Sastra Digital
Posted by PuJa on November 8, 2012
Ni Putu Rastiti
Bali Post, 16 Sep 2012
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa perkembangan sastra sebanding dengan dinamika zaman. Hal ini jelas terlihat di era sekarang, di sebuah zaman di mana teknologi menguasai segala lini. Internet dengan beragam kecanggihannya menawarkan suatu perubahan sosial yang tak tertolak, termasuk juga di bidang sastra. Maraknya karya-karya sastra yang bisa dibaca melalui internet merupakan bukti nyata sekaligus sehembus harapan bahwa sastra akan lebih memasyarakat.
Sejalan dengan lahirnya aneka jejaring sosial, media blog dan semacamnya, bermunculan pula penulis-penulis sastra yang kerap mempublikasikan tulisannya melalui media ini. Banyak yang mengatakan bahwa fenomena ini merupakan sesuatu yang baik bagi perkembangan sastra yang dianggap mandek selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, ada pula yang menyatakan bahwa ini merupakan angin segar yang luar biasa karena memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi seorang penulis. Kesempatan ini juga berarti bahwa karya-karya dari penulis tersebut bisa dibaca siapa saja yang mengaksesnya sekaligus juga mendapat feed back yang baik demi perkembangan karya lanjutannya. Selain itu, bisa pula terwujud suatu iklim diskusi yang sehat atau kritisi karya yang sifatnya terbuka.
Dari sekian karya yang telah terpublikasi di dunia maya tersebut ternyata ada pula yang telah dibukukan dan bahkan menjadi best seller. Publik pembacanya pun lebih beragam, mulai dari remaja yang dulunya hanya mengenal komik sampai pada pembaca sastra yang kerap melakukan kritik sastra.
Jejaring sosial tersebut ternyata juga memungkinkan orang-orang yang gemar menulis bertemu satu sama lainnya. Mulanya memang sekadar bertukar pikiran di dunia maya, namun di kesempatan berikutnya sekelompok orang yang memiliki minat sama ini bisa lebih intens bertukar pengalaman kreatif penulisan di dunia nyata.
Sejalan dengan hal itu, maka muncullah komunitas-komunitas sastra yang kerap melakukan diskusi-diskusi kreatif tidak hanya tentang penulisan tetapi juga kepenulisan secara umum. Bahkan tidak jarang, komunitas ini mengundang sastrawan mumpuni atau pakarnya untuk memuaskan keingintahuan tentang sastra beserta segala liku rupanya. Pertemuan-pertemuan rutin diselenggarakan dan menghasilkan banyak tulisan tentang berbagai hal. Kenyataannya orang-orang yang pekerjaannya jauh dari dunia sastra semisal pegawai bank, insinyur, dokter, perawat bisa menghasilkan karya sastra dan turut andil dalam perkembangan sastra.
Kualitas Sastra Digital
Tidak dapat dimungkiri, kesempatan mempublikasikan karya sebelum era internet terbilang sangat susah. Untuk dapat dimuat di sebuah koran lokal, misalnya, sebuah karya melalui proses yang cukup sukar. Sistem seleksi dari editor terkait tentu saja merupakan suatu tantangan yang harus ditaklukkan. Cara pemilihan dan pemilahan dari tiap editor media cetak lokal maupun nasional memiliki suatu standar teersendiri untuk hal itu. Belum lagi perkara selera yang berbeda-beda atau berlainan sama sekali. Boleh dikata inilah yang kerap menyulitkan bagi penulis pemula.
Tidak jarang penulis-penulis pemula berusaha mencipta karya yang mendekati standar tiap editor tersebut sehingga barangkali banyak dari mereka mengalahkan idealisme sendiri tentang bentuk karya sastranya. Ya, bukankah dengan pemuatan di media cetak tersebut adalah salah satu bentuk pengakuan terhadap eksistensi seorang penulis pemula. Seakan hal ini mengandung semacam dilemma tersendiri, antara memenuhi idealisme atau berkreativitas berdasarkan standar yang mungkin berlaku.
Dengan adanya hal itu maka sering pula terbentuk anggapan bahwa seorang penulis pemula atau sekelompok dari mereka memiliki bentuk karya yang serupa. Mulai dari gaya bahasa, cara bertutur, sistematika membangun konflik hingga menuturkan antiklimaks sebuah karya. Kekhasan individu menjadi terabaikan demi memenuhi standar tertentu yang dianggap baik dari sebuah karya sastra.
Dengan demikian, jika mencermati fenomena sastra di era digital, sudah tentu kita tidak menemukan suatu proses seleksi yang menyulitkan untuk mempublikasikan karya sastra. Sekali lagi, boleh dikata bahwa tidak ada editor yang memutuskan karya mana yang boleh dimuat di sebuah blog atau twitter dan media lainnya. Tidak ada pula suatu cerita tersendiri, pakem-pakem rumit yang harus diikuti dan tetek bengek lain yang memusingkan.
Kemudahan inilah yang boleh jadi memunculkan banyak penulis yang karyanya bertebaran di mana-mana. Lebih lanjut, masyarakat sastra pun menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Tiap orang yang mengakses internet dapat membaca bentuk-bentuk karya apa pun, mulai dari puisi, cerpen, prosa liris dan yang lainnya. Bukan tidak mungkin jika gelagat ini terus-menerus tumbuh akan muncul genre baru sastra sehingga cita-cita bersama untuk memasyarakatkan sastra bisa terwujud.
Di sisi lain, ketiadaan editor ini juga menimbulkan suatu anggapan yang berseberangan. Sekelompok orang mempertanyakan pertanggungjawaban penulis atas karyanya. Mereka juga sangsi bahwa semua tulisan yang beredar tersebut baik secara kualitas.
Pertanyaan lebih lanjut, siapa yang berhak menentukan kualitas sebuah karya yang dimuat di media jejaring sosial? Standar apakah yang dapat digunakan untuk menilai? Atau yang terpenting adalah perlukah mempertentangkan kualitas dan kuantitas sebuah karya sastra digital?
Menumbuhkan Plagiatisme?
Kemudahan mengakses aneka tulisan di dunia maya boleh dikata juga menimbulkan persoalan lain. Copy paste tulisan seseorang lalu diatasnamakan dirinya sendiri; meniru tulisan orang lain dengan sedikit penambahan atau pengurangan; mengubah tulisan orang lain tanpa izin penulisnya; menggunakan tulisan orang lain untuk tujuan komersial tanpa izin dari penulisnya, kesemua itu merupakan bentuk-bentuk persoalan yang mungkin timbul. Bagaimana kita akan menyikapinya jika hal ini sungguh-sungguh terjadi?
Di tengah segala persoalan yang mungkin timbul sejalan dengan maraknya karya-karya sastra era digital, penulis yakin bahwa ada sesuatu yang baik yang perlu dicermati bersama. Dengan banyaknya penulis yang mempublikasikan karya di media-media jejaring sosial memungkinkan bertambahnya orang-orang yang intens dalam proses penulisan. Banyaknya penulis akan dibarengi pula dengan tumbuhnya masyarakat pembaca.
Bukan tidak mungkin jika orang-orang terbiasa menuangkan pikiran, ide dan gagasan melalui media tulisan, segala bentuk kekerasan tidak akan terjadi. Dengan sastra, kita boleh berangan-angan jauh ke depan bahwa di masa mendatang peperangan tidak terjadi dengan adu kekerasan dan pertumpahan darah, tetapi dengan tinta serta kertas, ya dengan adu gagasan.
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=69442
0 comments:
Post a Comment