Narasi Hujan
Posted by PuJa on July 20, 2012
Fandrik Ahmad
http://www.lampungpost.com/
MUSIM hujan memasuki awal tahun. Aku mengintip. Langkahku ringan mendekati gorden jendela. Kusibak kain tipis itu cukup kasar serupa anak muda memberikan surprise kepada kekasihnya. Kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, hujan tak tentu arah menghindari tatapanku.
Bulir-bulir hujan tempias di lantai. Kaca jendela buram berembun. Apakah kau juga menikmati hujan, batinku. Bila anganku berwujud di sini, di tempatku berdiri, aku yakin, kau akan mengatakan, “Di mana pun, aku suka hujan.”
Jendela kusibak. Kisinya berderet. Angin meruap menghempas bulu kuduk. Instingku begerak cepat ingin menutup kembali jendela. Dingin. Tetapi tekad dan perlawananku untuk mengetahui hujan di pagi ini, menahan kedua tangan menarik gagang jendela serta menutupnya rapat-rapat.
Ya, aku ingin memastikan hujan apa ini! Seperti yang telah kau ajarkan!
Serasa kau mengajakku, menjulurkan kedua tangan ke depan, merasakan bulir air jatuh di tangan. Persis yang pernah kau ajarkan. Aku cukup hati-hati karena hanya, cukuplah hujan menjamah tangangku. Tidak untuk bagian lain dari tubuhku. Seperti kau pernah menjamah bibirku di bawah ciuman hujan. Kupejamkan mata. Hujan apa ini? Curahnya begitu lembut namun deras.
Rinduku cair, serupa bisik air yang berjatuhan di bibir genting. Januari tiada indah tanpa hujan. Hujan tiada indah tanpamu. Hujan adalah kau. Kau adalah hujan. Kau hadir! Aku mencium aroma hujan seperti yang kau katakan. Mencium aromamu.
Apakah kau juga sedang menikmati hujan?
***
SEPULANG dari kantor, aku terjebak hujan di sebuah halte. Kau juga. Selain kau dan aku, tiga orang tengah duduk di sana. Kau menatapku sehingga aku terpaksa menatapmu. Begitulah, keterpaksaan menatapmu membuatku tahu bahwa pakaianmu lebih basah ketimbang pakaianku. Bibirmu lebih lembap ketimbang bibirku. Kau memperkenalkan diri dan aku menyebut itu hanya basa-basi.
Hujan akan segera usai. Hanya menyisakan rintik kecil. Angkutan Lin yang aku—atau juga kau—tunggu, sembari mendekapkan tangan pada dada, belum tiba. Mendadak kulitku terasa mengerut. Aku tak menduga. Tiba-tiba kau menarik tanganku, menembus rajutan basah itu.
“Indekosku dekat dari sini,” tanganku kau seret paksa, memasuki gang cukup sempit sebelum tiba di indekosmu.
Segelas cappucino—yang kau buat sendiri—menemani perdebatan kita tentang hujan. Kataku hujan bikin becek, banjir, dan macet. Hujan hanya merisaukan awak kapal. Hujan hanya membuat burung-burung bosan bertengger. Dan hujan hanya membuatku kedinginan. Bikin pusing dan sakit kepala. Kau tersenyum mendengar kataku—yang mungkin bila orang lain turut mendengarkan pembicaraan kita, penyampaianku ini dibilang ocehan. Katamu hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.
Aku bisa mengamini pendapatmu yang terakhir kalau hujan itu anugerah. Selain alasan daripada itu, aku tak bisa menerimanya. Hujan kok dibilang indah, hujan kok dibilang romantis, hujan kok dibilang menyegarkan, apalagi hujan beraroma. Aku benar-benar tidak bisa menerima pendapatmu.
Lalu, aku memberikanmu kesempatan untuk merasionalisasikan pendapatmu.
“Apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan?”
Aku menggeleng. Kau tersenyum. Yang jelas, kau bukan menarasikan hujan atau mendeskripsikan hujan sebagimana pendapatmu. Berpuisikah? Absurd.
“Deskripsikan tentang hujanmu!”
Kupandang lekat parasmu yang putih kekuningan. Bibirmu yang basah mulai melafalkan kata hujan diulang sampai tiga kali sebelum memojokkanku pada tatapanmu. Selalu begitu kau memenjaraiku.
“Banyak ragam tentang hujan,” kau tercekat cukup lama. “Kau benar-benar ingin tahu?”
“Tentu.”
“Kenalilah hujan maka kau akan mengenali kehidupan. Hujan hampir memiliki sifat yang sama dengan manusia, denganmu dan denganku. Ada hujan jahat dan baik, ada hujan yang tergesa-gesa, ada hujan yang romantis, ada hujan yang pemalu….”
“Cukuplah kau mendeskripsikan apa yang kau sebutkan tadi,” potongku. Aku rasa kau tak lebih dari orang yang mengulur-ulur waktu. Aku mulai bosan.
“Hujan yang jahat adalah hujan yang kau sebutkan tadi: bikin becek, banjir, dan macet. Curah hujan sangat deras disertai kilat. Maka, bila hujan seperti itu turun, bersegeralah tidur. Hilangkan ketakutanmu di hari itu. Bila kau tak tidur, kau hanya akan mengutuk-ngutuk hujan dan perbuatan itu akan tampak seram sendiri kepadamu. Namun, percayalah, bahwa sebenarnya kau hanya dibayangi oleh ketakutan. Tidakkah kau lupa bahwa dalam ilmu astronomi kilat sebagai penebal lapisan ozon?”
“Kau menyalahkanku?”
Kau tak menjawab. Suatu kesempatan untuk mengalihkan topik lain. Apa pun. Tapi jangan hujan. Bagaimana kalau tentang negara? Ya! Negara dan politik. Aku suka itu. Namun, mulutmu lincah meliuk, seakan tak suka kalau topik kita dialihkan ke situ.
“Apabila kau mendapati sebentar hujan dan sebentar panas, itulah hujan yang tergesa-gesa. Itulah hujan lebih membahayakan ketimbang banjir bandang. Badan bisa panas dingin karenanya,” kau tertawa kecil. Deskripsimu berhasil. Sayang, aku tak tertarik.
“Hujan yang pemalu. Hem, ya, bagaimana bila kau melihat tingkah orang yang pemalu?”
Tak penting untuk kujawab. Kini, aku rasa kau hanya seorang pembual. Tak lebih dari sebuah pertunjukan sirkus yang menakjubkan tetapi pias sampai di luar.
“Hujan yang pemalu adalah hujan yang selalu datang diam-diam serta datang dengan lembut. Apabila ditatap, hujan itu akan menghindar. Dan….”
“Cukupkan ceritamu. Aku mau pulang saja. Aku tak mau kena hujan lagi. Aku bukan manusia hujan sepertimu. Tubuhku tak sekuat tubuhmu.”
“Aku belum menuturkan kalau hujan beraroma tanah, rerumputan, bunga, dan juga beraroma tubuhmu.”
“Aku sudah bosan!”
“Selalulah bersamaku. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu indah. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu romantis. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu sepertimu….” nadamu tenang. Aku kembali duduk. Kita kembali sehadapan.
Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah. Hanya aku tahu, mengajakku berlama di ruangan yang berukuran 5 x 8 meter karena sedang menunggu hujan, bukan?
***
TIADAKAH ada yang lebih romantis daripada hujan? Aku mulai bosan berhubungan denganmu, manusia hujan, karena aku selalu merasa tubuhku selalu basah dan menggigil. Aku ingin jalan-jalan, berbelanja pakaian atau mendaki gunung.
Hujan datang. Hujan menyambangi. Aku menghela nafas. Berat. Kau tersenyum. Kau mendekatkan diri pada video player-mu. Dalam sekejap Winter Sonata from The Beginning Until Now menyesaki ruang hati kita. Lagu itu sungguh romantis. Lagu itu sungguh indah, katamu. Lagu yang paling kau suka. Nyalang matamu menembus dinding kaca….
“Aku ingin bersamamu. Hujan selalu mengingatkanku padamu!” Oh, ada mendung di matamu. Tanganmu mulai nakal meremas tanganku. Aku diam. Aku beku. Aku kaku. Semoga kata-katamu selanjutnya sama dengan yang kupikirkan.
Tapi kau memindahkan matamu kepada hujan. Kau berlari. Terpaksa aku menyusul, berusaha menghentikan tubuhmu yang meluncur deras serupa burung dadali yang berbasahan. Berkejaran.
“Apa yang kau inginkan di hujan ini?”
“Aku ingin kita segera kembali. Aku tak ingin hujan-hujanan begini.”
“Ayolah….”
“Aku bukan manusia hujan sepertimu. Aku manusia rapuh. Kurus dan pesakitan.”
“Aku tak ingin kau lebih sakit lagi.” Matamu sayup. Suaramu surup…
“Apa?”
“Bersamalah denganku.”
“Kau.”
“Pejamkan matamu! Biarkan air hujan mencium dan menyentuh hatimu,” katamu setengah berteriak.
Kau menuntunku. Di bawah hujan, satu kecupan mendarat. Aku merasakan basah namun hangat. Dingin tapi indah. Romantis! Kekuatan hujan telah memengaruhiku. Ini cinta. Sumpah, ini cinta. Aku melayang. Aku terbang. Dan, aku serasa menjadi hujan!
Siapa yang tidak tahu kalau bulir air hujan mengandung sifat asam? Kita tolol sendiri. Gemeretak gigimu sangat kuat. Hem, ternyata manusia hujan juga rapuh, sanggah batinku. Kau menggigil dengan hidung dan kepala udang rebus. Suatu kesempatan bagiku menertawaimu karena hujan. Suatu kesempatan untuk mengejekmu karena hujan. Suatu kesempatan mengomelimu karena hujan. Hujan yang sangat kau gandrungi mempersempit pembuluh darah dan mengurangi kekebalan tubuhmu. Tetapi kau benar-benar manusia hujan! Sampai, When I Need You mengalun dari suara Julio Iglesias, aku menghangatkanmu.
“Aku ingin menikahimu saat hujan beraroma tubuhmu,” nadamu tak lebih dari memohon. Tapi cukup membuatku beku.
***
PAGIKU terasa bising melenting denting di dalam hening. Hujan. Telapak kaki terasa dingin. Sedingin ketika kita usai menendang buih di tepi pantai. Atau sedingin mata dan tanganmu ketika menelanjangi air mataku. Ah, rasanya tubuhku kian letih. Kulurut selimutku hingga dingin tak lagi menjamahi kaki. Entah, sudah keberapa kalinya hujan kunikmati sendiri. Entah pula, keberapa kalinya hujan menyembunyikan air mataku. Aku merinduimu.
Aku mulai menyukai hujan. Kenapa aku tolol? Apakah karena rindu atau karena hujan? Berapa kali hujan menjamahku? Aku tak tahu persis. Yang jelas, hatiku basah dan berusahan menyembunyikan air mataku pada hujan. Aku mendekap dalam selimut. Aku tahu, cappucino atau teh sepat hangat tak akan lagi terhidangkan di atas meja. Kali ini, aku tak ingin hujan melihat air mataku. Aku tak ingin hujan merampas air mataku. Maka, kubuat sendiri hujan itu di bawah selimutku.
“Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan,” suaramu yang seperti daun kering diremukkan angin, kembali melenting. Lebur bersama rintihan sakitmu yang kini menjadi sakitku.
Kenapa kau tak pernah bercerita kalau kau manusia rapuh seperti hujan? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau rekam jejak hidupmu lebih cepat dari hujan? Kau tahu, kebohonganmu selalu menghadirkan hujan di wajahku.
Tapi, aku tetap ingin menikahi hujan, sebagai gantimu.
Annuqayah, 2012
(Terkenang seorang guru; Lan Fang)
0 comments:
Post a Comment