Sentimentalitas Kehormatan Martin Aleida
Posted by PuJa on March 12, 2012
Aa Aonillah
http://www.kabar-priangan.com/
Karya sastra merupakan wadah bagi seorang penyair dalam mencurahkan seluruh imajinasinya. Hal itu dikarenakan dalam menulis sebuah karya sastra, seorang dituntut untuk berimajinasi tinggi sehingga mampu menghasilkan sebuah karya yang imajiner, dan fantastik. Salah satu genre sastra tersebut adalah cerpen. Pengarang mampu menggambarkan keadaan yang berada di sekelilingnya dengan mengapresiasikan imajinasinya lewat teks.
Seorang pembaca, jika ingin mengetahui ihwal konteks yang ingin disampaikan pengarang dalam sebuah cerpen, maka sudah menjadi kewajiban bagi pembaca untuk membedah karya itu. Alat bedah yang digunakan pembaca diharuskan mampu menelusuri imajinasi pengarang, baik dari unsur kesejarahan, struktural, moral, sosiologis, semiotik maupun stilistika. Kali ini saya mencoba membedah cerpen “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh” karya Martin Aleida, dari kumpulan cerpennya berjudul “Mati Baik-Baik, Kawan” yang diterbitkan oleh Akar Indonesia tahun 2009.
Membaca cerpen “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh” ini akan lebih pas jika menggunakan pendekatan historis, karena melihat latar belakang dari Martin Aleida itu sendiri. Martin Aleida merupakan sastrawan dari komunitas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang pada waktu itu dianggap sebagai musuh oleh para Penganut rezim Orde Baru karena berpaham komunis.
Dalam cerpen tersebut Martin Aleida tidak banyak memilih diksi leksikal untuk mengacu pada pengertian yang lainnya. Ia lebih banyak memilih gaya penulisan yang sederhana, namun tetap mengajak kita sebagai pembaca untuk menyelami hakikat keadilan dan kebebasan sebagai manusia. Lewat tokoh “Mangku” ini, Ia mencoba mewakilkan sosok dirinya yang menderita sesuai dengan
penderitaan yang dialami si Mangku.
Kesederhanaan Martin Aleida dalam cerpen ini terbukti dari penggalan percakapan tentang pembunuhan terhadap para anggota dari Organisasi Tani. Kejadian itu sama persis saat rezim Orde Baru berkuasa pada massanya, mereka yang tergabung dalam organisasi tani mengalami penderitaan itu.
“Orangtua itu dibunuh karena menerima tanah cuma-cuma dari Organisasi Tani yang dituduh merampas tanah tuantanah dan membagi-bagikannya kepada petani tak bertanah seperti dia”
Gaya penulisan yang sederhana tersebut seolah menggambarkan keinginan pengarang untuk menyampaikan penderitaan tokoh dengan hal yang pernah dialaminya. Pengarang mengajak pembaca hanyut dalam kesederhanaan yang dipendamnya.
Mangku dengan ditemani anjing dan keranya merantau ke kota lain demi mendapatkan kesejahteraan dalam hidupnya, terbebas dari ketidakadilan, akan tetapi dalam perjalanannya itu Mangku tetap menderita karena yang menjadi temannya harus menerima ketidakadilan, yang berujung pada kematian. Niatnya yang ingin mendapatkan doa dari para pelayatnya ternyata tidak bisa kesampaian, karena baik mati di tanah kelahiran maupun di tanah perantauan yang ia impikan sama beratnya. Dalam hal ini sentimental pengarang sangat terasa.
Pengarang juga mengulas tempat-tempat yang pernah menjadi saksi kekejaman pembantaian dari penguasa, seperti Bali, Jakarta, dan sebagainya. Ini dimaksudkan agar para pembaca diarahakan untuk sengajak menengok ulang sejarah yang terjadi di tempat tersebut, agar mampu membandingkan antara fiksi yang dibangun pengarang dengan kejadian sebenarnya.
Meskipun kesederhanaan yang digunakan pengarang untuk mengantarkan pembaca dalam mendalami maknanya bisa diartikan tercapai, akan tetapi nilai kebenaran dari cerita itu belum bisa terungkapkan, sejarah masih terikat oleh kepalsuan sebuah rezim. ***
Aa Aonillah, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Siliwangi Tasikmalaya /19 Oct 2011
0 comments:
Post a Comment