RRI dan KA Tebar Proklamasi
Posted by PuJa on May 14, 2012
Rosihan Anwar *
__Suara Pembaruan, 28 Mei 2008
KERETA Api Argo Jati Ja-karta-Cirebon, Sabtu, 17 Mei 2008 pagi, membawa satu rombongan dengan tujuan khusus. Dalam rangka peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional digelar pertunjukan kesenian lokal dan diskusi napak tilas diplomasi Linggajati, di Kuningan, Jawa Barat. Di sana pada 11-12 November 1946 berlangsung perundingan internasional pertama antara PM Sutan Sjahrir, mewakili Republik Indonesia, dan mantan PM/Komisi Jenderal Prof. Schermehorn, mewakili Kerajaan Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta datang dari Yogya menunjukkan persatuan Indonesia.
Karena gagasan berasal dari Parni Hadi, Direktur Utama RRI, maka seluruh acara disiarkan langsung secara nasional oleh Program 3 RRI. Beberapa menteri sedianya ikut, Menlu, Menbudpar, dan Menteri Pemuda Olahraga, tapi berhalangan karena ada janji lain. Yang hadir dalam wagon istimewa ialah Menkominfo M Nuh. Sebagai narasumber ikut antara lain, Rosihan Anwar (pelaku sejarah), Djafar Assegaf (wartawan senior), Anhar Gong-gong (sejarawan), para wakil kementerian, anggota Komisi I DPR, dan pejabat dari Dephub.
Topik apakah yang dibincangkan dalam diskusi di kereta api? Sesuai dengan suasana peringatan Seabad Kebangkitan Nasional disepakati topik: “Peran RRI dan Kereta Api Pasca-Proklamasi Kemerdekaan.”
Orang sekarang tidak tahu bagaimana keadaan di Tanah Air masa itu. Proklamasi kemerdekaan sudah terjadi, tapi tentara Jepang masih berkuasa penuh. Gunseikan berada di Istana, Kenpeitai mengawasi masyarakat, dan serdadu berpatroli di jalanan. Koran satu-satunya di Jakarta Asia Raja dilarang oleh sensor Jepang menyiarkan berita tentang proklamasi kemer- dekaan.
Radio Jakarta dijaga keras oleh Kenpeitai. Jusuf Ronodipuro (kelak Kepala RRI Jakarta) diberitahu oleh pemuda- pemuda Menteng 31 agar siap-siaga menyiarkan teks proklamasi. Jusuf berunding dengan Bachtar Lubis dari bagian berita (kelak Kepala Penerangan Angkatan Darat). Sorenya, wartawan Sjahrudin dari Domei Bagian Indonesia memanjat pagar tembok di belakang gedung, lalu menyerahkan kertas teks proklamasi kepada Jusuf yang dikirim Adam Malik, Ketua Domei Bagian Indonesia.
Pertanyaan diajukan, di ruangan manakah penyiaran dilakukan? Semua ruang dijaga oleh Jepang. Untung ruang siaran luar negeri tidak dipakai. Maka teks proklamasi dibacakan berulang kali oleh Jusuf Ronodipuro sedang terjemahannya dalam bahasa Inggris dibacakan oleh se- orang rekan.
Jepang heboh. Dua perwira Kenpeitai datang ke studio. Mereka mau menghabisi nyawa Jusuf dan Bachtar. Untung seorang supervisor Jepang senior dan intelektual berhasil meredakan hati perwira Kenpeitai. Alih-alih Jusuf dan Bachtar digebuk babak belur. Jusuf sejak itu berjalan agak pincang akibat dipermak oleh Jepang. Begitulah kisah heroik pemuda berusia 24-25 tahun itu pada zaman Revolusi.
Di Bandung, penyiar berita Sakti Alamsyah (kelak menjadi Pemimpin Umum Harian Pikiran Rakyat) juga berhasil menerobos rintangan Jepang lalu membacakan teks proklamasi depan corong radio.
Menurut sejarawan dr. Rushdi Hussein, di laboratorium Fisiologi Ika Daigaku (Sekolah Tinggi Kedokteran) atas prakarsa dr Abdulrachman Saleh (kelak Komodor AURI yang tewas di Yogya Juli 1947 karena pesawatnya ditembak Belanda) didirikan sebuah pemancar gelap yang menyiarkan pidato Bung Karno pada 25 Agustus 1945 dan pidato Bung Hatta, 29 Agustus. Penyiaran inilah yang ditetapkan sebagai cikal bakal RRI.
Kawan-kawan telegrafis Domei Bagian Indonesia dengan menggunakan zender kode Morse atas arahan Rachmat Nasution (ayahanda Adnan Buyung Nasution) dan Penghulu Loebis secara diam-diam mengirimkan teks proklamasi ke segenap penjuru dunia.
Radio Disegel
Pertanyaan menonjol adalah sampaikah berita proklamasi itu kepada rakyat banyak? Tidak ada kepastian tentang hal itu. Pada zaman Jepang semua pesawat radio disegel, sehingga rakyat ter- batas sekali memperoleh informasi.
Marshall McLuhan menulis buku Understanding Media (1964). Ia berkata: “kereta api tidak mengintroduksikan gerakan atau transportasi atau roda atau jalan ke dalam masyarakat, tapi mempercepat dan memperbesar skala fungsi-fungsi manusia sebelumnya, menciptakan total jenis-jenis baru kota dan jenis baru pekerjaan serta waktu terluang (hal. 20).
Pada 1945, pemuda Indonesia tidak mengetahui pendapat McLuhan the medium is the message. Akan tetapi, pemuda keranjingan dengan pesan (message) yang harus ditebarkan, yaitu Proklamasi 17 Agustus, dan mereka melihat kereta api sebagai alat tepat menjadi messenger, pembawa pesan.
Pemuda pejuang berhimpun dalam tiga kubu, yaitu Asrama Prapatan 10, Menteng 31 markas API (Angkatan Pemuda Indonesia), dan Asrama Cikini 7. Pemuda kesal melihat kabinet Soekarno menghabiskan waktu rapat di rumah Pegangsaan Timur 56. Tidak ada tindakan konkret.
Pemuda dari Menteng 31 di bawah pimpinan mahasiswa Djohar memulai aksi mengambil alih kereta api pada 3 September 1945. Kemudian menyusul perusahaan telepon, listrik, dan gedung pemerintah yang ditempeli dengan kertas berbunyi: “Milik Repoeblik Indonesia”. Pada 3 September, Kantor Berita Antara didirikan kembali. Pada 11 September, Radio Jakarta jatuh ke tangan Indonesia.
Setelah kereta api dikuasai oleh pemuda maka mulailah aksi corat-coret graffiti di dinding wagon-wagon kereta api antara Jakarta dan Surabaya. Semboyan yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris berbunyi: Merdeka ataoe Mati, Satoe Tanah Air, satoe Bangsa, satoe Tekad tetap merdeka; Indonesia never again the life blood of any nation.
Setelah berjalan beberapa minggu tersebarlah kabar di kalangan rakyat banyak bahwa Indonesia sudah merdeka dan berdaulat.
Kereta api berperan sentral dalam Revolusi. Pada 17 Desember 1945, sebuah Kereta Api Luar Biasa bertolak dari Stasiun Manggarai menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur, membawa rombongan pemerintah RI, yakni Presiden Soekarno, Wapres Hatta, dan PM Sjahrir, serta para koresponden internasional. Pemerintah mau sowan, silaturahmi dengan rakyat di Solo, Purwokerto, Yogya, Kediri, Malang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Pada saat itu Bung Karno dalam pidatonya mengumandangkan semboyan dalam bahasa Inggris: All is running well in the Republic. Kemudian, pada 4 Januari 1946 mengingat keadaan memburuk akibat teror serdadu Nica-Belanda, Presiden Soekarno dan Wapres Hatta naik kereta api untuk pindah ke Yogyakarta melanjutkan perjuangan.
Pernahkah terpikir oleh Anda bahwa RRI dan Kereta api telah memberikan sumbangan berharga dalam perang kemerdekaan 1945-1949? Renungkan itu.
* Rosihan Anwar, wartawan senior
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/05/opini-rri-dan-ka-tebar-proklamasi.html
0 comments:
Post a Comment