Pages

Sunday 26 February 2012

Mendirikan Sekolah Sastra Ala Sumatera Barat

Mendirikan Sekolah Sastra Ala Sumatera Barat
Padang Ekspres • Minggu, 26/02/2012 12:26 WIB • (*) • 55 klik


“Karya sastra Indonesia sulit menembus pasar luar negeri terutama Amerika Serikat dan Eropa.” Hal tersebut diungkapkan John Mc Glin, Ketua dan Pendiri Yayasan Lontar. Mc Glin mengungkapkan hal tersebut di sela seminar Sastra Internasional Jakarta international Literary Festival (Jilfest). (Kompas 8 Desember 2011).

Perkataan Mc Glin tersebut harusnya mendapat tanggapan serius bagi kalangan sastrawan Indonesia. Ungkapan tersebut memberikan sebuah pertanda bahwa sastrawan Indonesia harus berbenah. Sastrawan Indonesia ke depan harus meningkatkan mutu. Sehingga kualitas karya betul-betul mumpuni dan dilirik pasar internasional yang memang super ketat. Novel-novel penulis Indonesia selayaknya sudah ada di rak-rak took buku di Amerika. Bukankah persoalan kemajemukan dan keberagaman masyarakat Indonesia menjadi santapan yang sangat menarik bagi pembaca-pembaca asing.

Respon yang sangat arif atas ungkapan Mc Glin tersebut adalah kita mesti berbenah. Berbenah untuk terus meningkatkan kualitas produk serta tidak berpuas diri dengan pencapaian-pencapaian yang didapat. Apalagi kalau terlalu sibuk dengan menarsiskan diri. Berbenah untuk tidak malas menambah referensi-referensi bacaan terutama bacaan dari luar. Berbenah untuk bangkit dan menjajal pasar-pasar luar negeri. Mc Glin memang mengungkapkan ketidakmampuan karya-karya sastrawan Indonesia bersaing di pasar luar negeri tidak hanya persoalan mutu produk, namun juga belum adanya dukungankemampuan penerjemah yang bagus. Tetapi, logikanya, jika sebuah karya sudah dinilai bagus bahkan sangat bagus, bukankah penerjemah-penerjemah bermutu akan berburu untuk menerjemahkannya?

Itu adalah persoalan sastra Indonesia secara umum, lalu bagaimana dengan Sumatra Barat?  Tanpa bermaksud menostalgiakan diri dan larut dalam euforia masa keemasan yang mapau, Sumatra Barat dari dulu memang dikenal sebagai gudangnya sastrawan, sampai sekarang. Selalu saja muncul sastrawan-sastrawan dari Sumatra Barat periode per periode.Celoteh beberapa redaktur koran nasional atau beberapa sastrawan luar Sumatra Barat, karya sastra dari penulis Sumatra Barat tidak ada hentinya. Hampir setiap bulan, kalau diamati di rubrik sastra koran-koran nasional, selalu muncul karya sastra dari penulis-penulis Sumatra Barat.

Artinya, untuk keberlangsungan sastra di Sumatra Barat ke depan tidak perlu dicemaskan. Sastrawan muncul bagai cendawan tumbuh di musim hujan. Karya mereka begitu banyak, lihatlah di rubric sastra Koran-koran daerah, selalu muncul penulis-penulis baru. Apalagi jika ada sebuah iven perlombaan menulis karya sastra, jumlahnya akan semakin banyak.
Tentu kita tidak boleh berpuas diri hanya sampai di situ. Pertanyaannya, adakah jaminan mereka akan terus berkarya? Terus eksis dalam menulis sastra? Hal tersebutlah yang seharusnya perlu dicemaskan. Eksistensi dan peningkatan diri. Tidak hanya berpuas dengan pencapaian, terlalu tinggi memandang diri sendiri, sehingga jatuh ke lembah kesombongan.

Saya menawarkan dua buah konsep. Pertama, adanya sebuah lembaga kursus sastra yang bersifat bisnis. Kalau lembaga pendidikan seperti Primagama, GAMA, atau yang lainnya mengajarkan tentang berbagai ilmu dan mata pelajaran, bagaimana kalau didirikan sebuah lembaga kursus yang khusus mengajarkan tentang sastra. Sebuah lembaga yang mengajarkan cara menulis puisi, menulis cerpen, atau menulis novel.

Jika lembaga kursus seperti Matematika, Fisika, Biologi, bahasa Inggris bisa sangat laku mengapa lembaga kursus tentang sastra tidak diminati. Padahal kalau dikaji, dengan menulis puisi atau cerpen di koran tentu akan bisa mendatangkan keuntungan secara finansial. Untuk ukuran koran Kompas misalnya, satu cerpen dihargai satu juta rupiah. Bukankah bisnis seperti ini juga sangat menguntungkan? Sementara lembaga kursus Matematika, Fisika, bahasa Inggris dan lainnya itu lebih mengedepankan keilmuannya. Inilah yang menjadi dilema yang patut dipikirkan.

Konsep kedua, jika lembaga kursus sastra yang bersifat profit atau mengejar keuntungan masih dianggap belum akan sanggup menandingi lembaga lainnya, didirikanlah sebuah lembaga non profit yang lebih mengedepankan gerakan sosial. Artinya, siswa tidak perlu membayar tetapi tetap diajar. Akan tetapi, walaupun bersifat gratis, keseriusan harus diutamakan.

  Saya membayangkan sebuah sekolah informal yang mendidik siswanya menulis dari tingkatan dasar sampai tingatan akhir. Katakanlah untuk tingkatan dasar cukup belajar merangkai ide, memulai menulis cerita yang singkat-singkat, menulis pengalaman pribadi seperti layaknya diari, kemudian menulis cerpen atau puisi, tingkatan paling akhir adalah menulis novel atau naskah skenario (drama dan film). Mungkinkah itu dilakukan?

Jawabnya tentu mungkin saja akan tetapi jelas membutuhkan keseriusan dan persiapan yang matang. Siapa siswanya, di mana tempatnya, bagaimana metodenya, siapa pengajarnya, dan yang paling penting dari mana dananya. Tanpa adanya keseriusan semua itu tidak akan bisa  terwujud. Tanpa dana tidak akan bisa berbuat apa-apa. Soal pendanaan tentu bisa dipikirkan lebih jauh lagi.

Mendirikan sekolah sastra penting dilakukan mengingat kebanyakan sastrawan-sastrawan muda yang muncul dari Sumatra Barat menulis dengan cara otodidak, belajar sendiri, membaca buku sendiri dan menulis sendiri. Beberapa dari mereka ada juga yang aktif membentuk forum diskusi dengan beberapa orang. Sistem seperti ini mempunyai kelemahan, penulis yang sudah terlanjur bermunculan akan hilang satu per satu. Hanya yang berkeinginan kuat yang bertahan. Padahal persoalannya adalah dalam hal pembinaan. Mereka harus dibina secara serius.

Selama ini memang ada Sanggar Sastra Pelangi, Yayasan Citra Budaya yang diasuh Yusrizal KW dan kawan-kawan, melatih anak-anak untuk menulis. Tetapi konsep sekolah sastra yang berjenjang belum pernah ada. Katakanlah untuk kelas A atau tingkat dasar pelajarannya adalah merangkai kata dan belajar menuangkan ide serta menulis cerita yng pendek-pendek. Produknya adalah mampu menulis diari, menuangkan pengalaman-pengalaman pribadi dan sebagainya.
Setelah lulus kelas A, naik ke kelas B, yaitu menulis cerpen atau puisi secara serius. Produknya adalah tulisan mereka sudah bisa dimuat koran-koran daerah dan nasional. Setelah lulus kelas B, naik lagi ke kelas C, yaitu menulis novel atau naskah drama atau skenario film. Produknya adalah siswa harus mampu menulis novel yang berkualitas dan laku di pasaran. Artinya, untuk tingkatan ini mereka sudah menjadi penulis-penulis handal.

Atau kalau tidak harus berjenjang, calon siswa dijaring berdasarkan kemampuan. Sebelum belajar diuji kemampuannya, setelah itu baru bisa digolongkan apakah mereka akan masuk kelas A, B, atau C. Sehingga kemampuan ang didapat betul-betul terasah. Dengan sistem pendidikan sastra seperti ini, lumbung-lumbung penulis dari Sumatra Barat akan terus menyimpan “padi”. Penulis-penulis yang handal dengan karya yang bermutu akan bermunculan dari tahun ke tahun.

Itu persoalan konsep sekolah dan siswa. Lalu bagaimana dengan instruktur atau pengajar.  Untuk persoalan instruktur, di sinilah dibutuhkan peranan sastrawan tua. Sastrawan tua harus punya tanggung jawab moral untuk membina sastrawan-sastrawan muda. Membina secara sistematis dan disiplin yang tinggi. Di sinilah dibutuhkan racikan tangan sastrawan sepuh, seperti Gus Tf Sakai, Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria, Harris Effendi Thahar, Iyut Fitri, Taufiq Ismail atau yang lainnya. Sehingga antara generasi penulis di Sumatra Barat terjalin sebuah ikatan moral yang kuat.

Kalau melirik pendidikan sastra di sekolah sekarang ini memang sangat memprihatinkan. Pelajaran sastra hanya diselipkan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia. Pelajaran sastra sangat  jauh kalah bersaing dengan mata pelajaran eksakta seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi atau yang lainnya.

Sehingga, bagi sebagian kepala sekolah, jika ada undangan tentang pelatihan sastra atau perlombaan sastra sering diabaikan. Akan tetapi jika ada lomba sains misalnya, peminatnya akan sangat tinggi dan pihak sekolah akan memberi perhatian yang besar.

Sementara itu, pelatihan-pelatihan penulisan cerpen, puisi, yang hanya dalam porsi waktu sehari atau dua hari belum begitu ampuh untuk menciptakan sastrawan handal. Pelatihan-pelatihan tersebut baru hanya sekadar stimulus untuk membangkitkan keinginan menulis. Dibutuhkan pelatihan serius berbulan-bulan jika ingin mendapatkan hasil yang baik. Katakanlah dari 20 orang siswa, kemudian muncul 5 orang yang betul-betul bernas.

Kemudian ke persoalan pendanaan?  Jika konsep sudah jelas, sponsor-sponsor perlu dicarikan, misalnya dari Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, perusahaan-perusahaan besar di Sumatra Barat, atau dari lembaga mana saja yang memang berkepentingan dengan peningkatan sastra di Sumatra Barat.
Kalau lembaga-lembaga kursus komputer, kursus bahasa Inggris, kursus Matematika bisa sangat diminati, mengapa lembaga kursus sastra tidak? Bukankah sastra itu juga penting dan bisa menghasilkan uang? Mengutip Tommy Christomi, dosen Fakultas Ilmu Budaya UI (Kompas 8 Desember 2011). Karya sastra adalah sarana pembelajaran tentang kehidupan yang beragam. “Karya sastra bisa memperkaya cara pandang seseorang tentang keberagaman bagi pembacanya.”
Penulis adalah pemerhati sastra
Joni Syahputra


http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=24653

0 comments:

Post a Comment