Pages

Friday, 2 March 2012

Tokoh

Tokoh
Posted by PuJa on March 2, 2012

Djadjat Sudradjat
Lampung Post, 11 Des 2011

TOKOH tak lahir dari papan reklame. Juga tidak dari lembaga-lembaga adat atau agama, lembaga kemasyarakatan atau institusi niaga, yang menahbiskannya lewat upacara yang takzim di panggung yang bergemuruh dan publikasi yang rancak. Tokoh dengan “T” besar justru kerap lahir dari ruang sepi dan publik tak memahaminya seketika. Ia tak meminta, melainkan memberi. Ia pertama-tama meneguhkan “kehormatan” untuk publiknya, bukan untuk dirinya.

Tetapi, tokoh dengan “t” kecil memang bisa lahir dari hasil kepandaiannya menjajakan diri di ruang yang ingar-bingar. Ia bisa membeli ruang dan publik agar “mendaulatnya.” Ia berharap dan berhitung akan sebuah panggung yang tak boleh membuat dirinya jadi tak sesuai. Ia risau jika keringatnya menetes dan sepatunya berlumpur tak tertangkap kamera media. Ia cemas jika makamnya nanti tak cukup dikenang banyak orang.

“Politik popularitas” yang kini tengah jadi rujukan di alam demokrasi kita yang tengah bertumbuh, memang tengah jadi tren di hampir seluruh aktivitas pemilihan. Publikasi dan reklame jadi institusi yang dianggap mampu melegitimasi seseorang layak dipilih, lalu ia diteguhkan melalui survei. Lembaga survei kini bahkan bisa jadi “alat produksi” (t)okoh. Politik kini berlomba “memproduksi” (t)okoh seperti pabrik memproduksi barang-barang manufaktur untuk kemudian dilempar ke pasar. Jika produk industri dalam menjaga kualitas diuji berkali-kali lewat mekanisme uji kualitas yang ketat, pembuktian (t)okoh dalam pemilihan, hanya bisa dilakukan setelah terpilih. Wajar jika kita kerap kecewa.

(T)okoh sejati umumnya tak peduli pada popularitas. Mungkin ia butuh, tetapi tak menempuhnya dengan cara dagang semata. Satu-satunya citra yang ia jaga adalah jika ia berjauhan dengan publik. Jika pun ia berharap ada apresiasi, ia persembahkan untuk publik yang membesarkannya. Sebab, dedikasi untuk sesama (manusia) atau masyarakat adalah dasar bekerjanya. Bukan pada pamrih. Prinsipnya adalah, tak ada “bungkus yang bisa mengalahkan isi”. Artinya, apa pun “bungkusnya”, “isi”-lah yang utama.

Tokoh kini tengah dibicangkan di sini. Siapa mereka, di mana ia lahir, apa yang mereka lakukan, di mana medan “pengabdiannya”, dan di mana dimakamkan? Sebuah perbincangan yang kini mungkin dianggap sementara pihak “aneh”, tetapi sebuah ikhtiar perlulah dihargai. Dari mana pun ikhtiar itu datang. Juga dari komunitas pers, misalnya.

Apakah tokoh dengan “T” (besar) perlu dicari? Jawaban yang tepat, mungkin, “hal-hal baik” termasuk dari (tokoh) itu perlu diwartakan agar –siapa tahu—bisa menginspirasi orang ramai yang galau mencari referensi. Bukankah sejarah juga kerap ditulis dengan banyak versi untuk mencari rekonstruksi yang paling dekat dengan faktanya? Yang pertama bisa jadi untuk kepentingan sejarah itu sendiri; yang kedua, ini yang terpenting, untuk kepentingan manusia melanjutkan kehidupannya.

Bukankah kita juga tengah mempertanyakan apa yang kita perbuat hari ini yang, serbaselebral, permukaan, dan meninggalkan substansi? Mungkin membincangkan tokoh adalah upaya untuk mencari substansi, bukan menghidupkan sesuatu yang telah “mati” orang-orang tertentu. Karena itu, kendati itu datang dari kehendak keluarga dan juga kelompok (tertentu), tetaplah ia perlu jujur dan objektif, dan berorientasi kepada publik yang lebih luas.

***

DI sini (Lampung), di manakah tempat orang-orang seperti Sulaiman Rasyid dan K.H. Rais Latief (kelahiran Lampung Barat), dua ahli fikih mumpuni di Indonesia pada zamannya; K.H. Gholib (lahir di Jawa Timur), ahli agama yang mengangkat senjata di Lampung; Raden Aria Taher Tjindarboemi (putra Lampung Tengah), tokoh pers terkemuka dan sahabat dekat pendiri Boedi Oetomo, Dr. Sutomo, yang terlibat dalam polemik kebudayaan dengan berbagai tokoh terkemuka; Raden Mohamad Mangoendiprodjo (kelahiran Solo) yang berjuang untuk Lampung dan menjadi residen pertama di wilayah ini? Di manakah Haji Abdoel Moeloek (kelahiran Sumatera Barat), yang menjadi “ikon” dunia kedokteran di Lampung; Gele Harun Nasution (putra Batak) yang jadi advokat pertama di Lampung, kemudian mengangkat senjata?

Di mana pula tempat Zainal Abidin Pagar Alam, pemimpin yang tegas, terbuka, dan berkali-kali menjabat bupati di berbagai daerah dan kemudian gubernur provinsi ini? Di mana tempat Tan Beng Seng (kelahiran Kotabumi), pengusaha berdarah Tionghoa tapi nasionalismenya tinggi dan menjadi pemasok logistik untuk para pejuang di Lampung? Di mana tempat Zulkifli Warganegara (kelahiran Natar), “tukang insiyur” pertama di Lampung –yang mengangkat senjata – dan menjadi inspirasi generasi sesudahnya meraih titel serupa?

Di mana tempat Hilman Hadikusuma (kelahiran Lampung Utara), yang mendedikasikan hidupnya pada dunia ilmu, profesor hukum adat yang mumpuni dan buku-bukunya jadi rujukan di banyak fakultas hukum di Indonesia? Di mana pula tempatnya manusia berdededikasi seperti Ny. Masnuna yang berkhidmat menggeluti sastra lisan Lampung, yang tak menarik bagi banyak orang? Di mana Imron Rosadi, “suhu” angkat besi/berat yang telah melahirkan begitu banyak atlet berkelas? Di mana Surono Danu, penemu benih padi unggul Sertani 1, yang hidupnya spartan itu? Deretan pertanyaan itu bisa amat panjang.

Biarlah tokoh punya banyak versi sejauh itu memang dibuat bagi sebuah jalan mencari substansi yang akan dipersembahkan bagi banyak orang. Beri tempat bagi siapa saja untuk mendokumentasikannya sejauh kriterianya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Termasuk yang dilakukan Lampung Post lewat buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung (2008). Ia boleh jadi tak sempurna, tapi bukan jalan sesat yang harus diberangus dan dinegasi. Toh, ada banyak pihak yang mendapat banyak inspirasi darinya.

Sekali lagi tak ada versi tokoh yang sempurna. Termasuk tokoh para penerima Hadiah Nobel yang dianggap amat prestisius itu. Juga buku Michaeal H. Hart yang mendunia (Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (1978): ada protes di sana. Bukankah sekian banyak buku para ahli juga menyulut debat yang tak putus-putus. Begitulah hakikat ilmu: berkembang karena selalu ada pergumulan tesis, antitesis, dan sintesis.

Sebuah versi (tokoh) adalah sebuah gagasan. Secara ekstrem penulis Elbert Hubbard mengatakan, “Sebuah gagasan yang tidak berbahaya sama sekali tidak pantas disebut gagasan.” Terlebih, buku 100 Tokoh Terkemuka Lampung tak berbahaya dan tak menyesatkan. Ia mungkin–serupa produk pers—bukanlah kebenaran, melainkan sebuah upaya mencari “kebenaran”. Setidaknya, ia bermanfaat sebagai informasi awal bagi banyak pihak (khususnya sejarawan atau siapa pun) di Provinsi Lampung yang ingin “mencari” para pelaku “cerita” di banyak bidang: tokoh atau bukan. Setidaknya, ia telah menjadi barang cetakan yang tersedia dan portable (bisa dijinjing ke mana suka), membantu kerja selanjutnya.

Bagaimana orang-orang yang hanya menumpang lahir tapi berkiprah di luar Lampung (nasional ataupun internasional)? Ah, mestinya dalam konteks kebangsaan, orang-orang seperti ini sudah otomatis diakuinya dengan kearifan dan rasa hormat. Bukankah orang-orang Lampung semestinya berterima kasih kepada tokoh-tokoh ini, yang karena “tugas” (terlebih lagi tugas negara), tak sempat secara fisik “berjuang” di tanah kelahirannya. Tetapi, di mana pun ia, setidaknya inspirasinya terus bergema bagi kita semua.

Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2011/12/refleksi-tokoh.html

[Perempuan] Inggit Putria Marga

[Perempuan] Inggit Putria Marga
Posted by PuJa on March 2, 2012

Frans Ekodhanto
Koran Jakarta, 14 Agu 2011

PEREMPUAN ini lebih memilih puisi karena sangat misterius. Menurut dia, puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.

Di kamar hotel 317 yang terletak di salah satu jantung Kota Palembang, beberapa waktu lalu, Inggit berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang proses kreatifnya. Dari bibirnya yang basah, terucap rangkaian cerita pada masa kecil hingga menjadi penyair papan atas.

“Sebenarnya saya suka dengan karya sastra sejak kecil. Saya hidup di lingkungan keluarga yang banyak menjadi guru bahasa Indonesia,” ujar dara kelahiran Lampung, 25 Agustus 1981, ini.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia gemar membaca buku-buku sastra lama Indonesia, seperti karya Marah Rusli dan Sultan Takdir Alisabana. Buku-buku tersebut membuatnya mulai tertarik dengan sastra Indonesia, terlebih ketika menemukan cerita yang terkadang membuatnya terhanyut dalam aliran cerita. Sebuah cerita yang membawanya pada khayalan, selanjutnya membuatnya hadir dan hidup dalam cerita.

Tak mengherankan jika ia gandrung dengan pelajaran bahasa Indonesia, khususnya mengarang. Lewat pelajaran bahasa Indonesia itu pula ia menemukan pelajaran menganalisis puisi di bangku SMP dan SMA. “Sejak saat itulah saya mulai menyukai sastra,” cetus dia.

Namun, saat melanjutkan sekolah ke jenjang pendidikan tinggi, pililihan kuliahnya di Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Walau begitu, ia tetap berusaha konsisten dengan kata hatinya untuk menggeluti dunia sastra. Karena itu, ia mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni pada divisi teater dan sastra.

Di sana ia mulai belajar dan berkenalan dengan penyair-penyair Lampung. “Memang saat itu saya masih kroco, namun sejak saat itu pulalah saya mulai kenal dengan penyair-penyair Lampung dan mulai mengikuti diskusi demi diskusi, workshop, dan mulai menulis serta kirim karya ke media,” jelas perempuan yang pernah menyandang juara satu Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.

Intinya, Inggit mengenal sastra dan mempelajarinya sejak SD, SMP, SMA, akan tetapi memulai menulis puisi secara serius sejak kuliah. Waktu itu, kali pertama karyanya dimuat di media lokal Sumatra, seperti Lampung Post dan Sumatera Post.

Selama proses kreatif, ia lebih banyak menulis puisi dan sesekali menulis cerpen. Ia lebih memilih puisi karena baginya, puisi sangat misterius. Puisi mengundang banyak persepsi, tafsir, lebih menantang, dan lebih menuntut kompleksitas.

Pun tentang cara penyampaian dengan segala peraturan yang dimiliki puisi. Semacam kalimat yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu singkat, tetapi masih memiliki kekayaan makna, persepsi, dan interpretasi.

Kesulitan

Meski demikian, sama dengan penulis pemula lainnya, ia juga kerap menemukan kesulitan demi kesulitan, terlebih ketika memulai menulis. Beberapa kesulitan itu ialah cara menulis puisi itu sendiri (konsep), memilih judul yang baik, memakai kata-kata (diksi) yang bisa mewakili isi pesan, tanda baca, serta awalan dan akhiran yang secara keseluruhannya juga harus dipelajari.

“Hal-hal itulah yang kemudian membuat saya nyaman dengan puisi. Yang pasti, ketika menulis puisi, saya menemukan sebagian dari diri saya dalam puisi tersebut, dan saya bahagia ketika menulisnya. Dengan menulis puisi, diri saya seperti hidup,” tandasnya.

Selain menulis puisi, Inggit melakukan proses kreatif seni dan sastra lainnya. Sebagai contoh, semasa kuliah, ia sempat mentas teater, tur keliling Sumatra, juga sempat pentas di TIM (Taman Ismail Marzuki, Jakarta). Tapi ketika main teater, ia merasa ada sesuatu yang tidak terekspesikan, dan itu bisa terekspresikan ketika menulis puisi. Artinya, ia lebih mendapatkan kepuasan ketika menulis puisi ketimbang main teater.

Setelah 10 tahun berproses, mulai dari tahun 2000 hingga 2010, akhirnya Inggit membuat antologi puisi tunggal. Ia mengemas beragam tema sedemikian rupa dengan judul besar Penyeret Babi. Respons konkret yang ia dapatkan dari antologi puisi tersebut adalah sebuah penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010.

Meski nama Inggit telah melambung hingga dipercaya mengisi acara-acara sastra ke pelbagai negara, ia tetap seorang perempuan yang rendah hati. Setidaknya, itu tecermin saat menyikapi dikotomi antara penyair senior dan junior yang terjadi sejak dulu.

Dikotomi tersebut juga pernah ia alami ketika baru menggauli puisi. Sekitar tahun 2005-2006, ia dan beberapa kawan sempat disebut sebagai penyair ilegal karena belum memiliki KTP kepenyairan (antologi puisi tunggal).

Karena itu, menurut dia, dikotomi sebaiknya diabaikan. Apalagi jika parameternya adalah umur. Sebab, meskipun seseorang telah berkarya bertahun-tahun, jika puisinya tidak bagus, secara artistik, estetik, kepenulisan, dan lainnya tidak memenuhi syarat, puisinya layak dikatakan tidak bagus.

Akan tetapi apabila ada penyair yang masih balita namun karyanya bagus, mau tidak mau penyair tersebut harus diakui, terlebih secara kekaryaan dan tidak boleh dijegal-jegal. “Artinya ketika kita ingin melihat seseorang (penyair), tentu kita juga harus melihat karyanya, bukan melihat background-nya,” pungkas Inggit. frans ekodhanto

Mencari Kesempurnaan

Berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun. Inggit Putria Marga memilih jalan hidupnya sebagai penyair. “Jalan hidup saya adalah puisi. Saya berharap karya saya bisa lebih sempurna, bisa lebih tidak serupa dengan karya yang sebelumnya. Karena kalau tidak berubah, itu artinya sama saja kita tidak hidup,” tandas dia.

Ia berharap karyanya tidak seperti gelembung sabun yang banyak, selanjutnya meledak, hanya menghadirkan kehampaan demi kehampaan saja. “Maka untuk mengisi kehampaan tersebut, tidak perlu buru-buru, harus ada proses yang intens, baik dengan diksi, tema, dan dengan hal-hal lainnya,” tuturnya.

Selain sibuk menulis puisi, Inggit rajin menghadiri kegiatan-kegiatan sastra, baik yang diadakan di dalam negeri maupun luar negeri. Beberapa waktu lalu, misalnya, ia hadir dalam ajang Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V), Palembang. Tahun lalu, ia juga hadir sebagai pembaca puisi dalam sebuah festival di Pangkor, Malaysia, dalam acara Festival Puisi Antarbangsa.

Menurut dia, kegiatan semacam itu bisa mempererat silaturahim antar penyair. “Lebih dari itu, penyair bisa saling berbagi pengalaman tentang kondisi perpuisian di daerahnya serta proses kreatif para penyair itu sendiri,” ujar dia.

Proses kreatif setiap orang tentu berbeda antara satu dan lainnya. Menurut dia, setiap orang punya peraturan dan tingkat kesempurnaan puisinya masing-masing. “Kalau saya sendiri, terlebih pada saat sekarang ini, ketika menulis puisi untuk menghasilkan satu karya saja membutuhkan waktu yang lama. Bahkan puisi saya yang mulai ditulis sejak Mei 2011, sampai dengan sekarang belum tunai,” jelas Inggit.

Di sela-sela menekuni dunia sastra, lulusan Fakultas Pertanian Lampung ini punya hobi menjalani kehidupan nyata, yaitu bertani. Kegiatan ini memberikannya kesempatan menerapkan apa yang pernah dipelajarinya di bangku kuliah.

Inggit Putria Marga

Tempat, tanggal lahir : Lampung, 25 Agustus 1981
Karier : Menulis puisi
Hobi : Bertani
Pendidikan : S-1 Universitas Lampung

Prestasi:
5 Besar Anugerah Khatulistiwa Literary Award 2010
100 Puisi Terbaik Indonesia-Pena Kencana 2010
60 Puisi Terbaik Indonesia 2009
Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata 2005.
Juara 1 Pekan Seni Mahasiswa Nasional 2004.
Juara 2 Festival Krakatau 2004

Riwayat Festival:
Festival Puisi Antar Bangsa-Pulau Pangkor, Perak, Malaysia, 2010
Ubud Writers Festival, 2009
Festival Sastra Internasional di Utan Kayu, 2005

Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2011/08/perempuan-inggit-putria-marga.html

Dicari: Rektor Bervisi Budaya

Dicari: Rektor Bervisi Budaya
Posted by PuJa on March 2, 2012

Udo Z. Karzi
Lampung Post, 3 Agu 2011

UTOPIA! Ya, begitulah saya memberanikan diri menulis tentang kemustahilan. Tapi, betapa pun sia-sianya melontarkan ide ini—sebagaimana ketika saya coba uji tanya gagasan ini kepada rekan-rekan—artikel ini tetap harus ditulis. Walaupun hasilnya cuma munggak-medoh alias ngalor-ngidul. Hahaa. Setidaknya untuk memberitahu pihak Universitas Lampung (Unila) bahwa ada yang terasa janggal ketika Unila menggagas universitas kelas dunia.

***

Apa boleh buat, Senat Unila telah menetapkan tiga nama calon rektor Unila periode 2011—2015 pada rapat tertutup di Gedung Rektorat, 27 Juli 2011. Tiga calon tersebut adalah Sugeng P. Harianto, Wan Abas Zakaria, dan Paul Benyamin Timotiwu. Ketiganya, apa boleh buat, berasal dari Fakultas Pertinian. Sugeng, rektor Unila saat ini, meskipun sempat menjadi dekan FMIPA, sejatinya ada staf pengajar di Fakultas Pertanian. Wan Abas, dekan Fakultas Pertanian. Lalu, Paul adalah staf pengajar Fakultas Pertanian.

Agaknya, harapan Syarief Makhya (Lampung Post, 26 Juli 2011) akan adanya pertarungan gagasan dalam persaingan di antara calon rektor Unila seperti membentur dinding kosong belaka. Rapat Senat Universitas yang tertutup, calon yang relatif homogen (dari Fakultas Pertanian), dan sulitnya akses sivitas akademika Unila untuk memengaruhi atau minimal mengawasi jalannya pemilihan rektor; membuat “pertarungan gagasan” yang dimaksud sulit berkembang. Kalaupun terjadi, hanya di lingkup kecil Senat Unila. Tidak sampai mewacana di kampus, apalagi ke luar kampus.

Saya melihat (semoga saya salah) tengah terjadi apatisme yang luar biasa dalam diri Unila. Setidaknya, hingga saat ini opini Syarief Makhya tidak mendapat tanggapan berarti dari warga Unila, baik dosen maupun mahasiswa. Boleh dibilang, pemilihan rektor sebagai sebuah rutinitas belaka seperti disinggung Syarief menemui realitasnya. Pemilihan rektor ya lumrah saja, biasa saja, tidak ada istimewanya, dst.

***

Kembali ke judul artikel ini, sebenarnya tulisan ini kelanjutan dari esai saya sebelumnya, Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung? (Lampung Post, 8 April 2006) yang menggagas perlunya Unila mendirikan Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra, yang di dalamnya termasuk Jurusan Sastra Lampung. Jadi, inilah artikel daur ulang saja mengenai apa yang seharusnya dimiliki, dilakukan, dan dikembangkan di Unila.

Dengar-dengar Unila telah menetapkan visi menjadi 10 perguruan terbaik di Indonesia dan juga hendak go international dalam skema World Class Research University (WCRU). Saya tidak hendak mempermasalahkan mengapa 10 terbaik dan mengapa harus go internasional. Payulah sangon zamanni. Tapi, saya hanya mengherankan bagaimana mungkin Unila menjadi terbaik dan mengglobal, tetapi melupakan diri sendiri (kehilangan identitas)? Kebudayaan Lampung! Bukankah sebagai pusat kebudayaan, Unila (kependekan dari Universitas Lampung) mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keilmuan tentang Lampung dan kelampungan?

***

Artikel ini juga terilhami oleh sebuah pertemuan. Suatu kali, tepatnya Jumat malam, 8 Juli 2011, saya dan budayawan yang juga staf pengajar Fakultas Teknik Unila Anshori Djausal diajak dosen FISIP Arizka Warganegara bertemu dengan rombongan Persatuan Sejarah Malaysia (PSM) di sebuah hotel di Bandar Lampung. Yang saya dengar, rombongan PSM ini melakukan napak tilas sejarah Melayu di Sumatera yang terbentang mulai dari Lampung hingga D.I. Aceh setelah mengikuti Kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Konferensi Nasional Sejarah IX di Jakarta, 5—8 Juli 2011.

Napak tilas, tentu hal yang serius. Akan halnya Lampung, agaknya hanya negeri numpang liyu (numpang lewat) belaka dalam lintasan sejarah Melayu tersebut. Rombongan toh tiba malam dan istirah sejenak untuk paginya melanjutkan perjalanan ke Palembang, Sumatera Selatan. Untuk sekadar tahu tentang kemungkinan ada jejak Melayu di Lampung, mereka minta bertemu beberapa orang yang “dianggap” tahu, kebetulan yang bisa ketemu malam itu saya, Anshori Djausal, dan Arizka Warganegara.

Maka, berceritalah kami tentang bahasa, sastra, dan budaya Lampung. Tentang hubungan Melayu dengan Lampung. Tentang kekhasan budaya Lampung. Tentang betapa banyaknya seniman, terutama penyair yang telah mengharumkan Lampung. Tentang betapa tingginya peradaban Lampung karena memiliki bahasa dan aksara sendiri. Bagaimanakah bahasa Lampung, saya sodorkan buku puisi Lampung saya, Mak Dawah Mak Dibingi. Seperti apakah aksara Lampung, saya coba tuliskan beberapa huruf Kaganga yang saya ingat.

Sedikit dialog.

“Lampung punya universitas?”

“Ada, nama Universitas Lampung (Unila).”

“Punya Jurusan Sejarah?”

“Oh, tidak ada. Unila tidak punya Jurusan Sejarah. Tidak punya Fakultas Ilmu Budaya atau Fakultas Sastra yang mempunyai Jurusan Sejarah, Jurusan Antropologi, Jurusan Sastra Lampung, dan lain-lain. Adanya Pendidikan Sejarah dan Pendidikan Bahasa dan Sastra Lampung di FKIP.”

“Di Fakultas Pendidikan?”

“Ya, Pak.”

“Bagaimana Unila bisa mengembangkan kajian sejarah dan kebudayaan?”

“Oh, Unila punya Pusat Studi Budaya Lampung, kok.”

“…???”

“Kajian tentang budaya Lampung, sejarah, manusia Lampung, sangat minim.”

Saya ingat komentar simpatik Abdullah Zakaria Ghazali yang kebetulan duduk di samping kiri saya. “Berat. Perlu kerja keras…,” kata guru besar sejarah Universitas Malaya itu.

Sepulangnya dari pertemuan, di benak saya yang terpikir hanya satu: Kapan ya Unila mulai mengembangkan kebudayaan (Lampung) secara lebih terlembaga dalam wadah yang bernama fakultas. Jawabnya sampai sekarang masih, “Mimpi kali, ye!”

***

Menjelang pemilihan rektor Unila, saya merasa perlu mengapungkan kembali gagasan ini. Maka, saya tulis “Dicari: Rektor Bervisi Budaya!” Suatu kali Rektor Unila Sugeng P. Harianto diwawancarai Lampung Post (28 Juni 2009) tentang kemungkinan mendirikan Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya, bahkan Fakultas Filsafat untuk membangun dinamika pemikiran di (Universitas) Lampung, dia menjawab singkat, “Belum. Kita tengah melakukan penguatan kelembagaan Unila.”

Bagaimana kalau hal yang sama ditanyakan kembali kepada calon rektor Unila? Entahlah….

Udo Z. Karzi, Tukang tulis, alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila
Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2011/08/dicari-rektor-bervisi-budaya.html

Perjalanan Puitik Dahta Gautama

Perjalanan Puitik Dahta Gautama
Posted by PuJa on March 2, 2012

Febrie Hastiyanto *

http://www.analisadaily.com/

Banyak tempat yang puitik, tempat yang darinya dapat lahir puisi-puisi yang indah sekaligus menggugah. Bagi seorang penyair, tempat yang puitik bisa berada di mana saja: di taman, di sekolah, kebun binatang, mal, terminal atau jalan. Jalan atau jalanan memang identik dengan puisi. Tak sedikit penyair yang memulai karier kepenulisannya dari jalan(an).

Persada Studi Klub (PSK), komunitas sastrawan yang diasuh Umbu Landu Paranggi misalnya kerap nongkrong di kawasan (Jalan) Malioboro Jogja. Dari rahim PSK lahir sejumlah sastrawan terkemuka tanah air macam Emha Ainun Nadjib termasuk penyanyi balada Ebiet G. Ade. Jalan dan jalanan memang memberikan ruang yang penuh kontemplasi sekaligus paradoks dan biasanya pula penyair menggemari realitas ini.

Berbeda dengan PSK sebagai komunitas yang alumninya produktif melahirkan karya saat komunitas ini masih eksis antara tahun 1969 hingga 1977, Dahta Gautama penyair kelahiran Hajimena Lampung Selatan 37 tahun lalu ini, seorang pejalan kaki yang sunyi. Seorang diri Dahta Gautama muda kerap memburu puisi di sejumlah ruas jalan di Bandar Lampung, semenjak Jalan Raden Intan, Jalan Malahayati, Jalan Kartini atau Jalan Teuku Umar yang seringkali berakhir di Pasar Seni (Enggal?). Dalam keramaian Dahta meresapi kesunyian – sesungguhnya laku ini sudah puitik; memaknai perasaan kaku, gugup, gelisah, rendah diri, sulit bergaul dan insomnia yang dideritanya.

Dalam penyakit psikis yang diakui Dahta menderanya saat remaja ini justru terlahir banyak puisi. Melalui puisi pula Dahta hendak berkabar, banyak hal terjadi terhadap dirinya dan kesemuanya ia potret dari jalan. Puisi-puisi itu sebagian kemudian diterbitkan dalam Ular Kuning: Sajak-Sajak Pilihan (Pijar Media, Juli 2011).

Puisinya Belati di Jakarta misalnya, begitu kuat memotret realitas jalanan di Jakarta. Memotret, karena dalam banyak puisinya Dahta menggunakan metode bercakap-cakap dengan pembacanya. kau torehkan belati di pipiku/ sebagai kenang-kenangan bahwa kita/ pernah bertemu dan bersahabat/ di Tanah Abang. Kegetiran belati yang diacungkan kepada seorang pejalan kehidupan di Jakarta ditulis Dahta tanpa pretensi amarah dan dendam. Dahta justru menulisnya secara bersahabat, sebagai tanda perkenalan. Dahta melanjutkan kisahnya dengan lancar: ketika itu kita bertengkar soal Tuti/ pelacur yang ketiaknya bau bedak kantil/ kita tak pernah peduli, ternyata Tuti/ bukan perempuan Madura/ rasanya pun biasa-biasa saja. Sedikit rasis, namun Dahta mengolok-olok dirinya sendiri dan pembaca yang kerap ke lokalisasi. Tak perduli Ramuan Madura sebagaimana kata iklan di televisi karena “rasanya pun biasa-biasa saja”. Kalau kita panjangkan, Dahta hendak mengatakan kepada pembaca: kalau begitu, mengapa masih juga kau datang ke sana?

Tak hanya soal-soal menggetarkan dari jalanan yang identik dengan kekerasan dan kriminalitas, Dahta pun mampu menyuguhkan realitas puitik dari jalanan secara apik. Puisinya yang lain lagi, Khimaci di Showa Kinen menggambarkan renik kehidupan di Taman Showa Kinen Tokyo dengan apik. Sebab puisi ini pula Dahta diganjar Pena kencana Award sebagai Puisi Terbaik Indonesia Tahun 2008. Katanya kepada pembaca: Showa Kinen bertabur lili/ jalan-jalan merintih. Konon taman ini dibangun/ dewa matahari. Dan gadis kecil itu adalah Khimaci/ ia kekasih abadi lelaki, yang pernah punya luka belati.

Sebagai orang yang sedang kasmaran dan menggubahnya menjadi puisi, Dahta masih menambahi: Khimaci, beri aku mawar/ sebagai penawar/ dan Showa Kinen sebagai mata kita/ ia telah mengungkap pengembaraanku ke kota-kota penuh taman. Tak ada catatan apakah Dahta sungguh pernah mengunjungi Tokyo dan menjejak Taman Showa Kinen, namun Dahta mampu mendeskripsikan Tokyo secara meyakinkan. Kereta-kereta listrik, Pendeta Budha di Kelenteng Bhoghaca, Pasar Khoyota, Paman Khobata adalah tempat, nama dan identitas yang dapat membawa asosiasi persepsi publik pembaca di tanah air terhadap Jepang. Kata-kata ini bertabur dalam Khimaci di Showa Kinen sebagai ikhtiar Dahta untuk meyakinkan pembacanya.

Seperti halnya jalan(an) yang menyimpan paradoks, sebagai penyair Dahta pun berada pada kondisi yang sama. Selain fasih bertutur mengenai realitas puitik di jalan(an), Dahta juga mampu menyajikan puisi yang memikat tentang rumah dan kehidupan di dalamnya. Meskipun lelah memburu puisi di jalanan, pada rumahlah Dahta kembali dan bersarang, dan darinya pula tercipta puisi. Puisi Catatan Harian Halaman: 2008, Habis menceritakan realitas rumah yang penuh dengan kebahagiaan dalam kesahajaan. Kumulai hari ini dengan bangun pagi/ sikat gigi dan nyanyi di kamar mandi./ ketika ingin menulis puisi/ istriku dari kamar berteriak:/ beras di kaleng, tinggal setengah/ terasi dan ikan kering, habis! Tanpa perlu memperdebatkan kriteria kemiskinan pada konsumsi 2.100 kalori, atau pendapatan 2 dolar Amerika Serikat satu hari, realitas ini sesungguhnya sehari-hari terjadi dalam banyak rumah tangga kita. Dahta mampu mengemasnya secara jenaka, tak menertawai kemiskinan namun menghayatinya dengan rendah hati. pada selembar terakhir buku harian/ aku tulis kata-kata serupa doa:/ Tuhan, mengapa engkau ciptakan banyak tikus/ bersarang di loteng rumahku/ bila malam, tikus-tikus itu turun dan mencuri banyak makanan. Dahta mengakhiri puisinya secara manis dengan mengatakan: Tuhan, aku mohon padamu sekali lagi/ beri aku beras, sayuran, ikan kering, air di sumur/ makanan untuk sebulan/ dan jadikan aku manusia.

Kepada orang-orang terdekatnya, Dahta mengucapkan terimakasih melalui puisi. Ingin kucium lehermu/ sambil kubangun fantasi, dongeng/ purba. Bahwa kelak engkau melahirkan batu./ mari bercumbu, istriku/ berbulan madu dengan ciuman/ yang hanya sesaat saja/ di tengah air mata dan luka ini/ setelah engkau melahirkan/ seorang perempuan/ baru kutahu/ ia ternyata anak, yang kelak/ aku beri nama: sajak. Puisi ini diberi tajuk Istri dan Sajak menggenapi puisi yang lain lagi soal rumah dalam Rumah Penyair. Rumah ini tanpa halaman/ selalu saja ada orang-orang/ bercakap-cakap di dalamnya/ sebagai perjamuan sunyi. Dahta mengakhiri puisinya dengan sajak pendek-pendek: di depan rumah/ ada jalan raya/ dilewati orang-orang/ yang merantau di dunia kecil ini.

Melalui puisi Dahta ingin mengabarkan kebahagiaan yang dihadirkan jalan(an), rumah dan orang-orang di dalamnya dalam kesahajaan. Teknik bertutur Dahta mengalir lancar, namun pada beberapa puisi teknik ini membuat puisi yang ditulisnya tak efektif dalam masing-masing larik. Puisi Ular Kuning yang dijadikan judul kumpulan puisinya justru ditulis secara panjang-lebar dan menjadi tak ringkas sebagaimana puisi-puisi yang lazim kita kenal, bahkan bila Dahta meniatkannya sebagai prosa atau puisi prosaik sekalipun, Ular Kuning tampak terbata-bata menempatkan estetika dirinya. Beberapa larik Ular Kuning yang sesungguhnya masih dapat dipadatkan sehingga ringkas dan kuat misalnya: pernah ketika masih kanak, nenek dan ayah memukul pantatku dengan ranting tritis. makanya aku tak pernah mempercayai bahwa rasa sakit bisa mengakibatkan kematian. Atau larik yang lain lagi, seperti: ayah dan nenek melarangku berbicara tentang ular kuning/ yang kutemui di semak-semak di samping rumah kami./ mereka bilang, aku tak boleh depresi seperti kakek/ akan menyusahkan karena harus ke rumah sakit jiwa/ setiap hari rabu. Dahta melanjutkan berpanjang-panjang dalam bertutur, seperti larik: nenek bisa mengatur agar kakek tidak terlalu banyak minum kopi./ alasannya, karena setelah itu kakek selalu meracau/ membaca syair yang ditulisnya bermalam-malam.

Sebagai terbitan, Ular Kuning tampak disunting terburu-buru. Masih ada kata-kata tak baku maupun kesalahan penulisan tanda baca yang terlewat oleh penyunting. Kata “kerab” (maksudnya mungkin “kerap”), “prilaku” atau “kedasyatan” atau “merefresentasikan” masih bertabur dalam Ular Kuning. Begitu juga penulisan “di” sebagai kata yang menunjukkan tempat masih banyak ditulis tanpa dipisah dengan kata di belakangnya. Termasuk riwayat penerbitan masing-masing puisi yang tersebar di sejumlah media nasional, regional maupun lokal tak dicantumkan sehingga pembaca yang tak mengenal karya-karya Dahta akan merasa ahistoris membaca bukunya ini. Meski demikian, kalau kita sepakat mengabaikan kekurangtelitian ini, Ular Kuning pantas menjadi referensi untuk dibaca sebagai bekal menghayati jalan, jalanan dan perjalanan serta rumah dan kehidupan di dalamnya. Bukankah sesungguhnya kita adalah pengguna jalan dan pada akhirnya kembali ke rumah masing-masing?

*) Penulis adalah pembaca buku dan penikmat puisi. Tinggal di Tegal Jawa Tengah. /11 Des 2011

Ketika Kembang Mencintai Ngarai

Ketika Kembang Mencintai Ngarai
Posted by PuJa on March 2, 2012

Tarpin A. Nasri

http://lampungpost.com/

TERNYATA tidak mudah untuk memetik cinta Gunung Geulis. Jatuh bangun aku memburunya, bahkan hatiku sampai berdarah-darah dibuatnya, tapi cinta yang ingin kudapat dari Gunung belum juga bisa kupetik. Sikap Gunung merampok seluruh kepenasaranku, karena cintaku diterima juga tidak, ditolak pun tak jelas. Ngambang. Tak pasti. Anehnya, kalau Gunung kuajak nonton pertunjukkan teater di TIM atau di Salihara, menikmati konser jazz di Balai Sarbini atau di Jakarta Convention Centre, nonton ketoprak humor di Gedung Kesenian Jakarta, dan berburu buku baru di Gunung Agung, sampai belanja pakaian di Sogo, Gunung tak pernah menolak, bahkan ketika kuajak berkenalan dengan keluargaku di Yogyakarta, Gunung juga menyambutnya dengan senang hati. Hanya ketika kutembak guna minta kepastian cinta Gunung untuk siapa, Gunung tak juga mau menjawab. Mulut Gunung rapat terkunci, di layar mata dan di lintasan wajahnya tak juga kutemukan cinta mengombak dan menampakkan jati dirinya.

Mendapati kenyataan yang seperti itu, jujur saja, aku jadi ragu antara terus maju atau step by step mundur. Akhirnya setelah kupertimbangkan lebih dari dua bulan, aku memutuskan untuk menjaga jarak saja dengan Gunung. Antara mengejar atau menyerang dengan menunggu atau mempelajari perkembangan yang terjadi, porsinya imbang. Terus terang saja hal itu kulakukan karena aku masih menaruh harapan dengan cinta Gunung.

“Gimana progress percintaanmu dengan Gunung, Ngarai Elok?” tanya sahabatku Laut Biru saat kami makan siang di jam istirahat kerja.

Aku menunda menyuapkan nasi ke mulutku. Aku angkat bahu dengan wajah berkabut.

“Maksudmu gimana, Ngarai?” tanya Laut Biru. “Kok angkat bahu?”

“Tak ada kemajuan yang signifikan, Laut Biru,” jawabku. “Cintaku diterima juga tidak dan ditolak pun tidak oleh Gunung,” lanjutku. “Hanya bila kuajak ke mana pun, Gunung tak pernah menolak, dan Gunung juga selalu punya waktu untukku.”

“Terus gimana dong langkah selanjutnya?” kejar Laut Biru.

“Wait and see sajalah dulu,” jawabku. “Mungkin dengan demikian akan ada yang berubah ke arah yang lebih jelas dan lebih pasti. Kebetulan juga kini banyak yang harus aku kerjakan, sehingga ingatanku dari sejak bangun tidur sampai tidur lagi tak terus-terusan kepada Gunung seorang.”

“Okey jika itu yang terbaik buatmu, Ngarai,” jawab Laut Biru. “Aku selalu siap membantu jika kau butuhkan, Sob. Okey?”

Aku mengangguk. “Thanks, Bro,” jawabku, lalu kami melanjutkan makan sampai selesai.

***

AKHIRNYA aku benar-benar menanti dan melihat apa yang terjadi dengan Gunung. Ketika Gunung jalan dengan Bukit Topan, meski aku kecewa dan sedih, aku harus legowo. Gunung berhak memilih pria terbaik untuk hidupnya. Apalagi kutahu, bagi Gunung menikah itu hanya terjadi sekali untuk seumur hidup. Bahkan ketika Awan Langit melakukan pedekate dan kemudian menembak Gunung, aku juga menyikapinya dengan menghibur diri, “Kalau Gunung jodohnya Ngarai, Gunung tak akan jatuh ke dalam pelukan siapa pun.”

Ketika seminggu kemudian kami janjian untuk makan siang, santai saja aku menunjukkan sikapku. “Akhir-akhir ini, maaf, aku melihat kau banyak didekati, bahkan ditembak oleh mereka, yang ingin menjadikanmu pacar, bahkan mungkin istri,” kataku. “Kuharap Gunung bisa memilih salah satu yang terbaik untuk hidupmu….”

Gunung mengangguk. “Sejauh ini belum ada satu pun yang aku pilih, aku masih mengejar karierku, dan aku juga masih belum ingin berumah tangga. Semua laki-laki yang pedekate kepadaku masih kuanggap sebagai teman biasa. Jadi, belum ada salah satu yang kuistimewakan.”

“Tak ditakut disebut wanita yang suka gonta-ganti pria?” pancingku.

“Kukira aku enggak gonta-ganti laki-laki. Dengan siapa pun aku berteman.”

“Tak takut dengan usia yang terus berjalan?” tantangku.

“Aku wanita normal, dan aku juga ingin menikah, punya anak, lalu jadi ibu rumah tangga,” jawab Gunung. “Tapi sampai detik ini belum ada laki-laki yang mencuri hatiku dan belum ada pria yang berhasil menggetarkan cintaku. Terus kalau faktanya begini mau diapakan, Ngarai? Apa aku salah bersikap jujur seperti ini?”

Aku menggeleng. “Jika itu yang terbaik untukmu saat ini, lakukanlah dengan enjoy,” kataku. “Siapa Arjuna yang terbaik untukmu, hanya kamu yang tahu. Dan kapan kau harus mengakhiri masa lajangmu, kamu juga yang mutusin, bukan orang lain dan bukan pula orang tuamu kukira.”

“Kamu sendiri gimana, Ngarai?” tanya Gunung balik bertanya. Aku gugup, karena aku tak menduga akan dapat serangan pertanyaan seperti itu. “Sudah ada Juliet yang kau pilih?”

Sejenak aku diam dan dalam hati kemudian aku bicara, “Kamulah Juliet yang kupilih, Gunung. Apakah kau tidak tahu? Apa kamu pura-pura tidak mengerti?”

“Lho ditanya kok diam?” desak Gunung. “Kenapa? Salahkah pertanyaanku?”

Aku menggeleng, lalu tersenyum untuk menyamarkan kecewa. “Tak ada yang salah dengan pertanyaanmu, Gunung.”

“Jadi jawab dong kalau begitu?”

“Aku sudah berusaha semaksimal mungkin mencari jodoh yang terbaik untukku, tapi sampai detik ini aku belum menemukan jodohku. Kalau dengan wanita yang kukehendaki, Tuhan sudah mempertemukannya….”

“Siapa wanita itu, Ngarai?” potong Gunung. “Akukah wanita itu?”

Aku tersenyum. Lalu aku ngeles. Takut cintaku pada Gunung bertepuk sebelah tangan. “Mari kita lanjutkan makannya, Gunung?”

***

KARENA kulihat cinta Gunung belum jelas entah untuk siapa, aku jadi punya ide menggandeng Kembang Wangi yang kuskenariokan seolah-olah jadi pacarku untuk memancing reaksi Gunung: Apa Gunung memberi perhatian atas kebersamaanku dengan Kembang Wangi?

Sial! Sampai sejauh ini Gunung enjoy saja, bahkan Gunung sempat mengucapkan selamat via es-em-es tanpa meraba desir sedih dan robekkan kecewa di hatiku: “Selamat dan sukses atas keputusan Ngarai yang telah memilih Kembang Wangi sebagai kekasih”. Dan di lain waktu ketika kami tepergok makan siang di sebuah kafe di selatan Jakarta, tak lama kemudian Gunung kirim e-mail yang membuatku nyaris putus asa: “Aduh…semakin asyik dan lengket saja nih sejoli cinta Ngarai Elok Sakti-Kembang Wangi. Kapan nih tunangannya? Jangan lupa Gunung diundang ya?”

Atas dasar itu, aku kemudian memutuskan untuk tidak menunggu-nunggu Gunung, apalagi Gunung kini kulihat sering dikawal makan siang dan diantar pulang kantor oleh Bintang Kejora. Mendapati kenyataan pahit di luar skenarioku, aku frustrasi bukan main, sehingga semangat kerjaku drop, pikiranku kacau, dan kerjaku banyak yang berantakkan. Akhirnya dari pada merusak semuanya, aku putuskan untuk ambil cuti dulu. Otak, pikiran, dan perasaanku heng….

Di saat aku menghilang itulah, Gunung deras kirim es-em-es ke handphone-ku dan e-mail Gunung juga menyerbu laptop-ku. Gunung bertanya: kenapa aku menghilang, di mana aku berada, dan sampai kapan sembunyi. Di lain pihak Kembang Wangi juga menguberku dan minta aku bertanggung jawab. Ternyata Kembang Wangi mencintaiku. Witing tresno jalaran soko kulino. Kebersamaannya bersamaku telah menumbuhkan cinta suci. Sementara cinta matiku justru kepada Gunung!

Ketika keduanya kemudian meminta aku memilih dan menentukan sikap. Aku dihadapkan pada posisi sulit. Kalau aku memilih Kembang Wangi, Gunung pasti terluka. Jika aku memilih Gunung, Kembang Wangi jelas sakit hati. Maka biar adil aku tidak memilih keduanya.

“Maaf bukan aku tidak mencintaimu, Gunung,” kataku kepada Gunung. “Cintaku kepadamu memang cinta mati, tapi aku juga tak mau melukai Kembang Wangi,” lanjutku. “Lagi pula kamu sudah mempunyai Arjuna, yang ke mana pun kamu pergi dengan setia mengawalmu!”

Sedangkan untuk Kembang Wangi aku bilang, “Cinta sucimu kuterima dan kuhargai lahir-batin, tapi aku juga tak ingin menyakiti Gunung.”

***

KETIKA Gunung dan Kembang Wangi mengantarkan kepindahan tugasku ke Yogyakarta, di Stasiun Gambir, aku bilang kepada keduanya. “Ini keputusan yang berat dan sulit, tapi aku sudah memilih dan memutuskan untuk tidak mencintai siapa pun, biarlah aku pilih jalan sendiri: aku rela membujang sampai Tuhan mempertemukanku dengan jodohku. Adil bukan?”

Menjelang detik-detik terakhir keretaku berangkat ke Yogyakarta, Bintang Kejora menjemput Gunung yang berlinang air mata. Dan ketika aku naik gerbong kereta dan duduk di kursi yang nomornya tertera dalam tiket, kulirik kursi di sebelahku ternyata masih kosong. Hanya dua menit menjelang kereta berangkat, seseorang mengusik lamunanku yang kukerjakan sambil bersandar di sandaran tempat duduk dan memejamkan mata. “Maaf, numpang lewat, kursi saya di sebelah Anda,” katanya.

Kubuka mataku pelan-pelan. “Kembang Wangi…,” kataku seperti dalam mimpi.

“Aku juga mau ke Yogyakarta untuk mencari pelabuhan cinta, serta buat menemukan dermaga untuk kasih dan sayangku. Entah siapa dia, biarlah Tuhan yang memilihkan jodoh untukku.”

Ketika kereta bergerak dan meninggalkan Stasiun Gambir, aku masih diam dan berpikir. “Tuhan, apakah ini jodoh pilihan-Mu untukku?” tanyaku kepada-Nya, dan aku sama sekali tak mengusik ketika dua jam kemudian Kembang Wangi tertidur pulas menyandar di bahu, dan kemudian jatuh ke pangkuanku sepanjang perjalanan.

Ketika sampai Stasiun Tugu, barulah kami bingung. “Mau ke mana kita, Mas Ngarai?”

“Lho kamu memang mau ke mana?” aku balik bertanya kepada Kembang Wangi yang dengan manis dan mesra menambah panggilan “mas” di depan namaku.

“Tolong bawa dan antarkan aku sekarang ke rumah orang tuaku di Sleman, dan sekalian lamar aku, karena aku tak mungkin lagi bisa lepas darimu, karena cintaku kepadamu bukan cuma cinta suci, tapi cinta mati, Mas Ngarai!”

“Kembang Wangi…,” ujarku kaget dan bungah. “Kamu….”

“Jangan biarkan hidupku, cinta suciku, cinta matiku, dan kecantikan-keayuan-kemanisan-keseksianku dimakan waktu tanpa Mas Ngarai nikmati. Berikan cinta suci Mas Ngarai kepadaku dan berikan pula cinta mati Mas Ngarai kepada Gunung untuk Kembang Wangi. Apakah Mas Ngarai tak yakin bahwa aku adalah jodoh pati Mas Ngarai? Aku yakin, aku diciptakan Tuhan khusus untukmu, Mas Ngarai….”

Karena semuanya sudah jelas aku langsung menggandeng tangan Kembang Wangi keluar dari Stasiun Tugu, dan dengan menyewa taksi aku membawa Kembang Wangi ke rumahnya. Begitu sampai di rumah joglo yang indah, bersih, anggun, cantik dan asri, bapak dan ibu, serta adik-adik Kembang Wangi, dan ditambah dengan beberapa saudara dekat, menyambut kedatangan kami dengan riang gembira.

“Inikah Arjunamu yang akan memberi kami beberapa orang cucu yang cantik dan ganteng, Nnuk Wangi?” tanya bapak Kembang Wangi, yang diamini oleh anggukan orang-orang berwajah sumringah yang turut menyambut kami.

Kembang Wangi tak segera menjawab. Kembang Wangi melirikku untuk segara menjawab. Melihat gunung harapan menjulang tinggi di kelopak matanya dan lautan keinginan terhampar begitu luas di wajahnya, tak ada kata yang lebih indah yang keluar dari mulutku untuk anak ningrat yang masih kerabat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu kecuali: “Inggih, Kanjeng Romo….”

Selanjutnya aku sibuk membopong Kembang Wangi yang langsung pingsan mendengar jawabanku, yang kupastikan sangat berkenan dan begitu menggembirakan hatinya.

/26 February 2012

Batu Hitam itu…

Batu Hitam itu…
Posted by PuJa on March 2, 2012

Isbedy Stiawan Z.S.

http://lampungpost.com/

“Kau hanya batu hitam
tak ada manfaat ataupun mudarat
jika tidak kulihat Rasululllah menciummu
tidak kucium kau…”
*

LELAKI itu akhirnya jadi juga ke Tanah Suci, setelah beberapa kali tertunda—persisnya terganjal—oleh berbagai persoalan. Pertama ia batal menunaikan ibadah haji disebabkan dua bulan jadwal keberangkatan kuota cukup. Ia pun masuk waitinglist alias menunggu jadwal tahun depan. Dan, begitu tahun keberangkatannya, istrinya meninggal. Ia pun minta ditunda tahun berikutnya.

Pada tahun ketiga, alhamudillah ia mendapat restu dari Allah. Lelaki itu berangkat tanpa istri tercinta. Tak apa, pikirnya, di Baitullah kelak jika diberi kesehatan dan kekuatan akan dia hajikan pula istrinya. Dia bedoa semoga diberi kesehatan. Lelaki itu ingin sekali sepulang dari Tanah Suci mendapat gelar haji bersama istrinya.

Ia sudah siapkan uang untuk membayar jasa yang akan menghajikan istrinya. Itu bukan upah, tapi untuk uang lelah. Bukankah untuk memperoleh surga tak ada jual-beli? Melaksanakan ibadah mesti ikhlas, gumamnya. Itu sebabnya, ia ikhlas untuk membayar lelah kepada orang yang nantinya diminta untuk menghajikan istrinya.

Dengan sejuta keimanan, seribu sisa kekuatan yang dimiliki lelaki paruh baya itu, melangkahlah ia memenuhi panggilan-Nya. Hendak menyusuri tapak Nabi Ibrahim, mengembalikan kenangan bagaimana Siti Hajar berlari-lari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah untuk memperoleh air bagi si anak yang masih kecil, Ismail. Juga mengelilingi Kakbah—Baitullah—sebagaimana para malaikat pernah melakukannya untuk berzikir dan bertasbih, juga berdoa saat di depan batu hitam bernama Hajar Aswad itu: sebuah doa yang telah terpatri oleh seluruh muslim ataupun yang terundang ke Tanah Suci.

Lelaki itu tak hendak menginap di hotel setiba di Tanah Mekah. Baginya, kamar beserta kasur dan kesejukan hotel akan membuatnya kerap lelap. Kalau itu menyergap dirinya, kenapa tidak di rumah saja? Di rumah pun ia selalu bangun tengah malam: tahajud dan berzikir hingga subuh mengembang. Sebagaimana ia pernah membaca salah satu puisi Khalil Gibran: “Hanya pejalan malam yang akan menemukan fajar.”

Ya! Ia mahfum paham makna dari untaian Gibran itu. Hanya orang-orang yang bangun tengah malam, lalu beribadah, mengingat-Nya, dan berdoa, mereka menemukan kemenangan. Meskipun kemenangan, menurut lelaki paruh baya itu, masih misteri, penuh rahasia. Apakah ia menang begitu ia bisa memenuhi undangan ke Tanah Suci ini? Apakah kegagalan dua kali menunaikan ibadah haji, adalah kemenangan tertunda?

**

LELAKI itu akhirnya benar-benar menjejakkan kaki di Tanah Suci. Kali pertama tiba di Bandar Udara King Abdul Azis Jeddah, segera ia bersujud persis di depan tangga pesawat. Tak peduli orang-orang melihatnya. Tak ia hiraukan segenap karyawan bandara memperhatikannya. Mungkin takjub, entah pula terheran-heran. Setelah itu sebuah bis milik bandara menjemput, ia pun naik. Berhenti di dekat kantor imigrasi. Ia pun antre untuk dicatat sebagai pendatang—tamu Allah—di Kerajaan Arab Saudi.

Ia hanya sekali meneteskan air mata. Berikutnya dia bergembira, saat matanya beradu pandang pada sejumlah orang berkulit hitam. Mereka adalah keturunan Nigeria, tetapi lahir, besar, dan berketurunan di Tanah Suci ini. Sayangnya, kerajaan tak mengakui mereka sebagai warga Arab Saudi. Bahkan, konon, mereka pernah ingin dipulang ke negeri asal, sayang ditolak sebab mereka dianggap bukan lagi bagian Nigeria. Akhirnya mereka terkatung-katung tanpa kartu penduduk, juga tempat tinggal. Mereka menyerbu ke keramaian sebagai pedagang ataupun peminta-minta. Sungguh malang nian.

Entah bagaimana caranya, ia bisa mengerti dikatakan orang Nigeria yang diajaknya mengobrol. Padahal mereka tak menggunakan bahasa, melainkan gerak tubuh. Bahkan, tatkala lelaki itu menyebut namanya: Muhammad Yusuf, orang Nigeria yang diajak mengobrol itu mengangguk-angguk.

“Muhammad Yusuf, ya ya…Dari Indonesia? Bagus bagus…”

“Ana Abdul Azis.. ya…”

Sejak itu, lelaki bernama Muhammad Yusuf dari Indonesia, kerap mengobrol dengan lelaki Nigeria bernama Abdul Azis selepas salat di Masjidil Haram. Karena kekerabatan itu, ia membeli barang dengan harga murah dibanding jika dijual kepada orang lain.

Ia banyak tahu betapa orang Nigeria bagaikan warga tanpa perlindungan di negeri yang melahirkannya. Kerajaan Arab Saudi, kata Abdul Azis, masih mengakui orang-orang Nigeria sebagai pendatang. Padahal, mereka sudah turun-temurun menetap di negeri ini. Kerajaan tak memberi fasilitas yang sama seperti diberikan kepada orang Arab. Sehingga mereka mencari nafkah lewat berjualan, itu pun harus kucing-kucingan dengan asykari (polisi) kerajaan.

“Rumah kami adalah alam ini. Atap rumah kami ialah langit negeri ini,” kata Abdul Azis menggerakkan tangannya.

Lelaki itu mengangguk. Hatinya teriris. Kemarin, selepas salat subuh, ia melihat anak-anak menjadi pengemis. Tangan kirinya terlihat buntung. Sementara anak yang lain, terlapis tangan palsu.

“Mereka dipaksa oleh orang tuanya menjadi peminta-minta. Mereka tak cacat. Tangannya itu ia masukkan ke dalam pakaiannya. Sedangkan yang itu, tangan palsu yang terlihat itu cuma ditempelkan. Jadi….”

“Jadi, mereka berbohong?”

“Karena keadaan,” jawab Abdul Azis. “Di sini, tak semua orang suci, tak semua benar-benar hendak beribadah. Bahkan….”

“Ya, benar. Di depan Kakbah pun orang bisa berbuat curang,” kata lelaki itu seperti membenarkan cerita Abdul Azis.

Masih ingat dan tak akan mungkin terlupakan selama nyawa di kandung badan. Saat dia tawaf, sejumlah anak muda bertubuh kekar tak henti menawarkan diri untuk membantu para jemaah agar bisa mencium Hajar Aswat (batu hitam) itu. Sejatinya, jika para jemaah tertib saat tawaf, niscayalah batu hitam itu bisa dicium satu per satu atau bergantian. Hanya saja, sistem sengaja dibuat agar terkesan bahwa jemaah sangat ingin mencium dan batu hitam itu adalah “jalan menuju surga” atau setidaknya merupakan tuntunan dari kanjeng Nabi Muhammad Sang Rasul Allah. Sehingga orang berlomba, bahkan sebagian menganggap sudah kewajiban batu hitam itu dicium saat tawaf.

Padahal, dari sirah Nabi, Umar bin Khattab pernah berujar: “Kau hanya batu hitam, tak ada manfaat ataupun mudarat. Jika tidak kulihat Rasululllah menciummu, tidak kucium kau….”

“Tetapi, orang punya cara lain saat berdekatan dengan Kakbah yang selama ini mungkin hanya mimpi,” kata ustaz yang pernah memberi wejangan pada lelaki itu suatu ketika di masjid dekat rumahnya. “Sehingga mencium Hajar Aswat seperti kewajiban, karenanya sampai bersusah payah untuk menyentuhkan bibirnya di batu itu. Sampai-sampai tak menghiraukan keselamatan sendiri. Jemaah dari Indonesia jauh lebih kecil dalam segala hal dibanding jemaah dari luar, seperti Nigeria, Turki, Eropa, dan seterusnya. Akibatnya, bisa terinjak-injak. Padahal cukup melambai dan mengucapkan “Bismillah Allah akbar”, persis di depan batu hitam itu…”

Lalu pada pengajian lainnya, ia juga sempat mendengar dari ustaz itu, bahwa di Jabal Rahma juga banyak orang berbuat syirik. Bukit Cinta, demikian istilah lain bagi bukit di Padang Arafah itu, adalah tempat pertemuan Adam dengan Siti Hawa setelah beratus-ratus tahun tak jumpa pasca-keduanya diturunkan dari surga.

“Jadi Bukit Rahma itu hanya untuk kita mengenang perjalanan panjang Adam dan Hawa hingga bertemu di situ, lalu menciptakan keturunan hingga ke kita ini. Tetapi, kenyataannya di sekitar itu banyak tulisan yang menginginkan harmonis percintaan mereka…,” kata sang ustaz.

Dua pelajaran itu ia rekam hingga mendalam. Lelaki itu tak ingin melakukan kesyirikan justru di Tanah Suci. Sebab itu, ia menolak tatkala ada yang menawarkan bantuan untuk mencium batu hitam. Penolakannya itu berbuah keuntungan. Kalau tidak, seperti banyak jemaah lainnya, diperas hingga 100 real.

Lelaki itu sempat naik pitam. Seorang tua dari Jawa diperas 100 rial, padahal dia tak mempunyai uang sebesar itu. Teman lelaki bertubuh kekar itu segera menariknya, dan berujar: “Kami di sini mau makan. Apa Bapak mau kasih kami uang!”

Des! Lelaki itu pun menciut. Wajahnya menunduk. Ia tak mungkin bisa memberi 100 real, sedangkan untuk melawan ia tak punya keberanian meskipun mereka juga dari Indonesia. Barangkali para tenaga kerja Indonesia yang gagal lalu mencari uang dari kecurangan dan memanfaatkan orang Indonesia yang kerap menganggap “masuk surga begitu mudah, cukup hanya mencium batu hitam….”

Lelaki itu makin bergetar jantungnya, saat melihat seorang lelaki tua tergeletak persis di dekat batu hitam. Lelaki asal Pulau Kalimantan baru sekejap lalu terinjak-injak oleh, entah jemaah dari mana kecuali yang dia lihat bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, yang bergerombol sambil berlomba mendekati batu hitam itu. Mereka satu sama lain berpedangan tangan, sangat kuat sampai sulit tercerai-berai, dan merangsek ke batu hitam yang ada di sudut di Kakbah. Setelah itu, Muhammad Yusuf hanya mendengar teriakan minta tolong berkali-kali, hingga lenyap. Dan, tergeletak.

“Innalillahi wainna ilaihi rajiuun…,” hampir bersamaan orang-orang berujar. Segera lelaki paruh baya itu bantu menggotong lelaki yang telah meninggal itu. Jenazah itu pun disalatkan selepas zuhur…

“Semoga menjadi syuhada. Ia syahid…,” komentar teman barunya lelaki Nigeria, saat ia menceritakan ihwal kejadian subuh tadi saat ia tawaf untuk menggantikan tahiyatul masjid.

*

BETAPA Allah hendak menguji umatnya dengan kesulitan dan cobaan-cobaan lainnya. Tetapi, tak ada ujian yang diberikan Allah melebihi kemampuan hambanya.

Begitu ia pernah mendapat wejangan dari ustaz pada suatu pengajian. Artinya, Allah tak akan menyusahkan umatnya dengan cobaan sangat berat. “Jika kita tak mampu mencium batu hitam itu, cukuplah melambai dari jauh. Jangan dipaksa untuk mendekat lalu menciumnya, karena Rasulullah pernah melakukannya. Sama artinya kalau kita tak punya kemampuan datang ke Tanah Suci, ya tak perlu dipaksa-paksa harus datang. Bukankah menunaikan ibadah haji adalah rukun Islam kelima. Itu pun ada syaratnya: jika mampu,” kata ustaz itu lagi.

“Lalu apa ukuran mampu, ya Ustaz?”

“Mampu fisik dan mampu keuangan…,”jawab ustaz. “Karena perjalanan ke Mekah itu sangat berat….”

Dan, lelaki paruh baya itu mendapatkan cobaan amat berat. Menyaksikan langsung bagaimana jemaah terinjak-injak, bagaimana masih banyak umat Islam yang berbuat syirik justru di depan Kakbah. Juga nasib umat Islam asal Nigeria yang bagaikan pendatang haram di negeri kelahirannya ini. Betapa Kerajaan Arab Saudi yang juga masih jauh dari ajaran Muhammad saw.

“Mereka biarkan kami terlunta sebagai pengais rezeki di pasar dan sebagian kami jadi pengemis. Tidak seperti orang Madinah yang menerima Muhajirin sebagai bagian tak terpisah dari mereka. Hingga para sahabat dan Rasulullah wafat pun dikubur sebagai keluarga mereka. Sedangkan kami, sedang kami…tak pernah diakui sebagai keluarga dari orang-orang Arab,” keluh Abdul Azis.

Setelah berucap itu, ia segera mengemas barang-barangnya dan lari. Beberapa asykari turun dari mobil dan mengejar para pedagang dan pengemis….

Mekah Mei 2011, Lampung Juli 2011

Ke Mana Bahasa Lampung?

Ke Mana Bahasa Lampung?
Posted by PuJa on March 2, 2012
Imron Nasri
Lampung Post, 3 Agu 2011

BELUM lama ini teman saya menyampaikan bahwa dia baru saja pulang dari Lampung. Setelah mengikuti acara yang dilaksanakan oleh sebuah ormas Islam tingkat wilayah (provinsi). Teman saya ini memang salah seorang pengurus tingkat pusat dari ormas Islam itu. Dia diundang untuk menyampaikan materi. Teman saya itu menyampaikan pengalamannya selama berada di Lampung kepada saya. Dia tahu bahwa saya berasal dari Lampung. Apa yang beliau sampaikan itu membuat saya terkejut. Karena seseorang yang baru datang dari sebuah daerah yang dikunjungi, biasanya yang disampaikan dan diceritakan adalah hal-hal yang berkaitan dengan keramaian, makanan atau tempat-tempat bersejarah, yang sempat dikunjungi.

Tetapi apa yang disampaikan dan diceritakan teman saya, jauh dari perkiraan saya. Dia menyampaikan bahwa, selama dia berada di Lampung tidak sepatah kata pun dia mendengar orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. “Saya kaget, Bang. Selama saya di Lampung. Saya tidak mendengar sepatah kata pun orang berbicara menggunakan bahasa Lampung. Kalau tidak bahasa Indonesia, ya bahasa Indonesia dengan logat Jakarta atau bahasa Jawa. Saya sempat berpikir, saya ini sedang berada di Lampung apa di Jakarta atau Yogya,” kata dia.

Mendengar ceritanya, saya sempat terkesima. Karena dari sekian banyak teman-teman yang pernah ke Lampung, hanya dia yang sempat memperhatikan masalah bahasa itu. Biasanya yang disampaikan atau diceritakan tentang bagaimana lezatnya minum kopi Lampung, bagaimana enaknya menikmati durian atau keripik pisang yang dijual dikios-kios pinggir jalan. Atau bagaimana susahnya mencari rumah makan atau warung yang menyajikan makanan khas Lampung dan kondisi Kota Bandar Lampung, yang menurut mereka semrawut. Itulah biasanya yang diceritakan dan disampaikan teman-teman kepada saya.

Tapi teman yang satu ini, sekali lagi membuat saya terkesima. “La, bagaimana Bang,” lanjutnya, “ketika saya sampai dan turun dari bis di Terminal Rajabasa, para kenek angkutan kota, tukang ojek, dan taksi, semuanya menawarkan jasa dengan berbahasa Indonesia. Bahkan ada di antara mereka yang mengajak ngomong dengan bahasa Jawa. Karena melihat saya turun dari bis yang datang dari Yogya. Selama dua hari saya di Lampung sampai saya kembali ke Yogya, tak satu pun kata yang saya dengar menggunakan bahasa Lampung. Atau ada yang mengucapkan tapi saya tidak tahu, apakah yang diucapkan itu bahasa Lampung atau bukan. Karena terus terang, selama ini saya belum pernah mendengar satu kata pun bahasa Lampung itu seperti apa. Orang-orang Lampung yang ada di Yogya pun dalam berbicara tidak pernah menggunakan bahasa Lampung. Nah, sebetulnya ketika saya diutus untuk menghadiri acara yang dilaksanakan di Lampung ini, saya merasa senang. Karena saya berharap selama di Lampung saya akan mendengar dan diajak berbicara bahasa Lampung. Seperti ketika Abang diajak berbicara bahasa Jawa di Yogya. Tapi, ternyata harapan saya itu tidak kesampaian.” Jelasnya, sambil menunjukkan rasa penasarannya.

Setelah mendengarkan ceritanya, saya hanya senyum. Namun dalam hati saya mengatakan, “Jangankan kamu. Saya sendiri saja yang orang Lampung, sudah agak jarang mendengar orang Lampung berbahasa Lampung. Kecuali dengan keluarga dan saudara-saudara saya. Itu pun ada di antara mereka yang ketika berbicara, campur aduk antara bahasa Lampung dan bahasa Indonesia.”

Dari cerita teman saya itu, saya teringat dengan pernyataan Asim Gunarwan, pakar linguistik dari Universitas Indonesia, beberapa tahun yang lalu yang menyatakan berdasar hasil penelitiannya, dia menemukan bahwa pergeseran dengan kelajuan cukup tinggi terjadi pada bahasa Lampung. Hal ini dapat diinferensikan dari data kuantitatif yang menggambarkan penggunaan bahasa Lampung dan bahasa Indonesia di sejumlah keluarga Lampung.

Selanjutnya Asim Gunarwan mengatakan dari hasil penelitiannya itu ternyata membentuk skala implikasional yang menunjukkan semakin kecilnya kuantitas penggunaan bahasa Lampung menurut gradasi umur yang menurun. Dan inilah yang sekarang sedang terjadi di daerah Lampung. Penggunaan bahasa Lampung di kalangan generasi muda, sudah semakin menurun. Terutama di lingkungan keluarga-keluarga muda, yang tinggal di daerah perkotaan lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia pada saat berkomunikasi dalam keluarga.

Penggunaan bahasa Indonesia dalam keluarga masih bisa dipahami dan dimaklumi jika penggunanya itu berlainan asal daerah. Misalnya suami atau istri berasal dari Jawa. Dalam berkomunikasi, memang lebih memungkinkan menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Lampung atau bahasa Jawa. Namun yang memprihatinkan, dan ini sudah banyak terjadi di kalangan keluarga muda Lampung, adalah suami-istri berasal dari daerah yang sama, berasal dari satu pekon (kampung) yang sama, tinggal di pekon (kampung) yang sama, tetapi dalam berkomunikasi dengan anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia.

Saya bersimpati dengan pernyataan seorang saudara saya, ketika saya menanyakan, mengapa anak-anaknya tidak diajak berbicara dengan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari? Dia mengatakan, “Tidak perlu. Tanpa diajari, nanti pada saatnya mereka akan tahu dengan sendirinya. Ketika mereka berada di sekolah, ketika mereka berada di tempat-tempat tertentu, dengan sendirinya mereka akan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi, kalau bahasa Lampung tidak diajarkan sejak kecil, nantinya mereka tidak tahu sama sekali,” ujarnya.

Apa yang disampaikan saudara saya itu sesuai dengan apa yang dikatakan Asim Gunarwan. Dengan merujuk Fishman bahwa peluang keberhasilan tinggi adalah menjaga agar ada kesinambungan antargenerasi penggunaan bahasa yang sedang terancam kepunahan. Artinya, bahasa itu harus diwariskan kepada generasi berikutnya. Namun patut disayangkan, di kalangan penutur bahasa daerah (terutama di perkotaan) ada kecenderungan kepada anak mereka, orang tua lebih suka menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Dan itulah—agaknya—yang sedang terjadi di Lampung.

Imron Nasri, Peminat masalah-masalah sosil, politik, dan keagamaan
Dijumput dari: http://ulunlampung.blogspot.com/2011/08/ke-mana-bahasa-lampung.html

Thursday, 1 March 2012

Godi Suwarna, Hantu, dan Sastra Sunda

Godi Suwarna, Hantu, dan Sastra Sunda
Posted by PuJa on March 1, 2012
Soni Farid Maulana
http://cangra.multiply.com/

Aya manuk ngagarapak dina hate
Luncat kana dahan ngarangrangan
Nu kasampak bulan tinggal bangkarakna
Bangkar dirurub ku indungpeuting
EMPAT larik puisi di atas dipetik dari puisi Maskumambang karya sastrawan Sunda Godi Suwarna. Puisi yang secara keseluruhan menggambarkan kegelisahan sang penyair yang dibayang-bayangi oleh maut itu, terdapat dalam kumpulan puisi tunggal Godi Suwarna yang pertama, yang diberi judul Jagat Alit.
Dalam perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda modern, Godi merupakan sastrawan Sunda pertama yang mendapat tiga Hadiah Sastra Rancage untuk tiga kategori penulisan karya sastra. Masing-masing untuk Blues Kere Lauk (kumpulan puisi, 1992), Surat Sarwasatwa (kumpulan cerita pendek, 1995), dan Sandekala (novel, 2008).
“Alhamdulillah, apa yang saya kerjakan selama ini tidak sia-sia. Mudah-mudahan apa yang saya tulis selama ini bisa memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda,” ujar Godi Suwarna dalam percakapannya dengan penulis, Rabu (12/2/2008) di Gedung Kesenian Rumentang Siang Jln. Baranang Siang No. 1 Bandung.
**
DALAM penuturannya, Godi mengatakan, bahwa dirinya berkenalan dengan sastra Sunda lewat ibunya, Titik Suwartika (75) yang sering membacakan cerita demi cerita horor yang dimuat di majalah Sunda Mangle, ketika masih duduk di bangku SD Neglasari Panawangan, Kampung Cirikip, Desa Cinyasag, Kabupaten Ciamis.
“Dongeng yang saya suka pada saat itu adalah dongeng-dongeng horor, seperti hantu dan kuntilanak. Ibu saya jika membaca dongeng pandai memainkan suasana, sehingga saya sering ketakutan sendiri!” jelas Godi, mengenang masa lalunya. yang dikatakannya sangat indah.
Setelah lancar membaca, Godi mulai membaca sendiri cerita demi cerita yang dimuat di majalah Sunda tersebut. Hingga duduk dikelas 6 SD, cerita yang disukainya itu selain dongeng tentang hantu dan alaman siluman, adalah tentang cerita wayang.
“Baru menginjak SMP saya mulai suka membaca karya sastra seperti yang ditulis oleh Kang Wahyu Wibisana. Tapi yang paling saya suka pada saat itu karya-karya roman yang ditulis oleh H.S. Josaniar. Cerita-cerita pencintaan yang ditulis oleh H.S. Josaniar itu serasa saya sendiri yang menjadi tokohnya,” jelas Godi, yang berkali-kali mendapat Hadiah Sastra Lembaga Basa dan Sastra Sunda (LBSS) Bandung untuk penulis puisi dan cerita pendek, yang dipublikasikannya di berbagai media berbahasa Sunda.
Dikatakan Godi, yang mendorong dirinya mulai suka membaca karya sastra yang ditulis oleh sastrawan moyan Wahyu Wibisana tiada lain adalah berkat dorongan Eno Suwarna, ayah Godi Suwarna.
“Ayah saya pecinta berat karya-karya Kang Wahyu Wibisana. Ketika saya membaca karya-karya Kang Wahyu, mula-mula terasa aheng. Hal itu disebabkan karena pengetahuan saya yang serba terbatas, dan mulai terbuka pada cakrawala kehidupan yang lebih luas. Selain itu kosa kata yang saya kuasai dalam bahasa Sunda pun mulai bertambah pula,” papar Godi, penulis kumpulan cerita pendek Murang-maring (1980).
Tentu saja, selain karya Wahyu Wibisana, Godi membaca pula karya-karya para pengarang Sunda lainnya yang dimuat di majalah tersebut. “Sejak itu saya mulai suka menulis dalam bahasa Sunda. Saya merasa bahwa setiap saya selesai menulis, ada kepuasan tersendiri. Keindahan bahasa Sunda telah menyihir saya,” tutur Godi. Namun demikian, apa yang ditulisnya itu tidak berani dipublikasikan selain disimpan untuk diri sendiri.
Ketika menginjak SMA, yang pada waktu itu Godi sekolah di SMA Pasundan, Tasikmalaya, dunia tulis menulis agak terlupakan, namun demikian kegemarannya membaca karya sastra justru semakin meningkat. Mulai duduk di bangku SMA, Godi mengenal karya Rendra, Trisnoyuwono, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad dan sejumlah karya sastra lainnya.
Lantas apa sebabnya dunia tulis-menulis agak terlupakan? Sebab saat itu Godi larut dalam dunia kenakalan remaja, meski tidak melakukan tindak kriminal. “Pada saat itu saya kokoboyan. Acap kali berkelahi. Tapi bila patah hati nangis juga. Nah saat patah hati itulah, saya mulai lagi menulis. Ketika teman-teman mengetahui bahwa saya pandai menulis puisi cinta, maka saya banyak order menulis puisi cinta,” kata Godi sambil tertawa. Apa sebab? Karena apa yang ditulis Godi sungguh manjur membuat teman-temannya pada punya kekasih, sedang Godi sendiri pada saat itu dalam status jomblo.
**
SETAMAT SMA Pasundan Tasikmalaya, Godi melanjutkan kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia di Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (FKSS) IKIP Bandung (1976). Di Bandung Godi mulai berkenalan dengan Wawan S. Husin, yang saat itu sudah malang melintang dalam dunia kesenian di Bandung. Selain itu, berkenalan pula dengan Tatang Sumarsono.
Saat kuliah, selain aktif di Teater Nutug, Godi mulai menulis lagi. Tapi dalam bahasa Sunda. Pada saat itu pula perkenalan Godi dengan tokoh-tokoh sastrawan Sunda yang sudah moyan pun, tak dilewatkannya. Pengetahuannya tentang kebudayaan semakin luas, terutama setelah berkenalan dengan pelukis Popo Iskandar, yang dikemudian hari menjadi mertuanya.
“Saat liburan semester saya pulang ke Panawangan. Di rumah orang tua saya, saya kembali membaca majalah Mangle. Lalu saya kembali menulis satu dua puisi Sunda, yang saya kirim ke majalah tersebut. Alhamdulillah apa yang saya kirim itu dimuat. Sejak itulah saya kemudian merasa yakin bahwa dunia saya dalam tulis menulis adalah dalam bahasa Sunda dan bukan dalam bahasa Indonesia,” ujar Godi.
Puisi demi puisi yang ditulis Godi pada saat itu memenangkan pula Hadiah Sastra Mangle. Selanjutnya. Godi tidak puas hanya bisa menulis puisi, Godi kemudian mulai menulis cerita pendek. Cerita demi cerita pendek yang ditulis Godi pada saat itu bukan cerita yang ditulis dalam gaya ucap realis, akan tetapi menggunakan gaya ucap surealis. Hasilnya cukup menggemparkan jagat sastra Sunda pada saat itu. Misalnya seperti cerita tentang Rahwana, yang semula jahat, oleh Godi dibikin jadi orang yang baik hati, dan yang jahat malah Rama.
“Cerita yang saya tulis untuk pertamakalinya itu adalah mempertemukan tokoh mitos Sunda, Sangkuriang dengan Odhiphus tokoh mitos Yunani. Kedua tokoh tersebut mempunyai penderitaan yang sama, yakni sama-sama jatuh cinta pada ibu kandungnya sendiri,” kata Godi Suwarna yang pernah aktif di Studiklub Teater Bandung (STB) asuhan Suyatna Anirun.
Cerita pendek surealis yang ditulis Godi, yang turut memberikan warna baru bagi perkembangan dan pertumbuhan sastra Sunda itu, dikumpulkan dalam antologi cerita pendek Serat Sarwasatwa (1995) yang memberinya Hadiah Sastra Rancage untuk bidang menulisan cerita pendek. Setelah itu, Godi mulai menulis novel.
Dalam pandangan Rendra, kemampuan Godi Suwarna dalam menulis karya sastra dan membaca puisi, cukup memukau. Penulis sastra yang cemerlang dalam bahasa ibu. “Puisi-puisi yang dibacakan dan ditulis oleh Godi Suwarna itu cukup segar. Saya bisa menikmatinya saat ia membacakan puisi-puisinya. Dalam konteks yang demikian Godi tampaknya mampu mengungkapkan perasaannya yang mendalam dengan bahasa ibu yang dikuasanya,” kata Rendra, dalam sebuah kesempatan sepulang mengikuti acara 70 Tahun Ajip Rosidi Unpad, Bandung.
Saat itu Rendra sepanggung dengan Godi.***
Dijumput dari: http://cangra.multiply.com/journal/item/70?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Kota Garut termasuk Kota Bahasa dan Sastra Sunda


Kota Garut termasuk Kota Bahasa dan Sastra Sunda
Posted by PuJa on March 1, 2012
Muhammad Farhand Muzakki
http://fikiranfarhand.blogspot.com/

BAHASA dan sastra Sunda ternyata perlu dikampanyekan terus. Termasuk di Garut, sebuah kota Tatar Priangan. Bahasa Sunda Priangan yang dijadikan bahasa lulugu (baku), dan digunakan secara luas oleh orang Sunda, serta dijadikan bahan ajar di sekolah-sekolah. Selain bahasa Sunda lulugu, juga terdapat bahasa Sunda wewengkon (dialek setempat), seperti bahasa Sunda Banten, Cirebon, Bogor, dan daerah-daerah perbatasan dengan wilayah lain yang juga punya bahasa daerah tersendiri. Mengapa Garut sebagai kawasan bahasa Sunda lulugu harus menjadi ajang “kampanye” bahasa Sunda?
“Sekadar untuk penyegaran dan perkenalan masyarakat Garut dengan tokoh-tokoh bahasa dan sastra Sunda yang selama ini hanya diketahui namanya melalui tulisan,” kata Darpan Ariawinangun, salah seorang penggerak kegiatan tersebut. Bersama komunitas “Mangsi Universitas Garut” (Uniga), Darpan memprakarsai acara Ngahirup-huripkeun Basa jeung Sastra Sunda, yang diisi orasi Ajip Rosidi, serta bedah buku Gunem Rencep Sidem karya Enas Mabarti (Kiblat Buku Utama, Bandung, 2003) oleh penyair Acep Zamzam Noor dan H. Usep Romli H.M.
Acara yang mendapat dukungan dari Bupati Garut, Agus Supriadi beserta jajaran Pemkab Garut, berlangsung di Pendopo Kabupaten Garut, Senin (28/2). Dimeriahkan penampilan gelar teatrikal anak-anak SMAN 2 Tarogong yang tergabung dalam “Teater Awal” pimpinan Ombi S., shalawatan dari dosen dan mahasiswa Uniga, grup “El Nadom” garapan Hadi A.K.S. dan kawan-kawan, dari Bandung, pembacaan puisi Euis Balebat aktivis “Teater Sunda Kiwari” dan Panglawungan Pangarang Sastra Sunda (PPSS). Hadir pula tokoh dan aktivis seni-budaya Garut, seperti Asep Mulyana (padalangan), Dimyati (LBSS Garut), Ade Kusumah (tari), Dedi Effendi (penyair/pelukis Garut), guru-guru SD/SMP/SMA dari tiap kecamatan, dll. Mereka semua antusias mengikuti acara sejak awal hingga akhir.
Proses pendidikan
Dalam orasinya, Ajip Rosidi menyatakan, kebijakan pemerintah sejak mulai merdeka hingga zaman presiden keenam sekarang belum berpihak kepada kehidupan seni-budaya. Pemerintah masih menganggap seni budaya sebagai barang jadi. Bukan hasil proses pendidikan yang panjang dan sungguh-sungguh.
“Sehingga produk seni budaya yang sudah dianggap barang dagangan. Sajian bagi para wisatawan. Akibatnya, nilai seni budaya merosot. Yang dapat dikemas untuk dijual, mampu bertahan walaupun semakin tidak bermutu, sekaligus tak berkembang, dan tak mendapat apresiasi yang luas dari masyarakat, karena konsumennya terbatas di hotel-hotel atau acara-acara resmi kenegaraan belaka. Di sekolah-sekolah tak ada mata pelajaran seni budaya yang mengandung unsur pengetahuan dan pengenalan terhadap seni-budaya lokal, bahkan nasional. Akibatnya, anak-anak dan generasi muda tidak lagi punya rasa bangga terhadap seni-budaya sendiri. Juga tidak mengerti makna dan nilai estetisnya. Mereka lebih suka menyerap bentuk-bentuk seni budaya asing,” papar Ajip.
Ajip membandingkan dengan sistem pendidikan kolonial, yang sangat intensif mengajarkan dan mendidik siswa-siswa sekolah untuk mengenal dan mengagumi seni budaya Barat. Kepada anak-anak diajarkan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar utama, bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, dan bahasa Prancis atau Jerman sebagai salah satu bahasa pilihan. Di tiap tingkat kelas, mereka diwajibkan membaca 10 hingga 20 judul buku dalam bahasa-bahasa tersebut. Maka ketika lulus AMS atau HBS (setingkat SMA), mereka sudah benar-benar siap menerima warisan seni budaya Barat, karena mereka sudah menguasai minimal tiga bahasa Barat. Tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, adalah sebagian kecil dari ahli waris Barat itu. Dan hanya sebagian kecil tokoh-tokoh Indonesia di zaman prakemerdekaan yang mengenal seni-budaya daerah atau nasional.
“Dapat dibayangkan dampaknya bagi pertumbuhan bangsa dan negara di masa depan. Apalagi setelah merdeka, sistem pendidikan nasional menganut pola kolonial. Tapi terbatas pada yang diterapkan di sekolah-sekolah rendah di bawah AMS/HBS. Yaitu sekolah desa atau sekolah rakyat yang bertujuan mendidik anak-anak Indonesia untuk menjadi birokrat rendahan, setingkat juru tulis kecamatan atau klerek kantor. Sedangkan sistem pendidikan AMS/HBS yang menjadikan siswa berpengetahuan luas, menguasai bahasa asing, dan punya apresiasi tinggi terhadap seni-budaya, tidak digunakan lagi. Sekolah setingkat SMA dan perguruan tinggi pun diarahkan untuk mencari kerja,” kata Ajip lagi.
Yang memprihatinkan adalah sikap pemerintah dan masyarakat terhadap bahasa nasional. Di kota-kota, di hotel dan pusat perdagangan, digunakan atribut-atribut bahasa asing. Konon, karena bahasa Indonesia tidak bergengsi di tengah percaturan kota yang sibuk oleh kepentingan bisnis dan promosi wisata. Anehnya pemerintah tidak tersinggung bahasa nasionalnya sendiri dilecehkan. Lembaga Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia dan Daerah juga tidak bereaksi apa-apa menyaksikan bahasa Indonesia dianggap lebih rendah dan tidak bergengsi di negaranya sendiri.
“Padahal yang menginap di hotel, yang datang ke pusat-pusat perdagangan hampir seluruhnya orang Indonesia, yang belum tentu mengerti bahasa Inggris. Itu perlakuan terhadap bahasa Indonesia yang oleh UUD 1945 diakui resmi sebagai bahasa nasional. Perlakuan terhadap bahasa daerah tentu lebih parah,” Ajip menegaskan dan mengharap agar masyarakat pemakai bahasa Sunda tidak kecil hati atau rendah diri. Sebab tak sedikit orang yang sukses dengan bermodalkan bahasa Sunda.
“Saya sering diundang ke berbagai negara di seluruh dunia, karena menguasai bahasa Sunda, bicara dan menulis dalam bahasa Sunda,” demikian Ajip Rosidi yang selama 20 tahun (1982-2002) mengajar bahasa Indonesia — seraya memperkenalkan bahasa, sastra dan budaya Sunda — di beberapa perguruan tinggi Jepang. Kepada Pemkab Garut, Ajip mengimbau agar memanfaatkan otonomi daerah untuk mengembangkan kehidupan bahasa dan sastra Sunda. Sangat menggembirakan jika Bupati Garut mewajibkan bahasa Sunda dipakai di lingkungan pemerintahan dan dijadikan bahasa pengantar pokok di sekolah-sekolah. Imbauan Ajip itu mendapat sambutan tepuk tangan sangat meriah dari hadirin.
Sastrawan lokal
Dalam membedah buku Gunem Rencep Sidem, H. Acep Zamzam Noor menyatakan kekaguman. Ia mengaku muringkak bulu punduk (meriding) tatkala membaca bait-bait puisi karya Enas Mabarti itu.
“Selain karena bahasa Sunda yang digunakannya memang indah, isinya juga sangat bernas. Saya mendapat kenikmatan tersendiri, sebagaimana saya rasakan ketika membaca beberapa puisi Rendra dan beberapa penyair lain yang puisinya memang istimewa,” kata Acep yang meminta agar Enas Mabarti melanjutkan kegiatannya berpuisi serta menghasilkan puisi-puisi yang lebih bagus lagi.
Para hadirin tampak terenyak. Beberapa orang di antaranya mengaku merasa kaget, jika di kotanya terdapat seorang sastrawan yang mampu menulis puisi semacam Gunem Rencep Sidem. Ketika ada yang menjelaskan bahwa di Garut banyak sastrawan, baik di masa silam maupun bibit-bibit harapan di masa depan, mereka lebih terkejut lagi. Nama-nama sastrawan Garut yang berkaliber “bujangga”, seperti K.H. Hasan Mustapa (mistikus/filosof/penyair) , R.Suriadiraja (pengarang wawacan Purnama Alam), R. Tjandra Dipraja (pengarang wawacan Rusiah nu Geulis), Ahdiat Kartamihardja (pengarang roman Atheis) dan lain-lain. Belum terhitung di bidang lain, seperti Sadali, Popo Iskandar (seni lukis), Ahmad Noeman (arsitek), dan sebagainya.
“Inilah perlunya para tokoh seni budaya Sunda dari Bandung, datang ke Garut dan kota-kota lain. Agar masyarakat setempat mengetahui perkembangan seni budaya secara berkesinambungan. Tidak kurung batok (berwawasan sempit),” kata mereka.
Sebuah keinginan yang jelas merupakan aspirasi daerah. Tinggal kesanggupan menyikapinya dengan kerja nyata. Pertemuan Ngahirup-huripkeun Bahasa jeung Sastra Sunda, dan bedah buku karya sastrawan lokal, hanya semacam langkah pertama. Perlu langkah-langkah selanjutnya yang kontinu. Jangan berhenti hanya sebatas “kampanye”.
Dijumput dari: http://fikiranfarhand.blogspot.com/2011/07/kota-garut-termasuk-kota-bahasa-dan.html

Religius Islam dalam Sastra Sunda


Religius Islam dalam Sastra Sunda
Posted by PuJa on March 1, 2012
Djasepudin *
Pikiran Rakyat, 02 Juli 2005

MANTAN Rektor IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Rachmat Djatnika berbicara bahwa, sebelum agama Islam datang ke tatar Sunda, orang Sunda telah memiliki budaya, yang menjadi adat-istiadatnya. Gambaran ajaran dan budaya Sunda itu dapat dilihat dari pepatah-petitih, nasihat-nasihat, yang biasa didendangkan oleh anak-anak atau para remaja, yang merupakan hasil gubahan para bujangga Sunda.
Setelah Islam masuk ke tatar Sunda, baik dari arah barat maupun timur laut, Islam dianut oleh sebagian besar orang Sunda. Agama Islam tidak sulit dianut oleh orang Sunda, sebab ajaran Alquran dalam hakikatnya banyak memiliki kemiripan dengan adat yang sudah ada, meskipun materinya berbeda.
Wacana Islam adalah Sunda atau Sunda adalah Islam telah lama kita dengar dari berbagai kalangan. Pelbagai sudut pandang tentang wacana ini telah dikemukakan oleh para cendikiawan maupun budayawan. Sebagai gambaran, Teddy A.N. Muhtadin dan Deni Ahmad Fajar dengan apik dan baik telah menyusun kumpulan makalah ataupun tulisan ilmiah lainnya yang mengupas fenomena ini dalam satu buku yang diberi judul “Islam dan Sunda dalam Akulturasi Timbal Balik.”
Islam dan Sunda adalah ibarat gula jeung peueutna, keduanya tak mudah dipisahkan, menyatu dalam satu racikan nan bermutu. Orang Sunda tidak dikatakan Sunda kalau tidak ngislam, begitu pun sebaliknya, tidak afdal rasanya jika orang Islam di tatar Sunda jika tidak nyunda. Keduanya saling memberi juga saling melengkapi. Hal ini tidak hanya diakui oleh orang Sunda sendiri. Bahkan seorang misionaris sekelas Snouck Hourgronje sekalipun pernah mengatakan bahwa, selain Urang Minang, Ki Sunda juga dikenal sangat kental dengan keislamannya.
Islam-Sunda atau Sunda-Islam getarannya dapat dirasakan dalam pelbagai dimensi kehidupan. Termasuk dalam karya sastra. Sapardi Djoko Damono pernah bilang bahwa, sastra menampilkan gambaran kehidupan. Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat: usaha manusia untuk menyesuailkan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Saini K.M lalu menanggapi, karya sastra yang dihasilkan pengarang harus melewati suatu proses kegiatan yang dinamakan kreativitas (rancage). Unsur terjelmanya kreativitas diperlukan dua unsur. Yaitu kesadaran manusia, yang memayungi kepekaannya, pikirannya, perasaan dan hasratnya. Dan unsur yang kedua adalah realitas, yaitu rangsangan-rangsangan, sentuhan-sentuhan, dan masalah-masalah yang melingkupi dan menggiatkan manusia itu.
Karena kehidupan masyarakat etnis Sunda terkenal dengan keislamannya, maka kerancagean para pengarang Sunda dalam bersastra hasilnya pun tidak akan jauh dari karya-karya yang berbau religius.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kata Religius berarti hal yang bersifat religi, bersifat keagamaan: Religi kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia: Kepercayaan (animisme, dinamisme): agama.
Sedangkan menurut Subijantoro Atmosuwito religius berasal dari kata latin religare berarti mengikat, religio berarti ikatan atau pengikatan, dalam arti bahwa, manusia harus mengikatkan diri pada Tuhan. Adapun religius adalah keterikatan manusia terhadap Tuhan sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan.
**
DALAM ajaran Islam istilah religius pengertiannya sepadan dengan istilah aqidah. Menurut Nashir Abdul Karim, aqidah menurut bahasa berasal dari kata aqad, ‘ikatan’, penguatan, pemantapan dan pengikatan dengan kuat. Sedangkan menurut istilah, aqidah adalah keimanan yang teguh, yang tidak dihinggapi suatu keraguan apa pun bagi pemiliknya.
Subijantoro Atmosuwito lalu memberi definisi bahwa, religiusitas adalah religius feeling or sentiment atau perasaan keagamaan, perasaan keagamaan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Misalnya perasaan berdosa, perasaan takut, dan kebesaran Tuhan.
Sedangkan menurut Sayid Sabiq, religiusitas adalah keimanan, keimanan merupakan akidah dan pokok, yang di atasnya berdiri syari’at Islam, kemudian dari pokok itu keluarlah cabang-cabangnya yang berupa perbuatan (amal). Perbuatan dan keimanan, atau dengan kata lain aqidah dan syari’at. Keduanya itu antara satu dengan yang lain sambung-menyambung, berhubungan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Nilai religius Islam dalam sastra Sunda dapat dilihat dari pelbagai sudut pandang. Bisa dari nama dan asal pengarangnya. Judul karangan yang diberikannya. Ataupun hakikat karangan yang dibuatnya.
Nama dan asal pengarang merupakan pamuka lawang untuk meraba apakah karya tersebut bermuatan religius atau tidak. Tentunya nama-nama pengarang yang berawalan Taufik, Rahmat, Muhammad, Hidayat, Fitri, Anisa, atau Abdullah serta nama-nama yang berakhiran Maulana, Mubarok, Musa, ataupun Nurzaman selain nama-nama tersebut memang telah menjadi ciri khas nama-nama orang Sunda (Taufik menjadi Opik, Muhammad menjadi Mamad atau Omod, dan Abdullah menjadi Adul), nama-nama itu pun kuat dengan unsur keislamannya, karena nama-nama tersebut dicomot dari nama-nama pinilih yang terdapat dalam Alhadis atau Alquran.
Tempat asal pengarang merupakan unsur pendukung untuk membedah sebuah karya. Tentunya karya-karya pengarang yang tadinya berdomisili dari pesisir pantai dibandingkan dengan pengarang yang dumuk di pegunungan akan terasa perbedaannya. Pengarang yang berasal dari desa akan berbeda dengan pengarang yang tinggal di kota. Baik beda penggunaan bahasanya pun tema yang diangkatnya. Sebagai contoh karya-karya Hadi Aks (berasal dari pesisir Banten) atau Darpan Ariawinangun (berasal dari pesisir Karawang) amat berbeda dengan karya-karya Dadan Sutisna atau Dian Hendrayana, misalnya. Begitupula yang berkaitan dengan karya sastra yang bertendensi religius. Karya-karya Aam Amilia yang besar di kota metropolit Bandung (novel atau carponnya umumnya berkisahkan remaja-remaja kota) amat berbeda dengan karya-karya yang dihasilkan oleh Sarabunis Mubarok (karyanya menceritakan kehidupan desa) yang memang besar di lingkungan pesantren, yakni “kota santri” Tasikmalaya
**
JUDUL karangan dalam sebuah karya sastra merupakan daya tarik pertama yang ditawarkan kepada pembaca. Bagus jeleknya sebuah karya biasanya dapat tergambar dalam pemilihan judulnya. Sejak dulu judul-judul karangan dalam sastra Sunda nuansa religiusnya begitu kental kadar keislamannya. Sebagai bukti: “Wawacan Muslimin-muslimat,” “Babad Mekah,” “Sajarah Ambiya,” “Wawacan Parasa Adam,” “Wawacan Layang Syeh,” “Hadis Iblis,” atau “Wawacan Lampahing Para Wali Kabeh.” Itu dari karya sastra lama. Dalam sastra Sunda modern pun terdapat judul-judul yang memang mendeskripsikan nuansa religius keislaman, seperti, “Jiad Ajengan” dan “Ceurik Santri” karya Usep Romli, “Dongeng Enteng ti Pasantren” karya R.A.F., “Pahlawan-pahlawan ti Pasantren” karya S.A. Hikmat, atau “Siti Masyitoh” karya Ajip Rosidi, untuk menyebut beberapa judul saja.
Sedangkan hakikat karangan yang disodorkan oleh pengarang merupakan inti sari dari nilai-nilai religius Islam. Dalam tataran ini nama dan asal pengarang serta judul karangan bukanlah harga mati untuk menghakimi kadar kereligiusan sebuah karya. Karena menurut Usep Romli, bagi sastrawan Sunda, Islam bukan satu masalah yang harus diperdebatkan. Tetapi sudah menjadi unsur yang bersatu padu. Karena itu, unsur-unsur keislaman dalam sastra Sunda, terasa, teraba, dan terlihat berkesinambungan melalui bangunan sastra seutuhnya, serta diterima, dijalankan, dikerjakan tanpa reserve.
Tidak menutup kemungkinan walaupun orang dan judul karangannya berbau “kiri” tetapi isinya lebih islami dari karya-karya yang menjual perkara keislaman. Lihatlah karya-karya Ki Umbara yang terkumpul dalam buku “Urang Desa,” atau pada karangan-karangan lainnya yang sempat berserakan dalam majalah Mangle, dengan judul-judul karangan yang terkesan mistis, seperti “Diwadalkan ka Siluman,” “Nyupang,” dan “Kasilib,” misalnya, tetapi setelah membaca secara keseluruhan justru karya-karya yang berbau jurig itu justru tendensi unsur religius Islamnya begitu kental. Ki Umbara, dalam setiap karyanya seakan mengingatkan bahwa, yang namanya setan, pocong, wewe gombel, gederuwo, kuntilanak, atau apapun namanya adalah tidak ada. Itu semua hanya khayalan manusia saja. Dan ketakutan kita pada makhluk halus tersebut dapat dikalahkan jika kita beriman dengan taat.
Jelas, memang karya-karya dalam sastra Sunda sangat kental unsur religiusnya, terutama religius Islam. Hal ini sesuai dengan pendapat yang pernah dikemukakan oleh Usep Romli bahwa, dalam setiap karyanya, baik prosa maupun pusisi, dari karya baheula hingga karya teranyar, hampir semua pengarang pernah mengekspresikan keyakinannya selaku muslim. Meskipun tidak selamanya masalah keislaman dijadikan tema, tetapi warna keislaman selalu kentara.
Kentalnya unsur religius dalam sastra Sunda bukanlah omong kosong belaka. Kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam tiga genre sastra berbeda; baik prosa (carpon, carita pondok), puisi, pun drama unsur religius Islam memang amat kentara dalam khazanah sastra Sunda. Setidaknya tiga orang sarjana telah membuktikannya. Mereka itu adalah: Ence Ali Sajidin dengan judul skripsi “Aspek Religiusitas Naskah Drama Carem” Karya R.H. Hidayat Suryalaga; Munawar Holil dengan judul skripsi “Aspek Religius Dalam Kumpulan Cerpen Jiad Ajengan karya Usep Romli”; dan Asrimaya Tejawulan dengan judul skripsi Religius “Islam Dalam Kumpulan Puisi Kalakay Mega karya Soni Farid Maulana.”
Rekreasi karya-karya sastra yang bernuansa religius terus belangsung. Baik dalam genre wawacan, sisindiran, guguritan hingga genre sajak, carpon dan drama. Melihat fenomena semakin banyaknya karya sastra yang dikhususkan bermuatan keagamaan, terutama setelah karya-karya Ki Umbara banyak mewarnai khazanah sastra Sunda, Ajip Rosidi menamai karya sastra yang menekankan pada unsur religius itu dengan istilah “sastra dakwah.”
Kiwari, sastra dakwah tidak hanya menjamur di petamanan sastra Sunda saja, dalam sastra Indonesia pun sami mawon. Apakah hal ini petanda kila-kila yang dilontarkan John Naisbith dan Patricia Aburden telah sampai pada uganya, dalam ramalannya, beliau berkata, pada abad XXI agama dan bahasa daerah akan menjadi dagangan penting. Wallahu’alam.***
*) Djasepudin, penulis dalam bahasa Sunda dan Indonesia. Pernah sekolah di SD Kandang Roda, Nangewer dan SMP Negeri 2 Cibinong, Bogor.
Dijumput dari: http://www.kompasiana.com/djadjas