Pages

Friday, 22 June 2012

Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan


Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan
Posted by PuJa on June 20, 2012
Jones Gultom
http://www.analisadaily.com/

BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.
Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.
Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.
Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase “puncak” kemunculan mereka.
Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai “ahli nujum” yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.
Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; “jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya.” Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.
AngkMenemukan Sastra dan Sastrawan NTT
Posted by PuJa on June 22, 2012
Yohanes Sehandi *
Victory News (Kupang) 10 Juni 2012
MELACAK sastra dan sastrawan NTT ternyata tidak gampang. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran khusus. Ini terjadi karena sampai sejuah ini belum pernah dilakukan pengkajian serius dan komprehensif tentang sastra dan sastrawan NTT oleh para pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra NTT, baik di NTT maupun di luar NTT. Untuk memulainya saja serba gelap, karena tidak ada buku referensi yang tersedia.
Setelah berdiskusi dengan berbagai kalangan dan setelah membaca sejumlah buku referensi tentang perkembangan sastra Indonesia (warna lokal atau warna daerah) di berbagai daerah provinsi dan kabupaten lain di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil tantangan ini, yakni melacak sastra dan sastrawan NTT. Pelacakan dimulai awal tahun 2010.
Bagaimana menemukan sastra dan sastrawan NTT? Tidak ada metodologi yang dijadikan pegangan. Saya melakukannya dengan modal akal sehat dan kemauan kuat. Kemauan untuk mengangkat citra sastra dan sastrawan NTT ke tingkat yang lebih tinggi agar dikenal secara luas di tingkat nasional atau internasional. Adapun mekanisme dan standar kerja saya dalam melacak dan menemukan sastra dan sastrawan NTT sebagai berikut.
Langkah pertama, saya mengumpulkan berbagai informasi dan data tentang sastra dan sastrawan NTT, terutama dari media massa cetak, baik yang terbit di NTT maupun di luar NTT, juga media online. Informasi lain juga saya peroleh dari kalangan sastrawan kreatif dan pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra.
Dari kerja pengumpulan informasi dan data ini, sampai akhir Januari 2012, saya berhasil mengumpulkan data 107 judul buku sastra NTT karya para sastrawan NTT. Sebagian buku sastra itu telah saya miliki secara pribadi yang saya kumpulkan selama 31 tahun terakhir, sejak kuliah S1 di Semarang (1981) sampai kini (2012). Buku-buku sastra ini berupa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, naskah drama, buku novel, dan buku telaah dan kritik sastra.
Selanjutnya saya mengumpulkan data cerita pendek (cerpen) dan puisi. Untuk cerpen, saya memiliki data berupa cerpen-cerpen yang diterbitkan harian Pos Kupang edisi Minggu, selama tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. Harian Victory News belum terbit. Jumlah cerpen Pos Kupang yang saya miliki 180 judul (rata-rata satu tahun 45 judul cerpen) yang berasal dari 128 cerpenis NTT (rata-rata satu tahun 32 cerpenis).
Untuk puisi, saya memiliki data puisi Pos Kupang edisi Minggu, tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. Jumlah puisi Pos Kupang yang saya miliki 360 judul (rata-rata satu tahun 90 judul puisi) yang berasal dari 140 penyair NTT (rata-rata satu tahun 35 penyair) yang diorbitkan harian Pos Kupang.
Di samping bersumber dari Pos Kupang, puisi-puisi juga saya himpun dari Majalah Dian (terbitan Ende, kini tidak terbit lagi) selama 9 tahun, dari Oktober 1974 sampai Desember 1983. Lebih dari 200 judul puisi dari 50-an penyair NTT diorbitkan Majalah Dian yang dikumpulkan Pater John Dami Mukese dalam sebuah dokumen berharga yang berjudul Parade Puisi Nusa Tenggara Timur 1974-1983.
Langkah kedua, setelah menghimpun buku-buku sastra, cerpen, dan puisi, serta naskah drama dan film, saya membaca ulang karya-karya sastra NTT itu dan memberi penilaian. Kriteria penilaian difokuskan pada unsur-unsur intrinsik (unsur dalam) karya sastra, sedangkan unsur-unsur ekstrinsik (unsur luar) hanya dijadikan sebagai pelengkap.
Dalam memutuskan hasil penilaian, tentu saja bisa mengundang perdebatan. Mengapa karya-karya si A dimasukkan sebagai karya sastra, sementara karya-karya si B dan si C tidak. Di sinilah titik peliknya. Sebagai karya imajinatif, menilai karya sastra selalu berhimpitan unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif berupa bobot literer unsur-unsur intrinsik karya sastra, sedangkan unsur subjektif berupa bobot kepekaan mata batin pembaca (kritikus sastra) dalam menilai karya sastra.
Langkah ketiga, setelah mendapatkan hasil penilaian, saya telusuri biografi satu per satu sastrawan NTT. Setiap sastrawan ditelusuri data biografi (riwayat hidup) dan data-data karya sastra yang telah dipublikasikan lewat berbagai media massa. Artinya, karya-karya sastra NTT yang saya kaji telah melewati seleksi tahap pertama oleh Editor (penerbit buku) atau Redaktur Sastra (surat kabar dan majalah).
Itulah ketiga mekanisme dan standar kerja saya dalam menemukan sastra dan sastrawan NTT. Kerja panjang ini saya dapatkan hasilnya yang membuat saya merasa berbahagia, sebagai berikut.
Pertama, saya dapat merumuskan definisi dan kriteria sastra NTT dan sastrawan NTT. Adapun rumusan sastra NTT adalah “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia.” Sastra NTT dalam pengertian ini adalah sastra Indonesia warna lokal NTT atau warna daerah NTT. Jadi, sastra NTT di sini tetap dalam bingkai sastra Indonesia, atau sastra NTT sebagai bagian atau “warga” sastra Indonesia. Sedangkan sastrawan NTT adalah “pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT.” Sastrawan NTT di sini adalah juga sastrawan Indonesia yang lahir di NTT atau keturunan orang NTT.
Kedua, saya dapat mengidentifikasi nama-nama sastrawan NTT beserta karya-karya sastra yang dihasikannya. Hasilnya, ditemukanlah 64 nama sastrawan NTT. Dari 64 nama itu, ada 22 nama sastrawan NTT yang definitif, yang sudah lengkap data biografi dan data karya-karya sastranya. Karya-karya sastra mereka berbobot secara literer. Selain 22 nama, ada 42 nama lagi yang tengah ditelusuri data biografi dan data karya-karya sastranya.
Ke-64 nama sastrawan NTT ini saya masukkan dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Ada tiga bagian buku ini, yakni Mengenal Sastra NTT, Mengenal Sastrawan NTT, dan Menyelisik Sastra NTT. Buku ini tengah diproses tahap akhir penerbitannya oleh Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dari 22 nama sastrawan NTT definitif di atas terdapat sejumlah nama besar, seperti Gerson Poyk, Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, Julius R. Sijaranamual, Ignas Kleden, John Dami Mukese, Maria Matildis Banda, Marsel Robot, Vincentcius Jeskial Boekan, dan Mezra E. Pellondou.
Di samping 22 nama sastrawan NTT, terdapat 42 nama sastrawan NTT yang tengah ditelusuri data biografi dan data karya-karya sastranya. Di antaranya, terdapat nama Abdul M. Djou, Amanche Franck, Aster Bili Bora, Bruno Dasion, Charlemen Djahadael, Cyrilus B. Engo, Even Edomeko, Felisianus Sanga, Frans Piter Kembo, Frans W. Hebi, Inyo Soro, Ishack Sonlay, Jefta Atapeni, Jimmy Meko Hayong, Jose Wasa, Leo Kleden, Michael B. Beding, Robert Fahik, Ruben Paineon, Sipri Senda, Sr. Wilda Wisang, Umbu Spiderno, Ve Nahak, Vinsen Making, Willem B. Berybe, Yohanes F.H. Maget, Yohanes Don Bosco Blikololong, Y.T.P. Daman, dan Yoseph Lagadoni Herin.
*) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Flores, Ende [Drs. Yohanes Sehandi, M.Si. Lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan formal diselesaikan berturut-turut: SDK Dalong (1973), SMPK Rekas (1976), SPP/SPMA Boawae (1980) ketiganya di Flores, Sarjana (S1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (1985), dan Magister (S2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2003)].
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2012/06/menemukan-sastra-dan-sastrawan-ntt.htmlatan Reformasi (?)
Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.
Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?
Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.
Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.
Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan “mati-matian” bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. “Semangat” itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin “panas” itu.
Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan “keharuman” karyanya masing-masing.
Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.
Kalah Langkah
Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.
Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.
Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?
08 Apr 2012

0 comments:

Post a Comment