Mereduksi Karya Sastra, Melepas Kacamata (Tanggapan untuk George)
Posted by PuJa on February 20, 2012
Zulfikar Akbar
http://www.kompasiana.com/soefi
Kacamata tentu saja merupakan sesuatu yang melekat pada kedirian, keakuan, dan bisa juga sebagai simbol ketidakmurnian dalam penglihatan. Di sini, George muncul mengambil kacamata-kacamata itu, dan seakan menghardik untuk pastikan dulu kemampuan melihat sesuatu secara apa adanya, tanpa perlu alat bantu itu. Sampai ia dengan bahasa lugas, katakan tidak ada karya sastra dan tidak ada sastrawan di Kompasiana (taruhlah dunia cyber juga, untuk lebih umum).
Persis jelang pagi (27/12) saya membaca tulisan George Soedarsono Esthu, dengan tajuk: Mereduksi Karya Sastra. Di sana saya mendapati semacam kegelisahan seorang pecinta sastra yang cukup kental, meski ia membungkusnya dengan serentetan satir. Bahwa, ada fakta kepuasan terlalu dini di kalangan peminat sastra, entah dikarenakan pengakuan dan lain sebagainya. Itu, seperti diisyaratkan George, sebenarnya sangat mematikan.
Iya, saya tiba-tiba dibuatnya jadi tertarik untuk memasuki relung terdalam di ruang perenungan diri. Betapa, ranah sastra sama sekali bukan ranah agama. Sastra tidak butuh rasa puas dan perasaan cukup dengan apa yang ada. Terdapat semacam tuntutan di sana, bahwa ada keniscayaan untuk terus masuk dan masuk ke tempat-tempat terdalam di antara sela-sela karang di samudera bernama sastra itu.
Memasuki tempat terdalam itu, tidak saja mencerminkan usaha yang tidak setengah-setengah, namun juga di sanalah syarat mutlak pengorbanan dalam kreasi. Baik untuk ia disebut berharga, atau ia benar-benar pantas untuk dikagumi.
Dengan palu yang berani saya pastikan muncul dari ketegasannya, George menyebut,”sepeninggal H. B. Yasin, kritikus sastra praktis sudah mati.”
Apa yang dikemukakan oleh George tersebut sebenarnya memang bukan hal yang baru. Toh, F Rahardi dalam tulisan bertitel Kritik Sastra Pasca HB Jassin (Kompas, 23 April 2000), pernah menyebutkan di pembukaan tulisannya yang menegaskan bahwa memang sepeninggal HB Jassin, masyarakat sastra Indonesia menemui kekosongan yang cukup kental.
Tentu saja yang dimaksudkan Rahardi bertaut erat dengan persoalan keniscayaan keberadaan kritik sastra.
Namun, pada bagian lain tulisannya, Rahardi cenderung membentuk antitesis yang bahwa justru selepas HB Jassin, kondisi yang muncul di ranah sastra jauh lebih sehat. Tapi, saya melihat itu juga bukan sebentuk penafian pada peran penting yang pernah dimainkan oleh Sang Paus Sastra yang pernah dijegal Lekra di masa Manikebu yang kental politik itu.
Kendati, lebih lanjut Rahardi menyebut juga bahwa kondisi setelah Jassin, sastrawan bertumbuh secara lebih alamiah. Sesuatu yang dinilainya jauh lebih positif dibanding ketika kuku Horison masih demikian kuat. Bahkan menjadi penentu seseorang layak dan tidak untuk menjadi sastrawan.
Mengembalikan ke George yang spesifik membidik soal sastra, sastrawan dan karya sastra di dunia cyber. George lebih menekankan pada totalitas, dan itu menurutnya penting. Setidaknya tergambar dari kalimatnya:
“Kadang seorang pengkritik sastra didaulat atau diminta menunjukkan karya sastranya,
Ini permintaan yang tidak nalar. Seorang kritikus sastra tidak perlu harus menjadi sastrawan.”
Terlepas dari itu, ada persoalan yang lebih terasa urgen. Bahwa kritik sastra, entah ia berada di dunia cyber, atau pun ia bermain di ranah media mainstream, itu tetap saja penting. Walaupun, jika mengacu pada pandangan F. Rahardi, tanpa keberadaan kritikus sastra seberkharisma Jassin, masyarakat memiliki pilihan sendiri, selain memiliki kesempatan juga untuk memilih tanpa perlu tangan-tangan tokoh semacam kritikus sastra tersebut.
Tetapi, hari ini memang kritik sastra masih jauh, masih menganga jurang lebar, dengan keberadaan karya-karya yang semakin membingungkan untuk dikategorikan sebagai karya sastra atau bukan.
Di sini, jika mencoba membantah Rahardi, bahwa soal mengembalikan pengakuan seseorang itu sastrawan atau bukan, sesuatu karya itu sastra atau bukan, pada masyarakat. Saya kira ini juga tidak kondusif. Tanpa bermaksud untuk menyepelekan tingkat ‘taste’ masyarakat penikmat sastra di Indonesia, namun tanpa ada seorang ‘Nabi’ yang mengambil posisi sebagai kritikus, kekhawatiran saya karya-karya masterpiece melulu hanya menunjuk pada Pram dan lain sebagainya yang jelas-jelas yang hanya bermain dan mengangkat berbagai kondisi jamannya.
Mengembalikan pada kekinian, otomatis, ada banyak hal kondisi aktual yang idealnya juga bisa dibidik dan digawangi. Sehingga, konsekuensi positif yang bisa diharapkan adalah kemunculan karya-karya yang tak hanya memuaskan libido penulisnya, entah untuk disebut sebagai penulis atau pun gelar sastrawan yang entah didapat dari mana. Melainkan, ada kepedulian pada jaman yang sedang berjalan, yang notabene menjadi bagian tanggung jawab mereka yang berbirahi melakukan penetrasi dalam ranah sastra.
Pada kondisi demikian, tentu saja, kepedulian dimaksud, ada kesediaan untuk memuat berbagai macam masalah yang terjadi di masa kini, selanjutnya bisa menjadi pemicu untuk perubahan-perubahan lebih lanjut ke ranah-ranah yang lebih luas; budaya, sosial dan bahkan politik.
Menyimak George–lagi—jelas tidak keliru jika ia merekomendasikan Nietzche yang menurutnya memiliki tulisan yang terasa seperti tonik yang menyegarkan. Itu menyiratkan sebuah harapan bahwa sastra berkualitas seyogianya menjadi tujuan dan bahkan kuasa menjadi pemicu perubahan yang lebih baik di berbagai dimensi lain seperti disebutkan sebelumnya. Atau jika tidak, buang saja gelar-gelar itu jika kelak justru itu menipu masyarakat luas yang berada di posisi sebagai konsumen. Tulis saja apa yang disukai, lepas itu mengarah pada sesuatu yang positif atau justru berubah menjadi monster untuk peradaban.
Harapan demikian adalah harapan yang menurut saya sangat layak untuk dijadikan acuan. Dengan demikian, entah seorang peminat sastra menulis di mana sana, cyber atau mainstrem, namun tidak mengeringkan tulisannya dari tujuan yang jauh ke depan. Toh, apa yang bisa diharapkan tumbuh dari tanah kering, kecuali rumput-rumput kecil yang bahkan tidak bisa kenyangkan ternak, bukan?
27 December 2011
Dijumput dari: http://bahasa.kompasiana.com/2011/12/27/mereduksi-karya-sastra-melepas-kacamata-tanggapan-untuk-george/
0 comments:
Post a Comment