dan Mas Apung
Posted by PuJa on February 27, 2012
Sunaryono Basuki Ks
http://www.suarakarya-online.com/
Ini kisah yang unik yang kuharap tidak akan terjadi pada diriku. Aku tidak pernah menduga hal ini bisa terjadi, tetapi pada suatu malam aku dibikin terbengong-bengong dengan sebuah panggilan telpon melalui HP ku yang bukan blackberry, apalagi telpon genggamku itu berwarna kuning. Aku memegangnya di tangan kiri dan mendengarkan ocehan dari seberang sana dengan telinga kiri. Ini kulakukan atas saran menantuku Memi Nurhariani yang meneruskan sms mungkin dari temannya tentang hasil penelitian seorang dokter mengenai bahaya signal radio terhadap otak kanan kita.
Paling aman mendengarkan telpon dengan telinga kiri sebab gelombang radio tidak mencapai otak kanan karena kita mendengarkan telpon dengan telinga kiri. Otak kanan paling sensitif dan kalau terlalu banyak mendapat gelombang radio yang dipancarkan hp bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan.
Bukan sinyal radio yang membuatku gelisah tetapi sebuah tangis meminta tolong , suara seorang perempuan yang kalau tidak menyebut namanya aku pasti tak tahu siapa yang menelpon. Soalnya, nomor yang dia pakai berbeda dengan nomor yang tersimpan di dalam phonebook dalam hpku.
“Oh, Jeng Niniek,” kataku dengan mengirup nafas dalam-dalam.
“Tolong, Mas. Kami baru saja bertengkar akibat salah faham. Sekarang semua panggilan telponku tak diangkat oleh Mas Apung. Padahal saya ingin menjelaskan.” Terdengar sedu sedani di seberang sana.
“Oh,” baru agak jelas soalnya. Pasti Jeng Niniek mengira bahwa kami semua mengetahui hubungannya dengan Mas Apung, yang adalah adik kandungku. Memang, semenjak kematian adik iparku, Apung menduda dan sering pulang ke kota kelahiran kami. Ternyata disana dia berhubungan dengan teman-temannya semasa kuliah di Universitas Brawijaya puluhan tahun yang lalu.
Sahabat karibnya adalah Ismu, dan Wayan, yang saat menjadi mahasiswa membuka perpustakaan di rumah kami. Perpustakaan itu memberi nafkah bagi Apung dan teman-temannya. Bahkan, Apung pernah mencari DO untuk mendapatkan jatah satu drum minyak tanah untuk dijual kembali.
Saat itu, harga minyak tanah tinggi, lebih tinggi dari harga bensin, sehingga sering pedagang yang nakal mencampur minyak tanahnya dengan bensin. Akibatnya, banyak kompor meledak.
Pada pertemuan kali ini tentu saja mereka tidak membuka perpustakaan atau berdagang minyak tanah. Mereka semua pensiunan. Istilah kerennya wredatama. Ada yang pensiunan proyek Brantas seperti Wayan, yang pernah mendapat tugas menangani proyek memecah batu di Klungkung. Ada yang pensiunan karyawan Bank BRI seperti Ismu, dan tentu saja di antara mereka ada dua orang ibu yang keduanya sudah menjadi janda kaya. Salah satu di antaranya adalah Jeng Niniek. Waktu itu aku sedang pulang ke rumah dalam rangka persiapan melamar untuk anak bungsu kami. Saat aku asyik berbaring di tempat tidur, Apung masuk ke kamar dan berkabar: “Niniek mau ketemu. Boleh?”
Aku langsung bangkit tanpa menjawab, merapikan pakaian dan rambutku lalu keluar ke kamar tamu. Di situ sudah duduk teman-teman Apung.
“Masih ingat Niniek?” Tanya Apung dan saya menyalami setiap orang, baru memusatkan perhatian pada Niniek. Aku kira Niniek yang sudah menjadi notaris, yang saat menjadi mahasiswa pernah main drama bersamaku dalam komedi Tuan Kondektur karangan Emil Sanossa. Kami bahkan main sampai ke Bondowoso selama dua malam.
Malam pertama aku main sebagai kondektur, sedang malam kedua Munajat yang jadi kondektur, aku hanya berada di belakang layar. Anehnya, saat aku main tak ada yang dibikin ketawa oleh komedi lucu ini, sedangkan pada malam kedua hampir setiap menit pecah ketawa penonton.
Niniek teman mainku itu tubuhnya agak tinggi tetapi Niniek yang kusalami ini agak pendek dan badannya kecil. Aku baru ingat bahwa adikku mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Niniek tentunya temannya di Fakultas. Baru aku ingat dengan Niniek yang tinggal di Jalan Asem yang rumahnya selalu kulewati setiap Minggu pagi seusai aku membaca cerita pendek di RRI.
Aku sering singgah di rumahnya sekedar mencari masukan dari pendengar, dengan kata lain aku selalu menunggu pujian dari pendengar. Hampir semua cerpen yang kubaca adalah karanganku sendiri.
Mbak Wati, kakak kandungku dan Mbakyu Atiek, kakak iparku bercerita pada istriku melalui telpon mengenai kemesraan yang terjalin antara Niniek dan Apung. Mereka bilang, Apung mengatakan bahwa Niniek adalah pacarnya sebelum menikah dengan istri yang kemudian membuatnya menjadi duda ini.
Aku tahu hal itu tidak betul sebab Apung setahuku pernah bercerita tentang temannya yang dipacarinya, teman yang tinggal di sebuah gang di Jalan Sudirman. Padahal Niniek tinggal di Jalan Asem yang jauh dari Jalan Sudirman.
Mungkin Apung lupa atau melupakan pacarnya yang inggal di Gang di Jalan Sudirman, yang sering dikunjunginya sampai malam hari, terkadang sampai jam sepuluh malam. Akulah yang membukakan pintu rumah saat dia pulang dan dia selalu bilang bahwa dia baru pulang dari rumah Utiek, bukan dari rumah Niniek yang jauh dari rumah kami. Pasti Apung sendiri lupa bahwa aku yang selalu membukakan pintu rumah saat dia pulang malam sebab kamarku terletak di depan dan kamar ayah ibu di deretan paling belakang, dan di rumah kami tidak terpasang bel. Jadi akulah yang sering mendengar ketukannya di jendela kamarku.
Aku ragu apakah aku harus menelpon Apung atau membiarkan masalahnya lewat begitu saja. Urusan Apung dan Niniek atau dengan pacar-pacarnya yang lain bukanlah urusanku, aku takut kalau nanti dia tersinggung hingga aku dijadikan musuhnya. Tetapi mendengar “sedu sedan itu” aku juga tak sampai hati.
Hatiku bimbang antara menolong Niniek dan menjaga perasaan Apung. Kalau aku menelpon Apung, pasti istriku marah sebab itu memang bukan urusanku walaupun Niniek sudah minta tolong padaku. Dan tentu aku lebih mencintai istriku di masa tua ini. Aku tak mau menambah perkara dalam kehidupan yang makin mendekati liang kubur.
Mengingat Niniek adalah mengingat masa-masa remajaku saat aku berpisah dengan pacarku. Bukan berpisah secara sukarela, namun karena gadis yang kukira menjadi pacarku selama tujuh tahun ternyata jatuh di dalam pelukan sahabat karibku yang kaya raya.
Saat itu aku tidak tahu mau berhubungan denagn gadis yang mana sebab perempuan yang sangat kupercaya karena sudah minta aku menikahinya, bahkan telah meninggalkanku. Dengan Niniek aku berteman baik. Pernah kuajak nonton apresiasi musik jazz, bersama dengan adik-adiknya.
Aku tidak pernah merasa menjadi pacar Niniek, apalagi saat pergi itu kami tidak hanya berdua tetapi dua saudara lelakinya ikut. Jadi hal itu tidak kuanggap sebagai pacaran, berbeda dengan pacarku yang sering pergi berduaan denganku, nonton film, nonton pertunjukan sandiwara, bahkan saat aku bermain drama di pendopo kabupaten.
Mengenai pertengkaran Jeng Niniek dan Apung aku harus berhati-hati, sebab keduanya bukan lagi dua remaja yang sedang jatuh cinta. Mereka adalah kakek dan nenek yang secara ajaib masih bisa saling jatuh cinta. Sebetulnya bukan ajaib, sebab baru saja kubaca di internet seorang bangsawati berusia 85 tahun yang menikah dengan seorang lelaki berusia enam puluh, dan konon cinta sang nenek masih menggelora.
Baik Jeng Niniek dan Apung punya cucu-cucu yang sedang tumbuh remaja. Bahkan cucu pertama Apung sudah bisa menulis surat cinta pada sepupunya yang duduk di bangku SMA, sementara dia masih duduk di bangku kelas satu SMP. Suatu kemajuan luar biasa. Aku jadi ingat pernah berminat pada gadis sekelas saat aku masih duduk di bangku SMP, entah itu namanya cinta atau apa.
Penanganan masalah percintaan, ah pertengkaran kakek dan nenek yang dirundung cinta tidaklah sederhana. Pasti keduanya sangat sensitif. Aku pernah dengar bahwa anak-anak Jeng Niniek tidak setuju kalau ibunya “perpacaran” dengan Apung.
Aku sendiri tidak tahu seberapa jauh mereka berpacaran, apa sekedar saling berkunjung, atau menginap atau bepergian ke luar kota bersama, atau, entahlah, aku benar-benar harus berhati-hati. Soal kesungguh-sungguhan aku tidak meragukan niat Jeng Niniek, terbukti dengan sedu sedannya dia mohon padaku agar membujuk Apung mau menerima telponnya buat minta maaf.
Tetapi dengan Apung, aku justru ragu-ragu sebab dia pernah punya track record yang tidak benar menurutku. Tetapi, penyelesaian pertengkaran ini aku serahkan pada mereka berdua. Hanya mereka berdua yang tahu mengenai kesungguh-sungguhan cinta mereka.
Apakah mereka bilamana menikah bisa bertahan seperti nenek kaya di internet itu, yang pada usia 85 tahun pun berani menikah. Aku ingat doa seorang temanku yang tinggal di Jerman agar diberi umur panjang sampai 95 tahun saja. Apa umur bisa diminta? Aku tidak tahu.***
* Singaraja 21-22 Oktober 2011
0 comments:
Post a Comment