Pages

Wednesday, 8 February 2012

Ketika Mitos Memiliki Nalarnya Sendiri


Ketika Mitos Memiliki Nalarnya Sendiri
Posted by PuJa on February 8, 2012
Mukalam *
Kompas, 17 Jan 2009.
Mitos merupakan semesta pengetahuan manusia tradisional dalam memaknai eksistensi diri, asal-usul alam semesta, dan berbagai peristiwa dramatis dalam kehidupan. Ribuan tahun mitos menjadi rumah pengetahuan bersama bagi manusia tradisional. Kini rumah itu hampir roboh, bahkan lenyap dari peradaban.
Lenyapnya mitos sebagai akibat dari kesalahpahaman sebagian besar manusia kontemporer dalam melihat hakikat dan modus-modusnya.
Pada masa lampau, mitos berdetak di setiap jantung perabadan. Mitos bukanlah sekadar dongeng, tetapi nalar sebuah pengetahuan. Mitos Isis dan Osiris di daratan Mesir, Odysseus di Yunani, Jonggrang di tanah Jawa, Mahatala dan Putir di bumi Kalimantan sampai dengan Rangda di Pulau Bali, semua bukanlah hanya dongeng.
Ketika mitos menjadi urat nadi peradaban, tidak sedikit kearifan dihasilkan. Banyak mitos menabukan tindakan manusia dalam menebang pohon, membunuh satwa, mengambil air, mengotori pantai, menggempur gunung ataupun mengaduk-aduk isi bumi dengan semena-mena. Pohon, satwa, tanah, air, udara bukanlah benda-benda kosong dan profan tanpa makna dan diperlukan dengan sekehendak hati. Namun, semua harus dijaga, dirawat, dan dihormati.
Kini, peradaban telah bergeser dan nalar mitos pun mulai dipinggirkan. Seiring waktu, manusia kontemporer memilih semesta dan rumah baru pengetahuan yang bernama filsafat, sains, dan agama monoteis. Ketiga pendatang baru ini cenderung menempatkan dirinya sebagai entitas yang lebih tinggi, bahkan sebagai pengganti pengetahuan mitos.
Berbagai kesalahpahaman pun muncul ketika ketiganya berusaha mendiskreditkan dan menghakimi mitos sebagai pengetahuan naif, kekanak-kanakan, prailmiah, dan penuh khayalan (Fawcet: 1971).
Bagi filsafat, mitos tidaklah rasional. Bagi sains, mitos tidak empiris, tak dapat diuji kebenarannya (verifikatif). Dan bagi agama monoteis, mitos merupakan kisah-kisah rekaan yang membahayakan iman tentang keesaan Tuhan.
Dalam sejarah filsafat, Plato merupakan filsuf pertama yang menghukum mitos sebagai tidak rasional dan tidak bermoral. Tidak rasional karena mitos tidak memiliki asas-asas penalaran secara runut. Tak bermoral karena mitos tak jarang menampilkan pelecehan terhadap Tuhan dan para dewa. Masyarakat yang baik, bagi Plato, hanya ditegakkan melalui generasi muda yang terdidik secara rasional. Bukan dengan kisah-kisah yang sering kali memperolokkan para dewa, seperti pada mitos Homerus.
Dalam sejarah sains, mitos dianggap sebagai pengetahuan khayalan atau rekaan yang tidak memiliki kenyataan obyektif. Sementara itu, sains selalu mengedepankan obyektivitas dan faktualitas. Mitos dianggap sebagai pengetahuan yang gagal karena di dalam menjelaskan asal-usul manusia (aetiologis), asal-usul alam semesta (kosmologis), atau asal-usul suatu tempat tanpa didukung fakta empiris, seperti dalam mitos Ra pada masyarakat Jepang, Sangkuriang pada masyarakat Sunda.
Dalam sejarah agama, monoteisme tercatat sebagai agama yang cenderung tidak ramah terhadap eksistensi mitos daripada agama-agama fetisis atau politeis. Mitos menjadi salah satu musuh utama agama monoteis dalam menegakkan iman.
Nalar Progres
Di balik permusuhan terhadap mitos, manusia mengajukan satu bentuk penalaran tersendiri, nalar progres, dalam memahami apa dan bagaimana jalannya sejarah dirinya. Sejarah dianggap sebagai perjalanan yang linear, sebagaimana manusia menjalani kanak-kanak hingga dewasa, semacam evolusi dari tingkat sederhana hingga yang paripurna.
Filsuf positivis Perancis, Auguste Comte, menegaskan, sejarah manusia bergerak secara linear dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positivis. Pada tahap pertama, segala fenomena dijelaskan berdasarkan keyakinan pada dewa-dewa dan Tuhan. Pada tahap metafisis, ia dijelaskan dengan konsep-konsep abstrak filsafati. Dan pada tahap terakhir, yakni tahap puncak peradaban, semua dijelaskan dengan ilmu positif (sains).
Dengan nalar progres pula, banyak kalangan melihat agama tumbuh dan berkembang dengan linearitas mulai animisme, fetisisme, politeisme, hingga monoteisme.
Dengan nalar progres ini, manusia modern gagal memahami hakikat dan modus-modus kerja mitos, karena mengusung prasangka: hanya yang rasional dan faktuallah yang pantas disebut sebagai pengetahuan. Sesuatu harus dapat dijelaskan, dan diukur, diprediksi dalam angka.
Bahasa Simbol Mitos
Penghargaan sebagian kalangan yang coba memosisikan mitos sebagai bagian dari karya sastra juga tidak memperbaiki kesalahpahaman ini.
Bila tidak ada upaya alternatif dalam memahaminya, dapat dipastikan mitos akan lenyap dari sejarah.
Ketika Plato mengkritik mitos sebagai hal yang tak masuk akal, pada saat yang sama ia pun menciptakan mitos dengan Manusia Goanya. Begitu pun ketika sains menghakimi mitos karena tidak faktual, sebagian ilmuwan juga menciptakan kepercayaan tentang alam semesta sebagai mesin atau makhluk hidup, tanpa fakta yang kuat. Dan tatkala monoteisme menempatkan mitos sebagai bahaya iman, kitab suci pun mengangkat kisah-kisah yang sebagian dianggap bernuansa mitologis.
Satu usaha untuk mempertahankan keberadaan mitos, selain dengan kearifan, mungkin juga dengan mengubah cara pandang manusia terhadapnya. Cara pandang yang melihat mitos sebagai sebuah bahasa simbolis.
Simbol(isme) dalam bahasa selalu memiliki kemampuan berbicara melampaui dirinya. Bahasa ini bekerja dengan mengacu pada realitas yang imajinatif. Berbagai peristiwa dramatis dan misterius dalam hidup tidaklah mungkin dijelaskan hanya dalam bahasa praktis atau sains.
Dengan simbolisme linguistik ini, mitos membantu manusia mendapatkan makna di balik peristiwa, di belakang cerita, di persembunyian benda dan fenomena. Maka, mitologi Jonggrang pun tak dapat dimaknai hanya sekadar sebagai penciptaan candi, tetapi juga sebuah drama tentang kekuasaan, dendam, cinta, dan perebutan kebenaran.
Akhirnya, dengan menempatkan kembali nalar mitos sebagai sebuah semesta pengetahuan tersendiri, boleh jadi muncul semacam alternatif pengetahuan lain, yang juga perlu kita pahami, di sisi filsafat, sains, dan agama. Jika ini terwujud, mungkin sejarah tak akan kehilangan harta peradabannya. Dan hidup kita harapkan lebih bercahaya.

0 comments:

Post a Comment