Mencatat Ibu
Posted by PuJa on March 12, 2012
Akhiriyati Sundari
Membincang ibu sebagai seorang sosok, bak mengurai satu-satu sulur dunia. Nyaris tak ada titik henti, sekaligus karena sosok ibu ibarat titik asal mula kemunculan nama-nama. Sehingga, mencatat sesosok ibu dalam sebuah tulisan serasa hampir mustahil selesai karena ibu adalah puspa indah taman hati, sumber cinta sepanjang masa.
Kehendak untuk “mencatat ibu” dalam ingatan saya kemudian kerap menjebak saya untuk berkubang dengan perihal romantisme. Ya, karena bagi saya sosok ibu adalah romantisme itu sendiri. Seperti ingatan saya yang melayang ke sosok Ibu Kartini yang pernah merajuk kepada ibundanya dengan sangat romantis; “Ibu, kulo nyuwun sekar melati ingkang mekar ing panjering ati…” [Ibu, kupinta setangkai melati yang mekar di pusat hati…]
Bukan berarti romantisme yang saya maksud itu minor, melainkan jika kebablasan, bisa melenakan diri dengan memandang cukup berhenti di aras itu, tanpa sikap kritis membaca realitas sesungguhnya. Bagaimana entitas ibu, khususnya di negeri ini bergelut dengan realitas hidup sehari-hari yang konyol sekali. [atau jangan-jangan apa pun realitas yang mereka alami, justru telah dianggap menjadi bagian dari romantisme itu sendiri? Na’udzubillah…]
Mustahil membincang ibu tanpa melekatkannya pada sosok perempuan. Ya, sosok ibu di tulisan saya ini sengaja saya batasi pada sosok perempuan [meskipun saya memandang bahwa “ibu” pun bisa muncul pula pada sesosok laki-laki biseksual misalnya, atau laki-laki single parent yang mengasuh sendiri anak-anaknya]. Dan, membincang tentang perempuan di negeri yang gerusan patriarkinya masih hebat ini, menjadi pembuka untuk melihat realitas yang masih memprihatinkan hingga detik ketika saya menuliskan ini.
“Jika ingin melihat kemiskinan dan kebodohan, lihatlah pada wajah perempuan…”, begitu ujaran jurnalis harian Kompas, Maria Hartiningsih, yang masih menancap kuat di ingatan saya. Penisbatan itu tak berlebihan, mengingat kemiskinan dan kebodohan secara massif masih melekat di diri perempuan negeri ini. Berbagai unsur boleh dituduh sebagai biangnya; sosial, politik, ekonomi, budaya bahkan wacana keagamaan yang bias gender, mendaulat perempuan menjadi kaum mustadh’afin [yang lemah dan dilemahkan] dalam makna sesungguhnya. Dalam prosentase yang banyak, perempuan juga masih menempati posisi subordinat, bahkan subaltern.
Realitas ini seakan berbanding terjungkir balik dengan romantisme seperti yang saya singgung di atas. Perempuan tanpa reserve seolah telah dinobatkan menjadi penanggung jawab utama sebagai juru rawat kehidupan; sendirian. Sebuah gelar yang lagi-lagi romantis, namun tak jarang menjerembabkan. Seperti juga salah satu hasil rekomendasi Kongres Perempuan Indonesia tahun 1938 di Bandung yang akhirnya menetapkan setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu, bahwa “Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: ia berkewajiban menjadi “Ibu Bangsa”. Wow, hebat sekali… “Ibu Bangsa” gitu loh?
Duh, Ibu Bangsa. Bagaimana itu bisa terwujud jika setiap waktu masih saja ada kekerasan demi kekerasan yang dialami perempuan? [kekerasan, apa pun bentuknya, adalah hal yang kontraproduktif dari upaya menjadi “Ibu Bangsa”]. Bahkan, anehnya, dari tahun ke tahun kian meningkat. Tengok saja media-media yang menyuguhkan laporan-laporan itu. Saya juga kerap niteni, nyaris di setiap waktu mendekati atau menyambut hari-hari yang berhubungan dengan perayaan perempuan [8 Maret; Hari Perempuan Internasional, 21 April; Hari Kartini, 22 Desember; Hari Ibu, Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, Hari Lahir Fatayat, Hari Lahir Muslimat, dll.], media massa kerap menurunkan laporan mutakhir tentang tingkat kekerasan dus penderitaan perempuan yang meningkat. Sungguh, terasa membosankan berputar di arus lingkaran setan, dengan membaca suguhan berita macam itu. Saya tidak menafikan bahwa ada juga capaian menggembirakan seperti laporan media massa tentang daerah-daerah di Indonesia yang dalam geliat pembangunannya menjadi “juara” dalam hal PUG [Pengarusutamaan Gender]. Akan tetapi, realitas ternyata lebih canggih dan jujur dalam mewartakan hal sesungguhnya.
Perempuan, dalam keseluruhan hidupnya tak bisa mengelak dari tak terbilangnya persoalan yang maha luas, seluas hidup ini; sebagai konsekuensi logis menjadi manusia yang terlahir di dunia. Tetapi, hidup dalam kehidupan yang tidak ramah, bukanlah konsekuensi logis. Karena sesungguhnya kehidupan yang tak ramah itu adalah hasil create manusia, hasil rekayasa entah disengaja entah tidak. Di titik inilah yang membuat saya gusar. Jan-jane piye to?
Sejenak saya teringat dengan Hari Raya Idul Adha yang belum lama kita lewati ini. Nyaris di setiap khutbah sembahyang massal itu, sosok Nabi Ibrahim AS dan puteranya Ismail yang disebut-sebut sebagai contoh filosofi pengorbanan atau berkurban. Meskipun realitas sejarah yang “sangat laki-laki” itu tentunya saya imani sebagai bagian dari kemusliman saya, rasanya saya juga sangat menyayangkan mengapa khutbah itu sepi dari memaknai atau berfilosofi tentang perempuan Islam dalam sejarah yang nilainya sebanding dengan pengorbanan dua Nabi AS itu. Apakah karena pengkhutbah itu laki-laki hingga “alergi” berkisah tentang kehebatan perempuan dalam berkurban?
Sebut saja Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail, yang mbabat alas, mengais hidup sekaligus meniupkan kehidupan di Makkah nan gersang [senajan Makkah ora ono alas, Dab!], demi sang buah hati dengan mengesampingkan perasaan pribadinya sebagai “yang disingkirkan” bersebab ia istri yang dipoligami. Sebut juga perempuan Maryam yang sebagai manusia biasa ia pun bisa “shock” ketika memiliki pengalaman “supra” dari ranah teologisnya yang sangat pribadi itu, hingga caci maki nyaris membuatnya putus asa menuntun hidup. Catat pula Siti Masyitoh, Si Tukang Sisir keluarga Raja Fir’aun, yang karena keteguhannya mengantarkan mata, kepala, dan hatinya musti menyaksikan satu per satu belahan jiwanya dimasukkan ke dalam tungku yang mendidih, demi sebuah keimanan! Lihat pula perempuan Asiyah, bagaimana ia pun musti bergulat sebagai permaisuri Fir’aun, suaminya yang adalah “rival” Tuhannya. Belum lagi jika kita menyimak sosok Khadijah yang aduhai cintanya yang elok untuk Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Semuanya bermuara pada satu filosofi pengorbanan yang hebat.
Boleh lah jika ada yang mengatakan bahwa contoh sejarah itu “jauh sekali” dari Indonesia. Baiklah, kita memiliki jutaan ibu dan perempuan Aceh, Maluku, Papua, Poso, Sambas, Kedungombo, Porong Sidoarjo, Alas Tlogo Pasuruan, dll. yang seluruh usia hidupnya nyaris adalah usia derita dan pengorbanan. Kita memiliki Marsinah, Suciwati, Marsiyem, ibu-ibu korban ’65, juga ribuan perempuan pekerja migran yang tewas sia-sia. Kita juga memiliki Prita juga Nenek Minah yang tersaruk-saruk menghadapi pengadilan yang asing dari keadilan yang didambanya. Ah, kelewat banyak untuk dikisahkan. Kelewat hebat pula untuk segera menjadi amnesia sosial.
Lalu? Yang tersisa adalah perempuan-perempuan dalam perangkap hiburan dan budaya instan. Sebagai pemilik mata yang melotot jika sedang marah dan menjadi pelaku tindak kekerasan itu sendiri di sinetron-sinetron murahan. Sebagai yang kurang kerjaan karena hanya termehek-mehek sibuk mengintai [dengan bantuan kamera televisi lagi], lalu adu jotos urusan pacar dan pasangan yang direbut orang, tanpa malu sama sekali di lihat orang se-Indonesia. Mungkin perempuan-perempuan itu acapkali lupa, bahwa di dalam tubuhnya terdapat anugerah tak ternilai, yakni rahim! Rahim itu tanpa disadari ia bawa ke mana-mana sepanjang napas dikandung badan. Namun rasanya sepi dari makna, sepi dari penghayatan. Betapa rahim adalah filosofi dari rumah kasih sayang maha sempurna yang hanya dimiliki perempuan. Ruah kasih yang mustinya dimiliki dan senantiasa ditebarkan ke alam semesta. Menjadikan perempuan wajah teduh bagi kehidupan. Ah, embuh lah, taring jahat itu ada di mana-mana dan meringkus mereka…
Ya. Itulah realitas kita. Realitas Indonesia di tanggal 22 Desember yang dirayakan ini. Saya kemudian tak bisa berkata-kata untuk merayakan Hari Ibu yang jatuh hari ini, apalagi tahu musti berbuat apa. Kecuali mungkin saya diam-diam berharap, akan ada pembacaan segar lagi, bahwa Tuhan itu menciptakan makhluk bukan bernama laki-laki dan perempuan, tetapi menciptakan makhluk bernama MANUSIA.
Hmm, lalu saya hanya bisa mencoba kembali ke hal sederhana yang membuat saya bahagia sebagai perempuan [juga sebagai calon ibu, kelak]. Membaca kembali buku-buku yang ada di kamar saya atau menulis-nulis apa pun dengan segelas kopi panas menyanding, sembari menikmati lagu “IBU” dari Iwan Fals. Atau mendengarkan ibu saya mendaras Al-Qur’an usai sembahyang dengan kepala saya rebahkan di pangkuannya. Atau seperti kemarin, sepulang perjalanan jauh yang membuat saya terpisah beberapa hari dari rumah, saya berkisah kepada ibu saya tentang apa yang saya temui dan terjadi di perjalanan itu. Tanpa saya duga, mendengar cerita saya itu, ibu saya spontan tertawa terkekeh-kekeh, selanjutnya beliau malah berkisah tentang romantisme masa mudanya dulu ketika bertemu dengan bapak saya. Ceileeeeee..ceilatun..ceilaani..ceiluuunaa..!
[Duh, saya bahagia sekali…]
SELAMAT BERHARI IBU….. Salam hangat buat semua perempuan!
Ngestiharjo, 22 Desember ’09, 04:01’
[terima kasih buat Mbak Entis, yang telah menginspirasi saya untuk menulis ini. Meski sekadar kata-kata yang terlepas-lepas]
0 comments:
Post a Comment