Malang Tempo Doeloe Sebagai Fenomena Post-modernisme
Posted by PuJa on February 8, 2012
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Malang Post, 22 Mei 2011
Ada pemandangan sangat menarik di sepanjang jalan Ijen di kota Malang setiap bulan Mei sejak lima tahun terakhir, yakni suasana serba ‘doeloe’ mulai dari gambar atau foto kota Malang, jajanan (seperti tiwul, cenil, jadah, gelali), minuman, pakaian para pelayan yang serba tradisional, pentas hiburan hingga warung-warung yang menjual makanan. Semuanya menggambarkan keadaan Malang tempo dulu. Jumlah pengunjung dari tahun ke tahun terus meningkat. Banyak warga Malang yang berada di luar kota pada pulang kampung untuk melihat agenda tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Malang tersebut. Tidak sedikit warga luar Malang juga datang menyaksikan peristiwa unik tersebut. Konon banyak warga yang tinggal di luar negeri juga pulang, sekaligus untuk menengok keluarga.
Entah apa ihwal yang melatarbeIakanginya, tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ide penyelenggaraan kegiatan itu cukup cerdas. Masyarakat Malang merasa terhibur dan untuk sementara waktu bisa melupakan kasus-kasus besar secara nasional yang sedang mengemuka, mulai hiruk pikuk rencana pembangunan gedung DPR, korupsi pembangunan sarana SEA Games di Palembang oleh bendahara Partai Demokrat, terorisme, kisruh Kongres PSSI, hingga hasil UN tahun 2011. Berbagai isu besar itu kalah pamor dengan kegiatan Malang Tempo Doeloe yang dimulai tanggal 19 Mei 2011. Benda-benda kuno seperti keris, panah, udeng, cowek, lesung, dan sebagainya dipamerkan. Foto-foto di jaman pemerintahan kolonial Belanda juga ikut meramaikan suasana serba ‘doeloe’.
Malang Tempo Doeloe diformat dalam suasana serba kuno dengan berbagai karaktersitiknya dengan aneka ragam makanan tradisional dengan setting suasana pedesaan. Aneka makanan tradisional dan suasana ‘desa’ itu bukan sekadar makanan untuk dinikmatiya, tetapi juga di dalamnya aspek sosial budaya. Makanan bisa berceritera tentang status sosial pemakannya dan kondisi keluarga serta lingkungannya. Sebagai orang desa yang sudah sekian lama tinggal di kota, saya selalu ingin membeli makanan kesukaan saya ‘tahu lonthong’ tatkala pulang kampung. Warung tempat jual ‘tahu lonthong’ itu masih utuh seperti dulu, kendati penjualnya sudah turun ke anak dan cucunya. Ketika menikmati makanan tersebut memori masa kecil saya di desa puluhan tahun lalu tiba-tiba hadir kembali. Suasana bermain di desa ketika itu terbayang sangat jelas dan semuanya masih terekam dalam memori kolektif saya.
Kehidupan adalah siklus. Orang yang terbiasa hidup di desa ingin suatu kali menikmati suasana kehidupan kota. Sebaliknya, yang terbiasa dengan kehidupan kota yang serba ‘modern’ suatu saat ingin kembali menikmati suasana hidup pedesaan. Rasa ingin kembali ke masa lalu sejatinya manusiawi saja. Biar sudah hidup di perkotaan dan menjadi pejabat atau orang terkenal, kita tetap orang Indonesia yang suatu saat ingin kembali ke akarnya (desa), karena sebagian besar wilayah Indonesia adalah pedesaan.
Kerinduan terhadap masa lalu seperti itu ditangkap oleh pemerintah kota Malang lewat acara “Malang Tempo Doeloe”. Ribuan warga kota Malang yang memiliki ikatan kuat dengan masa lalu akan pulang kampung, termasuk ikatan untuk makan makanan tradisional sepeerti jajan pasar. Setelah sehari-hari berkenalan dengan makanan dan suasana ‘modern’, toh akhirnya mereka rindu juga dengan masa lalu. Dengan bernostalgia mengenang masa lalu tidak berarti kita menjadi ‘ndeso’. Kita tetap bisa mengikuti kehidupan modern, tanpa kehilangan rasa empati terhadap hal-hal tradisional. Menurut saya menjadi modern memang bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi lebih berupa sikap hidup yang mengedepankan rasioanalisme. Jadi istilah kerennya ‘being modern is being rational’.
Kalau begitu ‘Malang Tempo Doeloe’ itu sesungguhnya gejala apa? Ada seorang kawan yang menyebutnya sebagai gejala post-modernisme. Apa itu post-modernisme? Di kalangan komunitas intelektual, berkembang suatu cara berpikir dalam memandang fenomena budaya yang kemudian diberi nama ‘post-modernime’. Cara berpikir ini memberikan ruang cukup lebar kepada siapa saja yang sudah merasa muak atau setidaknya bosan terhadap pola kehidupan modern yang serba seragam, teratur, tertata, monoton, totaliter, rasional, dan kapitalistis sebagaimana kita rasakan selama ini. Orang-orang yang sudah merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti itu merasa mendapat perlindungan dari cara berpikir post-modernisme. Bahkan para gelandangan, kaum lesbi, homoseks yang selama ini terpinggirkan secara struktural dan sosial merasa terlindungi oleh payung post-moderisme.
Penggagas gerakan pemikiran tersebut ialah para filsuf Perancis seperti Foucault, Lyotard, Derrida, dan Deleuze. Oleh Baudrillard, Rorty, dan Maclntyre cara berpikir baru ini dijadikan sebagai sebuah paradigma atau cara pandang untuk memahami gejala sosial dan budaya. Gerakan pemikiran post-modernisme sebenarnya merupakan upaya untuk mendelegitimasi modernitas yang mengandung suatu utopia atau cita-cita kemajuan (progress) sebagai dasar untuk mengukur perjalanan sejarah kehidupan. Di dalam utopia tersebut terdapat dua macam aliran pemikiran besar yang saling kontras, yakni Marxisme dan liberalisme. Marxisme melahirkan sistem politik komunisme dan liberalisme melahirkan sistem kapitalisme. Dari dua aliran pemikiran besar tersebut, dalam praktiknya komunisme tidak mampu bertahan seiring dengan runtuhnya Uni Soviet, kendati nilai-nilainya sebagai paham tetap saja hidup hingga saat ini.
Bagaimana pun harus diakui bahwa dua aliran pemikiran tersebut telah menjadi komando atau arah pembangunan sosial. Kehidupan kapitalis telah menjadikan masyarakat materialistis yang mengukur kemajuan dari sisi kebendaan dan kepemilikan material. Lewat alam pemikiran post-modernsime sekat-sekat kepemilikan secara material dihapus. Post-modernisme mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan praktik hegemoni kekuasaan. Sebab, di mata post-modernisme praktik kekuasaan melahirkan golongan yang terpinggirkan atau termarginalisasi. Tentu saja post-modernisme sangat dibenci oleh kalangan yang sudah mapan dan mempraktikkan kekuasaannya dengan leluasa. Rezim Orde Baru merupakan contoh praktik kekuasaan serba seragam. Kita mungkin masih ingat pemerintah Orde Baru meminta warga untuk menulis PKK di atap setiap rumah. Bahkan, beberapa masih tersisa dengan jelas saat ini. Mobil dinas pejabat juga diseragamkan, yakni dengan mobil nasional TIMOR. Tas dan sepatu siswa saja dulu akan diseragamkan. Untung rencana itu gagal seiring dengan berakhirnya kekuasaan Orde Baru.
‘Malang Tempo Doeloe’ telah memberikan gambaran bahwa hal-hal yang serba teratur, seragam, hegemonik, dan sejenisnya tidak bisa langgeng. Kehadiran berbagai makanan ala pedesaan yang serba tradisional telah menepis angapan bahwa makanan ala jajan pasar hanya makanan warga pedesaan dan kelas bawah. Lewat ‘Malang Tempo Doeloe’ aneka ragam makanan desa itu dihadirkan dan dikonsumsi oleh kalangan menengah ke atas. Menghadirkan rasa ‘lalu’ dan dalam suasana tidak formal, tidak diatur, tidak seragam, tidak dikomando, tidak ada kelas-kelas sosial sehingga semuanya tumpkek blek dalam arena panggung hiburan adalah gambaran jelas praktik post-modernisme.
Sebagai kota ukuran sedang, Malang tumbuh sangat cepat, baik dari sisi demografi, pembangunan sarana dan prasarana, sekolah, dan berbagai ruang publik untuk berbagai keperluan masyarakat. Pertokoan menjamur di berbagai tempat. Didukung oleh udara yang segar dan beaya hidup yang tidak begitu tinggi, Malang menjadi alternatif tempat tinggal di masa pensiun dan tempat menyekolahkan anak. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak pemilik rumah mewah di Malang sehari-hari tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Batam, dan sebagainya. Hanya pada hari-hari tertentu saja mereka menengok rumahnya.
Seiring dengan pertumbuhan kota yang demikian pesat, warga Malang telah merasa hidup dalam suasana ‘urban’. Aneka fasilitas umum serba modern menjadikan masyarakat merasa jenuh. Seorang kawan yang asli Malang dan kini bermukim di luar Jawa dan lama tidak pulang sangat terkejut dengan perubahan kota kelahirannya, tidak saja menyangkut aspek fisik, tetapi juga perubahan udaranya yang tidak sesegar dulu. Berkali-kali dia menyebut “Malang tidak lagi dingin seperti dulu”. Apa yang dikatakan kawan itu tidak salah. Kita yang saat ini tinggal di Malang merasakan udara panas. Perubahan iklim tentu disebabkan banyak faktor, seperti terjadinya global warming, peningkatan jumlah penduduk, berkurangnya daerah hijau, meningkatkan jumlah industri, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan sebagainya.
Di tengah-tengah suasana ‘perubahan’ itu, warga Malang ingin ‘kembali’ ke serba masa lalu, yang serba bebas dan tidak diatur. Oleh karena itu, semakin banyak warga yang hadir dalam acara Malang Tempo Doeloe semakin meneguhkan pemahaman bahwa masyarakat Malang sejatinya sudah jenuh dengan kehidupan ‘urbanized’ yang wah dan modern. Penguasa juga perlu hati-hati. Sebab, gejala post-modernisme juga berarti masyarakat sudah tidak lagi merasa nyaman atau jenuh dengan praktik penyelenggaraan kekuasaan yang selama ini berjalan. Semua bisa kita saksikan bagaimana Malang Tempo Doeloe 2011 ini berlangsung. Semakin jelas pula terlihat bagaimana praktik post-modernisme telah hadir di Malang, kendati alam pikirannya berasal dari negeri nan jauh di Eropa.
0 comments:
Post a Comment