Chairil Anwar yang Kesepian
Posted by PuJa on May 24, 2012
Hasan Al Banna
http://www.radarberita.com/
Ketika dia kecil, dia adalah seorang anak manja dari orang tua yang cukup berada. Ketika dia mengalami masa remajanya, dia berkencan dengan banyak gadis.
Dia pernah hidup gelandangan. Dia pernah berdiskusi dengan macam-macam orang, dari kaum intelektual berpikiran majemuk sampai pada rakyat jelata berpikiran sederhana.” (Arif Budiman dalam buku Chairil Anwar, Sebuah Pertemuan).
Dalam sejarah hidupnya yang begitu singkat, sesungguhnya Chairil Anwar telah menempuh perjalanan panjang dan licin. Manis-getir kehidupan ‘dibonsai’ Chairil dalam tempo 27 tahun- tatkala ajal menjegalnya. Riwayat hidupnya yang singkat, tapi sarat kelokan, secara sadar atau tidak telah menuntun Chairil menuliskan biografi dirinya sendiri melalui wujud sajak. Itulah yang kiranya ‘membantu’ Chairil menjadi penyair yang individualistis!
Lantas, sebegitu egoiskah Chairil dalam berkarya? Tak sudikah dia merekam tindak-tanduk khalayak yang lebih jauh dari tempatnya berada? Ya, lebih dari sekadar membincangkan dirinya, kerabatnya; ibu dan sang nenek atau gadis-gadisnya? Benar, satu-dua sajaknya berkisah tentang kepatriotan; tema yang begitu menyita perhatian pada masa dia hidup. Secara kuantitas, sajak-sajak Chairil yang demikian, tidak terlampau mencolok.
Chairil sesungguhnya masih boleh dikatakan hidup dalam lingkaran mesiu-darah dan hidup-mati orang banyak (perjuangan kemerdekaan). Zaman ketika orang-orang masih sangat membutuhkan suntikan semangat kebersamaan. Dia memilih sibuk dengan perjuangan hidup-matinya sendiri.
Chairil menyandera batin dan pikirannya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang esensi kehidupan. Dia memutuskan untuk lebih dominan membicarakan dirinya dalam menghadapi kenyataan hidup, juga kematian.
Adakah dia -bertolak dari perjalanan hidupnya- sedang menciptakan cermin bagi khalayak untuk menafsirkan kehidupan yang sarat misteri? Tak salah lagi, sebagian besar sajak-sajak Chairil dinilai banyak pihak sebagai sajak-sajak kamar, bukan mimbar.
Sajak-sajak tulisan, bukan lisan. Kendati demikian, kerumunan orang tetap memasuki kamar-kamar yang berderat dalam sajak-sajak Chairil. Khalayak mengapresiasi sajak-sajaknya yang individualistis itu. Di satu sisi, Chairil memang terkesan individualis. Ia hanya mau tunduk pada titah hatinya.
“Sedang dengan cermin aku enggan berbagi”, beber Chairil pada sajaknya berjudul “Penerimaan”. Dia memang tak mau dirayu. Mungkin dia berpendapat: untuk apa sibuk mengurusi hidup orang kebanyakan, toh pada akhirnya dia akan menghadapi sendiri kematian yang pasti. Pula bakal ‘hidup’ sendiri setelah kematian melanda.
Mungkin banyak yang tidak tahu, jika Chairil tak sepenuhnya mementingkan dirinya sendiri. Tak senyata benar dia mengurung tubuh-jiwanya dalam kamar yang berjarak dari pergaulan kehidupan.
Dalam buku Perlawanan Binatang Jalang, Chavchai Syaifullah menyatakan begini: “Bila dia sedang menuju ke suatu pesta, dia berpakaian jas lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Kemudian dia pun turut berdansa dengan noni-noni Belanda. Penampilannya berubah jika Chairil ditemui sedang bercakap mesra dengan tukang becak atau pemulung kota. Dia akan tampil kusam, bahkan lebih kusam dari penampilan tukang becak atau pemulung kota itu.”
Bisa jadi perilaku Chairil, lebih disulut oleh keengganannya terikat oleh tiang tunggal kehidupan. Dia merasa samudera hidup yang luas dan buas bebas mengombang-ambingkan jiwa-raganya. Oleh karena itu, tatkala samudera hidup sesaat senyap, dia bebas mengarahkan kemudi kemauan.
Chairil seolah ingin mempermainkan hidup. Dia bebas berlari ke mana dia suka! Dia dengan garang mendebat orang-orang besar, pergi ‘menyinggahi’ banyak perempuan, senang mabuk, sering menipu teman, juga mencuri buku. Tak ambil pusing dia meski dianggap gila.
Dia terus berlari walau berbagai penyakit menggeroti tubuhnya. Perilaku ‘bebas’ ini pula yang, mungkin, menggiringnya melakukan pembaharuan dalam sajak-sajaknya. Sajak-sajak yang ‘berkhianat’ pada ketentuan sebelumnya. Chairil sebenar bebas!
Sebenarnya, dalam hiruk-pikuk kebebasan, Chairil tengah merayakan kesepian hidupnya. Tak heran jika kesepianlah yang sering terdampar pada sebagian besar sajak-sajaknya. Dalam kebebasan (hidup dan bersajak), Chairil seyogianya sedang mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang saling membentur di kepala dan dadanya.
Chairil menjadi orang yang gemar bersesuka hati (atau terpaksa bersesuka hati?) dalam menerjemahkan kehidupan. Kehidupan yang ‘menjerumuskannya’ ke lembah kesepian yang dingin dan basah. “Sepi memagut/Tak kuasa-berani melepas diri”. (Sajak “Hampa”)
Dia memang kerap merasa sendiri, baik kala bahagia maupun nestapa. Mungkin, dengan kebebasan sekaligus kesepian itulah Chairil memamerkan eksistensinya sebagai manusia: pemberani sekaligus pengecut, kuat sekaligus lemah. Chairil menyadari dan memberi kesadaran bahwa pada mulanya manusia makhluk lemah (kelahiran), lantas bergerak membangun kekuatan diri meski tetap tak bisa sempurna menyembunyikan kelemahan (menjalani kehidupan). Pada hilirnya, Chairil, layaknya manusia lain akan kembali teronggok lemah (kematian).
Ya, pertama kali menulis sajak – sekira berusia 20 tahun, Chairil sedang dirundung kesunyian; tatkala neneknya meninggal. Puisinya yang fenomenal, “Aku” adalah pernyataan diri sebagai manusia yang ambisius. Atau, bisa jadi juga tengah berupaya menguatkan dirinya dalam menghadapi kesepian, “Ku tak mau seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau/Tak perlu sedu sedan itu”.
Selanjutnya – dalam hilir-mudik kebebasan (pamer kekuatan), Chairil diam-diam sering mengalami ‘kekalahan’ (kesepian). Orang tuanya bercerai. Chairil pun kerap gagal membina hubungan dengan beberapa perempuan. Hidupnya tak teratur, berantakan. Pada akhirnya, dia (mengaku) kalah pada penyakit, pun pada maut: kesepian yang tiada tara!
“Aku berbenah dalam kamar/dalam diriku jika kau datang/dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;/tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang/tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku”. (Sajak “Yang Terampas dan Yang Putus’) Pastinya, segenap kesepianlah yang bikin Charil menjadi ada. Terus menyala. Menyala sampai pada waktu yang tak terhingga. Penulis: seorang pandai fiksi dan nonfiksi.
25 April 2010
0 comments:
Post a Comment