Sendalu, Sebuah Tragedi Pemerkosaan
Posted by PuJa on May 24, 2012
Rizqi Nurmizan
http://www.kompasiana.com/rizqi_mizan
Melengkapi maraknya tulisan ber-keyword pemerkosaan, rok mini, dan angkot di jagat Kompasiana, saya terusik untuk mengangkat Sendalu, sebuah novel dengan pemerkosaan sebagai ide ceritanya. Novel karangan Chavchay Syaifullah ini berkisah tentang Lumang, seorang pemuda psikopat yang mengalami semacam ‘kegalauan seksual’ sepanjang hidupnya. Lewat Sendalu, Chavchay ingin menyibak kerusakan mental yang dialami para pemerkosa dan dan derita psikologis para korban perkosaan.
Lumang adalah sosok pemuda yang terlunta dalam desakan kemiskinan dan bergelung dalam arus besar urban culture Jakarta. Lumang adalah putera urban; ayahnya mantan preman yang alih profesi menjadi tukang cukur rambut, sementara ibunya penjaja kue di pasar kaget di sebuah kampung ringkih di Banten. Kepada para tetangganya ibunya sering mengenalkan Lumang sebagai anak yang diapit bangkai karena kakak dan adiknya semuanya mati sejak dalam perut.
Kegalauan seksual yang dialami Lumang dimulai saat ia masih tinggal di desa kecilnya di Banten. Di gubuk kecil yang hanya berdinding separuh tembok dan separuh tripleks, dari balik dinding ia kerap mendengar lenguhan dan rintihan kedua orangtuanya yang sedang bercinta. Bahkan, tak jarang ia melihat pergumulan ibu-bapaknya secara langsung saat mereka lupa menutup pintu kamar.
Pengalaman ini tentu melahirkan sebuah fantasi gila yang terus merasuki pikiran Lumang. Bahkan hingga mereka hijrah ke Pasar Minggu Jakarta, Lumang tetap dalam pusaran pertarungan bayangan tentang lenguhan, deritan tripleks, dan apa arti persetubuhan laki-laki dan perempuan.
Di kontrakan baru di Jakarta, desakan lenguh itu tak juga menghilang. Malah kian berirama karena ketambahan desahan pasangan pengantin muda, Lastri dan Burhan, di kamar sebelah yang hanya dibatasi dinding tripleks. Saban malam lewat lubang sebesar paku, Lumang mengamati pemandangan, derit ranjang, dan suara rintihan saat Burhan membuka kedua paha Lastri lebar-lebar, menggarap Lastri dengan buasnya. Suara dua pasangan manusia yang saling bersahutan itu membuat Lumang makin gila dan menderita.
Lumang lalu pergi ke jalanan, ke minuman keras, berharap agar ia bisa melupakan fantasi yang menggelayuti pikirannya setiap malam. Namun rasa penasaran itu tak juga hilang. Lumang menginginkan sebuah pembalasan atas penderitaan yang menderanya.
Pagi itu ia kembali ke rumah kontrakannya. Lewat lubang kecil itu, ia lihat Lastri sedang akan berganti baju tanpa ada sehelai benang pun di tubuhnya. Segera ia hampiri rumah Lastri, dan memangsanya dengan buas dan brutal. Usai menghabisi Lastri, tak cukup sampai di situ, Lumang ingin mencoba apa yang dilakukan bapaknya; menyetubuhi ibunya.
Saat ibunya baru pulang, Lumang dipeluk sang Ibu penuh rindu kasih sayang. Buah dada ibu yang mengenai kepala Lumang yang pura-pura tidur memancingnya untuk merasakan rasa-rasa nikmat yang dirasakan ayahnya. Ia ingin tahu apa yang dirasakan dan dibanggakan ayahnya selama ini. penuh kedurhakaan anak, ia memerkosa ibunya yang sangat mencintai anak kurang ajar ini.
Tak cukup di situ, Lumang ingin merasakan sensasi berbeda. Ia seret Lastri dari kamar sebelah dan ditumpuknya bersama ibunya. Lalu ia perkosa keduanya secara bergantian. Dengan ‘parang dagingnya’ Lumang ingin membandingankan kenikmatan tubuh dan lubang Lastri dan ibunya.
Lumang belum puas. Ia tunggui kepulangan dua lelaki pemilik sah dua wanita itu; bapaknya dan Burhan. Keduanya dipukul hingga pingsan, lalu diikat Lumang. Saat keduanya siuman, mereka menyaksikan sebuah pemandangan yang begitu menusuk ego. Lumang mengangkangi istri-istri mereka dengan liar, di depan mata kepala mereka sendiri.
Kemenangan Lumang dirayakannya di jalanan. Selanjutnya, Lumang jadi seorang psikopat. Petualangan seksualnya menghantui setiap wanita di kota. Hampir setiap hari ia memperkosa paling sedikit tiga perempuan, baik di terminal, stasiun kereta, maupun perempuan yang lewat di tugu pancoran. Korbannya mulai dari ibu muda, lalu beralih ke nenek-nenek, lalu beralih ke gadis perawan. Lumang menghabisi semuanya, orang waras dan orang gila. Tiba-tiba saja jalanan Jakarta dipenuhi ratusan perempuan cacat mental berkeliaran di jalanan menenteng perut bunting yang sebentar lagi tumpah.
Sesal karena telah menyusahkan perempuan-perempuan senasib dengannya, Lumang banting stir. Ia arahkan parang dagingnya itu pada dubur laki-laki. Korbannya beragam, mulai dari anak-anak, preman, satpam, bahkan polisi. Bono, bocah yang sudah menjadi keluarga baru Lumang, di bawah Tugu Pancoran, teman sehari-harinya menggembel, harus dia sodomi, dan seketika itu juga bocah itu meninggal. Untuk pertama kalinya Lumang menangis dan merasa penyesalan. ia menangis dan menggendong Bono untuk dibuang di Kali Ciliwung. kematian Bono mengubah hidup Lumang.
Puncaknya Mei 1998 saat Jakarta bergejolak. Terjadilah pemerkosaan massal dan terorganisir terhadap perempuan-perempuan Cina. Kejantanannya telah diambil alih massa. Ia tersinggung. Ia terasing.
Menyesali karena mungkin telah mengajarkan orang-orang itu memperkosa secara brutal lewat pemberitaan koran dan televisi secara massif, Lumang membuat keputusannya; di bawah Tugu Pancoran, ia memotong parang dagingnya yang selama ini menjadi medium eksistensinya dan membuang puntung eksistensi itu di tengah jalan yang padat. Sebelum akhirnya Lumang mati kehabisan darah di rumah sakit, ia minta maaf, pada ibu-bapaknya, pada Burhan dan Lastri, dan pada semua korban kebiadabannya.
Pesan terakhir Lumang:
“Wahai kau yang senang memperkosa anak manusia, becerminlah! Perbuatanmu telah menghancurkan kehidupan manusia seluruhnya. ingatlah, korban-korbanmu adalah manusia, sama sepertimu. Hentikanlah aksi biadabmu! Bercerminlah! Pandanglah dirimu baik-baik!”
Dijumput dari: http://media.kompasiana.com/buku/2011/09/20/sendalu-sebuah-tragedi-pemerkosaan/
0 comments:
Post a Comment