Syair-Syair Pembebasan
Posted by PuJa on April 2, 2012
Hasnan Bachtiar
GONJANG-GAJING kenaikan BBM menggelisahkan seluruh rakyat kecil. Kelas terpinggirkan khawatir, kemanusiaannya semakin menjerit di tengah gelombang derita kemelaratan. Dalam ketidakberdayaan, sesungguhnya selemah-lemah suara hati, ingin didengar oleh orang lain. Di titik inilah, kadang kemanusiaan tertuang dalam artikulasi estetis. Anak rohani terlahir sebagai sajak perlawanan.
Sederet penyair negeri ini, selalu bersegera menggoreskan penanya. Satu dua puisi terlahir sebagai ungkapan kepedulian terhadap garis nestapa rakyat miskin. Puisi dalam hal ini, bukan sekedar alat untuk menyadarkan atau memprotes orang lain. Tapi bak manusia itu sendiri yang mampu merubah, karena ia serupa sabda dari pancaran ilahi yang merahmati hambaNya.
Ada benarnya penyair Sutardji Calzoum Bachri tatkala menuturkan, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pikiran. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas”. Setiap syair yang terlantun, bukanlah sekedar estetika. Lebih dari itu, puisi adalah sihir yang mampu membuat setiap manusia tersentuh hatinya, lalu dari segala perbuatan buruk, diubahnya menjadi akhlak mulia. Tidak heran jika penguasa tiran, tiba-tiba bertaubat dan menjadi penolong garda utama.
Pandangan ini agak sulit untuk dijelaskan. Namun, meminjam pandangan dari sudut pandang mistisisme, puisi ini sejenis dengan mantra. Ia tidak “bertujuan” untuk merubah. Tapi ia merubah begitu saja. Kadang, tanpa sebab entah mengapa bisa mengubah. Tidak ada satu pun orang yang tahu, sebagaimana juga tidak seorangpun tahu bahwa orang yang tersesat mendapatkan petunjuk dari Tuhan.
Dalam uraian Kuntowijoyo, inilah yang disebut dengan transendensi. Puisi bukan sekedar keindahan. Kadangkala ia adalah ilham atau bahkan wahyu, yang menerangi segala gelap wawasan tanpa arah. Dalam kisah Nabi, ada manusia-manusia dan jin-jin dari golongan kafir, tatkala mereka mendengarkan lantunan estetis al-Qur’an yang dibacakan di balik tembok, tatkala itu pula merubah segala watak, alam pikir dan tindak laku jahat menjadi putih bersih.
Sama sekali tidak bermaksud menyamakan puisi para penyair biasa dengan dimensi sastra kitab suci yang mulia. Namun setiap tulis kebenaran, kebaikan, kesantunan, keindahan dan syair-syair yang berbobot ungkapannya, itulah tenunan kata dalam sinaran Penguasa Semesta. Tidak pernah ada satupun dalam catatan sejarah para nabi yang mencela, menghina dan merendahkan sajak-sajak para penyair yang berkarya tentang akhlaq al-karimah.
Memang tidak jarang, kesalahpahaman terjadi di tengah umat. Kasus 2 September 1970 telah menimpa H.B. Jassin. Ia dituduh melecehkan kitab suci karena men-susastera-kan al-Qur’an, sehingga dilaporkan sebagai tindak pidana. Sesungguhnya betapa rumit hal ini dan memang tidak mungkin dipahami oleh mereka yang enggan berpikir secara mendalam dan meneliti secara serius. Dalam pembelaannya di pengadilan, Jassin berpendapat, “Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri.”
Imajinasi dan inspirasi ilahiah (revelation) adalah suatu hal yang sejenis. Tidak ada yang menyangsikan fakta ini, bahkan oleh para ahli syariat pun. Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i hingga Noel J. Coulson mengakui bahwa selalu ada dua wajah dalam satu keping mata uang “kebenaran” yang diartikulasikan dengan sangat indahnya. Sebagaimana juga selaras antara Nabi yang manusia biasa, sekaligus Nabi sebagai pemegang otoritas nubuwah dari Tuhan.
Rendra misalnya, telah menulis buku yang berjudul “Penyair dan Kritik Sosial” (2001). Sebagai punggawa sastra Indonesia, ia mengabdikan diri bukan sekedar untuk menulis syair. Demikian pula sebaliknya, Sang Burung Merak ini juga tidak sibuk dalam wacana kritik sosial. Dapat dikatakan bahwa, syair dan kritik sosial tidak mengalami sekularisasi. Mengikuti alur pikir Sutardji, syair adalah kritik sosial itu sendiri.
Ada contoh puisi yang sangat relevan menggambarkan relasi sastra-kemanusiaan-kebenaran yang ditulis oleh Wiji Thukul pada 1986 silam di Solo. Puisi bertajuk “Peringatan” ini tertulis demikian:
Jika rakyat pergi/ Ketika penguasa pidato/ Kita harus hati-hati/ Barangkali mereka putus asa.
Kalau rakyat bersembunyi/ Dan berbisik-bisik/ Ketika membicarakan masalahnya sendiri/ Penguasa harus waspada dan belajar mendengar.
Bila rakyat berani mengeluh/ Itu artinya sudah gawat/ Dan bila omongan penguasa/ Tidak boleh dibantah/ Kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/ Maka hanya ada satu kata: lawan!
Nilai moral, kritik sosial dan kemanusiaan tidak terlepas dari artikulasi estetis yang luar biasa. Kendati demikian, semazhab dengan Rendra, Wiji Thukul termasuk seorang penyair yang kritikus sosial. Serupa tapi tak sama, ada pula jenis puisi yang ditulis oleh seorang kritikus sosial yang penyair, seperti puisi yang ditulis oleh Dahlan Iskan. Gores estetika-sosial Dahlan, tertuang dalam puisi yang berjudul, “Saatnya Putra Petir Melawan.”
Terbukti, Setiap Presiden Indonesia terjerat oleh BBM. Terbukti. Siapa pun presidennya, kapan pun masanya, harus menaikkan harga BBM. Terbukti. Setiap terjadi kenaikan BBM menimbulkan kehebohan nasional. Terbukti. Setiap kehebohan menguras energi nasional. Energi dihambur-hamburkan. Energi terbuang-buang sia-sia. Energi yang mestinya untuk mendorong maju menjadi energi yang habis untuk berputar-putar.
Karena itu: Mari kita lawan BBM! Mari kita tolak BBM! Mari beralih dari BBM ke listrik! Mari! Kita lawan BBM! Untuk penyelesaian yang tuntas jangka panjang. Agar BBM tidak lagi menjerat-jerat presiden-presiden yang akan datang. Agar BBM tidak habis-habisnya menimbulkan kehebohan nasional. Agar tidak terus-menerus menguras energi nasional. Mari kita lawan BBM! Mari kita produksi mobil-motor listrik nasional. Kita pakai kendaraan listrik. Bukan kendaraan yang haus BBM.
Jangan ketinggalan. Seluruh dunia mengarah ke kendaraan listrik. Seluruh dunia akan beralih ke kendaraan listrik. Seluruh dunia akan meninggalkan kendaraan BBM. Jangan sampai kita ketinggalan lagi. Hanya untuk terjerat-jerat BBM sepanjang masa. Hanya untuk berheboh-heboh tiada habisnya. Hanya untuk menguras energi semua manusia Indonesia.
Mari kita produksi kendaraan listrik. Mari kita manfaatkan listrik murah ketika tengah malam. Ketika semua orang tidur dengan lelapnya. Ketika AC-AC kantor tidak bekerja. Ketika TV-TV tidak menyala. Ketika lift-lift gedung bertingkat beristirahat. Listrik tengah malam. Terbuang sia-sia. Listrik tengah malam. Alangkah bermanfaatnya bila untuk nge-charge kendaraan kita.
Mari kita produksi motor listrik nasional. Mari kita produksi mobil listrik nasional. Kita! Putra-putri bangsa. Pasti mampu merealisasikannya. BUMN siap menjadi pelopornya. BUMN siap menjadi pemrakarsanya. Inpres hemat energi No 05/2006 harus menjadi nyata.
Ayo! Siapa pun Anda. Yang merasa sebagai putra bangsa. Yang sudah lama mimpi mobil-motor listrik nasional. Yang memiliki konsep, bukan yang hanya bisa mengeluh. Yang siap bekerja keras, bukan yang hanya bisa bicara keras.
Yang bisa melakukan R&D sendiri. Yang bisa melahirkan kualitas motor listrik tidak seperti yang kita kenal hari ini. Yang siap bikin blueprint dan working prototype untuk produksi mobil/motor listrik nasional. Yang mampu menemukan teknologi tidak sekadar merakit yang sudah ada. Yang siap melibatkan lembaga pendidikan nasional jangka panjang. Yang siap untuk mengikuti sertifikasi pengujian nasional. Yang kalau dipatenkan bisa diterima. Yang siap membangun perusahaan nasional.
Dan tentu. Yang siap bekerjasama dengan BUMN. Ayo kumpul di BUMN. Kita bicarakan bersama. Kita wujudkan bersama. Kita jalankan bersama. Ayo kita lahirkan motor listrik nasional. Ayo kita lahirkan mobil listrik nasional. Ayo! Jeratan nasional itu kita urai. Kehebohan nasional itu kita cegah. Pemborosan energi nasional itu kita akhiri. Ayo. Indonesia jangan ketinggalan lagi. Mari! Kita akhiri keluh-kesah. Kita ganti dengan motor listrik nasional. Kita ganti dengan mobil listrik nasional.
Mari kita songsong bersama. Lahirnya… Jabang bayi Putra Petir ini!
Sudah barang tentu, setiap penciptaan berbeda wujudnya. Puisi Wiji Thukul dan puisi Dahlan Iskan memang berbeda, termasuk perspektif, gaya dan jalan keluar untuk menyelesaikan problem sosial yang mengemuka.
Tapi yang menarik diamati bukanlah perbedaan jalan “bagaimana memperbaiki bangsa ini”, namun puisi ini telah menyatu sebagai upaya praksis pemerdekaan sosial. Wiji Thukul mengorbankan jiwanya sebagai aktivis yang bersuara demi Hak Asasi Manusia seluruh rakyat, sedangkan Dahlan Iskan berperan penting sebagai Menteri Negara dalam rangka reformasi BUMN yang kontributif terhadap rakyat.
Demikianlah kemanusiaan dalam artikulasi estetis, dengan mengungkap pelbagai dimensi filosofis sastra dan kemanusiaan, semoga memberikan hikmah tersendiri bagi kebangkitan bangsa Indonesia. []
*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM. Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.
0 comments:
Post a Comment