Pages

Wednesday 19 December 2012

Musikalisasi Puisi "Penghidupan" Karya Chairil Anwar

Saturday 24 November 2012

Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran


Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran

Oleh: Amran Halim


Kesusastraan pada dasarnya adalah potret sosial budaya masyarakatnya. Dalam catatan kesusastraan Indonesia, terutama puisi, telah memperlihatkan perkembangan dalam periodisasi sastra dengan pembaruan dalam konsepsi estetiknya. Gejala perkembangan puisi telah terjadi dalam rentang waktu dari dari 1920-an hingga hari ini. Sepanjang rentang waktu tersebut puisi-puisi yang lahir cenderung mengalami pembaharuan, baik dari segi tematik maupun konsep estetiknya.

Puisi sebagai salah satu genre dalam kesusastraan di Indonesia, telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Puisi Indonesia, tumbuh dan berkembang pada wilayah-wilayah publik ditandai dengan kemunculan penulis-penulis muda berbakat dalam berbagai media seperti; media cetak, situs-situs sastra maupun penerbitan buku-buku puisi. Kemunculan ini diiringi dengan beragam estetika yang ditawarkan masing-masing penyair. Selain karena masing-masing media—tertama cetak—memiliki standar estetik tersendiri sebagai prosedur pemuatan puisi di media tersebut, para penyair muda tersebut seolah sedang berlomba untuk memenangkan pergulatan estetik dan mengukuhkannya dalam kumpulan puisi bersama atau tunggal. Bebarapa penyair muda tersebut diantaranya adalah Yopi Setia Umbara, Inggit Putria Marga, Dian Hartati, Pinto Anugrah, Aan Mansyur, Heri Majakelana, Esha Tegar Putra, Bode Riswandi, Mughia Syahreza Santosa, Edwar Maulana, dll. (sekadar menyebutkan nama-nama penyair muda)

Untuk mengetahui keumuman dari ciri khas masing-masing penyair muda tersebut, sangat diperlukan analisis secara khusus terhadap puisi-puisi mereka. Namun karena sebuah penelitian disyaratkan memiliki batasan yang jelas dan tegas. Maka dari itu, dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba menganalisis gaya bahasa dari puisi karya Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Tembang Sumbang”, diterbitkan oleh Literat, Bandung.

Edwar Maulana lahir di Cianjur, Jawa Barat, 08 September 1998. Ia bergiat di komunitas sastra ASAS UPI Bandung, dan berlajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Jurdik Satrasia FPBS UPI Bandung. Puisi pertamanya yang muncul di media massa adalah “Tembang Sumbang”, “Calon Arang”, di Harian Pikiran Rakyat. Kecenderungan puisinya mengedepankan hasil-hasil renungan terhadap realitas sosial di sekitarnya. Beberapa puisinya bahkan hampir tidak memerdulikan “akrobatik bahasa” yang sedang digandrungi para penyair muda lainnya. Pilihan majas dan diksinya selintas sederhana, mudah dicerna. Selain itu, puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana dan tidak sedang bernyanyi, sangat minim rima dan irama yang merdu. Dari kecenderungan tersebut, sementara saya menyebutnya puisi yang berpikir.

Dengan sederhana, tulisan ini dibuat untuk mengetahui lebih detail gaya bahasa yang digunakan oleh Edwar Maulana dalam puisi-puisinya dengan pendekatan Stilistika. Ditinjau dari aspek pengimajian, repetisi, bahasa figuratif dan diksi untuk menguatkan asumsi awal saya tentang puisinya yang berpikir atau bahkan membatahnya sama sekali. Selain dari itu manfaat penelitian dalam mencapai dua tujuan di atas dapat ditinjau dari dua segi, yaitu hasil dan proses. Dari segi hasil penelitian, pembaca akan dapat memperoleh gambaran mengenai gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Edwar Maulana dilihat dari strukturnya. Sehingga anggapan bahwa gaya bahasa Edwar Maulana memiliki ciri khas yang berbeda dengan penyair lainnya dapat terjawab. Dari segi proses, penulis dan masyarakat pembaca dapat memahami ragam gaya bahasa yang terkandung dalam puisi Edwar Maulana

Gaya dan Daya Bedah Stilistika

Stilistika adalah style (gaya), yaitu cara seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana (Sudjiman, 1993: 13).  Karena itulah stilistika diterjemahkan sebagai gaya bahasa atau ilmu tentang gaya.

Sebagai bagian dari ilmu sastra, stilistika dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Apabila kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau pengarang, tidak diragukan lagi bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya, genre (Wellek dan Warren, 1995: 233). Dengan demikian stilistika dapat menjadi pisau analisis yang tajam dalam menggambarkan gaya bahasa seorang penulis dilihat dari karya-karyanya.

Menurut Abrams secara teoretis, penelitian Stilistika dibagi menjadi dua macam, yaitu penelitian tradisional dan penelitian modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek. Isi meliputi informasi, pesan, dan makna proporsional (sasaran), sedangkan bentuk adalah (gaya) bahasa itu sendiri. Sementara Stilistika modern menganalisis ciri-ciri formal, di antaranya: fonologi (spt: pola-pola bunyi ujaran, sajak, dan irama), sintaksis (spt: tipe-tipe struktur kalimat), leksikal (meliputi kata-kata abstrak dan kongkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata sifat), dan retorika (ciri penggunaan bahasa kiasan/figuratif dan perumpamaan) (Rudi, 2012).

Sementara menurut Gorys Keraf (1998), persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula wacana keseluruhan: gaya bahasa berdasarkan nada, dan langsung tidaknya makna antara retoris dan kiasan (majas), jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika kelasik.

Berdasarkan pengertian di atas maka penelitian ini akan mengkaji aspek pengimajian, bahasa figuratif (majas), repetisi (bunyi), dan diksi. Pemilihan keempat aspek ini diharapkan dapat mengungkap gaya bahasa puisi-puisi Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” dalam antologi puisi “Tembang Sumbang”.

Pengimajian merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat. Imaji ini merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Menurut Abrams pengimajian meliputi tiga kategori di antaranya sebagai berikut:

Imaji yang digunakan untuk menandai seluruh objek dan indra penglihatan. Termasuk dalam kategori ini yaitu imaji dengaran, imaji gerakan, imaji rabaan, imaji rasa. Kategori ke dua adalah Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi objek visual dan pemandangan, terutama gambaran hidup dan fakta. Dan yang terkahir adalah imaji yang menandai majas terutama sebagai sarana metafora dan simile.

Bahasa Figuratif (Majas), Gorys Keraf menyatakan bahwa bahasa figuratif atau majas adalah:

Bahasa figuratif (figure of speech) yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. (1998: 129)

Kajian penelitian ini akan membahas tentang majas; Personifikasi, menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Metafora, analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, dalam bentuk yang singkat. Sarkasme, suatu acuan lebih yang lebih karasar dari ironi dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Antifrasis, semacam ironi yang berwujud penggunaan kata dengan makna kebalikannya (Keraf, 1998: 138-142).

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam sebuah puisi kita pun akan menemukan gaya bahasa retoris, diantaranya Asonansi (ulangan bunyi vokal yang sama, berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) dan Aliterasi (ulangan konsonan yang sama dan berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) (Keraf, 1998: 130).

Diksi menurut Keraf memiliki cakupan yang lebuh luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah tersebut bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang mana yang dipakai untuk menggungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Jadi maksud dari diksi dalam puisi adalah pemilihan kata dalam puisi yang dilakukan oleh seorang penyair untuk mengekspresikan perasaan dan isi pikirannya setepat-tepatnya (Pradopo, 1999: 54). Pemilihan kata ini untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai estetik.

Pengertian dari sebuah diksi mencakup kata kongkret dan abstrak juga kata bermakna konotasi dan denotasi. Kata kongkret (khusus) adalah kata yang mengacu kepada pengarahan-pengarahan yang khusus dan kongkret, nama diri adalah istilah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan salah paham. Kata abstrak (umum) adalah kata yang mengacu kepada sesuatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya, seperti kata kejujuran, kesedihan, dan religius merupakan contoh kata-kata abstrak (umum) karena kata tersebut akan menimbulkan gagasan yang lain pada setiap orang sesuai dengan pengalaman dan penggertiannya mengenai kata-kata itu (Keraf, 1998: 90). Kata denotasi menunjuk (denote) kepada sesuatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen yang paling dasar pada suatu kata. Kata konotasi adalah suatu jenis kata dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional (Keraf, 1998: 28-29). Di dalam sebuah puisi tidak hanya mengandung aspek denotasinya tetapi mengandung pula aspek konotasi. Seorang penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata agar tepat dan padat dalam memilih kata-kata dan menimbulkan gambaran yang jelas (Pradopo, 1999: 58).

Sekarang mari kita mulai menganalisis puisi “Lamaran” Karya Edwar Maulana dengan pendekatan Stilistika seperti telah dipaparkan di atas.

Teks Puisi

Lamaran

: F. Nisa Khairin


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.




Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.




Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.




Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.




Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.




Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.




Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.




Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.




Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.




Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.




Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.


2011




Analisis Struktur Teks Puisi

1) Pengimajian

Bait ke-1 sajak ini diawali imaji penglihatan dan imaji gerakan pada larik 2,3,5, dan 6.

Nisa, jika kau percaya

bahwa cinta bisa tiba lebih tergesa

dari apa saja. Bahkan dari langkah

cahaya. Kadang lebih lama

dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Imaji lihatan pada kata tiba, kedatangan, dan lambat serta imaji gerakan tergesa, langkah, yang kemudian menimbulkan efek pengimajian dalam bentuk imaji lihatan, mengarahkan perhatian pembaca terhadap deskripsi peristiwa yang dipaparkan si aku lirik. Pembaca seakan-akan mampu melihat secara langsung kedatangan cinta yang nampak tergesa, cahaya yang melangkah, bis dan kereta yang datang, juga hari kiamat yang bergerak lambat.

Pada bait ke-2 imaji Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi terutama gambaran hidup dan fakta

Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.


Deskripsi si aku lirik tentang rasa cinta yang sangat pada pasangannya saat ini meski pertemuan mereka kurang dari satu minggu, seolah-olah dapat disaksikan dan dirasakan secara langsung oleh pembaca. Pembaca dapat membayangkan betapa perasaan cinta di antara mereka datang begitu saja tanpa proses yang panjang dan kesulitan yang pelik.

Pengimajian secara visual pada bait ke-3 tentang deskripsi fakta bahwa cinta itu tak logis, dan kedatangannya tidak mengenal kata permisi. Pada bait-4 terdapat imaji gerak pada kata aba-aba, mengetuk, dan mengucap. Serta pada bait ke-5, penyair menyertakan imaji rasa pada kata mengejutkan, dan deskripsi fakta dengan pernyataan aku tahu dan begitulah adanya.

Pengimajian yang terdapat pada bait ke-2 sampai ke-5 adalah gambaran perasaan cinta yang datang pada mereka begitu saja, cepat, dan tak terduga juga sebagai penguat pengimajian awal pada bait ke-1 yang memvisualkan tentang proses datangnya sebuah perasaan cinta.

Pada bait ke-6 imaji gerak terdapat pada kata bersujud, bangun tidur, sedang makan dan imaji penglihatan terdapat pada kata cantik dan sendirian. Keseluruhannya memvisualkan deskripsi dari proses si aku lirik yang jatuh cinta melihat kekasihnya.

Bait ke-7 mendeskripsikan fakta bahwa perasaan cinta mereka akan berlangsung lama karena si aku lirik yang akan selalu mencintainya. Pengimajian itu ditekankan pada frasa kau tau, dan kata ini.

Pengimajian selanjutnya terdapat pada bait ke-9, kata pergi, dan jatuh membangun imaji gerak dan  kehilangan membangun imaji rasa. Pada bait ke-10 terdapat pengimajian rasa pada kata kalah,dan frasa jatuh cinta, imaji penglihatan pada kata patah, dan mendarat, serta imaji gerak pada kata penolakan, penerimaan, dan pengakuan.

Serta pada bait ke-11 terdapat deskripsi fakta dengan adanya kata bahwa pada larik ke-2.

2) Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif yang digunakan pada sajak ini meliputi majas personifikasi dan majas metafora, dan Satire. Penggunaan majas Personifikasi pada larik 1-2, dan 5, metafora terdapat pada larik 3, dan Satire pada larik 4, pada bait ke-1.


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Pengandaian bahwa cinta itu bisa berjalan atau berlari dengan tergesa, dengan memetaforkan kecepatan cahaya menjadi langkah cahaya, dan kiamat yang bisa bergerak. Edwar Maulana ingin menjelaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang bergerak seperti manusia. Ia bisa bergerak lebih cepat dari cahaya atau lebih lambat dari kiamat. Bahkan bis dan kereta pun tak luput dari perhatiannya, dua kendaraan tersebut sebenarnya mampu melaju di atas kecepatan 200 KM/Jam, dengan penempatan kata lama di depannya, teridentifikasi bahwa ia sedang menyindir kinerja dua kendaraan itu di negeri ini yang sering terkendala beberapa kesalahan teknis. Dengan kata lain, cinta biasanya tak datang tepat waktu.

Pada bait ke-2, penggunaan majas personifikasi terdapat pada larik pertama. Dan sarkasme pada larik kedua dengan pengistilahan tak sopan. Pada bait ke-3 kedua lariknya terdiri dari majar personifikasi.


Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.


Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.


Kedua bait ini menggambarkan bahwa kedatangan cinta bisa “nyelonong” begitu saja. Tanpa permisi dan terkesan kasar seperti perampaok, pemabuk juga penggoda.

Penggunaan majas meloncat pada bait ke-7, penggunaan kata penolakan tak mencirikan majas Antifrasis.


Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.


Penggunaan tak pada dua larik terakhir, mencirikan kecermatan penyair dalam bermain logika. Waktu yang dimiliki secara metaforik sebenarnya sudah lumrah (sudah dipakai banyak orang), namun kemudian mendapatkan originalitasnya dalam puisi ini dengan membalikkan makna yang sebenarnya (Antifrasis). Karena makna sesungguhnya adalah si-aku lirik memiliki waktu untuk mencintai kekasihnya.

Bahasa figuratif selanjutnya terdapat pada bait ke-10, pada larik ke-2 terdapat repetisi separah-parahnya yang menandakan keberadaan majas Inuendo.


Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.


Penyair dalam hal ini menyepelekan atau menyederhanakan permasalahan keumuman yang ditakutkan seorang laki-laki (dalam budaya kita—patriarkhi—laki-laki lah yang harus menyatakan perasaan cinta) ketika menyatakan perasaan cintanya. Sebenarnya hal terpenting yang harus didapatkan dari sebuah pernyataan cinta adalah pengakuan, bukan penerimaan atau tolakan.


3) Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam analisis ini akan dipadukan antara penegertian repetisi oratoris yang berbentuk kata, frasa dan klausa dalam sebuah kalimat dengan repetisi bunyi asonansi dan aliterasi yang diambil dalam gaya bahasa retoris.

Sajak berjudul Lamaran ini sarat dengan repetisi. Edwar Maulana memberi tekanan pada bunyi yang ingin disampaikannya, seperti terlihat pada bait ke-1.


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Pada bait di atas terlihat jelas ada perulangan bunyi yang dihadirkan secara ketat. Asonansi vokal /a/dan /i/ pada setiap lariknya, memberi kesan pada suasana yang ringan dan tinggi. Pemaduan vokal /a/ dan aliterasi /t/ dalam larik akhir, memberi irama dalam tempo yang agresif dan represif (kakovoni). Dan pada larik 2-5 terdapat repetisi mesodiplosis dengan mengulang kata dari di tengah kalimat secara berurutan.


Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan iaku

belum genap satu minggu.


Sermentara pada bait ke-2, lebih terkesan pada permainan irama. Masing-masing lariknya bermain asonansi rima a-a, i-u, a-u, dan uu


Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.


Pada bait ke-3, permainan asonansi masih kuat, terutama pada larik pertama dengan perpaduan vokal /a/ dan /i/. Repetisi mesodiplosis kembali menjadi penegas dengan adanya kata lebih dan dari. Dan secara orkestrasi, irama yang kakofoni dalam kata perampok, dan pemabuk, ditutup dengan irama yang efoni dalam kata peng-goda. Perempuan mana yang tak ingin di goda, meski mereka sering menampakkan rasa risih ketika mendapatkannya.


Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.


Namun pada bait ke-4, keseluruhan irama yang efoni dengan adanya perpaduan asonansi vokal /a-e-ng/ dikepung oleh irama kakofoni yang memadukan aliterasi /t-k-p/ dalam setiap lariknya.


Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.


Bait ke-5 keseluruhan lariknya bermain rima /i/a/e/u/. Dan didominasi irama yang kakofoni dengan keberadaan /s,k,t,p/ yang tersebar di setiap lariknya.


Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.


Pada bait ke-6 masing-masing lariknya di dominasi asonansi bunyi /a-u/, /.u/, dan /a-i/. Lagi-lagi dominasi kakofoni /s,k,t,p/ tersebar di setiap lariknya.


Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.


Bait ke-7 secara umum masih bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /ber/lang/, s /u-ng/. Bait ini adalah kali ketiga, Edwar Maulana merepetisi oratori jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak di tengah kalimat secara berurutan. Sementara dalam gaya bahasa retoris, penggunaan kata tak tersebut mencirikan jenis Apofasis, yang berarti penyair menegaskan sesuatu, tapi tampaknya menyangkal.


Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.


Pada bait ke-8 agak berbeda dengan bait-bait sebelumnya, irama efoni yang memadukan asonansi /a/ dengan aliterasi sengau /m-n/ dan liquida /l-r/ sangat menonjol dalam bait ini dengan adanya permainan kata antara lamaran dan ramalan


Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.


Bait ke-9 secara umum sama dengan bait ke-7, bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /me-mi-lih/. Namun bait ini adalah kali pertama, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata atau di awal klausa secara berurutan.


Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.


Selain bermain rima /ah/ dan /an/ pada dua larik awal dan dua larik akhir secara berurutan, bait ke-10 ini adalah kali ke-4, Edwar Maulana merepetisi jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak dan pada di tengah kalimat secara berurutan.


Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.


Pada bait terakhir ini adalah kali ke-2, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata dan aku di awal klausa atau kalimat secara berurutan.


4) Diksi

Edwar Maulana menggunakan beberapa diksi hasil dari gabungan dua kata konkret dalam kalimtanya sehingga menjadi sebuah kata abstrak yaitu; langkah cahaya, yang bermakna konotasi sebagai (subjek) yang bertugas menafsirkan kecepatan gerak pada bait ke-1. Pada bait ke-9, kata jatuh bersamaku kemudian serta merta bermakna konotasi “menjalani hidup bersama” bukan “tersungkur secara bersamaan”. Berikutnya terdapat pada bait 10 terdapat kata kalah dan patah, kata konret yang menjadi abstrak setelah perpaduannya yang bermakna konotasi ”perasaan”, dan kata mendarat yang menjadi penyanding kata jatuh cinta, pada akhirnya berbicara tentang “nasib” bukan “hinggap atau turun”.

Ia juga menggunakan diksi gabungan antara dua kata abstrak dalam kalimatnya “lebih lambat dari kiamat”, “cinta bisa lebih gila” sehingga menjadi sebuah kata konkret dan bermakna denotasi seperti “bis dan kereta yang sering lama datang” untuk pemaduan diksi “lambat dan kiamat” pada bait ke-1. Begitu pula “kegilaan cinta” menjadi sekonkret dengan makna denotasi “perampok, pemabuk dan penggoda yang tidak sopan pada bait ke-3”. Selebihnya dan kebanyakan adalah penggunaan kata konkret yang bermakna denotasi.


Kecenderungan Gaya Bahasa

Berdasarkan analisis struktur teks puisinya, dapat dilihat kecenderungan gaya bahasa Edwar Maulana dalam sajak Lamaran ini memanfaatkan pengimajian, terutama imaji lihatan dan imaji gerakan sebagai sarana untuk membuka perspektif pembaca terhadap suasana yang ingin disampaikan. Dengan begitu penggambaran suasana pada sajak ini menjadi jelas sehingga dapat dirasakan secara langsung oleh pembaca.

Penggunaan bahasa yang terpilih, dengan diksi yang di dominasi dari kata konkret dan bermakna denotasi serta penempatannya yang akurat, secara tidak langsung mempermudah pembaca untuk memahami dan memfokuskan perhatian pada peristiwa yang ingin disampaikan. Deskripsi tentang proses datangnya perasaan cinta yang begitu cepat dan menuju pada sebuah lamaran berhasil diceritakan secara mengena dan jelas. Deskripsi peristiwa ini juga ditunjang dengan penggunaan majas personifikasi dan majas metafora yang tidak begitu mendominasi sehingga pemaknaannya tidak menjadi lebih luas. Juga penggunaan majas Satire, Antifrasis, Inuendo mendorong pembaca untuk bermain logika dalam membaca puisi ini. Di sinilah kekhasan mencolok pada puisi Edwar Maulana, bahwa ia tidak menulis puisi suasana atau “bermetaforia” melainkan yang ia mainkan adalah logika bahasa.

Pada sajak ini, dengan komposisi irama kakofoni yang mendominasi, Edwar Maulana tidak acuh pada aspek musikalitas. Pemanfaatan repetisi jenis Anafora dua kali dan Mesodiplosis sebanyak empat kali, dalam puisi panjangnya ini, menunjukkan bahwa Edwar Maulana tak sedang bernyanyi atau jenis puisi retori, melainkan sedang berorasi dengan jenis puisi oratori.

Dengan melihat kecenderungan gaya bahasa dalam puisi Lamaran ini, maka semakin menegaskan asumsi awal saya bahwa puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana yang bernyanyi tapi puisi oratori yang berpikir. ***



Daftar Pustaka

Adi, Rudi. 2012. Kajian Stilistika Terhadap Puisi. Power Poin Perkuliahan Kajian Puisi.

Keraf, G. 1998. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maulana, Edwar. 2012. Tembang Sumbang: Sekumpulan Puisi. Bandung: Penerbit Literat.

Pradopo, R. Dj. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudjiman, P. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti.

Wellek, Rene, dan Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Biodata Penulis.

Amran Halim, Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung. Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan menulis kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus. Serta sering menjuarai perlombaan cipta cerpen dengan nama Amran Banyurekso.


Info: http://bahasa.kompasiana.com/2012/11/22/gaya-bahasa-edwar-maulana-dalam-puisi-berjudul-lamaran-510191.html


Friday 9 November 2012

Jurnal Sastra dan Masyarakat yang Terbuka


Jurnal Sastra dan Masyarakat yang Terbuka
Posted by PuJa on November 8, 2012
Cecep Syamsul Hari
Bali Post, 21 Okt 2012

SETELAH melewati masa-masa transisi yang limbung pada dasawarsa pertama sejak runtuhnya rezim yang berkuasa tiga puluh tahun, kita merasakan dan melihat bahwa lima tahun terakhir, yang lima tahun terakhir ini mungkin akan menjadi akar atau embrio dari suatu kehidupan sosial yang lebih menjanjikan keterbukaan di masa depan, saluran-saluran kontrol sosial dan politik tidak lagi dimonopoli oleh suara tunggal partai atau pemerintahan yang berkuasa, juga tidak oleh mesin perwakilan atau parlemen. Ada ”suara lain”, meminjam ungkapan Octavio Paz, yang memiliki kekuatan luar biasa yang di masa lalu hanya merupakan silent mojority dan di masa kini, dalam lima tahun terakhir itu, telah dan sedang berubah menuju moving society.
Dari berbagai jenis tulisan yang dapat kita temukan di buku-buku yang terbit lima tahun terakhir, di blog-blog dan websites, comments dan notes Facebook, sastra dan tulisan-tulisan lain bernuansa sastra telah dengan santai memasuki wilayah-wilayah tabu-politis, tabu-sosial, dan tabu-kultural, yang tidak terbayangkan akan muncul pada era ketika agen dan mesin intelijen yang tidak terlihat tapi terasa itu, sebagai alat dari sebuah kekuatan politik pemerintahan yang represif yang melihat semua pikiran kritis sebagai upaya subversif, masih memiliki kekuatan tangan besi untuk melakukan penyensoran dengan satu dan lain cara. Pada saat ini tidak ada rahasia politik yang tidak mungkin dibocorkan, tidak ada pendapat absolut yang haram kritik, tidak ada tabu yang tidak dapat dipertanyakan ulang.
Hanya rezim politik dan pemerintahan yang tidak berakar di bumi yang akan menghadapi situasi ini dengan cara burung unta ketika mencium adanya ancaman atau bahaya: mengubur kepalanya di dalam pasir dan membiarkan bagian lain dari tubuhnya terbuka.
Sastra telah menjadi salah satu elemen dari ”suara lain” dalam moving society itu. Sastra mempertanyakan kembali skala label patriarkis yang memiliki sejarah panjang sebagai penopang setia segala bentuk pemikiran ketidaksetaraan gender; sastra telah membuka pintu yang lama terkunci untuk memberi ruang bagi pemunculan berbagai dokumen dan fakta classified di masa silam dan membungkusnya menjadi realitas-fiksional yang membuat masyarakat memiliki kemungkinan tafsir dan pemahaman baru yang lebih netral atas peristiwa-peristiwa konflik politis di masa lalu; sastra telah membuka ruang bagi pemikiran-ulang dan tafsir-kritis atas pemahaman jumud dan taklid buta di wilayah filosofis dan eskatologis; sastra telah berubah menjadi apa yang disebut sebagai open-society itu sendiri.
Jika kita memikirkan kapan saat yang tepat untuk menerbitkan sebuah jurnal yang menjadikan bagian dari suatu munculnya kegairahan bersastra yang memperlihatkan kecenderungan terus meningkat setelah runtuhnya rezim Orde Baru itu dan pada saat yang sama merupakan suatu proses untuk menjadikan sastra sebagai epifenomena dari masyarakat yang demokratis, kritis, dan terbuka tiga pilar yang menjadi syarat dari open-society, maka pada saat inilah saat yang tepat itu.
Dengan prinsip-prinsip demokratis, kritis, dan terbuka itu pula Jurnal Sastra hadir di tengah-tengah kita.
Dari sudut literer, apa yang dimaksud dengan Jurnal Sastra hadir dengan prinsip-prinsip demokratis, kritis, dan terbuka, tak lain tak bukan bahwa kami (Jurnal Sastra),, mengutip kalimat Arief Budiman yang dipetik dari tulisan D.S. Moeljanto di majalah sastra Horison No.7-8/1976, ”… akan memuat karangan dari siapa pun (cetak tebal dari penulis -csh) bagi suatu majalah kebudayaan, bila karangan itu dari segi literer memang baik.”
Jurnal Sastra memperluasn pengertian siapa pun itu dengan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi pemublikasian sosok, proses kreatif, dan karya para sastrawan dari berbagai wilayah kebahasaan di Nusantara, yang menulis dalam bahasa daerah, dalam sebuah rubrik yang disediakan khusus untuk itu, dan diberi nama rubrik ”Nusasastra”. Di dalam rubrik itu, karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah kami tampilkan dalam bahasa aslinya dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia (jika dipandang perlu untuk diterjemahkan).
Jurnal
Dan tentu saja, ucapan terima kasih, disampaikan Jurnal Sastra kepada Anda, sebagai bagian dan pilar dari masyarakat yang terbuka itu, yang telah bersedia menerima kehadiran satu jurnal (sastra) lagi di tangan Anda, di dalam sebuah iklim literer yang sudah lama kita ketahui, yaitu bahwa dibandingkan jumlah penduduk negara ini, dibandingkan dengan jumlah orang yang telah bebas buta huruf di negara ini, dibandingkan dengan jumlah kelas menengah dari segi usia dan strata pendidikan yang dimiliki negara ini, Jurnal Sastra dan jurnal-jurnal sastra lainnya yang telah lebih dulu terbit (di negara ini), dari segi kuantitatif, masih sangat sedikit.
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=70777

Sastra Digital


Sastra Digital
Posted by PuJa on November 8, 2012
Ni Putu Rastiti
Bali Post, 16 Sep 2012

Tidaklah salah jika dikatakan bahwa perkembangan sastra sebanding dengan dinamika zaman. Hal ini jelas terlihat di era sekarang, di sebuah zaman di mana teknologi menguasai segala lini. Internet dengan beragam kecanggihannya menawarkan suatu perubahan sosial yang tak tertolak, termasuk juga di bidang sastra. Maraknya karya-karya sastra yang bisa dibaca melalui internet merupakan bukti nyata sekaligus sehembus harapan bahwa sastra akan lebih memasyarakat.
Sejalan dengan lahirnya aneka jejaring sosial, media blog dan semacamnya, bermunculan pula penulis-penulis sastra yang kerap mempublikasikan tulisannya melalui media ini. Banyak yang mengatakan bahwa fenomena ini merupakan sesuatu yang baik bagi perkembangan sastra yang dianggap mandek selama beberapa tahun terakhir. Bahkan, ada pula yang menyatakan bahwa ini merupakan angin segar yang luar biasa karena memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi seorang penulis. Kesempatan ini juga berarti bahwa karya-karya dari penulis tersebut bisa dibaca siapa saja yang mengaksesnya sekaligus juga mendapat feed back yang baik demi perkembangan karya lanjutannya. Selain itu, bisa pula terwujud suatu iklim diskusi yang sehat atau kritisi karya yang sifatnya terbuka.
Dari sekian karya yang telah terpublikasi di dunia maya tersebut ternyata ada pula yang telah dibukukan dan bahkan menjadi best seller. Publik pembacanya pun lebih beragam, mulai dari remaja yang dulunya hanya mengenal komik sampai pada pembaca sastra yang kerap melakukan kritik sastra.
Jejaring sosial tersebut ternyata juga memungkinkan orang-orang yang gemar menulis bertemu satu sama lainnya. Mulanya memang sekadar bertukar pikiran di dunia maya, namun di kesempatan berikutnya sekelompok orang yang memiliki minat sama ini bisa lebih intens bertukar pengalaman kreatif penulisan di dunia nyata.
Sejalan dengan hal itu, maka muncullah komunitas-komunitas sastra yang kerap melakukan diskusi-diskusi kreatif tidak hanya tentang penulisan tetapi juga kepenulisan secara umum. Bahkan tidak jarang, komunitas ini mengundang sastrawan mumpuni atau pakarnya untuk memuaskan keingintahuan tentang sastra beserta segala liku rupanya. Pertemuan-pertemuan rutin diselenggarakan dan menghasilkan banyak tulisan tentang berbagai hal. Kenyataannya orang-orang yang pekerjaannya jauh dari dunia sastra semisal pegawai bank, insinyur, dokter, perawat bisa menghasilkan karya sastra dan turut andil dalam perkembangan sastra.
Kualitas Sastra Digital
Tidak dapat dimungkiri, kesempatan mempublikasikan karya sebelum era internet terbilang sangat susah. Untuk dapat dimuat di sebuah koran lokal, misalnya, sebuah karya melalui proses yang cukup sukar. Sistem seleksi dari editor terkait tentu saja merupakan suatu tantangan yang harus ditaklukkan. Cara pemilihan dan pemilahan dari tiap editor media cetak lokal maupun nasional memiliki suatu standar teersendiri untuk hal itu. Belum lagi perkara selera yang berbeda-beda atau berlainan sama sekali. Boleh dikata inilah yang kerap menyulitkan bagi penulis pemula.
Tidak jarang penulis-penulis pemula berusaha mencipta karya yang mendekati standar tiap editor tersebut sehingga barangkali banyak dari mereka mengalahkan idealisme sendiri tentang bentuk karya sastranya. Ya, bukankah dengan pemuatan di media cetak tersebut adalah salah satu bentuk pengakuan terhadap eksistensi seorang penulis pemula. Seakan hal ini mengandung semacam dilemma tersendiri, antara memenuhi idealisme atau berkreativitas berdasarkan standar yang mungkin berlaku.
Dengan adanya hal itu maka sering pula terbentuk anggapan bahwa seorang penulis pemula atau sekelompok dari mereka memiliki bentuk karya yang serupa. Mulai dari gaya bahasa, cara bertutur, sistematika membangun konflik hingga menuturkan antiklimaks sebuah karya. Kekhasan individu menjadi terabaikan demi memenuhi standar tertentu yang dianggap baik dari sebuah karya sastra.
Dengan demikian, jika mencermati fenomena sastra di era digital, sudah tentu kita tidak menemukan suatu proses seleksi yang menyulitkan untuk mempublikasikan karya sastra. Sekali lagi, boleh dikata bahwa tidak ada editor yang memutuskan karya mana yang boleh dimuat di sebuah blog atau twitter dan media lainnya. Tidak ada pula suatu cerita tersendiri, pakem-pakem rumit yang harus diikuti dan tetek bengek lain yang memusingkan.
Kemudahan inilah yang boleh jadi memunculkan banyak penulis yang karyanya bertebaran di mana-mana. Lebih lanjut, masyarakat sastra pun menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Tiap orang yang mengakses internet dapat membaca bentuk-bentuk karya apa pun, mulai dari puisi, cerpen, prosa liris dan yang lainnya. Bukan tidak mungkin jika gelagat ini terus-menerus tumbuh akan muncul genre baru sastra sehingga cita-cita bersama untuk memasyarakatkan sastra bisa terwujud.
Di sisi lain, ketiadaan editor ini juga menimbulkan suatu anggapan yang berseberangan. Sekelompok orang mempertanyakan pertanggungjawaban penulis atas karyanya. Mereka juga sangsi bahwa semua tulisan yang beredar tersebut baik secara kualitas.
Pertanyaan lebih lanjut, siapa yang berhak menentukan kualitas sebuah karya yang dimuat di media jejaring sosial? Standar apakah yang dapat digunakan untuk menilai? Atau yang terpenting adalah perlukah mempertentangkan kualitas dan kuantitas sebuah karya sastra digital?
Menumbuhkan Plagiatisme?
Kemudahan mengakses aneka tulisan di dunia maya boleh dikata juga menimbulkan persoalan lain. Copy paste tulisan seseorang lalu diatasnamakan dirinya sendiri; meniru tulisan orang lain dengan sedikit penambahan atau pengurangan; mengubah tulisan orang lain tanpa izin penulisnya; menggunakan tulisan orang lain untuk tujuan komersial tanpa izin dari penulisnya, kesemua itu merupakan bentuk-bentuk persoalan yang mungkin timbul. Bagaimana kita akan menyikapinya jika hal ini sungguh-sungguh terjadi?
Di tengah segala persoalan yang mungkin timbul sejalan dengan maraknya karya-karya sastra era digital, penulis yakin bahwa ada sesuatu yang baik yang perlu dicermati bersama. Dengan banyaknya penulis yang mempublikasikan karya di media-media jejaring sosial memungkinkan bertambahnya orang-orang yang intens dalam proses penulisan. Banyaknya penulis akan dibarengi pula dengan tumbuhnya masyarakat pembaca.
Bukan tidak mungkin jika orang-orang terbiasa menuangkan pikiran, ide dan gagasan melalui media tulisan, segala bentuk kekerasan tidak akan terjadi. Dengan sastra, kita boleh berangan-angan jauh ke depan bahwa di masa mendatang peperangan tidak terjadi dengan adu kekerasan dan pertumpahan darah, tetapi dengan tinta serta kertas, ya dengan adu gagasan.
Dijumput dari: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaminggu&kid=18&id=69442

Friday 2 November 2012

Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi


Sastra Hijau dan Eksistensi Bumi
Posted by PuJa on October 24, 2012
Naning Pranoto
Suara Karya, 20 Okt 2012

BUMI terancam kehancuran yang luar biasa. Ancaman kehancuran timbul akibat ulah manusia yang mengeksplorasi bumi tanpa perhitungan hingga menghancurkan lingkungan hidup yang sudah melebihi batas toleransi. Eksplorasi bumi dengan berbagai motif ekonomi sulit dikendalikan karena dilakukan oleh pihak-pihak yang kuat dan berkuasa di dunia. Keadaan seperti itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimanapun, bumi yang hanya satu itu harus diselamatkan. Sebab kehancuran bumi berarti kehancuran seluruh warga dunia. Umat manusia belum terlambat untuk menyelamatkan bumi, di mana kita semua berada dan hidup di dalamnya.
Tentu tidak mudah, sebab memang tidak ringan perjuangan untuk menyelamatkan bumi kita. Kita masih berhak untuk memiliki optimisme, sebab di dunia ini, di berbagai negara, masih banyak warga bumi yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam gerakan penyelamatan bola dunian yang sangat kita cintai ini. Sudah tiba waktunya bagi setiap warga dunia, baik selaku individu ataupun lembaga (instituasi) bergerak, bekerja secara serius dan efektif, sesuai dengan kapasitas dan potensinya masing-masing.
Langkah-langkah nyata, mulai dari gerak preventif hingga kuratif perlu secera dilancarkan secara saksama dan berkesinambungan. Satu di antara langkah nyata itu adalah gerakan penyadaran (conscientization), sejak aksi lokal, nasional, regional hingga bertaraf global.
Salah satu upaya penyelamatan melalui proses penyadaran bisa dilancarkan melalui gerakan budaya (cultural) terutama dengan memanfaatkan kekuatan sastra. Kelebihan dan keunggulan sastra, ia memiliki potensi yang ampuh dalam menyadarkan hati nurani manusia sejagat, tanpa harus bernada menggurui atau propaganda yang terlalu bombastis. Sehububungan dengan pemikiran itulah, kami sosialisaikan Gerakan Sastra Hijau.
Yakni, sastra yang menawarkan inspirasi dan ajakan untuk menyelamatkan bumi. Antara lain menjaga kehijauan lingkungan secara berkesinambungan, khususnya terhadap hutan tropis kita, berikut melestarikan cadangan air tanah. Selain itu juga merawat dan mengembangkan kehijauan desa, kota, pulau-pulau dan semua benua yang ada di dunia. Sastra Hijau telah menjadi gerakan sastra di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Cina dan beberapa negara di Eropa seperti Swedia, Swiss, Inggris, Belanda dan Jerman. Di Indonesia gerakan Sastra Hijau masih sangat minim, oleh karena itu perlu digerakkan. Sastra Australia, khususnya puisi, telah menyajikan Sastra Hijau sejak awal Abad 19 yang mereka sebut Era Sastra Kolonial. Puisi mereka dikenal pula dengan sebutan bush poetry dan penyairnya disebut bush poet. Kata bush jika diterjemahkan secara harafiah adalah semak-semak. Dalam kenyataannya bush adalah hutan ringan khas Australia yang ditumbuhi aneka cemara, aneka gum, tanaman obat dan bunga serta aneka ilalang dialiri sungai-bunga berair bening. Bush selain dihuni bushman, juga sebagai arena jelajah alam dan berkemah bagi warga Australia yang umumnya pemuja alam.
Bush poetry dipelopori oleh Henry Lawson (1896 1922), Banjo Paterson (1864-1941) dan Dorothea Mackellar (1885-1968). Puisi-puisi karya ketiga penyair ini dijadikan bacaan wajib bagi pelajar tingkat dasar hingga pendidikan atas di Negeri Kanguru. Juga digubah menjadi lagu. Bahkan puisi karya Banjo Paterson yang berjudul Walzting Matilda menjadi lagu rakyat yang sangat populer. Bahkan dianggap sebagai lagu kebangsaan tak resmi dan dijadikan ilustrasi musik beberapa film Australia, hingga membuat lagu ini mendunia.
Gerakan Sastra Hijau di Amerika Serikat ditandai dengan terbitnya novel-novel yang menyuarakan alam. Pelopornya William Faulkner (1897-1962), sastrawan agung yang mengaku dirinya hanya sebagai petani yang gemar menulis. Padahal ia diakui dunia sebagai mahaguru bagi banyak sastrawan di muka bumi ini. Dalam novelnya yang berjudul Big Woods, ia mengecam keserakahan manusia dalam mengendalikan dan mengubah alam. Novel yang ditulisnya tahun 30-an kini dianggap menjadi pencerah era kelam perusakan alam.
Salah seorang sastrawati yang menjadikan senafas dengan Faulkner antara lain Annie Dillard. Ia pun tampil dengan novel-novel genre sastra hijau. Antara lain, novelnya yang berjudul The Living jadi national best-seller, bercerita tentang keindahan dan kesuburan bumi. Tapi, juga menyajikan pandangan yang realistis tentang penderitaan lahan pertanian. Sastrawati pemenang Pulitzer Prize kelahiran 30 April 1945 ini, adalah dosen bahasa Inggris di Universitas Wesleyan, juga menulis puisi, esai dan melukis. Semua karyanya berisikan misi hijau untuk menyelamatkan Planet Bumi.
Amerika Serikat juga punya penyair agung yang diakui sebagai pelopor puisi hijau yang menyuarakan alam. Dialah Emily Dickinson (1830-1886), perempuan lembut berpena “api” dalam mengecam para perusak alam. Sejak ia menggoreskan penanya untuk menulis puisi dalam usia pra-remaja, Emily telah menunjukkan bahwa dirinya adalah sahabat alam, kembaran bumi yang bernafas aroma flora melagukan kidung burung-burung dan kupu-kupu.
Baginya, Tuhan sebagai Sang Pencipta merupakan sumber kekuatan dan telaga inspirasi untuk berkarya. Di Inggris, gerakan Sastra Hijau digebrak oleh Brian Clarke, seorang wartawan yang dikenal suka memancing perdebatan seputar isu tentang pencemaran lingkungan . Ia pun menulis novel berjudul The Stream, mendapat penghargaan Natural World Book Prize Britain. Alur novel tidak sangat lugas, menyajikan tentang kisah pilu dan ngenes dampak dari limbah-limbah industri yang mencemari sungai-sungai pengair lahan pertanian. Betapa kejamnya limbah industri.
Ia tidak hanya merusak lahan pertanian dan tanamannya, tapi juga memunahkan aneka ikan, cacing penyubur tanah, burung-burung pemakan hama padi dan kawanan serangga indah penghias alam. Artinya, juga siap memusnahkan manusia. Novel The Stream benar-benar menantang kita untuk berupaya mengubah limbah industri yang ganas dan kejam menjadi limbah yang ramah lingkungan.
Tapi, bagaimana caranya? Jawabannya: Sastra Hijau harus terus bergerak dan berkembang di seluruh muka bumi, ditulis oleh pena-pena yang punya nurani menyelamatkan eksistensi bumi. Mari, kita mulai menulis puisi atau fiksi hijau, dengan sepenuh hati!
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/sastra-hijau-dan-eksistensi-bumi.html

Seni Sastra, Antara Lipstik dan Orisinalitas


Seni Sastra, Antara Lipstik dan Orisinalitas
Posted by PuJa on October 24, 2012
Sutejo *
Solopos, 24 Okt 1997

Kemerdekaan kreativitas untuk tidak berpihak, tidak terintervensi, dan tidak berorientasi berbagai madzab estetika, barangkali itulah tuntutan mendesak dari kehidupan kesenian kita. Tidak berpihak, mengamanatkan agar kesenian tidak berkubu, tidak berkotak-kotak.
Tanpa kemerdekaan kreativitas, sulit kita akan membayangkan karya yang bersih akan pamrih, tapi hanya akan melahirkan karya-karya yang banci, yang mandul dan merengek-rengek. Kalaupun ada kebebasan dan keterbukaan dari iklim makro, kini harus diakui, itu cuma sekadar lipstik. Madzab akan melahirkan seniman-seniman yang mbebek, kerdil, dan mundhuk-mundhuk.
Ini soalnya, saya sempat tercengang ketika mengamati kehidupan sastra kita yang centang perenang. Tanpa sosok pribadi. Perhelatan sastra, akhirnya hanyalah perjuangan fanatisme komuna tanpa jati diri. Isu RSP dan pernyatan Mei adalah sampel mutakhir. RSP tak lebih dari perjuangan kepentingan Beno Siang Pamungkas dan Kusprihyanto Namma, karena, kita paham RSP tidaklah menawarkan apa-apa. Tidak ada sesuatu yang baru. Harus diakui, bahwa panji mereka bukanlah Revitalisasi Sastra Pedalaman, tapi Revitalisasi Sastrawan Pedalaman.
Padahal, diskursus berkesenian, bukan untuk mencari pengakuan dan kesepakatan, tapi menciptakan karya. Toh, nantinya, karya itu sendiri yang akan menawarkan esthetic values, yang menawarkan pembaca menjadi cultured man tertentu.
Kreativitas
Dua tahun lalu di harian salah satu koran Jakarta pernah terjadi polemik tentang seni dan kebudayaan (kreativitas budaya) yang melibatkan nama-nama seperti Damardjati Supajar, Danarto, Arief Budiman hingga Beni Setia. Tampaknya, yang paling mengena adalah proyeksi Danarto, Arief Budiman, dan ide sastra tak senonoh Beni Setia. Kejujuran ide Danarto akan kebudayaan ‘’cakar ayam’’, konsep hidup kita yang memayu hayuning bawono, persis, paralel dengan etika keselarasan dan kebijaksanaan orang Jawa yang empuk terpenetrasi oleh budaya global, budaya ‘’cakar ayam’’.
Untuk itu, menjadi penting untuk menawarkan perlunya semacam ‘’desentralisasi sastra’’ macam idenya Arief Budiman. Yang melontarkan karya hasil kebudayaan yang pluralistik. Meski itu dari kacamata Beni Setia, sama artinya dengan wishful tingking.
Tapi memang, pluralistiknya kebudayaan, pluralistik estetika, dan pluralistik komuna seniman kita melontarkan kejujuran kreatif? Bukan fotokopi, bukan pembebekan, dan bukan kolusi seperti yang dipraktikkan olek praktisi ekonomi.
Keselarasan
Bagi saya, semua itu terjadi karena etika keselarasan, yang sudah menjadi karakter kebudayaan nasional, Jawanisasi mental. Sehingga etika keselarasan, yang semula adalah etika kehidupan orang Jawa, lama kelamaan menjadi semacam ‘’jati diri’’ nasional lewat tangan-tangan kekuasaan. Kolusi dan referensi misalnya, yang semula hanya mungkin tumbuh dalam birokrasi yang berparner ideal kekuasaan, kini sudah meracuni dunia berkesenian: pencocokan, pembebekan, kata pengantar, sampai kasak-kusuk seniman berbagai media massa. Kebebasan kreatif? Bukan. Indikasi erosi kebudayaan dan kesenian kita.
Etika keselarasan, dalam perkembangannya, oleh beberapa seniman tampaknya semakin dipaksa-paksa. Transformasi konsepsi estetika Barat, yang oleh beberapa kritisi (untuk tidak menyebut beberapa nama), sering diselaras-laraskan dengan estetika kita. Paradigma ini, tentu akan melahirkan pula seniman-seniman yang sering berkacamata semu, kacamata yang seakan akan kabur tanpa bentuk.
Kalau diskursus ‘’seniman-seniman’’, ‘’seniman gagasan Barat’’ bisa melahirkan seniman tak berkarakter, maka paling banci adalah kalau filosofi keselarasan itu sudah diidap seniman yang kawin dengan kekuasaan. Karenanya, kita perlu permasalahan yang kontras, untuk bisa menyalurkan pendapat, kata Arief Budiman. Sehingga, bisa melahirkan pro dan kontra, macam etos kreatif Manikebu.
Sampai saat ini, inilah yang menarik. Ketika kesenian harus mengenakan baju keterbukaan, di situ pulalah harus terantuk dan terkantuk-kantuk. Sebab, seniman dituntut mengenakan keterbukaan, tapi yang selaras, yang sesuai dengan etika keselarasan nasional.
Jika akhirnya, harus tidak selaras, maka terpaksa harus dipangkas, diamputasi, dan dicekal, atau bertengkar dengan aparat security. Contoh yang belum hapus dari ingatan kita adalah kasus Pantun-pantunan Indonesia-nya Emha  dan Golf Untuk Rakyat-nya Darmanto Yatman, yang terjadi di beberapa daerah. Kemudian yang terakhir Arjuna Mencuri BH-nya Murtijono dan Sepak Bola Liga Kuning-nya Gojek Js.
Mengapa? Sebab anasir ‘’ideologis’’ dan politis, itu jelas, berbeda tempat berdiri dan kepentingannya. Sehingga karya macam itu, dalam bahasa Stendhal, ibarat letusan pistol di tengah pagelaran konser.
Fenomena demikian dari ‘’logika keselarasan’’ sebenarnya wajar. Karena tidak selaras! Menjadi semacam ‘’ancaman’’ bagi pemegang kekuasaan. Dan, seniman sendiri, juga ‘’logis’’, karena mereka mnenyuarakan kebebasan, ‘ideologinya’ sendiri. Max Adereth, menyebutkan dengan literature angangge. Karena konflik ideologi sosial kemasyarakatanlah, bertendensi politis, seniman harus bertindak. Karena seniman tentu harus berperan sebagai man of action.
Lantas?
Lantas, kemanakah kita harus mencari oase berkesenian? Banyak ide memang sudah dilontarkan. Tapi semuanya seperti dalam bahasa Beni Setia, hanya melahirkan kolam dengan sekian puluh arca yang menyemburkan air mancur sendiri-sendiri. Mungkin hati nurani dan orisinalitas kreatif, yang kontrastif, bukan nyala api yang menjilat-jilat. Bukan fotokopi, bukan pula karya ‘’kompromis’’ karena tergenggam oleh patung-patung kekuasaan (seniman dan birokrat).
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, penulis  adalah dosen Kopertis dan tinggal di Ponorogo, Jawa Timur.

Sastra dan Dakwah


Sastra dan Dakwah
Posted by PuJa on October 30, 2012
Beni Setia
Lampung Post, 28 Okt 2012

LEBIH dari lima belas tahun lalu prosais Eddy D. Iskandar dan Penerbit Rosda pernah melansir dua buah kumpulan cerpen bertema dakwah islamiah. Cerpen yang dikemas dalam gaya populer, sesuai dengan gaya pengarang.
DENGAN kerangka baku: di setiap akhir cerpen dibuat kesimpulan atau semacam hikmah, yang menerangkan si cerita tersebut terkaitan dengan ayat Alquran ini dan Hadis itu. Rasanya, ada beberapa cerpen yang telah dipublikasikan lepas di media massa, lantas disikumpulkan bersama cerpen yang belum dipublikasikan, dan (tampaknya) kemudian diberi kesimpulan atau hikmah untuk melengkapi kesempurnaan dakwah.
Terlepas apa ilhamnya dan apa tafsirnya, pada dasarnya, cerpen-cerpen itu fiksi murni, yang selalu memberi kebebasan penafsiran bagi si pembaca dan apresiatornya. Apa yang ditulis pengarang sebagai sebuah kesimpulan bernilai Islami itu menjadi dominasi apresiasi yang sama sekali tidak pernah memercayai pemaknaan lain dari si pembaca dan apresiatornya?bahkan terkesan amat memaksakan tafsir baku. Dominasi pemaknaan yang bersikukuh dengan manpaat cerpen (berpola) dakwah islamiah, yang ditulis dengan spirit amal makruf nahi mungkar, yang bertolak dari keinginan kuat buat mengkongkritkan ide hikmah nash ayat Alquran dan Hadis.
Keutamaan dari kreativitas ingin meneguhkan dakwah yang bertolak dari usaha aktualisasi dan kontekstualisasi untuk mengukuhkan kehebatan ayat serta keutamaan agama. Landasan visi dan misi mulia yang menghalalkan cara yang tak menghormati kemandirian teks, yang merujuk pada kebebasan penciptaan si kreator dan sama sekali mereduksi kebebasan tafsir dan pemaknaan dari si pembaca dan apresiator. Meskipun, di beberapa aspek, kadang tidak menunjukkan keindahan komposisi yang menguarkan hikmah, tapi melulu sebuah konflik dan jalinan suspence (cerita) yang menyenangkan pembaca dengan tokoh menderita yang happy ending?lantas momentum itu dianggap semacam lentik khusnul khotimah berbuhul nash.
***
TERPIKIR itu dilema cerpen yang ditulis dengan tendensi, baik motifnya agama?tak hanya Islam?, atau yang sekuler bermotif ideologi politik atau sekadar kritik dan penyuluhan pembangunan. Ada dorongan untuk membuat sederetan peristiwa rekaan yang mengharu biru, dengan sekian tokoh boneka pemekat kontras hitam-putih tanpa dilengkapi dengan psikologi karakter serta habitat sosial-budaya-politik setting. Hanya untuk pemantik perhatian sebelum si pengarang mengatakan: inilah ciri seorang kader yang sesuai target ideologik, atau ketimpangan pembangunan itu?yang sejajar dengan terkadang dengan kehadiran kiai membaca ayat atau pastor mencutat firman. Tak ada konsekuensi sebab-akibat, pengaruh sosial-budaya-politik dari setting, serta pergulatan psikologik momen yang menyebabkan terjadinya perubahan sikap.
Semuanya diabaikan, karena yang dianggap penting oleh si pengarang itu justru cuma minat dari si pembaca sehingga teks dakwah atau propaganda itu lebih populer serta mengena dalam ujud tampilan seni pertunjukan, langsung atau rekaman?sederet peristiwa mengharu biru yang menjadi ancangan dari ledakan dakwah dan propaganda telanjang yang didedahkan. Sangat verbal sehingga agak mirip pagelaran dangdut atau musik rock sebelum panggung kampanye pemilu diisi si juru kampanye parpol, yang secara manipulatif mengharapkan penikmat yang berkerumun itu tranced oleh kalimat?kalimat sugestif?meski momen jual kibul ini biasanya ditinggalkan penonton.
Potensi reaksional akibat orang tidak mau disubordinasikan di bawah dominasi kebenaran tunggal akibat pemaknaan otoritarian diabaikan?bahkan sejak awal hal itu dianggap antipati. Jadi tak heran bila Danarto, sebagai seorang fiksionalis murni yang memanjakan fantasi?meski ia mendakwahkan nilai dan hikmah batiniah sufistik tanpa ada mengacu ke nash apa pun?, mendeskripsikannya sebagai distorsi. Ledakan bom, yang disusul pengejaran teroris di tengah tranced konser musik?tak lagi sekadar satu letusan pistol seperti yang dinyatakan Sartre. Di titik ini, Danarto menyikabarkan pola penulisan fiksi bertendens sastrawiah: dimulai dengan si pengarang terobsesi tendens, berupa nash, firman, visi-misi ideologi dan antiideologi, atau hanya serapah.
Obsesi itu membuat ide terinternalisasi, memicu terjadinya diskursus batín yang terjabar ke sekian kemungkinan yang bisa ditelusuri?sehingga pengarang menemukan keleluasaan dan kebebasan buat berfantasi dan mengempati tokoh?, dan konsentristik pada sosok ujud rekaan yang terukur dan terkendali.
Adanya faktor keleluasaan dalam membebaskan fantasi itu menyebabkan Danarto, dalam Adam Ma?rifat atau Berhala, misalnya, menggarisbawahi hikmah tanpa terkesan sedang berdakwah mengsiumbar fatwa. Mungkin juga karena ada displin dan kecermatan dalam mengsihadirkan fakta-fakta, yang dijadikannya ruang untuk mengembangkan eksistensi kejadian dan tokoh dengan fantasi yang teramat kuyup diempati.
Ihwal yang mesilahirkan kegemilangan prosa dari sastrawan kelas dunia. Seperti terlihat dari Pramudya Ananta Toer dalam tetralogi Bumi Manusia ataupun Keluarga Gerilya, Boris Pasternak dalam Dr Zhivago, Arthur Koestler dalam Gerhana Tengah Hari, Aleksander Solzhenitsyn dalam Sehari dalam Kehidupan Ivan Danisovich atau Gulag Archiperlago, Ellie Wiessel dalam Malam atau Judges, Ignazio Silone dalam Roti dan Anggur, misalnya. Yang memicu diskusi tafsir justru karena tidak ada diikuti catatan pengarah si pengarang. Maksa memandu penafsiran demi prespektif nilai!
***
PADA akhirnya, semua kembali pada etos dan kreativitas dari si bersangkutan: apakah cuma mengejar setoran dengan produktif mengarang, atau justru mengabaikan kuantitas dengan intens menggulati ide penulisan?dan didukung cakrawala referensial fakta-fakta, wawasan pemikiran, serta kualitas empati yang mampu mengawal fantasi sehingga semua terhadirkan utuh. Di situ kita tak lagi membaca makna dari teks fiksi yang artifisial membuat gebrakan sebelum letusan pistol, ledakan bom, dan huru-hara mengejar teroris, tapi sudah pertemuan sastrawi antara rasa dan rasa?seperti yang dikatakan sebuah puisi kecil Walt Whitman.
Sekaligus teks Francois Muariac, Jalinan Ular Berbisa serta Simfoni Pastorale–bahkan Da Vinci Code Dan Brown, Satanic Verses Salman Rusdhie, ataupun Langit Makin Mendung Kipanjikusmin?benar-benar tak boleh dimaknai dengan puritanitas nilai Katolik dan Islam. Karena hikmah dari teks-teks ada dalam nuansa gradasi, telah bergeser dari logika biner yang bila (teks) tak ada mendakwahkan Katolik, pasti anti-Christ dan bila tak mendakwahkan Islam, pasti anti-Muhammad. Semuanya mutlak jadi mungkin karena berada di wilayah otonomi sastra. Tapi mungkinkah?
Karena ide otonomi teks di wilayat abu-abu sastra itu mungkin hanya ada ketika ilham menyinari si pengarang, saat ide penulisan itu diperkaya dalam diskursus batini di awal dan selama penulisan. Suatu kondisi setengah sadar dengan risiko individual, padahal ketika teks ditersuratkan serta dipublikasikan: tak ada lagi otonomi subjektif (kreativitas), yang ada malah otonomi resepsi yang menyebabkan si setiap tanda bisa ditafsirkan secara merdeka dengan teknik uthak-athik gathuk tak terbatas. Karena itu proses kreatif (penulisan) harus selalu bermula dari pemilihan serta pemilahan sengaja?sadar akan keberadaan si calon pembaca dan apresiator?, meski bisa dihiasi letusan improvisasi tak sadar. Memang!
Beni Setia, Pengarang
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/sastra-dan-dakwah.html

Teater, Tiga Karya Satu Cinta


Teater, Tiga Karya Satu Cinta
Posted by PuJa on October 30, 2012
W Halim
Riau Pos, 28 Okt 2012

DUNIA teater banyak memberikan sumbangsih kepada kemerdekaan ekspresi dan aktualisasi nilai-nilai budaya. Di tiap pengadaban jaman, teater selalu memerankan fungsinya sebagai media akulturasi kebudayaan. Dan sejak lama berlangsung pada masanya, orang-orang berkerumun memasuki bandar-bandar dan kampung tempatan guna menyaksikan pertunjukkan teater seperti Wayang Parsi, Drama Keliling, Abdoel Moeloek, Komedie Stamboel, Makyong dan sebagainya. Bahasa Melayu menjadi bahasa populer (lingua franca) di Nusantara. Catatan sejarah juga menyebutkan cikal bakal perkembangan teater modern berangkat dari pertunjukkan tradisi rumpun Melayu. Meski eksistensi teater Melayu sempat tergerus bianglala perkembangan seni tetapi semangat kreatif ber-teater masih tetap akan berlanjut.
Hingga pertengahan tahun ini, pementasan teater dan pertunjukan seni seolah bergiliran menghadirkan konsep dan kemasannya menarik minat perhatian. Dalam seni teater, setidaknya terdapat tiga karya menyeruak tentang kebaruan eksplorasi tema adaptasi cerita rakyat ataupun hikayat tradisi. Ketiga karya teater yang memperlihatkan tafsir ulang Hikayat tradisi menurut konteks kekinian dan berikut eksplorasi kreatif pada karya teater Melayu Riau.
Hikayat Puyu-puyu
Adaptasi mantra ‘’Syair Ikan Terubuk’’ disutradarai oleh Hang Kafrawi disulam menjadi karya yang mengangkat problem sosial masyarakat, khususnya permasalahan di Pulau Padang, Teluk Meranti. Dalam syair alegori (kiasan) ‘Terubuk’ memiliki kekuasaan yang besar sedangkan ‘Puyu-puyu’ dikiaskan hanya memiliki kekuasaan kecil. Disebutkan terubuk mewakili kerajaan Melaka dan Johor sedangkan Puyu-puyu mewakili Siak (dikisahkan berada di Teluk Meranti). Pada intisari pementasan akhirnya terjadi penolakan Puyu-puyu terhadap Terubuk, dikarenakan hidup di dua alam berbeda. Naskah dan pertunjukan ini memilih teater adalah ruang penyadaran. Karya sastra selalu berbuah disembarang musim. ‘’Karya sastra dapat dijadikan rujukan sepanjang zaman. Seorang seniman atau pun sastrawan, menciptakan karya-karyanya berdasarkan tanda-tanda peritiwa yang terjadi di lingkungannya’’ (Hang Kafrawi: 2012).
Pola pertunjukkan yang ditaja Teater MARA berlangsung di teater tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dikemas segar dan menarik lewat plot-plot adegan tragedi berikut parodi. Menyampaikan muatan peristiwa sosial melalui adaptasi naskah tradisi menurut konteks kekinian. Garapan dengan 11 orang pemain teater muda berbakat, didukung oleh tata lampu dan musik ritmik (RnB). Tujuan pementasan disuguhkan secara kreatif sebagai penawar dalam sengkarutnya kompleksitas persoalan sosial. Dan berdasarkan keterangan di pasca pertunjukan tercatat sekitar 700-800 penonton telah menikmati suguhan yang ditawarkan Teater Mara (sekarang telah berubah Teater Matan).
Melodi Pengakuan
Adaptasi legenda ‘’Lancang Kuning’’ disutradarai oleh Rina Nazaruddin Entin ini menempatkan perempuan ke dalam narasi berikut sublimasi penokohan di dalam legenda Melayu Riau. Menceritakan seorang perempuan bernama Zubaidah. Perempuan lugu yang setia kepada suami, dan pada akhirnya (menjadi) korban kekejaman tokoh panglima (nakhoda kapal). Masing-masing tokohnya memberikan kesaksian; Zubaidah (Rehulina Sinuhaji), Panglima Umar (Ekky Gurin Andika), Panglima Hasan (Fedli Azis), Datuk Laksemana (Rian Harahap), Bomo (Rinaldi) dan Inang (Mimi Suriani). Kesaksian-kesaksian yang bermula dikisahkan seperti dongeng pengantar tidur seorang ibu kepada anaknya (Wirna sari dan Della Pratiwi). Pengakuan kesaksian diri Zubaidah, ketika dijadikan tumbal dari peluncuran kapal Lancang Kuning ditafsirkan bahwa tokoh perempuan Zubaidah berpaling dari cinta Panglima Hasan ke Panglima Umar dan bersetia rela berkorban demi maklumat negerinya atas tenggelamnya kapal ‘Lancang Kuning’. ‘’Ini hanya sebuah tawaran dan tafsir Saya tentang legenda Lancang Kuning. Lancang Kuning tidak menginginkan darah, tapi manusia jahatlah yang menginginkannya, dalam hal ini Panglima Hasan yang bersubahat dengan Bomo,’’ (Rina NE: 2012).
Produksi pentas kedua (TBY Lampung; 2011 dan Idrus Tintin: 2012) ditaja oleh Teater Selembayung ini berlangsung di Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin. Dalam Melodi Pengakuan; para aktor memerankan penghayatan tokoh-tokohnya secara maksimal lewat monolog di atas trap-trap terpisah dengan koreografi gerak teatrikal. Panggung terasa penuh kesaksian pengakuan tokoh. Panggung di tata menjauhi kesan artifisial dan dramatik. Artistik bersifat multi set menerjemahkan setting alur cerita (kekinian dan lampau). Tata Musik mengawal emosi tokoh secara teatrikal. Kerja keras produksi dalam tiga hari pertunjukannya telah berhasil mendatangkan kurang lebih mencapai 1500 orang turut menyaksikan Melodi Pengakuan.
Peri Bunian
Adaptasi kumpulan naskah Peterakna pada episode ‘’Peri Bunian’’ disutradarai oleh Kunni Masrohanti ini menuturkan cikal bakal munculnya Raja Kecil, sebagai pendiri dan Sultan pertama kerajaan Siak Seri Indrapura. Menghadirkan kisah asal muasal lahirnya Raja Kecil dan Dewi Menohra yang menjalin hubungan asmara mistis dengan Sultan Johor bergelar Marhum Mangkat Dijulang Mansyur Syah II. Melalui perantaraan ‘Cik Apong’ dalam melalui persetubuhan dua alam berbeda maka terlahirlah Raje Kecik. ‘’Inilah karya seni dan pertunjukkan yang dapat menghibur penonton, bila ada perbedaan pemaknaan tentu akan membuatnya terus dibicarakan sepanjang masa’’. (Kunni: 2012).
Produksi pentas ditaja oleh Komunitas Rumah Sunting ini memberikan ex-trance mendalam kepada penonton melalui trik pemanggungan, tata rias serta talenta karakter pemainnya yang kuat. Produksi dipersiapkan dengan matang dari waktu yang panjang. Naskah berat mengenai Peri Bunian diolah secara ringan sedemikian mungkin dalam gaya set panggung hampir mendekati gaya panggung teater tradisi konvensional. Dilengkapi tata sound dan tata lampu menurut acuan standar boardcast. Pertunjukan ini mampu meraih jumlah penonton sebanyak 800 orang dari berbagai pelosok daerah.
Ketiga karya berkehendak mengurai gumpalan tafsir-tafsir lampau demi menguatkan indentitas hikayat legenda Melayu Riau ke dalam karya seni. Selama ini manifestasi nilai dan penggalian budaya melewati Seni Teater cenderung dimanfaatkan sebagai alat medium prasyarat pelestarian seni budaya.. Dikarenakan Teater mengandung ragam bentuk seni seperti gerak, bahasa, tanda, lambang-lambang, kostum, irama/musik berikut naskah pertunjukan. Sesungguhnya dunia teater sejatinya adalah ruang gerak kreatif tanpa melalui prasyarat-prasyarat mengikat. Menghadirkan teater memerlukan pengayaan dan kepekaan. Tiga karya tersebut telah mencoba menuangkan alternatif dengan membingkai pertunjukkan melalui pengulangan tafsir atas mitos dan hikayatnya.
Mengkaji terlebih dahulu tentang posisi perbedaan antara suatu mitos dan suatu legenda. Suatu mitos adalah suatu cerita yang diciptakan, yang tengah coba mencari penjelasan tentang bagaimananya sesuatu. Suatu legenda tidak seluruhnya cerita yang dicipta, Ia adalah sejenis sejarah. Tentu saja ada banyak penciptaan dan mitos yang bercampur dengan suatu legenda, namun pada intinya suatu legenda selalu mengandung sekilas kebenaran historis. Yang paling adil untuk mitos ialah menempatkannya in brackets (di antara dua tanda kurung); in between, di antara fiksi dan fakta, sampai ada bukti di kemudian hari yang meniscayakan kebenaran historisnya. Sama seperti mitos ‘Kota Troy’, yang dulu dianggap hanya sebagai kota mitis buatan Homer (sek.800 SM) dalam karyanya yang terkenal Illiad & Odyssey, sampai tiba saatnya Heinrich Schliemann, seorang arkeolog Jerman, menemukan bukti historis dari reruntuhan kota itu di Negara Turki Modern pada akhir abad 19 M.
Adapun orang modern yang merevitalisasi mitos-mitos primitif lewat novel-novel, cerita-cerita pendek, atau pamflet-pamflet politik tidak dapat dikatakan bahwa mereka ‘hidup’ dalam mitos (living a mythical life), melainkan sebatas ‘meminjam’ mitos (borrowing myth). Mereka sesungguhnya tidak akan pernah mengapresiasi makna mitos, kecuali jika itu melayani kepentingan mereka. Jika seseorang gagal menemukan bukti kesejarahan dari suatu mitos, bukan berarti bahwa mitos itu lantas gagal mengada, atau tidak mengada. Kegagalan menemukan jejak historis mitos membuktikan bahwa kita saja yang gagal menemukannya. Tidak soal apakah ada atau tidak ada bukti kesejarahan, suatu mitos sungguh-sungguh mengada sebagai mitos, dan mitos itu memiliki kekuatan dan hakikatnya tersendiri, yang tidak tergantung pada eksistensi material yang mungkin dipunyainya.
Hikayat menurut Rahman (Arasyid, dkk, 2008:19) menyatakan beberapa pengkaji dan budayawan Melayu kerap menyatakan bahwa wujudnya perubahan zaman, kepercayaan terhadap tradisi juga turut mengalami perubahan. Umpamanya, dari segi kosmologi kalau dahulu masyarakat Melayu lebih berpegang kepada tradisi mitos, kini ia digantikan oleh tradisi kosmologi yang bercorak material dan empiris. Namun, kenyataan dari pandangan para sarjana dan cendikia di atas tidak sepenuhnya berlaku di dalam realitas perkembangan dunia sastra Melayu tradisi.
Di dalam khazanah sastra Melayu tradisi, walaupun tidak dapat dikatakan terikat sepenuhnya, tetapi ia tidak pernah lepas secara mutlak dari arti dan fungsi makna filosofis wacana awal yang kerap menyertai karya-karya tradisi Melayu berkaitan hikayat sejarah, adab, dan perilaku kehidupan.
Satu di antara beberapa teks wacana itu adalah sebagai berikut: ‘’… Demikian bunyi titah yang mulia itu, bahwa ia merasakan rakyat minta agar bendahara perbuatkan hikayat serta sebarang karya seni kepada pujangga yang terlahir daripada masyarakat, bukan semata-mata peristiwa dan peraturan segala raja-raja, melainkan hendaklah segala peristiwa rakyat Melayu dengan istiadatnya sekali, supaya diketahui oleh segala anak cucu kita yang kemudian daripada kita, diingatkannya oleh mereka itu, syahdan beroleh faedah-lah ia daripadanya…’’ (SM).
Makna isi teks ini, di satu sisi menggambarkan keharmonisan hubungan penguasa, rakyat, dan cendikia dengan khazanah kesusastraan Melayu tradisi. Di sisi lain pula, petikan tersebut mengungkapkan betapa lihainya masyarakat Melayu menjaga budaya dan tradisi di sepanjang zaman melalui karya-karya tradisionalnya.
Pada tiga karya Hikayat Puteri Puyu-Puyu, Melodi Pengakuan dan Peri Bunian menjadi hasil resapan kreatornya guna mempertahankan satu sisi kecintaan mereka terhadap dunia Melayu dan tradisinya. Dan teater hanya sebagai alat penyampai semata; setelah menyaksikan langsung pertunjukan ketiga karya, banyak hal bisa diserap dan menarik dari keseriusan para kreator yang mulai meninggalkan hal-hal konvensional. Fokus mereka terhadap eksplorasi karya sangat membanggakan, tapi kecintaan mereka untuk menunjukkan kemelayuannya sejati membuat para kreator gamang mengambil eksekusi terbaik bagi karyanya. Dalam Hikayat Puyu-puyu (Hang Kafrawi), konteks problem sosial yang aktual harus berakhir dengan ending cerita menggantung dan terasa sekali masih penuh kehati-hatian menjaga plot dan dialognya, tidak benar-benar lepas menjadi karya teater penyadaran. Melodi Pengakuan pun telah menjerumuskan kata untuk menerangkan banyak kisah-kisah kesaksian tokoh. Di Peri Bunian, kisah menarik tentang Raje Kecik terganggu dengan medium panggung tradisional, apabila dipentaskan pada teater arena (terbuka) pertunjukan ini pasti akan lebih menarik dan menantang.
Kecintaan kreator pada dunia teater melayu di Riau sudah sepatutnya mendapat apresiasi terbaik. Ditengah keringnya dukungan terhadap upaya-upaya produksi teater di Riau. Penonton juga telah merasakan cinta para kreator tersebut, apakah memang berbuah manis ataukah pahit. Khalayak publik harus tetap memberikan dukungan terbaik bagi karya-karya produksi Teater di Riau. Ibarat kita bersama-sama untuk memintal teater dan keragaman budaya berkesenian. Mengingat kembali sebuah pantun Melayu ‘’sehari selembar benang, lama-lama menjadi sehelai kain’’.
W Halim, penulis lepas dan saat ini koordinator Kajian dan Advokasi Publik-Rupari dan aktif di komunitas Barupekan dan Metateater.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/teater-tiga-karya-satu-cinta.html

Membangun dengan Sastra Anak


Membangun dengan Sastra Anak
Posted by PuJa on October 30, 2012
Edi Sarjani
Riau Pos, 21 Okt 2012

AKHIR November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Toms Cabin, sebuah roman karya Harriet Beecher Stowe, memberikan pengaruh yang dalam pada diri masyarakat Amerika yang terlibat dalam perang bersejarah itu. Realitas imajiner seperti termanifestasi dalam realitas konkret. ‘’Jadi kamu, perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?’’ ujar Lincoln, Presiden AS itu, saat ia bertemu Stowe di Gedung Putih.
Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Toms Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan ‘’bacaan anak-anak umur 13-16 tahun’’.
Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita.
Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anak-anak.
Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia ‘dewasa’ para pemikir elite itu.
Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah bangsa?
Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anak-anak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak, serta minat anak pada bacaan. Pada masa itu, betapa pun tidak diperhitungkan dalam wacana besar, menurut Sarumpaet, sekurangnya lima penerbit komersial cukup serius menerbitkan berbagai karya sastra anak-anak, seperti Indra Press, Balai Pustaka, Djambatan, Gunung Mulia dan Pustaka Jaya.
Namun, kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim. Pengarang-pengarang yang begitu dedikatif pada jenis sastra ini tidak pernah tercatat dalam deretan pengarang utama negeri ini. Sastrawan macam Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, misalnya, bukanlah nama-nama yang dirasa pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar atau Pramoedya A Toer.
Dalam sejarahnya, sastra anak sebenarnya memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk watak seseorang yang berimbas pada cara berpikir hingga perilakunya dalam kehidupan dewasanya. Jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri hanya karena kita telah ‘membunuh’ sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan.
Pembelajaran sastra pada anak-anak penting dilakukan karena pada usia ini anak mudah menerima karya satra, terlepas itu masuk akal atau tidak. Oleh karena itu anak-anak mudah untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan adat istiadat, agama, kebudayaan yang terkandung dalam karya sastra. Sehingga sastra dapat merangsang anak-anak berbuat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, adat istiadat agama dan budaya. Selain itu anak-anak akan lebih peka terhadap lingkungan karena dalam dirinya tertanam nilai-nilai kemanusiaan. Melalui karya sastra anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin dan olah budi sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan untuk membedakan sesuatu yang dianggap baik ataupun buruk melalui proses apresiasi dan berkreasi dengan karya sastra.
Burhan Nurgiyantoro (2005) sebenarnya pernah mencatat, bagaimana kontribusi sastra anak dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, serta religiusitas dari seseorang atau sebuah komunitas. Namun, penelitian seperti itu yang begitu minimnya sangatlah tidak memadai untuk mengetahui dari mana sebenarnya gairah penemuan, daya kreatif, perkembangan sebuah bahasa, wawasan multikultural, hingga sebuah nasionalisme itu bersemi. Sastra anak adalah salah satu sumber terpenting untuk kesadaran itu.
Kapan kesadaran ini akan muncul? Ketika dunia imajinasi kita kini hanya dipenuhi oleh materi-materi dan pragmatisme yang membuat visi kita berjangkauan sangat pendek? Apalagi pemerintah sebagai pemeran utama juga hampir tidak menolehkan perhatian dan kebijakan di masalah ini. Apakah harus menunggu kenyataan di mana kita sadar bahwa sumur imajinasi kita yang dahulu tanpa dasar kini telah mendangkal oleh timbunan materi, hedonisme, dan pragmatisme? Bukan kita yang menderita, tapi anaklah yang sensara. Memdidik dengan sastra yang menanamkan moral sejak dini itu merupakan cara untuk membangun karakter bangsa ini. n
Edi Sarjani, peminat sastra dan bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/membangun-dengan-sastra-anak.html

Tuesday 23 October 2012

Mo Yan Raih Nobel Sastra

Penulis China raih Nobel sastra
Jakarta (ANTARA News) - Penulis asal China, Mo Yan, meraih penghargaan Nobel bidang sastra tahun 2012.

Mo merupakan warga China pertama yang meraih penghargaan Nobel bidang sastra. Pria yang lahir di Gao Xingjian itu mendapat penghargaan tahun 2000, tapi sebagai warga Prancis.
Mo adalah peraih Nobel Sastra ke-109, penghargaan yang tahun lalu dimenangkan oleh pujangga Swedia, Tomas Transtroemer.
Penulis produktif berusia 57 tahun yang telah memublikasikan lusinan cerita pendek itu pertama menerbitkan karyanya tahun 1981.
The Swedish Academy memuji karyanya sebagai "cerita rakyat dengan gabungan halusinasi dan realisme, sejarah dan kontemporer."
"Dia memiliki gaya penulisan yang unik. Jika Anda baca pasti sudah tahu kalau itu karya dia," kata Kepala The Swedish Academy Peter Englund seperti dikutip BBC. 
Mo mulai menulis saat menjadi tentara People Liberation Army (PLA) dan namanya mulai dikenal masyarakat internasional pada 1987 dengan novelnya yang berjudul "Red Sorghum: A Novel of China."
Novel yang difilmkan dan memenangkan penghargaan Golden Bear di Berlin Film Festival tahun 1988 itu berkisah tentang kekerasan yang terjadi di  pedesaan bagian timur China dimana dia tumbuh sepanjang tahun  1920-an dan 1930-an.
Kebanyakan novel karya Mo lebih banyak berkisah tentang China pada masa lalu dengan latar masa revolusi 1911 dibanding isu-isu kontemporer, juga masa invasi Jepang dan Revolusi Budaya Mao Zedong.
"Dia punya karya yang sangat impresif," kata Professor sejarah China dari University of London Michel Hockx. 
"Dia punya banyak pembaca dan dia menyampaikan kondisi manusia dengan cara yang disukai Komite Nobel," katanya.
Karya-karya Mo lain yang terkenal antara lain "Republic of Wine," "Life and Death Are Wearing Me Out" dan "Big Breast and Wide Hips." 
Buku terakhirnya yang diterbitkan 1995 menimbulkan kontroversi karena mengandung muatan seksual dan menggambarkan perjuangan kelas melawan Partai Komunis China. Mo dipaksa menarik bukunya dari peredaran. 
Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris satu dekade kemudian dan membawa Mo menjadi nominasi penghargaan sastra Asia, Man Asian Literary Prize. 
"Seorang penulis harus mengekspresikan kritik dan kemarahan di sisi gelap masyarakat dan wajah buruk sifat manusia," kata Mo saat berpidato di Frankfurt Book Fair tahun 2009.
"Beberapa mungkin ingin berteriak di jalan, tapi kita harus mentoleransi mereka yang bersembunyi di ruang mereka dan menggunakan tulisan untuk menyampaikan pendapat," katanya.
Novel terakhir Mo yang berjudul "Frog," yang bercerita tentang kebijakan pengendalian populasi China, memenangkan penghargaan Mao Dun Literature Prize - salah satu penghargaan sastra bergengsi di China- tahun lalu.
Mo dan penerima hadiah Nobel untuk pengobatan, fisika, kimia dan perdamaian akan menerima penghargaan dalam upacara formal di Stockholm dan Oslo tanggal 10 December - hari peringatan kematian penggagas Nobel, Alfred Nobel, tahun 1896.

Sajak-sajak Willy Fahmy Agiska



Willy Fahmy Agiska


Nyiar Lumar

Persis seperti empat tahun yang lalu.
Di mana malam lebih gaib dari biasanya.
Segelintir orang beramai-ramai dikepung
sekomplot kelelawar yang lari terpencar-pencar.
Merangsak masuk lewat sela-sela pintu dan jendela
Seperti membawa mimpi buruk atau semacam
perburuan sesuatu.

“Sungguh ! Aku tak akan mencuri buah di meja makan.
 Aku hanya ingin lumar yang kini sudah hilang itu.
 Lumar yang senantiasa memancarkan sesuatu dari dalam dadanya.
 Penjaga malam yang paling kelam ”

2012


Di Dalam Bis

Di dalam bis
aku duduk berdampingan dengan getar tubuhmu
juga bersaing sengit dengan kota yang
beranjak meninggalkan ingatanku lebih cepat.

Namun bayang-bayang kematian di matamu itu
terasa begitu lambat bahkan tak beranjak.
Terperangkap di kaca gedung-gedung kota.
Menyekap setiap gerak gerik tubuhku.

Bahkan kini kusaksikan
jalan itu seperti mengirim jarum-jarum jam panjang,
kunang-kunang, pesawahan, hutan lebat
atau semacam tikungan tajam

:
dimana, segala bisa tiba-tiba saja begitu berbahaya.

Di dalam bis
sebenarnya kita sedang berhadapan
dengan rasa kehilangan.
Kemana arah untuk  pulang.

2012


Layang-Layang 

Oh, ia si kecil mungil. Petualang ulung.
Melayari batu-batu apung, laut yang lepas.
Menjaring angin, mengulur pancing yang panjang.
Jauh ke dalam pikiranku. Mengambang dan terkekang.

2012


Penari

Sepuluh anak sungai di tanganmu,
tiba-tiba saja seperti akan meloloskan laut.
Laut yang senantiasa dibentuk oleh
gerak-gerik ombak juga ikan-ikan.
Atau dari yang karam dan tenggelam.

Sebab, kamu juga tercipta
dari segala yang bergerak.

2012


Jln. Gayam No 28 

Demi bising kereta api
yang selalu meredam suara lembutmu
Demi lantai keramik
yang menyimpan kaki mungilmu
Dan demi segelas air putih
yang pandai menangkap bayang wajahmu

Biarkanlah aku pergi
menyusuri trotoar ini
membuang potong demi potong puzzle
semacam penanda arah untuk pulang.
Tapi kita malah kebingungan
siapa yang akan memberi hadiah kejutan.

Ada banyak kemungkinan
Kau mengintaiku dari deretan tanggal,
kalkulator, atau dari balik kerudungmu.

Dan ada selalu siang
ketika diam-diam aku kehilangan alir nadiku.
Astaga ! Aku lupa. Kau sedang mengejutkan.

2012

Biodata Penulis :
Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis 28 Agustus 1992. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI

Papua Dinilai Minim Penulis Sastra


Papua Dinilai Minim Penulis Sastra
Senin, 22 Oktober 2012 | 21:34 WIB


JAYAPURA, KOMPAS.com--Staf dari Kantor Balai Bahasa Jayapura, Provinsi Papua, Ummu Fatimah RL, menyatakan di provinsi paling timur Indonesia itu masih minim penulis novel atau karya sastra lainnya.

"Berdasarkan pengamatan kami, dan saya secara pribadi. Di Papua, masih kurang penulis novel atau sastra yang asli orang Papua," kata Ummu yang juga novelis itu dalam diskusi Ko’Sapa (Komunitas Sastra Papua) di Jayapura, Senin.

Menurut dia, penulis novel atau pun karya sastra lain yang asli orang Papua hanya bisa dihitung dengan jari, dan itupun mulai ada sejak tahun 2000-an.

Ia menyebut Aprilia RA Wayar yang pada Juni 2009 menulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar, kemudian ada sejumlah nama lainya. "Kebanyakan yang menulis bukan orang asli Papua," katanya.

Dia mengutarakan, menulis bukanlah hal yang mudah dan gampang, tetapi membutuhkan semangat dan kerja keras.

"Mengubah budaya bercerita menjadi seorang penulis itu bukan pekerjaan yang gampang. Tetapi jika dimulai dengan membaca buku apa saja, saya kira itu bisa menarik minat untuk menulis tentang apa yang ada di lingkungan kita, atau yang kita lihat dan alami," kata penulis novel ’Lelaki Januari’ itu.

Ia menyarankan untuk menjadi seorang penulis ataupun sastarawan apa saja, agar banyak membaca buku.

Andi Tagimahu, Koordinator Ko’Sapa, juga mengakui hal itu. "Kami membentuk Komunitas Ko’Sapa agar semakin banyak anak-anak Papua yang tertarik untuk menjadi penulis," katanya.

Andi yang pernah menjadi presenter Tabea di PapuaTV mengatakan saat ini komunitas yang dibentuk oleh pihaknya berupa grup di salah satu jejaring sosial telah memiliki anggota sebanyak 1.300 orang lebih. "Dan kami berharap mereka, bisa menyumbangkan karya-karya asli Papua yang kurang mendapatkan perlindungan dan perhatian dari pemerintah," katanya.

Sementara Aprilia RA Wayar ketika diminta pendapat tentang bagaimana ia bisa menulis sebuah novel dengan judul yang menarik mengatakan bahwa menulis itu dimulai dari banyak memabaca novel-novel terkenal.

"Saya sejak kecil sudah gemar membaca, dan novel yang saya tulis itu mengalir begitu saja. Saya tertantang untuk menulis setelah membaca novel "Sali" karya Dewi Linggasari. Sebagai orang Papua saya harus bisa menulis," katanya.

"Saya sependapat dengan kakak Ummu, bahwa di Papua masih minim penulis novel atau sastra," katanya.

Sumber :ANT
Editor :Jodhi Yudono

Satir Imajiner dalam Sastra


Satir Imajiner dalam Sastra
Posted by PuJa on October 15, 2012
Bayu Agustari Adha *
Riau Pos, 14 Okt 2012

PADA tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.
Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.
Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.
Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.
Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.
Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.
‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.
Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua. Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.
Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.
Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.
Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.
Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.
_____________________________
*) Bayu Agustari Adha, Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/satir-imajiner-dalam-sastra.html