Pages

Wednesday, 15 August 2012

Launching Antologi Puisi "Tembang Sumbang" Edwar Maulana 12 September 2012 di Hall B FPBS UPI

Segera dapatkan buku sekumpulan puisi Edwar Maulana. Judul buku : Tembang Sumbang
Penulis : Edwar Maulana
Penerbit : Literat Tahun terbit : 2012
Jumlah halaman : viii + 96 hlm ISBN : 978-602-18630-0-8
Harga : Rp. 30.000,-

Pemesanan hubungi:
085795708275 
085659649187 

Puisi tak harus berbicara narasi-narasi besar agar terlihat berbobot. Edwar Maulana dengan jeli menggali hal-hal yang terlupakan atau dianggap sepele dalam kehidupan kita (pagar, pintu, jendela dan sejenisnya). Kejeliannya ini memberi kesadaran kepada kita akan hal-hal eksistensial. Ia menggunakan bahasa sederhana tapi jernih dan efektif serta menimbulkan decak dari kejutan pandangan yang disuguhkannya. 
(Nenden Lilis A., Penyair, Dosen Sastra UPI) 

Hal yang paling menarik perhatian saya dalam Tembang Sumbang karya Edwar Maulana, adalah pada bagian pertama buku ini. Edwar Maulana memilih menulis hal-hal kecil sederhana yang "dipahlawankan" menjadi sesuatu yang penting. Ia menulis tentang piring, kasur, kuku, yang oleh Edwar Maulana sekaligus dijadikan judul puisi. Ia memberi nyawa pada benda-benda kecil itu dan menjadikannya ruh yang mewakilinya. 
(Hanna Fransisca, Penyair) 

Kau tahu ini akan berlangsung lama, aku tak memiliki waktu untuk tak mencintaimu (Lamaran, Edwar Maulana). Penggalan puisi tersebut merepresentasikan kesenangan saya akan sajak Edwar Maulana yang penuh dengan hiruk pikuk suasana cinta, lalu sesaat kemudian menepi dan mengajak kita berpikir mana yang kelapa, mana yang kepala. Mana yang ramalan, mana yang lamaran. Bukan hanya karena mengejar bunyi, namun lebih substansial lagi: Edwar Maulana mengajak kita berpikir apakah kedua kata-kata mirip itu, juga memiliki kemiripan arti atau justru tak memiliki korelasi sama sekali. 
(Mutia Sukma, Penyair) 

Membaca puisi-puisi Edwar Maulana dalam “Tembang Sumbang”, saya seperti diajak untuk kembali mengenali sesuatu yang dekat dengan saya. Sesuatu yang selama ini saya abaikan dan tak pernah sedikit pun mencuri perhatian saya. Benda-benda seperti kursi, meja, pisau, pagar, pintu, jendela dan semuanya seolah berbisik pada saya, bahwa mereka bukan hanya sekedar benda. Namun juga ada hakikatnya dari cinta, sesuatu yang menjadi tema besar dalam kumpulan sajak ini. Sebagai penyair, Edwar Maulana sedang berjalan menuju hakikat dari kepenyairannya itu sendiri. 
(Wida Waridah, Penyair) 

Sajak-sajak di buku ini berusaha memberikan pintu masuk bagi siapa saja, untuk hening sejenak dan menyadari keberadaan kenangan di dalamnya. Melalui Tembang Sumbang ini, Edwar Maulana menawarkan keintiman manusia dengan manusia lainnya melalui simbol benda-benda. Ia juga berusaha mendayagunakan bahasa untuk terus-menerus mencari dan menemukan suara aslinya. 
(Fitri Yani, Penyair, buku kumpulan puisinya Dermaga Tak Bernama)

Saturday, 11 August 2012

Eksistensi Sastra dan Minat Baca-Tulis di Kalangan Remaja


Eksistensi Sastra dan Minat Baca-Tulis di Kalangan Remaja
Posted by PuJa on August 10, 2012
Untung Wahyudi *
Riau Pos, 5 Agu 2012

TAK dapat dimungkiri, kehadiran sastra remaja yang lebih populer dengan TeenLit (teenagers literature) memang cukup memengaruhi minat baca para remaja. Mereka yang kurang menyukai bacaan berat (sastra serius) memang lebih banyak meminati bacaan TeenLit, karena karya jenis ini memang lebih ringan dan mudah dicerna. Bahasa yang digunakan pengarang pun tak berat dan rumit, sehingga mereka lebih mudah memahami apa yang disampaikan pengarang.
Mayoritas remaja mengakui, kegemaran mereka terhadap TeenLit disebabkan cerita dan bahasanya yang memang renyah dan dekat dengan dunia mereka. Ini tak mengherankan karena sebagian besar pengarang-pengarang TeenLit sendiri masih remaja, atau paling tidak anak muda. Mereka dapat bercerita dengan fasih tentang lika-liku kehidupan remaja, sehingga para remaja yang membaca karya-karya mereka merasa dekat dan akrab.
Sementara itu, dalam dunia penerbitan, kehadiran TeenLit memang cukup menggiurkan. Pangsa pasar remaja yang luas membuat beberapa penerbit sangat antusias menghadirkan bacaan yang memang sedang marak dan banyak diburu di pasaran. Tak sedikit dari penerbit yang sebelumnya tak memiliki lini TeenLit, akhirnya memasang caption khusus di setiap buku yang diterbitkan. Sebut saja penerbit Gramedia. Penerbit yang cukup merajai dunia perbukuan di Tanah Air itu sejak 2004 memang konsisten dengan penerbitan buku TeenLit setelah sebelumnya sukses dengan buku-buku ChickLit. Novel Dealova karya pengarang muda Dyan Nuranindya tercatat sebagai salah satu pelopor novel TeenLit asli (non terjemahan) yang diterbitkan Gramedia. Novel ini terbilang sukses, terutama setelah difilmkan dengan judul sama.
Sejak itulah geliat penerbitan novel dengan genre TeenLit ini makin terasa. Banyak penerbit yang berlomba-lomba menerbitkan novel tema remaja yang ringan dan mudah dicerna. Membacanya pembaca tak perlu mengerutkan kening karena dari segi isi memang tak terlalu berat.
Jika diteliti, tema yang diangkat dalam sastra remaja memang tak jauh dari tema cinta dan pernak-pernik dunia remaja. Tema yang lebih banyak memotret problematika kehidupan remaja itulah yang menyebabkan novel TeenLit laris manis di pasaran.
Lahirnya
Penulis-penulis Baru
Selain efek menjamurnya penerbit yang menerbitkan novel TeenLit, dampak hadirnya bacaan ini juga berpengaruh terhadap jumlah penulis muda di Tanah Air. Tak terhitung jumlah penulis remaja yang sekarang bermunculan. Baik dari kalangan anak-anak atau remaja yang ikut memeriahkan dunia literasi. Tentu, ini merupakan berita baik yang perlu diapresiasi. Kehadiran mereka di ranah literasi patut diacungi jempol karena mereka telah memberi sumbangsih pada masyarakat dan generasi mendatang agar bisa membaca, demi mengurangi jumlah penduduk yang buta aksara.
Namun, bermunculannya novel TeenLit dan para penulis diakui oleh pengarang dan praktisi perbukuan memang akan mengalami persaingan yang kentara, melihat jumlah penulis yang makin banyak. Apalagi, tema yang mereka garap hampir serupa; tentang cinta dan lika-liku pergaulan dunia remaja.
Menurut Asma Nadia, salah seorang pengarang novel remaja, sejauh ini novel-novel TeenLit mayoritas memaparkan kehidupan remaja dan permasalahannya, tapi hanya sekadar potret. Mereka belum banyak yang memberi solusi yang mendidik. Padahal, menurut Asma Nadia, sebuah karya seharusnya bisa berfungsi lebih dari sekadar bacaan yang menghibur. Tapi, juga ada nilai-nilai yang ditawarkan serta memberi kontribusi yang kentara pada remaja.
Sementara dari para pengarang sendiri, Asma Nadia melihat belum ada yang jejak kepengarangannya kuat, atau yang punya gaung. Untuk itu, pengarang TeenLit harus berbenah jika memang ingin serius jadi pengarang. (Annida, 2007: 22)
TeenLit dan Royalti Penulis
Menulis selain sebagai salah satu bentuk ekspresi seorang penulis, juga sebagai lahan penghasilan yang diharapkan oleh semua penulis. Tak heran, jika ada penulis yang sukses dan kaya raya dari hasil penjualan buku-bukunya. Sebut saja JK Rowling yang kekayaannya konon melebihi kekayaan Ratu Inggris, Elizabeth II. Berkah itu didapatnya dari serial novelnya Harry Potter, yang berkisah tentang penyihir cilik. Padahal, sebelumnya Rowling adalah perempuan yang terbilang miskin.
Namun, tahun 1997 nasibnya berubah total ketika penerbit Inggris, Bloomsbury Press, menerbitkan buku Harry Potter yang pertama, Harry Potter and The Philosophers Stone (di Amerika terbit dengan Harry Potter and Sorcerers Stone). Bahkan, seri kelima Harry Potter and The Order of the Phoenix, laris terjual pada hari pertama diluncurkan. Meledaknya penjualan ini membuat buku itu dinobatkan sebagai buku terlaris sepanjang masa. Cetakan pertama seri kelima ini, yang berjumlah 8,5 juta eksemplar, sebagian besar dipesan sebelum naik cetak. (Rahmadiyanti, 2004: 57).
Bagaimana Nasib Penulis-penulis di Indonesia?
Di negeri ini jumlah penerbit tak terhitung jumlahnya. Namun, seringkali para penulis mengalami perlakuan yang kurang baik dari penerbit yang kurang bertanggung jawab dengan royalti yang harus mereka terima. Memang, kualitas karya seorang penulis akan menentukan sukses tidaknya buku mereka di pasaran. Jika karya mereka standar dan penjualannya di pasaran cukup lambat, hasil yang didapat pun akan sedikit.
Tapi, bukankah sebelum karya mereka diterbitkan, penerbit lebih dulu memberi MoU yang harus dipelajari dan ditandantangani penulis? Yang berarti para penulis berhak dapat hak atau bayaran sesuai surat perjanjian. Baik dengan sistem royalti atau beli putus (lump sum) atas karya-karya yang diterbitkan.
Seorang pengarang novel remaja mengaku pernah mengalami pahit-getirnya berurusan dengan penerbit. Sebuah penerbit yang menerbitkan salah satu novelnya sama sekali belum memberi royalti yang harus dia terima. Padahal, bukunya sudah terbit dan beredar selama tiga tahun di pasaran.
Lalu, apa artinya surat perjanjian kontrak yang telah disepakati antara kedua belah pihak; penulis dan penerbit, jika hak-hak yang seharusnya diterima penulis tak juga ditunaikan? Ini setidaknya bisa jadi pelajaran bagi para penulis yang memang ingin serius terjun ke dunia penulisan, baik karya fiksi maupun nonfiksi. Mereka harus bisa selektif memilih penerbit yang hendak menerbitkan karya mereka. Jika tidak, penulis sendirilah yang akan rugi. Apalagi karya yang diterbitkan dapat respon positif dari pembaca sehingga menjadi karya yang best seller dan fenomenal seperti karya-karya Habiburrahman el-Syirazy atau Andrea Hirata.
*) Pembina Sanggar Sastra Pesantren di Sumenep, Madura.

Wednesday, 8 August 2012

Melawan Dehumanisasi Sastra Sutardjian

Melawan Dehumanisasi Sastra Sutardjian
Posted by PuJa on August 8, 2012
Hasnan Bachtiar *
“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)

SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna. Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani penciptanya. Namun yang jarang disadari adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik sastra) merupakan ungkapan intelektual. Bila demikian, kata kunci intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.
Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden. Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan. Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara yang diajukan oleh Nurel.
Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama, sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga, pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan, kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh kebanyakan rakyat miskin negeri ini.
Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada. Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted, kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas dalam khazanah ini.
Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan demikian, the silence community merupakan representasi yang paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini – sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis yang kokoh.
Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun, perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran. Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai. Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana kontradiksi argument Sutardjian ini?
Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan, maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian (Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani? Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?
Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme) yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik, membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra, sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa, tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di dalam mimpi yang sedang dimimpikan.
Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat. Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []
*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM

Tuesday, 7 August 2012

Sastra Indonesia Terkini di Bali dalam Lanskap Nasional dan Global

Sastra Indonesia Terkini di Bali dalam Lanskap Nasional dan Global
Posted by PuJa on August 5, 2012
Riki Dhamparan Putra
http://www.journalbali.com/

Banyak pengamat mengatakan bahwa sastra Indonesia kontemporer di Bali terus mengalami kemajuan semenjak tahun 1980-an. Hal itu tak terlepas dari kerja keras para pejuang sastra yang ada di Bali, baik sebagai individu, komunitas maupun sebagai institusi formal seperti lembaga pendidikan dan lembaga bahasa. Perlu juga kita sebut di sini peran surat kabar lokal yang masih menyediakan halaman sastra.
Hingga akhir tahun 1990-an, peran komunitas sebagai motivator perkembangan sastra kontemporer di Bali masih merupakan yang terutama. Bagi sesiapa yang pernah secara langsung mengalami pergesekan kreatif di daerah ini tentu tahu kalau hampir di semua kota kabupaten di propinsi Bali ada terdapat banyak komunitas komunitas sastra yang tidak pernah lelah menghidupkan iklim kreatif di daerahnya. Mereka ini biasanya militan, hidup secara swadaya dan saling berhubungan satu sama lain melalui sebuah pola sosial alamiah yang populer disebut gradag grudug.
Gradag grudug adalah sebuah istilah yang spontan. Setengah artinya berasal dari spirit budaya komunitas lokal tradisional seperti semangat menyama braya, semangat ngumpul ngumpul, keikhlasan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena itu setiap kerja kebudayaan juga mengandung nilai spritual di dalamnya. Sementara setengah arti gradag grudug yang lain merupakan perwujudan dari kesadaran atas zaman nan terus berkembang yang pada gilirannya mengisi semangat lokal tradisional itu dengan nilai nilai budaya yang lebih progresif, kompetitif dan egaliter. Berdasarkan pengertian ini tahulah kita, sekalipun gradag grudug tersebut sering diucapkan secara spontan dan terimplementasi sebagai tindakan spontan, ia tidaklah datang tiba tiba tanpa rencana seperti hantu. Sebaliknya, ia adalah sebuah strategi kebudayaan. Ada visi dan cita di dalamnya
Itulah sebabnya sastrawan pinisepuh semacam Frans Nadjira, Ketut Suwidja alm, Nyoman Tusthi Edi maupun Umbu Landu Paranggi dan lainnnya selalu menekankan pentingnya untuk terus menjaga semangat gradag grudug ini dalam kesinambungan dinamika sastra kontemporer di Bali. Tak sekedar bicara, mereka juga telah memberi teladan kepada generasi penerus bagaimana menerapkan pola gradag grudug itu dalam pergaulan sastra.
Dan sebagaimana yang telah kita lihat, selama lebih dari 30 tahun melalui gradag grudug ini, kehidupan sastra di Bali tumbuh dengan pesat sebagai bagian dari pembangunan SDM yang berkualitas dan telah mampu tampil di panggung kesusastraan nasional bahkan internasional. Melalui gradag grudug ini pula sastra memberikan harapan kepada kehidupan yang lebih reflektif di tengah menggilanya kehidupan bendawi di Bali.
Namun orang kebanyakan jarang menyadarinya. Hal itu terlihat dari masih lemahnya dukungan lembaga resmi pemerintahan maupun kebijakan kebijakan institusional lainnya dalam meningkatkan kemajuan sastra kontemporer di Bali. Dengan kata lain, para pengambil kebijakan kebudayaan resmi di Bali itu masih kurang pengetahuannya terhadap pentingnya meningkatkan kemajuan sastra sebagai arsenal penting dalam pembangunan SDM di Bali. Mereka masih berpikir sastra itu hanyalah kerumunan remaja yang suka nulis puisi dan cerpen saja, tidak layak jual dan karena itu mungkin mereka tidak menganggap penting.
Jangankan kepada kantong kantong budaya informal semacam komunitas sastra, terhadap institusi resmi semacam fakultas sastra saja, tidak jelas kebijakan pemerintah daerah itu. Beda jauh kalau dibanding perhatian kepada fakultas fakultas ilmu yang lain seperti kedokteran atau tekhnik.
Untunglah sastra tidak pernah terpengaruh oleh ada tidaknya perhatian itu. Sastra tetap jalan tanpa didukung oleh kebijakan kebijakan daerah yang resmi. Di mana mana tetap ada lomba baca puisi, lomba menulis puisi, diskusi puisi dan kegiatan kegiatan serupanya yang dilakukan secara spontan. Sastra sama sekali tidak terpengaruh oleh naiknya turunnya jumlah turis yang mengunjungi Bali. Dengan kata lain, perkembangan pariwisata Bali sama sekali tidak berperan terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer di Bali. Gak ada artinya.
Ke Era Proposal
Memasuki tahun 2000, keadaan mulai berbeda. Aktifitas sastra kontemporer Bali mulai beradaptasi dengan pola nasional dan pola global sebagai hasil pergaulan para sastrawan tertentu dengan pola Jakarta dan pola global internasional yang berciri industri serta bersifat budaya massa. Acara acara sastra memang masih berlangsung, namun sudah tidak dalam semangat gradag grudug lagi. Melainkan sebagai bagian dari agenda nasional atau agenda yang diklaim sebagai internasional dan memiliki tujuan – tujuan industri di dalamnya. Dalam pola ini, komunitas komunitas lokal lebih banyak muncul dalam kapasitas sebagai pengikut atau penyelenggara, bukan perencana dari kegiatan itu.
Demikianlah misalnya festival sastra internasional Utan Kayu diselenggarakan di Bali dengan bantuan orang Utan Kayu di Bali, melibatkan para sastrawan yang ada di Bali, namun harus disesuaikan dengan minat penyelenggara pusat. Festival penulis internasional diselenggarakan di Ubud, meminta bantuan para sastrawan yang tinggal di Bali namun di bawah pengawasan orang Utan Kayu juga. Dalam proses proses awalnya malah hanya sekedar melibatkan peserta lokal untuk sekedar mendapatkan legitimasi lokal dari event itu. Misal lainnya, sastrawan Horison jalan jalan buat ketemu para penggemar, para sastrawan di Bali ikut di dalamnya. Namun siapa yang ikut tergantung siapa yang di telepon oleh orang dari Horison. Demikianlah sekedar contoh.
Sejalan dengan fenomena tersebut, keahlian baru pun harus dipelajari. Yakni membuat proposal yang adaptif dengan program program kubu nasional penyelenggara itu. Dan biasanya lebih baik berbahasa Inggris. Undangan undangan ditentukan berdasarkan rapat juri dan diseleksi dengan ketat. Tidak cukup lagi sekedar di halo halo di halaman ApreBud Bali Post. Semua jadi serba tekhnokrasi.
Dari gradag – grudug ke era proposal, demikianlah alur singkat perubahan penyelenggaraan kegiatan sastra di Bali kalau dicermati. Mungkin tak ada yang salah dengan fenomena ini Namun itu terjadi di tengah melemahnya daya kreatif komunitas komunitas lokal dalam menyelenggarakan acara sesuai dengan karakter yang sudah tercipta selama ini. Hingga tahun 2009 ini kita tidak mendengar lagi ada sebuah hajatan besar sastra di Bali yang benar benar menjadi agenda komunitas komunitas yang ada di Bali. Semua kegiatan tampaknya tergantung pada ada tidaknya kegiatan dari jaringan nasional atau global.
Blog
Fenomena terbaru adalah blog. Sepinya aktivitas sastra di dunia nyata dan terbatasnya ruang publikasi media massa mendapat solusinya pada dunia cyber. Meskipun tergolong ketinggalan dari kota kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung, para sastrawan di Bali akhirnya memasuki juga wilayah cyber ini untuk merayakan era komunikatif di dalam sastra. Setidaknya semenjak dua tahun lewat, sejumlah sastrawan di Jembrana dan Denpasar telah memilih Cyber sebagai ruang publikasi mereka.
Lebih dari sekedar ruang publikasi, blog pun telah menjadi sarana berhubungan antar para sastrawan dan pencinta sastra. Melalui blog mereka bahkan juga membuat perkumpulan di dunia maya, merencanakan kegiatan kegiatan sastra dan terlebih penting menurut hemat saya adalah rasa percaya diri yang tumbuh kembali melalui ruang cyber ini. Sebab hanya di ruang cyber saja setiap orang dapat membagi karyanya kepada pembaca tanpa melalui seleksi redaktur dan tanpa harus menunggu sebuah penerbit menerbitkan karya mereka.
Blog adalah terobosan tekhnologi komunikasi paling penting dalam abad ini di bidang jurnalisme individu. Tak terkecuali di dunia sastra. Ia menghancurkan kuasa media cetak dan dominasi generasi tertentu di panggung sastra. Sebab melalui blog seorang dapat mengunggah apa saja yang mau ia katakan tanpa harus melalui izin redaktur sebuah media cetak. Namun kebebasan semacam itu sekaligus menjadi kelemahan dunia blog. Kecenderungannya adalah kita jadi manusia yang tidak selektif dan bisa jadi tidak tahu mana karya yang bermutu dan mana yang tidak. Sebab pada saat sebuah karya dipublikasi secara massal, tanggapan orang bisa berbeda beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka membaca persoalan yang disuguhkan dalam karya tersebut. Bayangkan jika yang menanggap karya kita adalah orang orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan yang dituju karya itu. Tentu kita ikut menyangka karya tersebutlah yang bagus.
Jadi diperlukan suatu disiplin pribadi yang sangat ketat untuk dapat menjadikan kebebasan cyber melalui blog ini sebagai ruang yang positif bagi pendewasaan pemikiran dan kreatifitas. Tanpa itu blog akan menjadi sekedar halaman bermain saja dan kita tidak memperoleh manfaat berarti dengannya. Malah akan semakin memperburuk mental generasi kita.
Denpasar, Januari 2009
Dijumput dari: http://penyairbali.blogspot.com/2009/08/sastra-indonesia-terkini-di-bali.html

Sunday, 5 August 2012

Poetry brings Civil War to life



Poetry brings Civil War to life

August 5, 2012
By Rachel Molenda - Journal Staff Writer (rmolenda@journal-news.net) , journal-news.net


MARTINSBURG - Kenneth Postalwait is an unexpected character. A mild-mannered and well-traveled roofer, one wouldn't suspect he is also a poet.

Postalwait is beginning to write Book 5 of his series entitled "Red Hawk: Civil War Journals" this year in conjunction with the war's 150th anniversary.

"Red Hawk" began as a serial in a small-town newspaper in Seguin, Texas. Telling his epic story entirely in poems, Postalwait wrote a new portion every day for four years.

The main character, Red Hawk or Ronzel, begins his story by telling the tale of the Battle of Bull Run. While Postalwait acknowledges that there were battles in West Virginia before Bull Run, he maintains that Ronzel would not speak of them for fear of consequences his family members there might face.

"He doesn't want to incriminate anybody, get any of his family in trouble," Postalwait said.

Family is an important element in Postalwait's work. He uses the experiences of his own ancestors, some of whom fought in the war on both sides, to give his work life.

"I had family that fought on both sides. One member was killed on Allegheny Mountain," Postalwait said.

Postalwait grew up in a military family. He was born in North Carolina, but "learned to walk and talk in Texas," he said. With a father in the Marine Corps, Postalwait has always known the ins and outs of a military life and has used his father's experience as inspiration for Ronzel.

"That's where I got the basis of the character. My father's job, among the many duties that he had, he was the officer of the graveyard registration," Postalwait said. "(I did that) out of respect for what he did and ... the soldiers (who) now are serving."

Drawing comparisons between the Civil War and both Gulf wars, Postalwait described his character's political stance as "pro-American."

"He wants America to be united. ... He believes they should be able to settle this politically and not shoot each other," Postalwait said.

Postalwait is starting to network with local educational organizations, such as schools and libraries, in order to reach out to the students and the community at large.

"I want this to be a teaching tool for kids. It teaches creative writing, history, poetry and ... philosophy," he said.

While Postalwait has no formal training in creative writing, he has been writing poetry since high school. He told of a poem he wrote in response to a fellow student being killed in a car accident as his writing's catalyst.

"I wrote a poem about it, and I gave it to the teacher. It moved her so deeply that she left the room," he said. "When she came back and got her composure, she said, ... 'Later on, your children or grandchildren will be studying the poems of Ken Postalwait.'"

"That was a very high bar, so all of my life I've written poems," Postalwait said.

- Staff writer Rachel Molenda can be reached at 304-263-3381, ext. 215, or rmolenda@journal-news.net

 © Copyright 2012 journal-news.net. All rights reserved. This material may not be published, broadcast, rewritten or redistributed.

Info: http://www.journal-news.net/page/content.detail/id/582681/Poetry-brings-Civil-War-to-life.html?nav=5006

Rangka Sastra dan Sejarah dalam Selubung Rivalitas Anak-Ayah


Rangka Sastra dan Sejarah dalam Selubung Rivalitas Anak-Ayah
Posted by PuJa on August 5, 2012
Riza Multazam Luthfy *
Riau Pos, 29 Juli 2012

DALAM disipilin sastra dan sejarah, perselisihan antara anak dan ayah selalu menarik dan menggelitik untuk dijelmakan sebagai bahan kajian. Anak dituntut mematuhi serta menyesuaikan diri dengan hal-hal di lingkungan sekitar. Adapun ayah adalah seseorang yang bertugas melindungi buah hati dari hal-hal yang dapat mengganggu kondisi fisik sekaligus jiwanya. Namun, dalam beberapa kisah, tersebutlah pertentangan antara anak dengan ayah, baik dalam urusan remeh-temeh sekalipun, hingga yang berskala besar, semisal ideologi dan kepercayaan. Tak ayal, hal ini mengantar para pembaca untuk mengernyitkan dahi sambil menelurkan beragam pertanyaan di kepala.
Berdasarkan catatan Tia Meutiawati (2007), nyanyian-nyanyian Hildebrand (Hildebrandslied) merupakan satu-satunya warisan sastra rakyat Jerman dari abad ke-8. Ia mengisahkan sebagian dari Saga Dietrich. Hildebrand berasal dari nama Hildebrand, kepala persenjataan Dietrich von Bern (Raja Rakyat dari Verona).
Menurut saga ini, kepala persenjataan itu melarikan diri dari Odoaker ke Raja Bangsa Hunnen (Etzel). Beberapa tahun kemudian, Hildebrand yang meninggalkan seorang anak, datang kembali ke Italia.
Di perbatasan, ia dihampiri seorang pahlawan yang melarangnya masuk ke negara itu. Sebelum timbul perkelahian, Hildebrand menanyakan nama lawannya. Katup mulut lawannya melempar jawaban, bahwa ia adalah Hadubrand, anak Hildebrand. Ketika Hildebrand mengaku ayahnya, Hadubrand enggan percaya; ia telah mengantongi kabar tentang kematian sang ayah. Lantas ia menuduh Hildebrand penipu dan pengecut.
Dalam benak Hildebrand timbullah pertentangan yang menggoyahkan perasaan. Di satu sisi, ia gembira karena bersua kembali dengan buah hati, namun di sisi lain harga dirinya merasa terancam akibat pernyataan anaknya tersebut. Dengan pedih hati ia pun bertarung melawan anaknya sendiri, hingga akhirnya dapat mengalahkan dan memaksanya untuk membenarkan, bahwa Hildebrand merupakan ayah kandungnya.
Pada usia ke-29, Siddharta meninggalkan istana ayahnya, Suddhodana. Padahal, sebentar lagi ia akan menggantikan kedudukan sang ayah sebagai penguasa. Kepergian Siddharta dari istana merupakan suatu hal yang aneh. Ia meninggalkan kekuasaan, justru tatkala kekuasaan itu sudah siap diraih.
Memang mula-mula, Siddharta meniti hidup sebagaimana layaknya putra raja; memperoleh kesenangan yang ia idamkan. Ayahnya senantiasa berusaha agar Siddharta tersingkir dari pemandangan kondisi masyarakat yang bergumul erat dengan penderitaan.
Tapi, tatkala tiga hari berturut-turut keluar dari istana, Siddharta menemukan tiga hal: seorang renta, orang sakit dan jenazah yang ditangisi. Dan, pada hari keempat ia melihat seorang samana (pengembara) dengan jubah jingga dan kepala licin. Wajah samana itu menampilkan ketenangan yang mendalam. Semua penampakan ini meneguhkan keprihatinannya dan menghibahkan keteguhan untuk meninggalkan cara hidupnya yang serba mewah.
Kegelisahan Siddharta berlawanan dengan kegelisahan Suddodhana. Kegelisahan Siddharta merupakan kegelisahan karena gugatan sanubari yang tak puas memeriksa penderitaan dalam kehidupan serta berhasrat memburu jawaban. Kegelisahan Suddhodana merupakan kegelisahan guna melestarikan kekuasaan. Kegelisahan Siddharta adalah kegelisahan untuk bebas mencari kenyataan sejati, sedang kegelisahan Suddhodana adalah untuk mempertahankan mimpi, kalau perlu dengan menudungi penderitaan dengan merekayasa penghiburan. (A Sudiarja, 2003: 9).
Penguasa negeri Pajajaran, Prabu Cilihawan, dirundung gelisah. Ia begitu khawatir terhadap pengaruh Ki Anjarwilis, yang kian hari kian membuntang. Atas dasar itulah, ia melempar titah ke Patih Mangku Praja untuk mengajak Dewi Sumekar bertembung dengan Ki Anjarwilis. Berbekal bokor kencana -yang diletakkan di perutnya- Sang Dewi diminta berpura-pura hamil.
Celaka! Setiba di loka pertapaan, Dewi Sumekar menelan sabda Ki Anjar Wilis; ia benar-benar mengandung. Kemurkaan merayap di sekujur tubuh Prabu Cilihawan. Ia muntab, merasa terhina dengan ulah pendeta digdaya itu. Kembali ia memerintahkan Patih Mangku Praja. Ini kali, patih tersebut menerima tugas untuk mengakhiri hayat Ki Anjarwilis.
Kala Ki Ajar Wilis meregang nyawa, jasadnya raib, diiringi suara kutukan menggelegar, ‘’kelak Dewi Sumekar melahirkan bayi laki-laki. Lewat tangannyalah akan terbalas kematiannya.’’
Jangka 9 bulan, Dewi Sumekar menetaskan janin dari rahimnya. Malangnya, bayi tak berdosa itu dibuang ke sungai Kerawang. Saat berburu ikan, sepasang suami istri menemukannya. Karena keduanya bertemu burung Ciung (semacam menco) dan Wanara (kera), bayi itu diberi nama ‘Ciung Wanara’.
Ciung Wanara ditumbuhbesarkan seorang pandai besi. Inilah yang kemudian mengantarnya mahir membuat senjata tajam. Bahkan, ia sanggup membuatnya hanya dengan tangan.
Suatu hari, ia pergi ke Kerajaan Pajajaran. Dengan kesaktiannya, ia memasukkan Prabu Cilihawan ke dalam tirai besi, menguncinya dari luar, lalu membakar ayah kandungnya tersebut. Dalam serejang, Ciung Wanara berhasil merebut tahta di Pajajaran dengan julukan Harya Banyak Wide. (Suwardi Endraswara, 2009: 193).
Saat bermain di tepi Sungai Nil, perempuan cantik bernetra cahaya menemukan sebuah peti tengah terapung-apung. Alangkah terkejutnya ia, kala mendapati peti itu berisi bayi yang masih merah dan lucu. Seketika, hati perempuan ituyang merupakan permaisuri terenyuh dan ingin sekali merawatnya. Apalagi, ia sudah sangat lama mendambakan seorang anak. Tanpa bertafakur panjang, jabang bayi digendong dan dibawa pulang. Setiba di istana, suaminya, sang raja, enggan menampung bayi itu dalam istana. Namun sebab desakan istrinya, dengan berat hati ia bersedia.
Sejak balita, si kecil sudah memperlihatkan perlawanan. Sering kali ia menarik jenggot tebal yang tumbuh riang di janggut sang raja. Merasa direndahkan, sang raja hendak melenyapkan nafas si kecil. Mengetahui hal itu, istrinya melarang seliat tenaga dan membujuknya.
Si kecil selamat dan hidup hingga dewasa. Ia paham bahwa apa yang dilakukan raja sudah kelewatan. Guna menundukkan kepongahan raja, ia menadah tantangan raja untuk beradu kekuatan. Di loka yang ditentukan, raja mengerahkan beberapa ahli sihir terkemuka. Para ahli sihir tersebut melempar potongan tali yang lantas beralih wujud menjadi ular-ular kecil. Raja pun terkesima. Namun, hanya sementara. Pandangannya tercekat ketika beberapa ular itu dilahap habis oleh seekor ular raksasa. Ular yang tak lain pun tak bukan merupakan persulihan rupa dari tongkat anaknya.
Bayi yang kemudian menjadi pemuda gagah perkasa itu adalah Musa, sedangkan raja’si lalim, congkak, bahkan mengaku sebagai Tuhanadalah Fir’aun, yang khatamnya mati di tengah samudra kala mengejar Musa.
_______________
*) Riza Multazam Luthfy, Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media. Ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang ini sedang melanjutkan studi di program magister hukum UII Jogjakarta.

Ingat Soekarno, Ingat Indonesia!


Ingat Soekarno, Ingat Indonesia!
Posted by PuJa on August 5, 2012
Soekarno: Arsitek Bangsa
Bob Hering
Penerjemah: Mien Joebhaar
Kompas, 2012
viii + 136 hlm
Peresensi: Bandung Mawardi *
Lampung Post, 29 Juli 2012

INDONESIA memang negeri ganjil. Soekarno (6 Juni 1901—21 Juni 1970) selaku penggerak sejarah Indonesia justru belum mendapatkan legitimasi sebagai pahlawan. Pelbagai kalangan dan institusi mulai melantunkan seruan agar Soekarno lekas mendapatkan gelar pahlwan dari negara. Kita terlambat memberi pengakuan disebabkan rezim Orde Baru intensif mencipta stigmatisasi atas sosok Soekanro. Tokoh moncer ini lahir untuk mengisahkan Indonesia. Detik-detik hidup dan embusan napas menghendaki semaian ide-imajinasi Indonesia. Soekarno pun menjelma arsitek negara-bangsa Indonesia.
Bob Hearing mengakui Soekarno memicu emosi dan kontroversi. Jalan politik memang terjal dan keras. Soekarno menempuhi jalan itu berkeringat tanpa putus asa. Penjara dan pembuangan oleh pemerintah kolonial tak bisa membungkan seruan nasionalisme. Soekarno justru lantang dan garang. Kita mengingat kebandelan Soekarno dalam pledoi bersejarah: Indonesia Menggugat (1930). Indonesia tak mau lengah dan terlena oleh represi kolonial.
Soekarno tampil sebagai pembawa suluh untuk negeri terjajah.
Soekarno mengusung takdir perubahan di Indonesia. Kita bisa mengutip pengakuan Soekarno saat mengingat pesan ibu, “Jangan, jangan pernah kau lupakan bahwa anak fajar. Kau akan menjadi pemimpin besar bangsa ini karena ibumu melahirkan dirimu pada waktu fajar.” Soekarno mengantarkan Indonesia dari gelap menghampiri terang. Indonesia bergerak. Soekarno ibarat “penggugah” kala Indonesia terluka dan terbisukan selama ratusan tahun oleh arogansi kolonial.
Gairah politik Soekarno mengeras saat menjalani studi di HBS Surabaya. Soekarno saat itu turut menumpang hidup di rumah HOS Tjokroaminoto. Rumah itu menjelma “sekolah politik” untuk mengolah sengatan politik di tubuh kolonial. Soekarno pun intensif membaca referensi-referensi kunci dengan mengembuskan gagasan Islam, nasionalisme, demokrasi, marxisme, sosialisme. Buku Sun Yat Sen bertajuk San Min Chui diakui oleh Soekarno sebagai resep manjur bagi agenda melawan kolonial. Soekarno mendapati percikan permenungan itu saat berusia 18 tahun. Seruan politik Soekarno mulai menentukan arah sejarah Indonesia.
Soekarno sebagai manusia politik memang menimbulkan gentar di mata kolonial. Geliat Soekarno menebar benih-benih utopia Indonesia. Pidato dan tulisan menjadi modal Soekarno dalam mengikat diri ke kalbu rakyat. Bahasa Soekarno menggugah, provokatif, meledak. Politik memerlukan bahasa perlawanan. Bara bahasa ala Soekarno telah mengabarkan keberanian mengubah nasib Indonesia. Kita pun mafhum bahwa Indonesia bergerak oleh bahasa. Soekarno adalah pembentuk bahasa politik untuk Indonesia.
Sosok Soekarno semakin menebar aura perlawanan. Gairah berpolitik bersama Partai Nasional Indonesia (1927) mengawali pencanggihan politik. Partai politik adalah rujukan mendedah dan merealisasikan ide-ide politik. Soekarno menganggap ikhtiar EFE Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Soerjaningrat melalui pendirian Indische Partij (1912) memicu rasionalitas politik modern di Hindia Belanda. Mereka mengajarkan politik radikal tanpa jera atas hukuman kolonial. Soekarno mengafirmasi sekian gagasan para penggerak bangsa dengan ejawantah politik berhaluan nasionalisme.
Perjalanan Soekarno adalah perjalanan Indonesia. Soekarno mengumumkan Pancasila sebagai modal ideologis Indonesia: 1 Juni 1945. Kita mewarisi Pancasila sampai hari ini. Tanggal 17 Agustus 1945 menjadi momentum proklamasikan kemerdekaan Indonesia. Perlawanan atas kolonialisme telah menguatkan kehendak memartabatkan negeri. Soekarno di masa 1940-an mesti lihai berpolitik saat meladeni Jepang. Godaan dan siksa Jepang menimbulkan derita di kalangan rakyat. Kondisi akut merangkum narasi kolonialisme. Soekarno tak berputus asa mengarsiteki politik demi kemerdekaan. Janji suci untuk negeri adalah kaharusan. Soekarno memenuhi janji tanpa pamrih.
Biografi politik Soekarno memang dramatik. Situasi politik 1960-an adalah latar keberakhiran kekuasaan Soekarno. Kecemburuan dan perseteruan politik menimbulkan prahara. Soekarno ada dalam dilema kekuasaan. Tragedi 1965 memicu resistensi atas agenda politik Soekarno. Detik-detik keruntuhan Orde Lama semakin kentara. Soekarno pun merana. Soekarno menjelang senjakala. Misi sebagai “putra sang fajar” telah terpenuhi kendati mengandung tragedi. Soekarno tak selesai mengisahkan Indonesia meski kematian menghampiri kala pagi: 21 Juni 1970. Soekarno adalah ingatan tak paripurna untuk Indonesia. Begitu.
*) Bandung Mawardi, pengelola Jagat Abjad Solo

Sastra Klasik Tak Akan Pernah Lapuk


Sastra Klasik Tak Akan Pernah Lapuk
Posted by PuJa on August 5, 2012
Evi Melyati
Suara Karya, 4 Agus 2012

Bagi masyarakat jawa, sastra merupakan karya yang tertata apik dalam bahasa yang indah. Tak heran jika sastra jawa klasik tak hanya mengutamakan isi, tetapi keindahan bahasa juga menjadi perhatian sang pujangga. Karya sastra Jawa yang terlahir melalui pengolahan rasa dan laku tapa, disebut sebagai sastra adiluhung atau sastra yang memiliki tingkat apresiasi tinggi.
Sastra klasik ini tak pernah lapuk dimakan usia, sarat sejumlah nilai simbolis, dan dikenang sepanjang masa lantaran sifat dulce et utile-nya (menyenangkan dan bermanfaat) bagi peradaban umat manusia (Rene Wellek (1955). Alam sadar manusia yang selalu haus siraman imaji, menjadi ruang ideal muara sastra adiluhung. Sejatinya, produk sastra secara umum (puisi, syair, serat, novel, kitab dsb) tercipta bukan dari ruang hampa. Juga bukan produk instan, masif dan duplikatif. Penetrasi sosial budaya turut membangun karya sastra, Toh pada muaranya realitas sosial juga kembali dipengaruhi sastra tersebut. Alih-alih, meski sebagian besar karakternya mengambil bahasa, karya sastra tetap merupakan analisis estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu (Gunoto Saparie, 2007).
Serat dan suluk misalnya, merupakan penetrasi budaya yang berujud akulturasi Islam dan Jawa. Jalinan dipererat dengan narasi ilmiah nilai Islam dalam bentuk kepustakaan. Ini tampak pada Serat Wulangreh, Cibolek, Wedhatama, dan Centhini, serta Suluk cipta waskitha dan Haspiya.
Sastra jawa klasik hadir melampaui sejarah (trans-historis), ruang dan waktu. Demikian pula obyeknya adalah realitas kehidupan, meskipun dalam menangkap realitas tersebut sang pujangga tidak mengambilnya secara acak. Ia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Serat Wedhatama karya Mangkunegoro IV misalnya, bertujuan mengajak umat manusia pada kemuliaan budi, dan larangan memperturutkan budi jahat. Mangkunegara menangkap realitas sosial dan pandangan jawa bahwa gejala-gejala lahiriyah, memiliki kekuatan kosmis nominus yang merupakan realitas sebenarnya. Dan realitas itu adalah batin manusia yang berakar dalam dunia nominus itu.
Berangkat dari konsep tersebut, wedhatama tidak hanya murni karya sastra. Tetapi, juga mengajarkan laku spiritual khususnya terkait proses kebaktian kepada sang pencipta, atau dikenal dengan sembah raga, cipta, rasa dan karsa.
Tak salah jika Simuh (1995) menggolongkan wedhatama sebagai sastra profetik (kenabian) lantaran tujuan utamanya pada penghayatan sufistik tinggi. Lain lagi jika realitas sastra jawa klasik itu sebuah peristiwa sejarah, maka sang pujangga mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.
Kecuali itu, sastra adiluhung dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa sejarah. Sebagaimana karya sejarah, sastra adiluhung merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Ini dapat dilihat dalam serat Babad baik babad tanah jawa, babad Diponegoro, babad tanah sabrang dan sebagainya.
Sastra jawa klasik adalah dunia yang bersifat dinamis, relatif, dan bukan eksklusif. Sastra jawa klasik tetap enak dicermati, terutama di era modernisdasi saat ini akan tampak nilai-nilai sastranya yang terkait dengan kepribadian manusia.
Karena ketinggian tingkat apresisasinya, sastra jawa klasik sangat bermutu lantaran mampu menghaluskan rohaniah; mempertajam visi, misi dan ruang imajinasi, membuat manusia santun jiwanya, bertambah pengetahuannya, berkepribadian mulia, dan luas jiwanya. Misalnya dalam Serat Wulang Reh Karya Pakubuwono IV tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut wulang Reh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung dan adiguna, atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulang reh juga momot aturan tingkah laku yang utama. Apresiasi pada sastra jawa aklasik, memang meniscayakan wawasan yang luas, ketajaman pikiran dan kehalusan perasaan. Karena ia dikemas dalam bentuk-bentuk simbol yang multi tafsir.
Misalnya ajaran manunggaling Kawula dan gusti, disimbolkan dalam lakon bima Suci. Tokoh Bima dalam serat ini digambarkan sebagai kesatria perkasa dengan kekuatan yang digdaya, dan seorang brahwana yang memiliki kearifan batin (waskita). Bima sejatinya merupakan simbol tokoh mistik jawa (Haryanto, 1990), yang bertemu dengan Tuhannya (Dewa ruci). Proses masuknya Bima ke tubuh Dewa Ruci diartikan sebagai manunggalnya hamba dengan tuhannya.
Menurut T. S. Eliot, mengukur kesastraan sebuah karya sastra adalah dengan kriteria estetik, sedangkan mengukur kebesaran karya sastra adalah dengan kriteria di luar estetik (Lubis, 1997: 15). Salah satu kriteria estetik yang bisa dipakai adalah kriteria norma sastra. Rene Wellek menyatakan bahwa norma sastra adalah tata nilai impilisit yang mesti ditarik dari karya sastra dan menunjukkan karya sastra sebagai keseluruhan.
Norma karya sastra itu terdiri dari beberapa lapis; lapis suara (berupa kata), lapis arti (berupa kalimat), dan lapis obyek (berupa dunia sastrawan). Serat Wedhatama karya Sri Mangkunegara IV misalnya; lapis suara berbentuk tembang gambuh. Lapis arti berisi pendidikan budi pekerti antara manusia dengan sesama, lingkungan/ makhluk hidup dan dengan tujannya.
Sementara untuk menjamin martabatnya, seseorang mesti menguasai 3 syarat wirya (keberanian) yaitu: berani berkurban arta (harta), raga (badan jasmani) dan rasa (jiwa). Sosok individu hasil tempaan tiga wirya ini, adalah individu yang Tri winasis artinya cendekia yang cerdas, tangguh dan arif memaknai kehidupan. Selain itu, sastra jawa klasik menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.
Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka sastra jawa klasik berusaha menggambarkan dunia dan kehidupan manusia melalui kriteria utama yaitu “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan.***

Sastra Indonesia Terkini di Bali dalam Lanskap Nasional dan Global


Sastra Indonesia Terkini di Bali dalam Lanskap Nasional dan Global
Posted by PuJa on August 5, 2012
Riki Dhamparan Putra
http://www.journalbali.com/


Banyak pengamat mengatakan bahwa sastra Indonesia kontemporer di Bali terus mengalami kemajuan semenjak tahun 1980-an. Hal itu tak terlepas dari kerja keras para pejuang sastra yang ada di Bali, baik sebagai individu, komunitas maupun sebagai institusi formal seperti lembaga pendidikan dan lembaga bahasa. Perlu juga kita sebut di sini peran surat kabar lokal yang masih menyediakan halaman sastra.
Hingga akhir tahun 1990-an, peran komunitas sebagai motivator perkembangan sastra kontemporer di Bali masih merupakan yang terutama. Bagi sesiapa yang pernah secara langsung mengalami pergesekan kreatif di daerah ini tentu tahu kalau hampir di semua kota kabupaten di propinsi Bali ada terdapat banyak komunitas komunitas sastra yang tidak pernah lelah menghidupkan iklim kreatif di daerahnya. Mereka ini biasanya militan, hidup secara swadaya dan saling berhubungan satu sama lain melalui sebuah pola sosial alamiah yang populer disebut gradag grudug.
Gradag grudug adalah sebuah istilah yang spontan. Setengah artinya berasal dari spirit budaya komunitas lokal tradisional seperti semangat menyama braya, semangat ngumpul ngumpul, keikhlasan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena itu setiap kerja kebudayaan juga mengandung nilai spritual di dalamnya. Sementara setengah arti gradag grudug yang lain merupakan perwujudan dari kesadaran atas zaman nan terus berkembang yang pada gilirannya mengisi semangat lokal tradisional itu dengan nilai nilai budaya yang lebih progresif, kompetitif dan egaliter. Berdasarkan pengertian ini tahulah kita, sekalipun gradag grudug tersebut sering diucapkan secara spontan dan terimplementasi sebagai tindakan spontan, ia tidaklah datang tiba tiba tanpa rencana seperti hantu. Sebaliknya, ia adalah sebuah strategi kebudayaan. Ada visi dan cita di dalamnya
Itulah sebabnya sastrawan pinisepuh semacam Frans Nadjira, Ketut Suwidja alm, Nyoman Tusthi Edi maupun Umbu Landu Paranggi dan lainnnya selalu menekankan pentingnya untuk terus menjaga semangat gradag grudug ini dalam kesinambungan dinamika sastra kontemporer di Bali. Tak sekedar bicara, mereka juga telah memberi teladan kepada generasi penerus bagaimana menerapkan pola gradag grudug itu dalam pergaulan sastra.
Dan sebagaimana yang telah kita lihat, selama lebih dari 30 tahun melalui gradag grudug ini, kehidupan sastra di Bali tumbuh dengan pesat sebagai bagian dari pembangunan SDM yang berkualitas dan telah mampu tampil di panggung kesusastraan nasional bahkan internasional. Melalui gradag grudug ini pula sastra memberikan harapan kepada kehidupan yang lebih reflektif di tengah menggilanya kehidupan bendawi di Bali.
Namun orang kebanyakan jarang menyadarinya. Hal itu terlihat dari masih lemahnya dukungan lembaga resmi pemerintahan maupun kebijakan kebijakan institusional lainnya dalam meningkatkan kemajuan sastra kontemporer di Bali. Dengan kata lain, para pengambil kebijakan kebudayaan resmi di Bali itu masih kurang pengetahuannya terhadap pentingnya meningkatkan kemajuan sastra sebagai arsenal penting dalam pembangunan SDM di Bali. Mereka masih berpikir sastra itu hanyalah kerumunan remaja yang suka nulis puisi dan cerpen saja, tidak layak jual dan karena itu mungkin mereka tidak menganggap penting.
Jangankan kepada kantong kantong budaya informal semacam komunitas sastra, terhadap institusi resmi semacam fakultas sastra saja, tidak jelas kebijakan pemerintah daerah itu. Beda jauh kalau dibanding perhatian kepada fakultas fakultas ilmu yang lain seperti kedokteran atau tekhnik.
Untunglah sastra tidak pernah terpengaruh oleh ada tidaknya perhatian itu. Sastra tetap jalan tanpa didukung oleh kebijakan kebijakan daerah yang resmi. Di mana mana tetap ada lomba baca puisi, lomba menulis puisi, diskusi puisi dan kegiatan kegiatan serupanya yang dilakukan secara spontan. Sastra sama sekali tidak terpengaruh oleh naiknya turunnya jumlah turis yang mengunjungi Bali. Dengan kata lain, perkembangan pariwisata Bali sama sekali tidak berperan terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer di Bali. Gak ada artinya.
Ke Era Proposal
Memasuki tahun 2000, keadaan mulai berbeda. Aktifitas sastra kontemporer Bali mulai beradaptasi dengan pola nasional dan pola global sebagai hasil pergaulan para sastrawan tertentu dengan pola Jakarta dan pola global internasional yang berciri industri serta bersifat budaya massa. Acara acara sastra memang masih berlangsung, namun sudah tidak dalam semangat gradag grudug lagi. Melainkan sebagai bagian dari agenda nasional atau agenda yang diklaim sebagai internasional dan memiliki tujuan – tujuan industri di dalamnya. Dalam pola ini, komunitas komunitas lokal lebih banyak muncul dalam kapasitas sebagai pengikut atau penyelenggara, bukan perencana dari kegiatan itu.
Demikianlah misalnya festival sastra internasional Utan Kayu diselenggarakan di Bali dengan bantuan orang Utan Kayu di Bali, melibatkan para sastrawan yang ada di Bali, namun harus disesuaikan dengan minat penyelenggara pusat. Festival penulis internasional diselenggarakan di Ubud, meminta bantuan para sastrawan yang tinggal di Bali namun di bawah pengawasan orang Utan Kayu juga. Dalam proses proses awalnya malah hanya sekedar melibatkan peserta lokal untuk sekedar mendapatkan legitimasi lokal dari event itu. Misal lainnya, sastrawan Horison jalan jalan buat ketemu para penggemar, para sastrawan di Bali ikut di dalamnya. Namun siapa yang ikut tergantung siapa yang di telepon oleh orang dari Horison. Demikianlah sekedar contoh.
Sejalan dengan fenomena tersebut, keahlian baru pun harus dipelajari. Yakni membuat proposal yang adaptif dengan program program kubu nasional penyelenggara itu. Dan biasanya lebih baik berbahasa Inggris. Undangan undangan ditentukan berdasarkan rapat juri dan diseleksi dengan ketat. Tidak cukup lagi sekedar di halo halo di halaman ApreBud Bali Post. Semua jadi serba tekhnokrasi.
Dari gradag – grudug ke era proposal, demikianlah alur singkat perubahan penyelenggaraan kegiatan sastra di Bali kalau dicermati. Mungkin tak ada yang salah dengan fenomena ini Namun itu terjadi di tengah melemahnya daya kreatif komunitas komunitas lokal dalam menyelenggarakan acara sesuai dengan karakter yang sudah tercipta selama ini. Hingga tahun 2009 ini kita tidak mendengar lagi ada sebuah hajatan besar sastra di Bali yang benar benar menjadi agenda komunitas komunitas yang ada di Bali. Semua kegiatan tampaknya tergantung pada ada tidaknya kegiatan dari jaringan nasional atau global.
Blog
Fenomena terbaru adalah blog. Sepinya aktivitas sastra di dunia nyata dan terbatasnya ruang publikasi media massa mendapat solusinya pada dunia cyber. Meskipun tergolong ketinggalan dari kota kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung, para sastrawan di Bali akhirnya memasuki juga wilayah cyber ini untuk merayakan era komunikatif di dalam sastra. Setidaknya semenjak dua tahun lewat, sejumlah sastrawan di Jembrana dan Denpasar telah memilih Cyber sebagai ruang publikasi mereka.
Lebih dari sekedar ruang publikasi, blog pun telah menjadi sarana berhubungan antar para sastrawan dan pencinta sastra. Melalui blog mereka bahkan juga membuat perkumpulan di dunia maya, merencanakan kegiatan kegiatan sastra dan terlebih penting menurut hemat saya adalah rasa percaya diri yang tumbuh kembali melalui ruang cyber ini. Sebab hanya di ruang cyber saja setiap orang dapat membagi karyanya kepada pembaca tanpa melalui seleksi redaktur dan tanpa harus menunggu sebuah penerbit menerbitkan karya mereka.
Blog adalah terobosan tekhnologi komunikasi paling penting dalam abad ini di bidang jurnalisme individu. Tak terkecuali di dunia sastra. Ia menghancurkan kuasa media cetak dan dominasi generasi tertentu di panggung sastra. Sebab melalui blog seorang dapat mengunggah apa saja yang mau ia katakan tanpa harus melalui izin redaktur sebuah media cetak. Namun kebebasan semacam itu sekaligus menjadi kelemahan dunia blog. Kecenderungannya adalah kita jadi manusia yang tidak selektif dan bisa jadi tidak tahu mana karya yang bermutu dan mana yang tidak. Sebab pada saat sebuah karya dipublikasi secara massal, tanggapan orang bisa berbeda beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka membaca persoalan yang disuguhkan dalam karya tersebut. Bayangkan jika yang menanggap karya kita adalah orang orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan yang dituju karya itu. Tentu kita ikut menyangka karya tersebutlah yang bagus.
Jadi diperlukan suatu disiplin pribadi yang sangat ketat untuk dapat menjadikan kebebasan cyber melalui blog ini sebagai ruang yang positif bagi pendewasaan pemikiran dan kreatifitas. Tanpa itu blog akan menjadi sekedar halaman bermain saja dan kita tidak memperoleh manfaat berarti dengannya. Malah akan semakin memperburuk mental generasi kita.
Denpasar, Januari 2009
Dijumput dari: http://penyairbali.blogspot.com/2009/08/sastra-indonesia-terkini-di-bali.html

Thursday, 2 August 2012

NH Dini, Hulu Novelis Perempuan Indonesia


NH Dini, Hulu Novelis Perempuan Indonesia
Posted by PuJa on July 28, 2012
Linda Sarmili
http://www.suarakarya-online.com/

Kita mengenal namanya Nh Dini semenjak sekolah dasar. Puisinya kerap kali dibacakan dalam berbagai kesempatan, khususnya perlombaan yang berskala nasional. Dia adalah seorang sastrawan yang novel-novelnya dianggap sebagai hulu dari para novelis perempuan di belakang hari.
Untuk segenap jasanya itu, tahun lalu, NH Dini dianugerahi Penghargaan Achmad Bakrie Award. Penghargaan tersebut di berikan di Jakarta, dihadiri ratusan tokoh dari berbagai disiplin ilmu.
Sepanjang karirnya sebagai penulis, Nh. Dini telah memperkuat realisme, merintis ideologi anti-patriarki, dan mendalami novel autobiografis, dalam sastra berbahasa Indonesia. Sastra “realisme fotografis”-nya kaya dengan detail.
Pencapaiannya sangat menonjol, terutama jika disimak dari semangatnya dalam menggali dunia perempuan, termasuk seksualitas tersembunyi, khususnya perempuan Jawa. Begitu juga dengan novel-novelnya, selalu dipadatan dengan beragam cerita tentang kelebihan dan kreativitas perempuan.
Tak pelak lagi, Nh Dini menjadi induk dari novel-novel populer yang ditulis pengarang perempuan, juga menjadi pendahulu bagi karya sejumlah penulis-perempuan yang sejak akhir 1990-an mendorong lebih jauh lagi feminisme ke arah pengungkapan seks dan seksualitas.
Anda pernah membaca betapa hebatnya novel-novel otobiografisnya Nh Dini? Edgar Cairo, salah seorang penyair dari Amsterdam selalu memuji buku novel Nh Dini karena memiliki kedalaman ilmu tentang tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Penilaian serupa juga kerap dikemukan banyak praktisi kebudayaan dan sastrawan di Indonesia.
Novel novel otobiografis karangan Nh Dini, menurut penilaian penulis selalu sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan baik.
Dalam sastra Indonesia, dunia perempuan sebelumnya hampir selalu dilukiskan oleh pengarang laki-laki. Tetapi Dini merebut itu semua dan menegaskan bahwa perempuan hanya bisa tampil wajar dalam fiksi jika dikisahkan oleh perempuan sendiri.
Perempuan memiliki suaranya sendiri yang bukan lagi pemalsuan dari suara laki-laki,begitu kata Nh Dini yang kemudian dibenarkan oleh sejumlah wanita yang menghabiskan kesehariannya dengan dunia menulis.
Dalam novel autobiografis riwayat hidup si pengarang menjadi bahan utama pengisahan. Tetapi hanya pengarang yang cemerlang seperti Dinilah yang sanggup melebur antara kenyataan faktual dan kenyataan fiksional dengan amat baiknya.
Beda dengan Nh Dini dari para penerusnya adalah novel-novelnya hadir dengan kualitas bahasa yang tetap terjaga. Kalimat-kalimatnya kokoh, pelukisannya tentang sesuatu tampak halus, kadang samar-samar, sehingga memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menerka-nerka.
Penghargaan Achmad Bakrie yang diterimanya pada malam penganugerahan Minggu, 14 Agustus tahun lalu, bertempat di XXI Ballroom Djakarta Theatre, Jakarta, membuat para perempuan penulis kagum kepadanya, terutama ketika ditanya oleh seorang wartawan apakah masih ada waktu menulis di usianya sekarang yang telah mencapai 75 ?
Ternyata Nh Dini menjawab: “saya akan menghabiskan usia saya dengan menulis. Saya merasa bangga apabila tulisan saya bisa memberi makna kepada pembacanya, kepada masyarakat luas, dan kepada usaha pembaruan pembaruan pola pikir perempuan Indonesia”.
Ternyata benar, Nh Dini terus menulis untuk memajukan pola pikir perempuan Indonesia, dan memajukan dunia sastra Indonesia.
Baru-baru ini, NH Dini, meluncurkan buku terbarunya berjudul Pondok Baca Kembali ke Semarang Buku yang diterbitkan Gramedia itu diluncurkan di Toko Buku Gramedia Amaris Semarang, Jawa Tengah, belum lama ini. Peluncuran buku tersebut ditandai dengan Diskusi Buku dan Perjalanan Sastra bersama NH Dini yang dipandu budayawan Semarang Prie GS.
Dalam diskusi tersebut, NH Dini menuturkan perjalanan hidupnya, termasuk bagaimana proses menulis buku-buku yang merupakan pengalaman dan kisah hidupnya. “Semuanya secara jujur saya sampaikan apa adanya,” ujar Dini.
“Buku Pondok Baca Kembali ke Semarang” mengisahkan saat Nh Dini kembali ke Tanah Air tahun 1980. Setelah mondar-mandir antara Jakarta dan Semarang, tahun 1985, Dini menetap di kota asalnya, di Kampung Sekayu, Semarang Tengah. Di kampungnya dia mendirikan taman bacaan yang dinamakan Pondok Baca NH Dini.
Diskusi dengan Nh Dini dihadiri keluarga dan penggemar bukunya, bahkan sejumlah anak sekolah dari Semarang mengaku mendapat banyak pencerahan setelah mencermati kalimat demi kalimat yang dituturkan Nh Dini.
/28 Juli 2012

Pesan Chairil untuk Lelaki Patah Hati


Pesan Chairil untuk Lelaki Patah Hati
Posted by PuJa on July 29, 2012
Eko Hendri Saiful *
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
(Senja Di Pelabuhan Kecil, Chairil Anwar)

Seorang gadis yang bernama Sri Ayati telah membius Chairil hingga ia larut dalam keteduhan cinta yang membawanya dalam kedukaan. Dan salah satu kedukaan yang dialaminya, terangkum dalam makna-makna puisi Senja Di Pelabuhan Kecil. Pelopor angkatan 45 ini telah menuntun kita untuk memberi makna cinta lewat karyanya yang ditulis dengan puncak permenungan hati.
Seperti penggalan bait puisi di atas yang berjudul Senja Di Pelabuhan Kecil. Sebuah puisi yang telah mengantarkan Chairil ke alam kedewasaan. Sekalipun kenangan pahit yang dimunculkan lewat sosok Sri Ayati masih begitu lekat dalam roh puisi. Namun, puisi ini akan selalu hidup dalam jiwa para lelaki yang dirundung patah hati. Sekaligus menjadi inspirasi untuk membangkitkan kembali kesegaran jiwanya.
Seperti pesona molek bunga melati, cinta itu terlukiskan dengan aroma keindahan. Namun, memahami ungkapan Maria Teguh bahwa sesungguhnya keindahan itulah yang akan menjelma menjadi penderitaan. Seperti para lelaki yang sedang mengalami patah hati. Merasa hidup kesendirian dan dekat dengan tali penggantung diri. Pandangan matapun menjam ketika harus berjumpa dengan sosok yang bernama perempuan. Seakan-akan musuh paling ditakuti yang membawa busur dengan anak panah paling tajam.
Puisi Senja Di Pelabuhan Kecil, sebuah puisi ratapan kepatahhatian seorang pemuda asal Pulau Sumatra yang bernama Chairil Anwar. Puisi yang penuh dengan aroma luka karena ketidakmampuan dalam menaklukkan hati Sri Ayati. Bait-baitnya terisi sebuah keputusasaan yang mendera laki-laki ketika tergores oleh pisau penolakan. Pisau yang yang selalu ditakuti oleh para lelaki.
Di sisi lain, Senja Di Pelabuhan Kecil telah membantu kesuksesan Chairil dalam mengarungi dunia seni (sastra). Lewat Karyanya yang berwujud lukisan indah persetubuhan bahasa dan makna, Chairil telah meninggalkan pesan mendalam bagi manusia yang benar-benar memahami makna etika dalam sastra. Hingga ia, dengan puncak ketermasyurannya diakui sebagai seorang sastrawan sejati sepanjang masa. Dan hingga kini sosok Chairil Anwar seakan-akan masih hidup dengan mendampingi kita dan hadir dalam roh dan tubuh karya-karyanya.
Beberapa bulan yang lalu saya bertanya pada dosen saya pada waktu jam kuliah. Saya bertanya tentang cara dan kondisi yang tepat untuk menulis. Lalu dengan bijaksana dosen, juga seorang pengolah kata mengatakan bahwa menulis bisa dalam kondisi apapun, dimanapun, dan dengan cara apapun. Baik sedang dalam kondisi berduka maupun sedang bahagia. Entah kita sedang menetaskan air mata maupun sedang mengumbar senyumnya. Namun, dia juga mengatakan bahwa jika benar-benar memiliki keinginan untuk menulis, maka kita harus rajin mencari masalah. Dan masalahlah yang akan menjadi stimulus hati dan pikiran kita sehingga tangan kita bergerak dan mampu menggerakkan pena. Lalu bagaimana caranya mencari masalah?
Salah satunya adalah dengan melukai hati kita. Karena hati yang terluka bisa menyadarkan kita mengenai hakikat manusia seutuhnya. Tuhan tidak akan menciptakan kebahagian tanpa disiapkan kesedihan.dan sebetulnya kesedihan dan kebahagiaan itu sangat tipis bedanya. Selain, hati yang terluka juga mampu menggertak eksistensi kita sebagai Khalifah Fil ardl.
Namun, disisi lain hati yang terluka juga mampu menggugah manusia untuk terus berjuang menggapai cita-citanya. Karena hati yang terluka merupakan proses yang wajib ada dalam dunia kepenulisan. Kita mau menulis maka kita membutuhkan masalah dan kita pun harus mencari-cari masalah.
Penulis buku, Mereka bilang aku monyet, Djenar Mahesa Ayu, pernah mengatakan bahwa modal seorang penulis adalah luka. Intinya jika kita mau menulis harus banyak melukai diri kita sendiri. Djenar juga mengatakan bahwa rata-rata orang tidak bisa menulis karena beberapa hal. Salah satunya karena tidak memiliki masalah.
Albert Einsten, dulu semasa kecilnya adalah seorang anak yang biasa bahkan memiliki rata-rata pemikiran di bawah teman-temannya. Hampir setiap hari di selalu mendapatkan ejekan dari teman-temanya. Dan ibunyalah yang satu-satunya orang saat itu membelanya. Dia telah mengubah ejekan hatinya menjadi sebuah energi positif yang membuatnya dikenang sebagai ilmuan sepanjang masa. Dia terlahir dari hati yang terluka akibat ejekan teman-temannya.
Setiap teks maupun koteks, dalam deretannya selalu mengandung makna dan konteks yang berbeda beda. Teks itu hanya mampu kita tafsirkan dengan jalan membuka hati dan pikiran. Begitu pula seharusnya kita menjalani kehidupan. Karena seorang Chairil telah berpesan pada kita, bagi para lelaki patah hati, untuk hidup dengan keberanian dan keyakinan selama seribu tahun lagi. Terpenting seberapa besar ketabahan kita menjalani proses hati yang terluka. Karena seorang lelaki yang patah hati, seorang lelaki yang beruntung . Lelaki yang diberikan kesempatan untuk memilih hati yang lain.
Eko Hendri Saiful, Penulis adalah Ketua Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP) STKIP PGRI Ponorogo.

Etos dan Sastra, mengenang Andries Teeuw (1921-2012)


Etos dan Sastra, mengenang Andries Teeuw (1921-2012)
Posted by PuJa on July 29, 2012
Bandung Mawardi *
_Radar Surabaya, 29 Juli 2012

SASTRA modern di Indonesia turut disemaikan oleh seorang sarjana mumpuni asal Belanda: Andries Teeuw (21 Agustus 1921-18 Mei 2012). Tokoh ini mengamalkan ilmu untuk menggerakkan studi sastra Indonesia. Buku-buku dihadirkan sebagai rujukan mempelajari sastra: Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru (1952), Tergantung Pada Kata (1980), Sastra Baru Indonesia (1980), Khazanah Sastra Indonesia (1982), Sastra dan Ilmu Sastra (1984). Kita mendapati buku-buku itu sebagai pemicu kajian sastra di kalangan akademik dan umum.A Teeuw telah memberi diri demi selebrasi literasi di Indonesia.
Perkenalan A Teeuw dengan bahasa dan sastra di Indonesia terjadi saat menempuh studi di Universitas Leiden dan Universitas Ultrecht. Tahun 1938 menjadi titik pijak pengembaraan ke jagat sastra Indonesia. Takjub atas bahasa dan sastra di Indonesia membawa A Teeuw datang ke Jakarta dan Jogjakarta. Kehadiran ke Indonesia sebagai “pegawai kolonial” justru memberi akses pengetahuan ke pelbagai ranah pengetahuan tentang bahasa dan sastra etnik. A Teeuw memang cenderung identik dengan sastra Indonesia modern. Sosok ini lekas merambah ke sekian tema dengan pertaruhan intelektualitas.
Suguhan awal dalam agenda literasi di Indonesia adalah Indonesisch-Nederlands Woordenboek (1950). Kamus bahasa Indonesia-Belanda ini digarap bersama WJS Poerwadarminta. Pengakraban peluruhan diri ke sastra Indonesia dibuktikan dengan publikasi Pokok dan Tokoh (1952). Buku ini menjadi rujukan penting di tahun 1950-an dan 1960-an oleh mahasiswa dan publik sastra. A Teeuw memperkenalkan tokoh-tokoh dalam sastra Indonesia modern dan memberi tanggapan atas publikasi teks sastra mereka. Sarjana Belanda itu sanggup merangkum dan menarasikan sastra modern di Indonesia secara terang dan impresif. Barangkali kita bisa menganggap buku itu pijakan awal kajian sastra di ranah akademik.
Kehadiran A Teeuw memberi mozaik atas semaian kajian sastra Indonesia. Peran A Teeuw memang besar sebagai sarjana asing. Keterlibatan diri secara bergairah di jagat sastra Indonesia turut menggenapi studi sastra oleh HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Ajip Rosidi. Publikasi buku sejarah dan kajian sastra Indonesia modern di masa 1950-an dan 1960-an memang masih terhitung sedikit. Kompetensi dan ketelatenan A Teeuw membuktikan etos kesarjanaan. Peran sebagai pengajar di Universitas Indonesia, Universitas Michigan, dan Universitas Leiden mengukuhkan sosok A Teeuw sebagai “resi sastra Indonesia”.
Warisan besar di ranah perkuliahan sastra adalah buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984). Buku pengantar teori sastra Indonesia ini terus menjadi rujukan bagi dosen dan mahasiswa. A Teeuw melalui buku itu seolah membuat landasan kajian sastra di Indonesia. Penggunaan di pelbagai kampus mem buktikan makna kesarjanaan A Teeuw. Sekian ahli sastra dan kritikus sastra di Indonesia merupakan murid-murid dan penerus pemikiran-pemikiran A Teeuw selama tiga puluhan tahun. Gairah mengurusi dan mengasuh sastra Indonesia memang memerlukan pengabdian tanpa pamrih.
Karel Steenbrink (2006) menganggap studi A Teeuw adalah tonggak. A Teeuw adalah tokoh pertama sebagai penilai sastra Indonesia adalah ekspresi bangsa: independen dan merdeka. A Teeuw juga memiliki kontribusi dalam perbincangan puisi modern untuk “menentukan” dan “memetakan” identitas-estetika di jagat sastra Indonesia. Perhatian kritis atas puisi dan penyair seolah mengabarkan ada arus besar kesusastraan modern. Puisi adalah penggerak signifikan dan memacarkan eksperimen-eksperimen menakjubkan dalam pengisahan Indonesia.
Gairah mengurusi puisi disajikan dalam buku moncer: Tergantung Pada Kata (1980). A Teeuw mengibaratkan: “Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna sajak yang disajikan oleh sang penyair.” Penjelasan ini terjelmakan melalui kritik atas sepuluh puisi fenomenal dalam kesusastraan Indonesia modern. A Teeuw memilih puisi-puisi garapan penyair kondang dan merepresentasikan mozaik kiblat estetika: Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Subagio Sastrowardojo, Toeti Heraty, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri.
Buku itu merupakan pergulatan intimA Teeuw dengan puisi selama tinggal di Jogjakarta (1977-1978). A Teeuw mengakui bahwa kepuasan-kenikmatan membaca puisi-puisi modern di Indonesia mesti dilaporkan ke publik. Pembacaan kritik atas puisi-puisi memerlukan teritorial kondusif dan impresif. A Teeuw merasa Jogjakarta adalah ruang produktif untuk menikmati puisi. Buku itu secara khusus mencantumkan ucapan persembahan dan terima kasih A Teeuw pada Jogjakarta.
Penggerak studi sastra Indonesia itu telah berpulang dengan meninggalkan warisan etos literasi dan buku-buku fenomenal. A Teeuw telah memberi arti untuk sastra Indonesia. Kita mengenang sebagai ikhtiar merawat memori kesusastraan secara historis dan empiris. Nukilan puisi Sindhunata untuk A Teeuw bertajuk Penjala Kata (2006) pantas jadi renungan: “Di akhir hidupnya, tak lagi ia mempunyai kata. Meski seumur hidupnya ia adalah pencari kata-kata.” Kita mengenang A Teeuw berarti mengenang jejak-jejak sastra Indonesia.
* Pengelola Jagat Abjad Solo