Mahasiswa Wajib Menulis
Posted by PuJa on February 20, 2012
Wandi Prawisnu Simanullang *
http://www.lampungpost.com/
SURAT edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) yang dikeluarkan tanggal 27 Januari 2012 bernomor 152/E/T/2012 masih menjadi perbincangan yang menarik.
Surat edaran itu berisi ketentuan baru bagi lulusan perguruan tinggi, yaitu publikasi makalah. Untuk lulus sarjana, makalah harus terbit di jurnal ilmiah magister pada jurnal ilmiah nasional dan doktor harus terbit di jurnal internasional.
Edaran tersebut tidak serta-merta dapat diterima semua kalangan, bahkan beberapa pimpinan perguruan tinggi sempat menyatakan keberatan dan mahasiswa pun banyak yang menolak. Dalam sekejap saja, surat edaran Dikti tersebut telah menjadi bahan diskusi menarik di berbagai mailing list (milis) dan jejaring sosial.
Sejujurnya saya adalah salah satu mahasiswa yang sepakat dan merespons positif penambahan syarat kelulusan itu. Meskipun demikian, saya menolak alasan yang digunakan Ditjen Dikti dalam edaran itu, yaitu karena ketertinggalan dari Malaysia. Alasan itu terkesan reaksional dan emosional. Seakan-akan kita mesti bertindak ketika Malaysia sudah melampaui kita. Malaysia seolah-olah dijadikan sebagai patokan (benchmark). Saya lebih sependapat bila alasannya adalah memacu dan menggairahkan dunia pendidikan, penelitian, dan penulisan di negeri ini.
Minim Referensi
Terlepas dari kelemahan alasan yang digunakan Ditjen Dikti tersebut, tentunya ada hal-hal baik dari edaran itu sehingga layak untuk direspons positif. Pertama, untuk memacu minat dan gairah menulis ilmiah di kalangan mahasiswa. Saat ini minat menulis di Indonesia termasuk di kalangan mahasiswa masih sangat rendah. Padahal, dengan menulis mahasiswa dapat mengasah kualitas pemikiran dan daya analisisnya sambil memasukkan ilmu yang didapat di bangku kuliah.
Bila gairah menulis tumbuh dengan baik di kalangan mahasiswa, tentunya akan bertalian dengan peningkatan minat membaca. Sebab, untuk dapat menulis dengan baik dibutuhkan semangat membaca agar tidak miskin referensi dan mampu mengembangkan logika dan ide kreatif.
Kedua, memperkaya referensi ilmiah. Apabila kebijakan ini dijalankan dengan baik, akan lahir ratusan atau ribuan karya ilmiah yang terbit secara teratur dalam jurnal. Terlebih lagi, karya-karya itu sesuai dengan kondisi Indonesia karena penelitiannya dilakukan di Indonesia.
Konsekuensinya, tulisan-tulisan itu akan menjadi referensi berharga bagi mahasiswa lain atau generasi yang akan datang ketika sedang menyusun tugas akhirnya. Sulit untuk dinafikan, salah satu kendala bagi mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir ialah minimnya referensi, khususnya yang berbau Indonesia. Kebanyakan mahasiswa harus mengakses jurnal hasil penelitian asing yang belum tentu sesuai dengan realitas Indonesia, meskipun terakreditasi internasional.
Ketiga, menggairahkan jurnal-jurnal ilmiah di Indonesia. Saat ini jurnal ilmiah di Indonesia banyak yang terbit-tenggelam. Tentunya jurnal-jurnal ilmiah itu kelak dapat survive bila dipasok dengan karya-karya ilmiah secara terus-menerus. Bahkan, bukan tidak mungkin kelak dari sekian banyak jurnal ilmiah nasional yang menampung karya mahasiswa sarjana dan magister itu, akan lahir jurnal ilmiah yang mampu go international.
Alangkah baiknya bila para pimpinan perguruan tinggi merespons positif surat edaran itu dan bersiap menerapkannya ketimbang terus sinis dan mencela. Seperti halnya Forum Rektor Indonesia, yang berujar edaran tersebut salah kaprah. Selain itu, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) pun ikut menolak ketentuan baru itu.
Alasan yang digunakan untuk menolak edaran itu ialah keterbatasan jumlah jurnal ilmiah. Tetapi, alasan itu dimentahkan Menteri Pendidikan M. Nuh, yang mengatakan keterbatasan jurnal bisa diatasi dengan membuat jurnal baru. Sedangkan kendala biaya, dapat diatasi dengan mengembangkan jurnal online.
Tetapi, kalangan perguruan tinggi terus mencari alasan lain untuk menolak edaran itu. Ada yang mengatakan bila lulusan sarjana harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah tidak tepat dan terkesan memaksa. Demikian juga dengan program doktor yang harus menulis di jurnal internasional dinilai tidak masuk akal. Tentunya saya berharap alasan-alasan tersebut tidak bermaksud untuk meragukan kemampuan mahasiswa lulusan dalam negeri.
Presentasi Internasional
Setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia mencetak banyak sarjana, magister, dan puluhan doktor. Namun, berbagai ide dan pemikiran yang dituliskan dalam skripsi, tesis, dan disertasi mereka tidak banyak yang dicetak di jurnal ilmiah. Hal ini sangat disayangkan. Buah pemikiran dan penelitiannya hanya disampul tebal dan ditumpuk di perpustakaan kampus tanpa dipublikasikan. Kenyataan ini seharusnya menjadi pertimbangan kalangan perguruan tinggi untuk segera merespons positif edaran itu.
Apabila pimpinan perguruan tinggi masih meragukan calon sarjana untuk dapat menulis di jurnal ilmiah, kiranya saya perlu menunjukkan fakta yang mencengangkan ini. Beberapa waktu yang lalu, skripsi mahasiswa S-1 Ilmu Ekonomi UGM, Sony Saputra, dengan dosen pembimbing, Rimawan Pradiptyo, berhasil dipresentasikan dalam konferensi di Selandia Baru dan menembus jurnal internasional di Amerika Serikat dengan judul On Assessment of the Supreme Court Decisions in Tackling Substance Misuse in Indonesia.
Fakta itu sebenarnya menunjukkan kepada kita bahwa lulusan sarjana Indonesia bila bersungguh-sungguh tak kalah kualitasnya. Bahkan, mampu bersaing di dunia internasional berdiri sejajar dengan karya doktor dan profesor dari negara lain. Sehingga, sudah saatnya tidak meragukan dan memandang sebelah mata calon sarjana Indonesia. Demikian juga dengan calon magister dan doktor.
Suplemen Mahasiswa
Rencananya kebijakan itu akan berlaku bagi lulusan setelah Agustus 2012. Memang, waktunya terlalu singkat bagi perguruan tinggi untuk bersiap-siap. Tetapi, waktu yang singkat bila dimanfaatkan dengan baik dan menghentikan segala polemik akan berguna. Setidaknya untuk menyosialisasikan dan memperbaiki sistem dan memberikan pelatihan menulis ilmiah bagi mahasiswanya.
Surat edaran Ditjen Dikti itu patutlah dianggap sebagai suplemen bagi mahasiswa untuk semakin produktif menulis. Menulis di kalangan mahasiswa belum berkembang dan menjadi tradisi, malahan kian surut. Untuk mengatasi kemalasan menulis itu, Dikti mengeluarkan kewajiban tersebut.
Tentu saja tidak ada perguruan tinggi yang membiarkan mahasiswanya larut dalam kemalasan dan selalu berusaha menghasilkan lulusan yang berkualitas. Sebab, bila melahirkan lulusan dengan kualitas yang buruk, perguruan tinggi itu pasti akan malu, terlebih lagi pimpinan perguruan tinggi yang menandatangani ijazah lulusannya.
18 February 2012
*) Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
0 comments:
Post a Comment