Pages

Saturday 15 September 2012

Membebaskan Puisi


Membebaskan Puisi
Posted by PuJa on August 12, 2012
Misbahus Surur *
Lampung Post, 12 Agu 2012

“… dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan/ sebelum pada akhirnya kita menyerah” — Chairil Anwar
Terkadang desakan ide-ide yang menyeruak ke dalam pikiran, sulit diungkap dalam bahasa; sukar sekadar dituang ke dalam kata-kata yang memang dianggap sebagai –salah satunya- piranti untuk menampung ungkapan pikiran dan perasaan manusia. Dan sepertinya, memang akan selalu ada hal-hal yang ingin sekali dituliskan, namun dengan sebab teknis maupun ontologis, kita tak begitu saja gampang mengungkapkannya. Searus dengan hal di atas, adalah kata-kata Robert Frost: “Separuh dari dunia terdiri dari orang-orang yang memiliki sesuatu untuk dikatakan, tetapi tidak bisa mengatakannya…” Sungguh terpampang dilema (ber)bahasa dalam ungkapan tersebut, antara niat berbahasa yang tak lagi ”ramah” bagi kehendak merumahkan makna dan suara-suara. Sedang pada lain sisi, juga betapa masih kentalnya desakan (kalau tak boleh dibilang beban) pencarian pola ungkap melalui strategi jitu yang menggoda. Kasus pertama adalah ikhtiar mengatasi bahasa yang hendak menaklukkan makna, sementara yang kedua, lebih ke upaya merambah ”jalan lain” dalam berbahasa.
Pada mulanya manusia mengetahui lebih banyak dari yang bisa ia ucapkan. We know more than we can say, ungkap Michael Polanyi (The Study of Man, 1959). Bagi Polanyi, dari kenyataan yang hampir tak terbatas ini, sebagian kecil merupakan kenyataan yang diketahui (the known reality) oleh manusia, yang dapat melahirkan pengetahuan (knowledge). Meski porsi terbesar tetap merupakan pengetahuan yang belum terbahasakan (pre-articulated knowledge). Atau, hanya sebagian kecil saja yang telah menjadi pengetahuan terbahasakan (articulated knowledge). Persoalannya, melalui seperangkat bahasa yang baku dan formal pun, kita kerap terg(er)agap dan tak bisa mengungkap-tuliskan apa yang telah tergambar atau terabstraksi dalam otak kita. Belum lagi ketika realitas berhasil ditandai (terartikulasi), teknologi bahasa pada gilirannya melulu siap mereduksi.
Saat gagasan tak tersampaikan dalam praktis bahasa, senyatanya gagasan (juga pengalaman) akan tetap tinggal menjadi pengetahuan pribadi (personal knowledge) tiap-tiap manusia yang bisa jadi tak terjamah. Di aras inilah sastra, terutama melalui puisi, didorong kembali menunjukkan kemampuan asalinya. Setidaknya, melalui suatu cara yang menyerpih dan kadang melawan formalitas bahasa, ia berada dalam posisi dan karakteristik ini: puisi dengan cara ungkap arkaik dan tak biasa, disinyalir sanggup “membahasakan” apa yang kerap tak terbahasakan. Selain juga dapat membikin model korespondensinya sendiri yang khas. Suatu korespondensi yang bisa saja dibentuk misal, dari cara yang sederhana hingga yang mewah. Dari yang romantik hingga simbolik. Dari model tutur lirik hingga epik. Bahkan dari bahasa sadar hingga tak sadar.
Ketika standar bahasa normatif sering hanya mengungkap hal yang inderawi; apa yang hanya mampu ditangkap indera. Tradisi puitik jamak tak hanya piawai mengungkai yang inderawi, namun juga berusaha menangkap-bahasakan apa yang kognisi dan intuisi. Pengetahuan manusia, yang umumnya berangkat dari hasrat pengalaman pribadi, di dalam puisi disuling sekaligus ditranformasikan melalui cara yang unik. Dan pada tahap-tahap tertentu seolah menjauhi konsensus. Bahkan ia identik dengan pola ungkap parole, untuk meminjam konsep kebahasaan Ferdinand de Saussure. Bahasa parole ini sering ada dan dipunyai puisi. Wajar saja misalnya, bila kita temui pengalaman bathin terartikulasi dalam tanda verbal, via puisi, sulit kita raba dan cerna. Tapi ia bukan semata nomenklatur.
Yang Diam, yang Puisi
Ketika realitas terlalu rentan dan pelik diekspresikan dalam bahasa harafiah, upaya penggambaran secara metaforis adalah sejumput jalan lain. Ludwig Wittgenstein pernah menyinggung ihwal ini. “What we can be said at all can be said clearly, and what we cannot speak about we must pass over in silence” (Apa yang memang dapat dikatakan katakan dengan jelas, dan apa yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya diam). Ya, bisa jadi melalui ranah puisilah, sedikitnya, frasa ”we must pass over in silence” itu mau menyibak tabirnya. Ungkapan Wittgenstein di atas, seolah menunjuk dan mengafirmasi apa yang memang ”metarealitas” dalam bahasa. Maka, luapan pengalaman religius, perasaan jatuh cinta, komunikasi dalam do’a, -kalau boleh saya menduga beberapa di antaranya-, adalah prototipe-prototipe artikulasi ini. Ya, varian bahasa yang kerap tergulir hanya melalui ungkapan-ungkapan subjektif yang ekstrem dan akut, semisal pada puisi.
Betapa sering pula kita membaca gagasan lewat analogi-analogi. Ini adalah cara artikulasi bagi ihwal, katakanlah realitas, yang tak bisa atau pelik jika harus ditangkap dalam kata-kata normatif. Dan analogi menjadi satu upaya yang niscaya bagi penciptaan bahasa metafora, entah dalam bentuk aforisma, adagium, penggalan kata atau ungkapan puitik lainnya. Nietzsche misalnya, tokoh yang berpengaruh besar pada Heidegger ini memilih menuang gagasan melalui aforisma, dengan alasan tak percaya lagi pada bentuk-bentuk tulisan sistematis. Hal yang juga dilakukan Iqbal. Ia melihat keterbatasan bentuk tulisan sistematis untuk mengikat gagasan. Hanya saja Iqbal tak menolak tulisan sistematis, seperti kadang sebagian tampak dalam filsafat. Tetapi melengkapi tulisan-tulisan itu dengan puisi (St. Sunardi, Nietzsche, hlm 239). Dan jauh sebelumnya, Plato juga menyimpan gagasannya dalam ungkapan metafora. Ide-ide Plato yang banyak tertuang dalam dialog-dialog, padat dengan perumpamaan dan metafora. Sesuatu yang juga banyak tersurat pada frasa-frasa pujangga besar, Kahlil Gibran.
Kita tahu, betapa sulit mengungkapkan hal ideal atau perasaan ganjil lewat bahasa sehari-hari. Di antara para filsuf, bahkan ada yang menganggap bahasa sehari-hari kurang memadai, misalnya saja untuk berfilsafat. Bertrand Russell menduga bahwa bahasa sehari-hari tak dapat digunakan untuk berfilsafat karena sekian kelemahan; kabur, makna taksa, kata-kata kerap bergantung pada konteks dan beberapa kelemahan yang lain. Problem filsafat kerap muncul didasari atas terbatasnya bahasa sehari-hari serta menyimpangnya penggunaan bahasa. Russell kemudian banyak membangun pikiran filsafatnya dengan sintesa dan analisa. Baginya, struktur gramatikal saja belum tentu menentukan struktur logis ungkapan bahasa (Kaelan, 1998: 97).
Walhasil, gagasan yang ditangkup bahasa, hakikatnya memang adalah akumulasi pengetahuan yang dulu cuma sempat dipikirkan. Ia kemudian dibaku-bukukan dengan tetap merujuk dan menunjuk pada entitas atau unsur di luar bahasa. Di dalam puisi, tentu banyak tersimpan arketipe pengetahuan, nilai-nilai dan formula. Bahasa sungguh punya peran menjaga secara turun temurun dengan berbagai kekuatan metaforanya dalam literasi dan inskripsi. Bahkan darinya, tak jarang terpendam ajaran dan pesan adiluhung, yang antara lain, berguna untuk membendung bahasa yang bergulir semata jadi ”obyek pasar” atau medium ”menjalankan modal.” Pendeknya, bahasa (puisi) selaiknya juga bernyali melawan produk dan tipe bahasa ”klise” yang melulu terhasilkan dari, -meminjam parafrase Frost dari sambungan kalimat di awal paragrap esai ini-, “ …orang-orang yang tidak punya apapun untuk dikatakan, akan tetapi terus saja mengatakannya.”
*) Misbahus Surur, esais, tinggal di Malang

Pertarungan Ideologi dalam Sastra


Pertarungan Ideologi dalam Sastra
Posted by PuJa on August 12, 2012
Bayu Agustari Adha
Riau Pos, 12 Agu 2012

SASTRA berfungsi tak hanya memberi hamparan kisah yang tertera begitu saja. Di balik itu sastra juga menyelipkan pertarungan ideologi dalam konflik dan alur yang disajikan. Walau hanya bersifat fiksi, emosi yang disajikan terbukti lebih lama membekas dari karya non fiksi. Itu bisa dilihat pada karya Khaled Hosssaini, The Kite Runner yang secara implisit menyajikan suatu pertarungan ideologi yang membuat suatu Negara yakni Afghanistan menjadi Negara hancur tanpa henti sampai kini. Apa yang membuatnya hancur adalah pertarungan ideologi yang saling memaksakan tanpa adanya suatu negasi. Ideologi itu di antaranya nasionalisme, liberalisme, komunisme dan fanatisme.
Ideologi nasionalis berhegemoni di sini dalam kerangka yang dangkal. Nasionalisme ini beranjak dari primordialisme suku dominan yang ada di Afghanistan. Watak budaya membesar-besarkan ini menjadi suatu ciri khas orang Afghan. Jika seseorang mengatakan anaknya seorang dokter maka kemungkinannya anak itu hanyalah pernah lulus ujian biologi. Inilah kecintaan pada Tanah Air yang dibesar-besarkan sehingga berdampak buruk pada masyarakat itu sendiri. Dalam novel ini digambarkan suku mayoritas yakni Pashtun yang menginferiorkan suku Hazara. Diceritakan karakter utama Amir yang seorang Pasthun punya teman bermain yang anak pembantu keluarganya yakni Hassan bersuku Hazara. Amir memang tak menganiaya Hassan, tapi watak superioritas sebagai suku Pasthun tetap tertanam pada tindakannya walau tak sebenarnya dalam hati. Baba Amir dan ayah Hassan, Ali, dulunya juga seperti itu.
Tindakan terjadi hanya karena konstruksi masyarakat Afghan yang memberi paradigma rendah pada orang Hazara. Dalam kesehariannya, Ali dan Hassan sering diolok-olok kaum Pasthun yang berbeda secara fisik dengan kaum Hazara. Setiap hari Ali memperoleh cemoohan dari remaja yang agak besar dengan sebutan Babulu atau Hantu. Mereka menyebutnya pesek, begitulah ciri-ciri Ali dan Hassan dan kebanyakan suku Hazara. Suku ini keturunan Mongol dan sedikit mirip Cina. Julukan-julukan untuk orang Hazara di antaranya pemakan tikus, dan keledai pengangkut barang. Malangnya stigma ini terus terwarisi sampai pada anak-anak yang sebenarnya tak tahu apa-apa. Hassan juga kerap diperolok, terutama oleh Assef, tokoh antagonis di novel ini dengan sebutan-sebutan di atas.
Assef jadi representasi nasionalisme yang bermuara pada fasisme. Ia merupakan pengagum Hitler dengan ibu keturunan Jerman dan Ayah seorang Pasthun. Satu setting menceritakan Assef bersama temannya mencegat Amir dan Hassan untuk membiarkannya menyiksa Hassan seorang Hazara. Dia mengatakan ‘’Afghanistan adalah Negara milik bangsa Pasthun. Dari dulu begitu, dan akan selalu begitu. Kita adalah orang-orang Afghan sejati, orang-orang Afghan murni, tak seperti si pesek ini. Kaumnya mengotori Tanah Air kita.’’ Assef tak hanya marah pada Hassan, tapi juga pada Amir karena telah bermain bersama Hassan. Dalam hati Amir, Hassan bukan temannya melainkan pembantunya, namun karena segan Amir tak mengatakannya. Hassan pun melindungi Amir dengan menggertak Assef dengan ketapelnya.
Kekalahan Assef ini menjadi dendam yang makin besar dan abadi baginya. Tak hanya hubungan persukuan yang membuat suatu nasionalisme sempit seperti ini, aliran agama juga menegaskannya, walau sama-sama Islam. Pasthun menganut Sunni dan Hazara sebagai Syi’ah. Latar belakang utama penindasan ini memang adalah perbedaan mahzab agama ini.
Di sisi lain pemikiran ini juga dapat perlawanan dari orang Pasthun sendiri yang berupa pemikiran liberal. Itu dilihat dari karakter ayah Amir sendiri, Baba yang menunjukkan kejijikannya pada kaum Sunni yang merasa sok suci. Ini terlihat ketika Amir mengatakan pada ayahnya bahwa menurut guru agamanya minum wiski itu haram. Baba dengan percaya diri mengatakan apa yang dipelajari di sekolah takkan menemui titik temu dengan kenyataan. Bahkan ia mengatakan.
Baba sendiri adalah orang yang tergila-gila dengan gagasan tentang Amerika. Ia juga pernah mengatakan di dunia ini hanya ada tiga lelaki sejati yakni sang penyelamat gagah berani, Inggris dan Israel, selebihnya adalah mereka yang sama saja dengan nenek-nenek yang hobi bergosip. Tentu saja pernyataan ini menyentak banyak orang karena secara de facto memuja Israel tentu saja mengindikasikan anti-Islam. Tapi ia menyatakan bahwa semua ini tak ada hubungannya dengan agama. Di matanya Israel adalah pria sejati di sebuah pulau dikelilingi oleh lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi minyak mereka sehingga tak peduli pada nasib bangsa sendiri. ‘’Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!,’’ serunya.
Hingga sampai akhirnya Uni Soviet menginvasi Afghanistan, masuklah satu ideologi lagi yakni komunisme. Ideologi buruh yang tumbuh menjadi gerakan otoriter di atas segala pembenaran. Ideologi yang pertamanya menyokong majunya kaum buruh malah berujung kekejaman oleh para tentara Uni Soviet. Afghanistan yang sedang gagap berideologi harus menelan lagi paksaan ideologi baru. Apa yang dilakukan Uni Soviet jelas bertentangan karena yang terjadi di lapangan sebenarnya hanya nafsu kekuasaan sebagai pertarungan Negara adidaya dengan AS sehingga segala hal yang berhubungan dengan Amerika dimusnahkan. Itu terjadi pada pihak Afghan di segala aspek sampai-sampai pada hal-hal budaya pop seperti musik. Di novel ini seorang musisi modern menjadi seperti anjing oleh tentara Rusia hingga akhirnya tewas menggenaskan.
Dalam aksinya para penjajah dengan sesukanya memetakan aliran ideologi para penduduk tanpa jelas kriterianya. Dengan menggunakan cecunguk dari Afghanistan sendiri, tentara Uni Soviet telah membantai begitu banyak jiwa yang terindikasi tak berafiliasi pada komunis. Mereka diam-diam menguping pembicaraan orang lain. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu penjahit mengupas baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah Poleh-Charki. Keluhan tentang pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji, di balik hadapan moncong senapan klashinov. Kejadian ini berlangsung begitu lama sehingga Afghanistan menjadi Negara tanpa masa depan karena sibuk perang.
Hingga akhirnya pada 1989, Uni Soviet meninggalkan Afghanistan. Perang terus berkecamuk, kali ini antar warga Afghan sendiri, kaum Mujahiddin melawan pengikut Najibullah, pemerintah boneka Soviet. Gelombang pengungsi Afghan terus membanjiri Pakistan. Pada tahun itu pula perang dingin berakhir dan Tembok Berlin dirubuhkan. Namun di tengah kekacauan itu, Afghanistan terlupakan. Kabul saat itu jadi rebutan antara faksi. Ibukota Afghanistan ini jatuh ke tangan Massoud, Rabbani dan kelompok Muhajiddin antara 1992-1996. Taliban memenangkan pertikaian 1996. Pada masa Taliban inilah muncul lagi satu ideologi yang makin memperparah keadaan yakni fanatisme. Mulanya memang semua orang di Afghanistan menyambut Taliban dengan suka cita. Warga menari di jalanan dan menyapa prajurit Taliban seperti pahlawan, memanjat tank mereka dan berfoto bersama. Namun itu hanya berjalan sesaat. Tanpa diduga Taliban melakukan hal-hal yang tak masuk akal atas nama agama dengan memerangi rakyat Afghan sendiri. Permainan layang-layang diharamkan dan 2 tahun setelah berkuasa mereka membantai suku Hazara yang beraliran Syiah.
Taliban juga melakukan ketidakadilan pada kaum perempuan. Itu terjadi ketika istri Hassan berbelanja di pasar. Dia membeli sesuatu, namun karena penjualnya agak sedikit tuli dia bersuara agak keras. Hal itu terdengar oleh tentara Taliban dan langsung menghampiri dan memukuli sembari mengatakan bahwa Kementerian Kesusilaan melarang wanita bersuara keras. Karena Hassan adalah Hazara, ancaman kematian senantiasa menimpanya hingga akhirnya ia mati dengan ditembak kepala bagian belakang oleh Taliban karena identitas Hazaranya.
Fanatisme sempit ini juga diterapkan pada cara berpakaian. Afghan laki-laki diwajibkan memakai pakol sedang wanita memakai burqa dan laki-laki harus berjanggut sepanjang dada yang mereka anggap sesuai syariat. Jelas ini suatu pemahaman yang salah dari paham fanatisme yang dianut dengan mengatasnamakan syariah. Di sisi lain para prajurit Taliban malah menasbihkan hal-hal tertentu hanya pada mereka seperti dimana hanya Taliban yang bisa menikmati daging kambing. Dalam keseharian operasional pun mereka berpatroli dengan sangat kejam seperti orang kehausan untuk membunuh. Mereka terus memancing rakyat untuk berbuat kesalahan dan dengan begitu mereka bebas menindas sampai dengan membunuh. Ini makin menjadi pemandangan sehari-hari sehingga yang terlihat hanya seorang anak bersama ibunya tanpa ayah. Sebagian besar ibu pun lebih memilih menumpangkan anaknya di panti asuhan yang kondisinya menyedihkan karena wanita juga dilarang bekerja sehingga tak ada biaya untuk memenuhi kebutuhan. Seorang ayah telah menjadi suatu sesuatu yang langka di masa Taliban.
Pada masa itu ada satu kebiasaan yang gemar sekali dilakukan oleh Taliban yaitu prosesi perajaman kepada para pezina saat jeda istirahat pertandingan sepakbola. Setelah wasit membunyikan peluit turun minum, pertunjukan tambahan segera dimulai. Dua truk merah berbak terbuka memasuki stadion melalui gerbang. Seorang wanita dengan terbungkus burqa hijau duduk di salah satu bak truk, sementara seorang pria dengan mata tersekap duduk di bak truk lain. Kedua truk berjalan mengelilingi lapangan seolah-olah membiarkan seluruh penonton memperhatikan mereka. Truk berhenti di belakang gawang yang telah menyediakan dua lubang. Kemudian datang lagi satu truk berisi pasukan Taliban. Mereka memasukkan kedua pezina ke masing-masing lubang sedalam dada. Kemudian berbicaralah seorang ulama dengan melafalkan surat Alquran yang panjang. Lalu ulama itu berceramah mengenai keharusan menegakkan Syariat kehendak Allah dan Nabi Muhammad. Lalu dimulailah acara inti dimana seorang pria memungut batu dan memperlihatkannya pada penonton lalu melemparkannya pada para pezina sampai akhirnya daging dan darah berserakan. Pertunjukan pun selesai.
Peristiwa ini secara naluriah jelas suatu tindakan yang bersifat sadisme yang makin menjauhkan Islam sebagai agama yang damai. Itu terjadi karena fanatisme sempit yang tak bisa menyaring dan menerjemahkan hukum Allah sehingga terjadi salah tafsir di mana perlu dilakukan peninjauan lebih dulu. Karakter yang merepresentasikan ideologi fanatisme ini ternyata tak lain adalah Assef. Seorang pengagum Hitler yang menjelma menjadi Taliban. Jelas di sini bahwa Taliban telah menjadi wadah baginya untuk melampiaskan hasrat fasisme yang dianutnya. Terang sekali bagaimana perselingkuhan ideologi fasisme dengan fanatisme yang berupa Taliban.
Dalih Syariat itulah yang digunakannya. Menurutnya, ‘’Menegakkan keadilan pada masyarakat adalah pertunjukan terhebat. Drama. Ketegangan. Dan yang terbaik di antara semuanya adalah pendidikan massal. Kau takkan mengerti makna kata pembebasan hingga kau melakukannya, berdiri di hadapan seruangan target, membiarkan peluru melayang, membiarkan dirimu mengetahui bahwa dirimu lebih unggul, lebih baik dan lebih mulia. Mengetahui bahwa dirimu telah menjadi perpanjangan tangan Tuhan.’’ Begitulah upaya pembenaran yang dilakukannya. Tampak nyata ia menggabungkan ideologi fasisme ala Hitler dengan fanatisme sempit sehingga merasa melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan.
*) Bayu Agustari Adha, Tutor bahasa Inggris di EasySpeak.

Memahami Bahasa Visual Iklan di Media Massa


Memahami Bahasa Visual Iklan di Media Massa
Posted by PuJa on August 18, 2012
Daisy Priyanti
Suara Karya, 18 Agu 2012

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah diskusi tentang televisi, seorang peserta melontarkan pertanyaan yang agak menggelitik. Kegelisahan yang dilontarkan adalah, kenapa belakangan ini, iklan di media massa khususnya televisi mempunyai tren yang sama. Tren dalam mengemas bahasa visual yang sama. Semuanya nampak seragam.
Ujung-ujungnya menyepakati, bahwa iklan televisi yang acapkali muncul belakangan ini, agaknya mengambil teknis tutur gambar yang sama. Pengambilan angle camera, hampir seragam. Memakai idiom-idiom dan teknis penciptaan yang kerap kali muncul dalam film dan iklan-iklan yang pernah dibuat oleh sineas Garin Nugroho. Begitu besar, pengaruh Garin Nugroho dalam industri televisi nasional dari karya-karyanya?
Bisa demikian kuatkah? Yang pasti dalam industri film, Garin Nugroho memang telah diakui berkat sejumlah penghargaan yang diraihnya. Begitu juga dalam bahasa visual iklan perfilmannya, Garin Nugroho mempunyai koleksi karya-karya iklan televisi dengan bahasa gambarnya yang menarik. Bahasa tuturnya yang sangat berbeda tersebut nampak dari iklan film “Soegija”, penghematan pemakaian tenaga listrik, iklan mobil, dan iklan layanan masyarakat yang lain.
Dalam perkembangannya, iklan yang diproduksi Garin diadopsi secara ide (bentuk pengambilan gambarnya), oleh iklan lain. Misalkan, iklan rokok, iklan kopi, iklan lembaga perbankan dan masih banyak lagi. Semuanya, mengambil ide dan gaya pengambilan bahasa gambar yang pernah dan sering dilakukan oleh Garin Nugroho.
Sehingga, yang pada akhirnya muncul adalah, gaya iklan dengan gambar-gambar yang sangat seragam. Keseragaman yang terus bertambah, terus menerus. Bahkan, pada akhirnya begitu terasa sulit untuk bisa menemukan mana yang karya Garin Nugroho asli, dan yang palsu. Ketakutannya adalah, beberapa waktu mendatang, akan terjadi booming bahasa gambar Garin di televisi.
Bisa dikatakan, sutradara Garin Nugroho, memang menjadi fenomena. Salah satu tonggak, sutradara unggulan di Asia. Dari karya-karyanya, senantiasa memunculkan keinginan-keinginan yang tak terbendung guna mengadopsinya. Ada kekhasan, spefisikasi penuturan bahasa gambar, yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Identifiaksi realitas keseharian yang dimaksudkan di sini adalah, mengangkat nilai-nilai budaya paling kongkret dan riil dari nilai yang ada. Dalam film-film iklannya bias terbaca bahwa nilai kultural yang mengedepan tak lebih dari upaya untuk bias melihat beragam perubahan yang terjadi dalam masyarakat, yang lantas, dikonfrontasikan dengan realitas budaya pop, pendidikan politik dan terciptanya ketimpangan komunikasi.
Pendapat itu mungkin berlebihan. Namun, paling tidak ada perlunya dikedepankan pula, bentuk-bentuk pemikiran yang lebih kritis yang justru melekat dalam industri televisi itu sendiri.
Anatomi industri televisi, memang bisa dibaca dan diterjemahkan dalam beberapa bentuk kecenderungannya yang actual. Pertama, industri televisi akan senantiasa berjalan terus dalam upaya pembaruan. Upaya untuk memperbaiki diri secara bentuk, adalah jalan yang seringkali ditempuh oleh televisi.
Kondisi yang terus menerus berubah tersebut, telah menjadi keharusan yang tak bisa dikesampingkan. Pemirsa memang terus menerus membutuhkan, atau malah menuntut adanya gaya tutur baru yang lebih segar. Terlalu banyaknya bahasa tutur program televisi yang seragam, jelas menciptakan sebuah kejenuhan. Kejenuhan yang akan menciptakan antiklimaks proses komunikasi pesan televisi. Lebih parahnya, antiklimaks tersebut akan menjadi dasar dari serangkaian tudingan yang selama ini diarahkan ke televisi. Upaya untuk bias menemukan bentuk pembaruan, memang sebuah strategi menghindari keseragaman. Homogenitas televisi, akan muncul dengan cepat, dan butuh strategi pengupayaan heterogenitas ide. Ada nilai ekonomi yang tinggi. Kedua, industri televisi pada akhirnya dimaknai sebagai bangun sistem yang terus menerus, menghitung dirinya dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomis. Sehingga, hitungan setiap program adalah hitungan ekonomis.
Ketika ada sebuah kecenderungan yang mewabah dalam hal produksi program, maka dengan cepat menjadi bahan pertimbangan dalam setiap penayangan. Produksi program yang dimaksudkan di sini, meliputi gaya penciptaan, pengambilan gambar dalam perspektif dan sudut-sudutnya, serta sistem produksi yang dipakainya. Banyak dari pemilik modal, baik itu pengusaha, yayasan, ataupun departemen-departemen pemerintah yang seringkali menuntut pada banyak sutradara untuk bisa membuat karya seperti yang dikedepankan secara gambar oleh Garin Nugroho.
Dan standarisasi program televisi dengan nilai estetika Garin Nugroho -pun menjadi sebuah patokan. Menjadi satu symbol yang terus menerus mengilhami beragam bentuk program televisi. Terutama menyangkut esensi pesan, bentuk, perspektif gambar dan yang lain. Semuanya ingin disamakan tingkat pencapaiannya.
Ideologi televisi senantiasa bertumbuh pada perspektifnya yang saling terkait, dalam system nilai yang mempengaruhi. Sehingga, ketika pada saat ini banyak dijumpai beragam bentuk karya ala Garin Nugroho secara gambar, maka, bisa diungkap bahwa relasi kreativitas tersebut sebagai proses kreatif yang wajar.
Dalam tradisi berkesenian, sebenarnya tak pernah terdapat satu ide kreatif yang orisinal. Orisinalitas ide mencipta karya visual televisi, juga demikian.
Pada kenyataannya tak ada yang baru. Mungkin bahasa gambar Garin Nugroho pada saat ini boleh dikatakan sebagai sesuatu yang baru. Tetapi, jika ditarik ke belakang, tetaplah juga merupakan ide hasil adaptasi karya yang pernah ada. Tak ada kebaruan yang orisinal.
Ketika banyak bahasa gambar Garin Nugroho yang lantas dijiplak, itu akan menjadi hal yang wajar. Dalam arti, untuk didalam peta karya telvisi, Garin-lah yang memang pertama mengenalkannya. Namun, jika lantas disebut sebagai karya yang sangat orisinal dari bahasa gambarnya, memang patut untuk dikaji ulang.
Pada akhirnya, industri televisipun akan terus bergerak dan memperbarui dirinya dengan idiom dan perspektif yang baru. ***

Sastra Sunda dan Kendala Kebangkitannya


Sastra Sunda dan Kendala Kebangkitannya
Posted by PuJa on August 28, 2012
Linda Sarmili
Suara Karya, 25 Agus 2012

Dalam rangka mengaktualisasikan kembali sastra dan bahasa Sunda – yang selama ini dinilai terancam punah – digelarlah baru-baru ini Kongres Bahasa dan Sastra Sunda di Cibulan, Puncak, Bogor, Jawa Barat.
Kongres tersebut menghadirkan sejumlah pemerhati sastra dan bahasa Sunda dari seluruh daerah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta, juga hadir komunitas masyarakat pecinta sastra dan bahasa Sunda dari berbagai daerah. Hadir dalam kesempatan itu pengurus lembaga sastra dan bahasa Sunda, juga budayawan sekaligus praktisi bahasa Sunda Ayip Rosidi.
Dibuka secara resmi oleh pejabat terkait dari Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasiskan Seni Budaya, Drs Syamsul Lussa, kongres tersebut langsung menghangat dengan bermunculannya sejumlah pertanyaan yang tendensius.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain berbunyi: “Bahasa Sunda sebagai bahasa Ibu warga Jawa Barat, kini terkesan dilupakan oleh warga Jawa Barat sendiri. Bagaimana pemerintah mengatasinya?”
“Kenapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat terkesan tidak peduli dengan beragamnya keluhan masyarakat mengenai ancaman punahnya bahasa Sunda”
“Di sekolah tingkat dasar pun pengajaran bahasa Sunda sudah semakin jarang dilakukan. Yang justru marak dan menjadi kebangaan anak-anak adalah jika mereka diajarkan bahasa Inggris. Akibatnya bahasa Sunda benar-benar dikucilkan oleh warga Jawa Barat sendiri.”
“Kenapa Pemerintah Provinsi Jawa Barat tidak peduli dengan usaha-usaha memajukan Sastra Sunda?”
Adalah Syamsul Lussa yang kemudian mengaku kaget dan prihatin mendengar munculnya ancaman yang bisa membelenggu kelangsungan hidup bahasa Sunda.
“Sebagai komunitas masyarakat yang luas penyebarannya, banyak pula populasinya di sekitar Jawa Barat dan sekitarnya, sepantasnya bahasa Sunda tetap dilestarikan. Lembaga-lembaga pendukung kelangsungan hidup bahasa Sunda juga harus tetap dihidupkan. Semua itu perlu mengingat bahasa Sunda merupakan bagian dari aset bangsa. Bahasa Sunda tidak saja merupakan ikon kebanggaan masyarakat Jawa Barat, tetapi juga bagian dari kebangaanmasyarakat Indonesia seutuhnya,” ujar Syamsul Lussa.
Karena itu, Syamsul Lussa mendukung semua usaha yang dilakukan masyarakat agar bahasa Subda tetap dilestarikan. Jika pada saat ini dirasakan sendiri oleh masyarakat Sunda bahwa bahasa Sunda sudah terancam punah, maka segala penyebabkan yang memungkinkan punahnya bahasa Subda dari muka bumi nusantara ini, semua warga Jawa Barat harus memeranginya.
Penegasan Syamsul Lussa itu disambut baik oleh jajaran pengurus lembaga bahasa dan Sastra Sunda. Yayat Hendayana dari lembaga bahasa dan sastra Sunda misalnya mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jawa Barat jangan lagi bersikap acuh, tidak peduli, atas ragam usulan masyarakat yang prihatin melihat bahasa dan sastra Sunda makin terpinggirkan.
“Coba cermati pengajaran bahasa Sunda di tingkat SD. Hampir di seluruh SD di Jawa Barat tidak ada lagi pelajaran bahasa Sunda. Guru bahasa Sunda bahkan tidak pernah diperbarui sejak lama. Akibatnya, bahasa Sunda menjadi pelajaran yang asing di kalangan anak-anak SD di Jabar,” ujar Yayat.
Mantan Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Cabang Jawa Barat itu mengusulkan Pemda Provinsi bersikap aktif, kembali melakukan penekanan agar kurikulum pengajaran bahasa Sunda diaktifkan kembali. Pelajarran bahasa Sunda, kata Yayat Hendayana, harus dibangkitkan kembali sejak anak-anak di bangku Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar hingga sekolah menegah atas.
“Saya juga mengusulkan Pemprop Jawa Barat secara rutin mengangkat tenaga guru khusus untuk mata pelajaran bahasa Sunda, baik untuk di tingkat SD maupun sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Selama ini karena keterbatasan tenaga pengajar bahasa Sunda, akibatnya banyak sekolah mengganti pelajaran bahasa Sunda dengan pelajaran bahasa Inggris,” lanjut Yayat Hendayana.
Beberapa guru dari sejumlah sekolah dasar, dan sekolah lanjutan manggut-manggut saja manakala usulan Yayat Hendayana itu didiskusikan. Menurut Rohmat Mutaqien, salah seorang guru SD dari Bogor, pengajaran bahasa Sunda di sekolah tempatnya mengajar memang sudah lama hilang. Pelajaran bahasa Sunda yang sebelumnya rutin diajarkan setiap minggu sebanyak 6 jam kini diganti dengan pelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Penyebab semua itu, karena guru bahasa Sunda tidak ada.
Minat anak-anak mendalami bahasa Sunda, khusus di kawasan kota Bogor juga sudah sangat menipis. “Mereka bahkan mengaku tidak punya kebanggaan dan apresiasi yang baik setiap diberikan pendidikan bahasa Sunda. Bisa begitu, mungkin karena tenaga pengajarnya yang tidak ada, juga karena literatur kebahasaan Sunda yang relatif sulit didapatkan,” ujar Rohmat.
Jadi, bila ada usaha membangkitkan kembali bahasa dan sastra Sunda, Rohmat mengusulkan agar pihak terkait sekaligus menghidupkan perpustakaan bahasa Sunda yang di dalam perpustakaan itu juga terdapat literatur sastra Sunda. Tenaga pendidik khusus untuk bahasa Sunda juga harus diangkat lagi dan disebar ke seluruh Jabar.
Ayip Rosidi, budayawan, sastrawan yang juga pengamat kebahasaan Sunda menilai, tidak ada kata terlambat untuk membangkitkan lagi bahasa dan sastra sunda. “Jujur saya sedih melihat perkembangan yang merosot dalam pembinaan bahasa Sunda. Tapi, tidak ada kata terlambat jika Pemerintah Daerah memang masih punya keinginan membangkitkan lagi pembinaan bahasa Sunda.
Sebagai warga Sunda, saya memang selalu ingin melihat bahasa Sunda bagus pembinaannya. Sekarang pembinaan bahasa Sunda merosot tajam. Bahkan banyak anak-anak yang lahir di tatar Sunda tidak paham bagaimana bertutur sopan dan enak mengenai bahasa ibunya. Padahal nenak moyang banyak generasi muda di Jawa Barat sekarang adalah asli Sunda,” jelas Ayip Rosidi.
Jadi, apa usul kang Ayip untuk mengatasi hal itu? “Yah serahjkan saja sama orang-orang di DPRD Jabar dan para penguasa di Pemerintahan Provinsi Jawa Barat untuk menanganinya. “Saya sudah capek usul, usul, usul trus, tapi pemerintah daerahnya emang Torek! Pura pura tidak mendengar,” ujar Kang Ayip yang pernah lama menjadi dosen mengenai kebudayaan Indonesia di Jepang. Ayip Rosidi juga mengingatkan, jika Pemprov Jabar benar-benar berniat membangkitkan lagi bahasa dan sastra Sunda, semua itu karena diamanatkan dalam aturan kependidikan yang ditetapkan lembaga pendidikan dunia (Unesco): bahwa pendidikan bahasa ibu wajib diajarkan kepada anak-anak usia SD di setiap daerah. Kalau Pemrov Jabar tidak menghiraukan hal itu, sama artinya pemerintah daerah Jabar mengangkangi aturan Unesco.
Bagaiaman dengan dunai sastra sunda? Menurut Ayip Rosidi, sastra Sunda masih lebih bagus pertumbuhannya, sekalipun di sekolah-sekolah di Jabar juga sudah relatf susah mendapatkan penghajaran khusus mengenai sastra Sunda kepada muridnya. Namun demikian, pembinaan sastra Sunda tetap jalan, meski dilakukan secara perseorangan oleh beberapa sastrawan Sunda.
Ayip Rosidi juga rutin menjalankan kegiatan “Rancage”, ajang pemberian penghargaan khusus kepada para sastrawan Sunda, sastrawan yang menelurkan karya-karya sastra terbaru dalam bahasa Sunda.
Semoga usaha yang dilakukan Ayip Rosidi dan komunitas sastrawan Sunda lainnya tetap bisa melestarikan sastra Sunda. ***
Dijumput dari: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=309891

Tradisi Sastra Jawa Timur


Tradisi Sastra Jawa Timur
Posted by PuJa on September 1, 2012
Tjahjono Widarmanto
_Majalah Bende No: 87 Jan 2011

Sastra bisa dibayangkan sebagai sebuah organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, mencapai puncak pertumbuhan hingga (bisa) mencapai kepunahan. Oleh karena itu, mustahil sebuah tradisi sastra tiba-tiba muncul begitu saja sebagai causa prima, namun sastra tumbuh dan dimulai dari sebuah tradisi yang sudah ada dan terbentuk bertahun-tahun lamanya. Teeuw pernah berucap bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan. Pendapat tersebut mengacu pada kaitan antara sastra dengan realitas dan fakta kemanusiaan. Namun, pernyataan Teeuw tersebut bisa ditafsirkan dalam konteks lain yaitu dalam konteks pertumbuhan karya sastra. Bisa ditafsirkan bahwa sebuah tradisi penciptaan sastra lahir dari tradisi penciptaan sastra sebelumnya.
Sastra yang baik adalah sastra yang mampu menciptakan tradisi penulisan sastra. Dengan demikian sebuah tradisi sastra merupakan sebuah mata rantai yang panjang yang mengaitkan tradisi-tradisi sastra sebelumnya. Tradisi sastra yang baik hanya bisa dibangun dari gagasan-gagasan sastra yang cemerlang dan kepribadian sastrawan yang tangguh. Dengan kata lain teks dan pengarang menjadi pertaruhan penting dalam terciptanya tradisi sastra.
Tradisi sastra (dalam pengertian ini sastra tulis) kita diawali sejak abad ke-5 masehi setelah bersinggungan dengan tradisi tulis India (Hindu-Budha) yang dibuktikan dengan dipakainya huruf Palawa dalam berbagai yupa, di antaranya Yupai Kutai dan Tarumanegara. Tradisi sastra kita diawali dengan kesadaran untuk mencatatkan berbagai peristiwa, mewariskan berbagai macam nilai, kepercayaan dan budayanya ke dalam bentuk sarana tulis berupa yupa, keropak, daun lontar, dan kitab.
Tradisi sastra kita di awali dengan kerangka kehidupan politik. Yaitu kepentingan kerajaan/kekuasaan untuk mengumumkan silsilah keluarga kerajaan, meneguhkan citra penguasa, menuliskan peristiwa-peristiwa yang berkenaan dengan politik dan acuan-acuan hukum. Misalnya Yupa Kutai yang berisikan silsilah keluarga maharaja Kudungga yang mempunyai anak Aswawarman yang mempunyai putera gagah perkasa bernama Mulawarman yang melakukan upacara persembahan 20.000 ekor sapi di alun-alun suci waprakecwara. Demikian juga pada prasasti Kedukan Bukit yang meriwayatkan penaklukan beberapa daerah oleh Dapunta Hyang (Sriwijaya), Prasasti Telaga Batu yang menuliskan kutukan dan hukum kepada siapa saja yang tidak setia pada Sriwijaya. Demikian juga pada prasasti-prasasti yang meriwayatkan kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat seperti prasati Pasir Awi, prasasti Ciaruteun, prasasti Tugu, dan prasasti Jambu. Prasasti dan isinya semacam itu juga dijumpai di Jawa misalnya pada kerajaan Mataram Kuno yang meninggalkan prasasti Canggal, prasasti Matyasih, prasasti Ritihang dan pada kerajaan Syailendra yang meninggalkan prasasti Kalasan dan prasasti Klurak.
Karena pada awalnya lahirnya tradisi sastra kita dilatarbelakangi dengan kerangka kehidupan dan kepentingan politik, maka pusat pertumbuhan sastra kita bermula dari pusat kekuasaan. Di Jawa, baik di Jawa belahan timur, tengah dan barat, pertumbuhan sastranya di awali dari pusat kerajaan atau keraton. Pada zaman itu, yang sering disebut sebagai zaman kapujanggan atau zaman sastra klasik, lahir, tumbuh, pemekaran dan penyebaran teks sastra bermula dari pusat kekuasaan yaitu keraton. Lahirnya pengarang/pujangga sangat dipengaruhi oleh pusat kekuasaan dengan tendesi politik yang kuat.
Di Jawa Timur, tumbuhnya tradisi sastra berawal dari pusat kerajaan mulai dari era Sri kameswara, Airlangga, Jayabaya, hingga Hayam Wuruk yang pada selanjutnya mengalami perubahan besar akibat pengaruh Islam. Berbeda dengan Jawa Tengah yang teks-teks sastranya di zaman kapujanggan tersebut berbentuk puisi, teks-teks sastra Jawa Timur di era kapujanggan kebanyakan berbentuk kitab yang ditulis dalam bentuk gancaran atau berbentuk prosa.
Di zaman keemasan Kediri bertebaran teks-teks sastra yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa tradisi keberaksaraan telah terbentuk dengan baik. Misalnya saja Kitab Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa yang dilaunching pada tahun 1030 pada zaman raja Airlangga yang meriwayatkan Arjuna yang bertapa untuk mendapatkan senjata untuk melawan kurawa, kitab Kresnayana karya Mpu Triguna yang ditulis pada rezim kekuasaan Jayabaya yang menceritakan kisah Kresna di masa kecil, kitab Hariawangsa karya Mpu Panuluh di era yang sama yang tampaknya kelanjutan kitab Kresnayana yaitu episode kisah Kresna pada bagian pernikahan Kresna dengan Dewi Rukhmini.
Kitab sastra yang lain adalah kitab Smaradhana karya Mpu Dharmaja yang ditulis di zaman pemerintahan Sri Kameswara yang berkisah tentang hilangnya Dewa Kama dan Dewi Ratih karena api yang keluar dari mata ketiga Dewa Syiwa, kitab Baratayudha ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang mengadopsi ‘pethilan’ Mahabarata India yang menceritakan pertempuran besar keluarga Pandawa dan Kurawa di padang Kurusetra selama 18 hari, kitab Gatot kacasraya karya Mpu Panuluh yang juga ditulis di masa pemerintahan Jayabaya yang meriwayatkan perkawinan Abimanyu dengan Siti Sundhari dengan bantuan Gatotkaca. Selain berakar dari kisah-kisah Mahabarata, teks-teks sastra di era itu juga meriwayatkan cerita-cerita asli dari tanah Jawa, misalnya, berbagai kitab Panji, yang isinya merupakan roman percintaan Panji Asmara Bangun dengan Candra Kirana (Panji Asmaradhana, Panji Semirang Asmarataka) yang mengagungkan ketampanan raja Kediri. Yang paling legendaris adalah kitab Jangka Jayabaya yang konon ditulis oleh Raja Jayabaya sendiri yang isinya berupa jangka atau ramalan-ramalan sosial politik nusantara di masa depan.
Tradisi sastra di zaman keemasan kediri tersebut berlanjut pada zaman keemasan Singasari dan Majapahit. Sebagai sebuah negara besar, Majapahit memiliki tradisi kesastraan yang kuat yang dibuktikan dengan diproduksinya teks-teks sastra yang berbobot. Teks-teks sastra itu di antaranya kitab Pararaton atau juga dikenal sebagai Katuturanira Ken Arok yang kalau dilihat berdasar isinya yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama meriwayatkan Ken Arok dan raja-raja Singasari dan bagian kedua mengisahkan kerajaan Majapahit mulai dari Raden Wijaya, Jayanegara, pemberontakan Ranggalawe dan Sora, perang Bubat hingga daftar raja sesudah Hayam Wuruk, dapat diterka bahwa penulisan Pararaton dilakukan di dua masa rezim yaitu rezim Singasari dan Majapahit. Yang menarik dari kitab Pararaton ini adalah dengan disisipkannya dongeng-dongeng lama seperti Tantu Panggelaran, Bubuksah Gagang Aking, Sundayana, dan carita parahiyangan.
Teks sastra lainnya misalnya kitab Negarakertagama yang sering disebut kitab Desawarnana. Kitab ini merupakan kitab yang paling masyhur dan paling banyak diteliti bahkan diakui oleh UNESCO sebagai memori dunia. Kitab ini ditulis di tahun 1365 M (1287 Saka) oleh Mpu Prapanca di zaman kekuasaan Hayam Wuruk. Negarakertagama berarti “Sebuah negara dengan tradisi (agama)” disebut pula Desawarnana yang artinya “Penulisan tentang daerah-daerah”. Kitab ini menceritakan masa pemerintahan Hayam Wuruk dan puncak kejayaan Majapahit. Sebagian besar teks meriwayatkan Hayam Wuruk sebagai penguasa yang sangat adil dalam memerintah dengan perdana mentrinya yang perkasa bernama Gajah Mada yang berhasil menaklukan kerajaan-kerajaan nusantara lainnya hingga ujung sumatra, Brunai sampai Papua. Kematian Gajah Mada pun diceritakan dalam kitab ini. Kitab ini pun secara detil mendeskripsikan perjalanan raja Hayam Wuruk ke beberapa daerah taklukannya. Yang menarik dalam kitab ini disebutkan bahwa Majapahit di era itu sudah mengenal kitab hukum (KUHP) yang disebut sebagai Kutara Manawadarmasastra (beberapa ahli menyebutkan Kutara Sastra atau Munawasastra) dengan salah satu pasalnya yang disebut dengan Astadusta.
Tak kalah pentingnya adalah Kitab Kuntaramanawa yang konon ditulis sendiri oleh Gajah Mada. Kitab ini merupakan kitab hukum yang disusun berdasarkan kitab hukum yang sudah ada (Munawasastra) yang disesuaikan dengan hukum adat. Kitab sastra lainnya yang ditulis pada masa Majapahit adalah Kitab Sutasoma karya besar Mpu Tantular. Menceritakan Sutasoma sang putra raja Majapahit yang mendalami agama Budha. Dalam kitab ini digambarkan pula adanya toleransi yang kuat yang menyikapi keberagaman beragama dalam kerajaan Majapahit yang dirumuskan dalam kalimat Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Mpu Tantular juga menulis sebuah kitab yang diadopsi dari ramayana yaitu Arjunawijaya yang mengisahkan peperangan raja Arjuna Sasrabahu dan patihnya Sumantri melawan raksasa Rahwana.
Setelah kejayaan Majapahit surut bahkan runtuh, masuklah kebudayaan Islam ke Jawa. Ketika tradisi sastra yang sudah ada bersentuhan dengan Islam dan dipengaruhi pula dengan berakhirnya masa kerajaan di Jawa Timur (yang ditandai dengan pindahnya pusat kerajaan ke Jawa Tengah tepatnya di Demak), maka tradisi sastra yang ada diwarnai dengan bentuk-bentuk sastra yang bercorak magis religius, yaitu kitab-kitab suluk seperti Suluk Sukrasa yang menceritakan perjalanan rohani Ki Sukrasa dalam mencapai ilmu kesempurnaan hidup, Suluk Wujil yang berisikan wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada siswanya bernama Wujil yang bekas abdi raja majapahit, ada juga kitab suluk Malang Sumirang yang beisikan pujian, keinginan mencapai kesempurnaan dan keinginan bersatu dengan Tuhan.
Berakhirnya masa kejayaan kerajaan di Jawa Timur mengakibatkan pula tradisi penulisan sastra pertumbuhan dan penyebarannya bergeser ke pesisir-pesisir. Peran Mpu dan pujangga digantikan oleh para sunan yang mengembangkan Islam sekaligus mengembangkan dan melanjutkan tradisi sastra yang sudah ada dengan memberi warna yang lebih beragam.
Tradisi sastra di Jawa Timur sekarang bukanlah hadir sebagai sebuah “ketiba-tibaan” namun merupakan buah dari pohon tradisi besar yang telah tumbuh sebelumnya. Tradisi sastra Jawa Timur merupakan mata rantai yang tersambung dari tradisi sastra sebelumnya. Tradisi sastra yang sudah ada sejak zaman klasik menjadikan Jawa Timur merupakan lahan yang subur bagi tumbuh dan pemekaran karya sastra. Tradisi sastra yang sudah berakar menjadikan Jawa Timur menjadi sebuah provinsinya para sastrawan yang sangat diperhitungkan dalam konstelasi sastra Indonesia. Saya tidak pernah menyoal apakah Jawa Timur merupakan negeri prosa atau negeri penyair. Namun saya berkeyakinan bahwa Jawa Timur adalah tanah sastra, kebun sastra yang jauh lebih subur dari tanah sastra atau kebun sastra provinsi lain. Dengan kata lain, baik prosa dan puisi tumbuh sangat subur di Jawa Timur karena tradisi penulisan sastranya telah terbangun dengan kokoh.
Yang perlu menjadi titik perhatian adalah bagaimana tradisi dan bentuk-bentuk sastra klasik Jawa Timur dapat menjadi spirit dan inspirasi pada penulisan satra Jatim modern. Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh para sastrawan Jatim terkini. Yang pertama, naskah-naskah klasik tersebut ditulis kembali dengan pengucapan dan orientasi baru. Yang kedua, ruh dari sastra-sastra klasik tersebut ditangkap dan dijadikan inspirasi penciptaan baru. Yang ketiga, naskah-naskah klasik tersebut ditulis ulang dengan tak hanya dengan sikap mereknstruksi, namun juga mendekonstruksikannya.
Ada sesuatu yang menarik dalam perbincangan sastra Jatim saat ini yaitu adanya sinyalemen yang ditengarai oleh beberapa kawan bahwa genre puisi tampak lebih mendominasi dibanding genre prosa, menurut hemat saya, hal tersebut tak lain hanyalah sekedar persoalan ‘mode’ saja. Ibaratnya, kalau sastra itu merupaka mode pakaian, maka puisi sedang menjadi mode yang trend sehingga berbondong-bondonglah puisi ditulis dan dibicarakan, namun bukan berarti prosa sebagai mode sastra yang lain menjadi mati.
Di paruh tahun 2000-an di Jatim (hingga sekarang (?)), puisi memang mencapai boomnya dan hingar bingar dibicarakan, namun bukan berarti prosa ditinggalkan. Masih banyak prosais Jatim yang tetap menulis, bahkan tercatat Jatim melahirkan nama-nama prosais yang mengejutkan dunia sastra Indonesia, tarulah beberapa nama sebagai contoh, seperti, Sony karsono, Lan Fang, Mashuri, Wina Bojonegoro, di samping nama-nama prosais yang lebih awal seperti Suparto Brata, Budi Darma, M. Shoim Anwar, Bonari, Wawan Setiawan, Zoya Herawati, Ratna Indraswari Ibrahim, Beni Setia, R.Giryadi, dsb.
Kalau kita tengok jauh ke belakang, prosa pernah menjadi trend dan menjadi booming. Misalnya, saat sastra koran menjadi panglima dalam pertumbuhan sastra Indonesia yang menjadikan cerita pendek primadona, maka Jawa Timurlah gudangnya cerpenis, mulai dari Alwan Tafsiri, Muhamad Ali, Suripan Sadi Hutomo, Suparta Brata, Budi Darma, hingga generasi Ratna Indraswari Ibrahim, Shoim Anwar, Tan Sin Tjiong dan berlanjut di era sekarang. Dengan kata lain tradisi penulisan cerpen Jawa Timur tidak pernah stagnasi. Bahkan kalau kita memelototi media massa Jatim selalu tampil wajah-wajah cerpenis baru. Kalau saat ini kita merasa puisi dan penyair mendominasi kancah sastra Jawa Timur itu hanya karena cerpen dan genre prosa sedang tidak ada yang membicarakannya (mungkin karena para pengulas sastra Jatim sedang malas berpanjang-panjang membaca, mungkin para pengulas sastra Jatim sebagian besar penyair sehingga lebih birahi pada puisi, atau jangan-jangan kita memang tidak punya kritikus prosa). Semua sedang asyik memperguncingkan penyair dan puisi, namun di sekelilingnya cerpen bertebaran, novel masih di tulis, prosais baru terus dilahirkan.
Yang paling utama saat ini bagaimana mempertahankan bahkan mengembangkan tradisi sastra kita. Yang penting bagaimana tradisi menulis sastra kita terus tumbuh subur. Yang penting kita memikirkan bagaimanakah membangun tradisi tradisi membaca sastra yang baik. Yang penting bagaimanakah kita membangun tradisi kritik sastra yang baik. Dan itu semua tugas kita bersama.***
*) Penulis adalah sastrawan tinggal di Ngawi
Dijumput dari: http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=40

SEDIKIT TENTANG TRADISI SASTRA DI JAWA BARAT


SEDIKIT TENTANG TRADISI SASTRA DI JAWA BARAT
Posted by PuJa on September 7, 2012
Hawe Setiawan
www.beritaseni.com 2 Feb 2009

PERTAMA-TAMA, saya ingin menanggapi makalah Soni Farid Maulana untuk forum ini, “Bandung dan Puisi Indonesia” [Pikiran Rakyat, 24 Januari 2009]. Pada hemat saya, makalah tersebut merupakan upaya tersendiri untuk memenuhi undangan panitia forum ini untuk “menggali tradisi sastra di Jawa Barat”. Dalam makalah tersebut, Soni berupaya menggambarkan sejarah perkembangan kreativitas menulis puisi di Bandung, terutama sejak dasawarsa 1970-an hingga akhir dasawarsa 1990-an. Sehubungan dengan pemaparannya, ada beberapa masalah penting yang perlu dicatat: [1] Masalah lokasi penulis. Saya kira, kegiatan bersastra di Jawa Barat tidak hanya berlangsung di Bandung, melainkan juga di kota-kota lain. [2] Masalah genre. Genre sastra yang penting diamati bukan hanya puisi, melainkan juga prosa. [3] Masalah bahasa. Karya sastra yang dihasilkan oleh para penulis dari Jawa Barat tidak hanya tertuang dalam bahasa nasional, melainkan juga dalam bahasa daerah. [4] Masalah tradisi itu sendiri. Saya pikir, apa yang kita sebut tradisi dalam hal ini pada dasarnya tidak tunggal, melainkan beragam.
***
TRADISI sastra di Jawa Barat dapat dibagi ke dalam dua jalur berdasarkan perbedaan bahasa yang digunakan oleh sastrawan di daerah tersebut, yakni bahasa nasional dan bahasa daerah/etnis. Nenden Lilis A. [Bandung], misalnya, menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Indonesia, sementara Godi Suwarna [Ciamis] menulis puisi dan cerpen dalam bahasa Sunda, sebagaimana halnya ada anggota komunitas Mekar Parahyangan, Bandung, yang menulis dalam bahasa Mandarin. Pada kasus tertentu, ada juga penulis yang berkarya dalam dua bahasa, misalnya Acep Zamzam Noor [Tasikmalaya] yang menulis puisi baik dalam bahasa Indonesia [Jalan Menuju Rumahmu dll.] maupun dalam bahasa Sunda [Dayeuh Matapoé 'Kota Matahari'] sebagaimana Nunu Nazaruddin Azhar [Tasikmalaya] yang antara lain menulis naskah drama, puisi dan cerpen dalam bahasa Sunda selain menulis puisi dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia, yang berakar pada bahasa Melayu dan komitmen pemakaiannya ditegaskan oleh kaum pergerakan pada dasawarsa 1920-an, sesungguhnya merupakan invensi baru. Prinsip-prinsip gramatikalnya baru dikodifikasikan pada permulaan dasawarsa 1940-an, teristimewa oleh Sutan Takdir Alisjahbana, mengiringi berakhirnya kolonialisme politik Belanda atas kepulauan Hindia. Kaum terpelajar yang sebelumnya dikondisikan untuk menuangkan pikiran dalam bahasa Belanda pada gilirannya kian terdorong untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai penegasan identitas kebangsaannya. Dengan kata lain, bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional buat orang Indonesia. Sementara bahasa Sunda yang umurnya barangkali setua bahasa Melayu dan leksikografi serta gramatikanya mulai disusun oleh orang Eropa pada abad ke-19, hanya digunakan oleh para penulis yang bahasa ibunya memang bahasa Sunda sebagaimana bahasa Jawa hanya digunakan oleh para penulis Jawa, dst. Dengan kata lain, bahasa Sunda, Jawa, Madura, Bali, dll. hanya menjadi bahasa daerah.
Pada zaman Jepang, yakni zaman ketika Takdir menyusun Tata Bahasa Indonesia, penggunaan bahasa daerah dalam media massa sebetulnya sempat dilarang oleh pemerintahan fasis. Waktu itu, koran-koran berbahasa daerah, misalnya Sipatahoenan di Jawa Barat, dipaksa meninggalkan bahasa ibu para pengelolanya dan beralih ke koran Matahari yang berbahasa Indonesia. Untung, fasisme seperti itu cuma berlangsung “seumur jagung” sehingga hak hidup bahasa daerah pada prinsipnya kembali diakui. Dengan kata lain, menulis dan mengumumkan puisi dalam bahasa daerah tidak perlu dihantui dengan semacam rasa bersalah. Betapapun, barangkali sebagai konsekuensi logis dari politik bahasa yang membelah medium ekspresi orang Indonesia berdasarkan bahasa nasional [yang cenderung diutamakan] dan bahasa daerah [yang cenderung dinomorduakan], penggunaan bahasa daerah oleh penulis Indonesia pada masa-masa kemudian tampak tidak segencar penggunaan bahasa Indonesia.
Apakah tiap-tiap jalur bahasa memiliki sumber tradisi sendiri? Hingga batas tertentu, memang demikian. Penulis yang berkarya dalam bahasa Indonesia memiliki sumber tradisi yang dapat dirunut hingga ke masa lalu sastra Melayu. Penulis yang berkarya dalam bahasa Sunda memiliki sumber tradisi seperti yang melembaga dalam tradisi lisan, khususnya carita pantun, juga dalam manuskrip-manuskrip Sunda Kuna dari abad ke-15 dan16 yang antara lain menyerap pengaruh dari sastra Jawa dan Sanskerta. Namun, pada gilirannya, perkembangan tradisi sastra seperti itu tampak jauh lebih kompleks, terutama dalam kaitannya dengan perubaha sosial pada masa-masa berikutnya yang antara lain menyerap berbagai pengaruh dari berbagai penjuru angin.
Modernisasi, yang antara lain diangkut ke sini oleh bangsa Eropa, turut mempengaruhi kedua jalur tradisi sastra tersebut. Para penulis yang berkarya dalam bahasa Indonesia pada gilirannya beringsut dari “akar Melayu” dan membangun tradisi sastra tersendiri, antara lain dengan menulis novel-novel modern dan puisi bebas yang tentu berbeda dengan hikayat dan pantun, gurindam, dll. Demikian pula para penulis yang berkarya dalam bahasa daerah beringsut lebih jauh dari bentuk-bentuk geguritan atau dangding dan wawacan, meskipun bentuk-bentuk sastra tradisional itu tidak sepenuhnya ditinggalkan [buktinya ada sejumlah penyair Sunda yang hingga kini, selain menulis puisi bebas, juga masih menulis dangding seperti Wahyu Wibisana atau Dian Hendrayana].
Setidaknya sejak dasawarsa 1930-an timbul pikiran tentang “kebudayaan Indonesia”. Soal-soal yang berkaitan dengan akar tradisi menjadi salah satu pokok polemik. Di satu pihak, ada yang hendak berkiblat ke “Barat”, sementara di pihak lain ada yang ingin menggali sumur di “Timur”. Kata barat cenderung menyempit di Eropa, sementara kata timur cenderung menyempit di daerah-daerah provinsi. Hingga selepas Perang Dunia II, perdebatan yang tak berkesudahan itu turut mempengaruhi proses kreatif para sastrawan, tak terkecuali yang berasal dari Jawa Barat. Namun, sesungguhnya, di antara kedua jalur itu tidak ada garis batas yang tegas. Ramadhan K.H., misalnya, memang pergi ke Spanyol dan menyerap puisi-puisi Federico Garcia Lorca tapi pada gilirannya ia kembali ke Indonesia dan menggubah Priangan Si Jelita. Jika komentar Wing Kardjo benar, pada Priangan Si Jelita terkandung pengaruh dangding, khususnya pupuh kinanti.
Hingga dasawarsa 1970-an dan 1980-an kreativitas sastra di Indonesia seakan memusat di Jakarta, teristimewa di seputar Taman Ismail Mazuki [TIM] yang dibangun di atas lahan bekas taman hewan alias kebun binatang milik pelukis Raden Saleh. Kritikus sastra H.B. Jassin seakan jadi salah satu simbol legitimasi kesusastraan di Indonesia waktu itu, selain Prof. A. Teeuw yang mengajar nun di Leiden. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, sebagai penulis yang mewarisi tradisi Melayu, sempat belajar di Unpad dan menulis puisi di Bandung, lalu sajak-sajaknya dibahas oleh kritikus Popo Iskandar dalam majalah Budaya Jaya terbitan Jakarta, dan pada gilirannya ia diundang membacakan sajak-sajaknya di TIM. Namanya kemudian terkenal di lingkungan nasional, dan hingga kini ia bermukim di Jakarta.
Namun, sejak dasawarsa 1990-an timbul pikiran-pikiran yang mempersoalkan keabsahan sentrum kesusastraan dan kesenian seperti itu. Perhatian kemudian dititikberatkan pada komunitas-komunitas sastra di berbagai kota, tak terkecuali di Bandung dan kota-kota lain di Jawa Barat, termasuk yang bercokol di kampus-kampus. Proses kreatif banyak dipupuk di situ dan tak jarang mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada lingkungan yang lebih luas. Sebagai contoh, di sekitar kampus ITB dan Unpad pada paruh kedua dasawarsa 1980-an ada Kelompok Sepuluh yang menghimpun kreativitas sepuluh penulis seperti Nirwan Dewanto, Beni Setia, Soni Farid Maulana, Miranda Risang Ayu, Moh. Fadjroel Rahman, Hikmat Gumelar, dll.
Hingga memasuki gerbang abad ke-21, keberadaan komunitas-komunitas seperti itu kian menunjukkan signifikansinya. Tesis Ian Campbell dari Australia, yang kemudian dibukukan dengan judul “Contemporary Indonesian Language Poetry from West Java: National Literature, Regional Manifestations” turut mengidentifikasi potensi-potensi sastra yang diperlihatkan oleh komunitas-komunitas seperti itu, tidak hanya di Bandung melainkan juga di kota-kota lain di Jawa Barat. Terlebih-lebih ketika kreativitas mereka tampak kian mengandalkan hasil-hasil kemajuan teknologi informatika, khususnya internet, kontribusi mereka pada jagat sastra Indonesia kian besar. Keberhasilan Komunitas Lingkar Pena adalah salah satu contohnya yang menonjol. Kemunculan novel Ayat-ayat Cinta atau Laskar Pelangi, saya kira, tidak dapat dilepaskan dari latar belakang komunitas-komunitas seperti itu.
*) Pemimpin Redaksi Majalah Cupumanik, Kritikus Sastra Sunda.
Dijumput dari: http://komunitassastra.wordpress.com/2010/02/02/sedikit-tentang-tradisi-sastra-di-jawa-barat/

Membaca Kearifan Lokal dalam Karya Sastra


Membaca Kearifan Lokal dalam Karya Sastra
Posted by PuJa on September 7, 2012
Chairul Abshar
Suara Karya, 1 Sep 2012

Cerita pendek sebagai salah satu genre sastra, kadang dianggap lebih mudah menuliskannya dibanding puisi, drama atau novel. Padahal menulis cerita pendek membutuhkan kepiawaian mengemas satu fragmen kehidupan yang dipadatkan dalam dunia kata yang lebih pendek.
Pengamatan, pemahaman, pengalaman dan imajinasi itulah yang dimunculkan oleh 11 penulis dalam duapuluh cerita pendek. Nama-nama mereka sudah dikenal dengan pengalaman menulis yang cukup menggaram. Kumpulan cerpen ini menjadi menarik ketika dikemas dengan memasukkan warna-warna lokal dalam tradisi yang kadang memunculkan tragedi pada para pelaku budaya tradisi itu sendiri. Kisah-kisah biasa bisa menjadi sangat menarik ketika dikemas dalam dunia kata dengan cara yang apik.
Begitu sebagian dari kata pengantar kumpulan cerpen “Kolecer dan Hari Raya Hantu, 20 Cerita Pendek Kearifan Lokal” yang diberikan oleh Free Hearty, pengamat budaya dan juga dosen Universitas Al-Azhar Jakarta. Kumcer ini diluncurkan di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Free Hearty tampil sebagai pembicara bersama cerpenis Agus Noor dalam talkshow “Kearifan Lokal dan Trend Sastra”.
“Selain talkshow juga diisi dengan pagelaran seni”, kata Saut Poltak Tambunan, salah satu cerpenis yang karyanya termuat di kumcer itu. Komunitas Persada Etnika dari Bogor misalnya akan menampilkan musik etnis yang menawan, seperti halnya Tunrung Rincik (Rampak Gendang dari Makassar) dan parade lagu daerah yang dinyanyikan oleh beberapa penulis seperti Fanny Poyk, Saut Poltak Tambunan, Nurul Aini dan Shinta Miranda.
Mantan wartawan yang kini lebih sering main film Sujiwo Tejo ikut meramaikan acara tersebut. Peluncuran kumcer itu tentu tak lengkap tanpa penampilan para penulisnya, meski tak semua atau karyanya. Cesilia Ces, Benny Arnas, Khrisna Pabichara, Iwan Soekry berduet dengan Irmansyah akan membacakan petikan cerpen karya mereka. Dalam siaran pers panitia, diketahui sekilas tentang pengisi “Kolecer dan Hari Raya Hantu” yang sampulnya didominasi warna hijau itu.
Kumcer itu memang mencoba menampilkan beragam tradisi di Indonesia yang dituangkan oleh 11 cerpenis dalam 20 cerpen, dengan berbagai sudut pandang yang menarik.
Nenden Lilis, cerpenis dari Bandung misalnya menyajikan dua cerpen Hari Pasar dan Kolecer. Dua cerpen yang berkisah tentang kritikan dan kerinduan akan masa lalu, serta pintarnya tukang obat menjajakan barang dagangannya dengan berbagai tipuan.
Hanna Fransisca yang kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat dengan Hari Raya Hantu dan Sembahyang Makan Malam. Dua kisah yang kental dengan budaya leluhur Hanna, yang ditulisnya dengan gaya jenaka namun miris, seperti pada beberapa goresan puisinya.
Sedangkan Benny Arnas (Lubuk Linggau, Sumsel) menyajikan Anak Ibu yang Kembali dan Tujuh. Dua cerpen ini menyajikan budaya daerah yang mengagungkan kehadiran anak perempuan, dan menjadi kekecewaaan kala tak sesuai dengan kenyataan, serta tukang tenung yang sama terhormatnya dengan pimpinan daerah setempat.
Cesillia Ces (Bali) mengemas kisah antara Bali dengan Balige Toba Samosir. Ketika dua anak manusia menjembataninya dengan cinta, mereka berhadapan dengan tradisi masing-masing yang demikian kukuh mempertahankan eksistensinya.
Khrisna Pabichara dari Sulawesi Selatan, memberikan warna lokal dalam tiga cerpennya Laduka, Pembunuh Parakang dan Selasar Ada dendam yang tak pernah padam dalam hasrat yang selalu disimpan. Kepercayaan terhadap mitos. Mitos sering menggiring ke arah yang salah. Ketika mitos tak lagi memberi pengaruh maka pragmatisme merampas semua.
Sastri, Noena dan Oka Rusmini yang memunculkan masing-masing satu buah cerita pendek memberikan tema dengan perempuan sebagai tokoh sentral. Sastri Bakrie (Padang) mempertanyakan penerapan Adat, Tradisi dan Agama dalam budaya Minangkabau dalam cerpennya Baminantu.
Oka Rusmini (Bali) dalam Pastu mengisahkan tentang persahabatan dan bertahan untuk kawin atau tetap melajang. Apakah menjadi perempuan merupakan sebuah kutukan? Karena ketika lajang, perempuan dipandang dengan sebelah mata. Perempuan pun mengejar perkawinan demi status disebut ibu, istri sebagai perempuan sempurna.
Lalu Kasta pun menjadi hal yang menyudutkan perempuan pada kondisi kepatuhan dengan resiko tersisihkan bila tidak patuh. Padahal perkawinan sering pula menyeret ke dalam lubang penghianatan demi penghianatan yang kadang berujung kepada kematian demi kematian.
Noena (BMI Hongkong) seakan mewakili kaumnya Buruh Migran di Hongkong. Ia memberikan kisah lain yang berakhir sukses dari perjuangan seorang perempuan yang berada di negeri orang dan didzalimi oleh oknum penguasa setempat.
Cerita penderitaan perempuan yang tertindas dan terdzolimi sering terjadi. Kehendak perempuan untuk menemukan diri sendiri atau menjadi mandiri sering berakhir tragis. Sutan Iwan Soekri Munaf (Pariaman, Sumbar) yang lebih akrab disapa Iwan Soekri, menyuguhkan kepiawaian retoriknya dalam prosa liris Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini. Iwan mengawali kisahnya dengan kemegahan ‘kerajaan keluarga’ Minang masa lalu, melengkapinya dengan kisah kepahlawanan kaum albino menghadapi musuh, menggunakan otak yang lebih kuat dari otot.
Saut Poltak Tambunan (Tapanuli) mengangkat kisah dengan warna lokal yang kental lewat Lali Panggora, Elang Pengabar, Menunggu Matahari dan Omak. Lali Panggora bukan kisah dalam tradisi, tetapi kisah ini dikemas di lingkaran tradisi yang sering terjadi. Elang Pengabar yang terbang berputar menebar keresahan pada diri si ‘Aku’. Sebaliknya, kedatangan Elang Pengabar memunculkan kegembiraan menunggu kematian bagi pembuat peti mati.
Dalam Menunggu Matahari, Saut Poltak bercerita tentang cinta dan kasih yang diekspresikan dengan cara yang salah. Kekerasan sang ayah dan kemanjaan si Adik telah membuat kakak laki-laki lari dan hilang tak jelas rimbanya. Sedangkan dalam Omak bercerita tentang ibu yang dalam cerita ini Saut Poltak menyebutnya ‘omak’. Perempuan beranak tujuh dengan ‘sense of crisis’ yang tinggi, tampil menating nasib ketujuh anaknya di tengah kemelut perang pemberontakan PRRI. ***
Dijumput dari: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=310376

Thursday 13 September 2012

Musikalisasi Puisi "Di Sebuah Senja" Edwar Maulana


Musikalisasi Puisi "DI Sebuah Senja" karya Edwar Maulana
Aransement Usman Nurdiansyah dan Wishu Muhamad
Personil: Usman Nurdiansyah, Intan Pertiwi dan Tedy Heriyadi

DI Sebuah Senja

Aku berbaring, di ranjang
menunggu getar pintu pada ketukan 
tanganmu yang tertahan hujan.

Kau tahu, senja ini
bahaya bisa saja datang tiba-tiba
dan aku takut pada bayang di jendela.

Maka, mendekatlah
sebelum aku mengaku kalah
dan matamu benar-benar pecah.

2009