Intervensi Negara terhadap Kampus
Posted by PuJa on July 23, 2012
Warjati Suharyono *
http://www.lampungpost.com/
SECARA historis, kehidupan pembelajaran pendidikan tinggi di berbagai kampus Indonesia baik negeri maupun swasta tidak pernah terlepas dari intervensi negara.
Pada 1970-an, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Tujuannya menghentikan daya kritis mahasiswa atas jalannya pemerintahan Orde Baru. Semua organisasi mahasiswa baik internal maupun eksternal dibubarkan kemudian disatukan dalam satu wadah bernama senat akademik universitas di bawah kendali mendikbud. NKK dan pembentukan senat secara langsung mendepolitisasi kampus. Mahasiswa diajak menghentikan idealisme kemudian berpikir pragmatis hanya belajar, lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan.
Logika Kapitalisme
Pada era reformasi saat ini, intervensi negara terhadap kampus lebih parah karena sudah melibatkan aktor asing. Logika kapitalisme sudah merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum pendidikan. Kita masih ingat bagaimana pemerintah memaksa kampus negeri dan swasta membiayai operasional kampus dengan melepaskan subsidi melalui UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian digugat itu. Status badan hukum yang disematkan kepada kampus sendiri menyimbolkan kampus sudah layaknya korporasi terselubung dengan perguruan tinggi (PT) berganti makna menjadi perseroan tinggi.
Kalau demikian adanya, kita sudahi dan rekonstruksi ulang saja makna tridharma pendidikan tinggi yang selama ini menjadi dogma pendidikan tinggi Indonesia—yakni penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat—menjadi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada yang membayar. Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS sebagaimana yang diatur RUU PT menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi lembaga nirlaba, melainkan lembaga profit oriented.
Intervensi Pendidikan
UU Pendidikan Tinggi dibilang merupakan NKK jilid 2. Dalam UU tersebut independensi kampus ketika melaksanakan penelitian dan pendidikan diawasi Mendikbud. Dalam UU PT cukup tegas mengatur pasal-pasal subversif yang dinilai mengacaukan sistem pendidikan kampus. Dalam Pasal 9 Ayat (2) dan Ayat (4) maupun Pasal 16 Ayat (3) disebutkan menteri berhak tahu dan awas terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Keberadaan menteri selaku wakil pemerintah dalam mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik itu saja sudah kontradiktif. Itu sudah menjadi urusan kampus yang bersangkutan. Hal itu sama saja dengan menteri bertindak subjektif terhadap pemilahan rumpun ilmu pengetahuan yang dinilai tidak membahayakan pemerintah. Sama saja pihak universitas dipasung dan tidak bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam menghasilkan produk pengetahuan yang bermutu dan berguna bagi masyarakat.
Dalam Pasal 20 dan Pasal 32 dijelaskan menteri berhak mengevaluasi dan mengawasi pendidikan tinggi kampus dalam menjalankan Tridharma pendidikan maupun dalam upaya menjalin kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, yakni dunia usaha dan dunia industri.
Pasal itu bisa dikatakan hipokritis dan slapstick mengingat pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi kampus dalam mencari sumber mandiri. Sama saja pemerintah menjilat ludah sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber mandiri akibat pemerintah pelit, kemudian dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan pihak pemerintah.
Ekspansi Asing
Sekarang ini saja, mau kuliah di PTN dan PTS saja sudah membuat dahi orang tua berkerut melihat besaran sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) yang tidak logis untuk sekadar mendapat titel sarjana dan diploma. Menaikkan digit angka sumbangan SPMA merupakan modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk mencari dana mandiri sejak subsidi dicabut.
Imbasnya kemudian hanya sosialita kelas menengah atas yang berhak kuliah, sementara yang miskin dimarginalkan dari arena tersebut. Hal yang perlu untuk disoroti secara tegas ialah longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap keberadaan lembaga pendidikan tinggi asing yang terus melakukan ekspansi ke Indonesia.
Dimensi yang kentara dari ekspansi tersebut ialah makna pendidikan tinggi di kampus kini sudah layaknya industri waralaba. Logika orientasi bisnis semakin semerbak dengan PTN/PTS dihadapkan pada persaingan tinggi dengan PT asing yang katanya akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
*) Pengamat Pendidikan pada Lingkar Kajian Profetik UGM /19 July 2012
0 comments:
Post a Comment