Pages

Saturday 24 November 2012

Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran


Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran

Oleh: Amran Halim


Kesusastraan pada dasarnya adalah potret sosial budaya masyarakatnya. Dalam catatan kesusastraan Indonesia, terutama puisi, telah memperlihatkan perkembangan dalam periodisasi sastra dengan pembaruan dalam konsepsi estetiknya. Gejala perkembangan puisi telah terjadi dalam rentang waktu dari dari 1920-an hingga hari ini. Sepanjang rentang waktu tersebut puisi-puisi yang lahir cenderung mengalami pembaharuan, baik dari segi tematik maupun konsep estetiknya.

Puisi sebagai salah satu genre dalam kesusastraan di Indonesia, telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Puisi Indonesia, tumbuh dan berkembang pada wilayah-wilayah publik ditandai dengan kemunculan penulis-penulis muda berbakat dalam berbagai media seperti; media cetak, situs-situs sastra maupun penerbitan buku-buku puisi. Kemunculan ini diiringi dengan beragam estetika yang ditawarkan masing-masing penyair. Selain karena masing-masing media—tertama cetak—memiliki standar estetik tersendiri sebagai prosedur pemuatan puisi di media tersebut, para penyair muda tersebut seolah sedang berlomba untuk memenangkan pergulatan estetik dan mengukuhkannya dalam kumpulan puisi bersama atau tunggal. Bebarapa penyair muda tersebut diantaranya adalah Yopi Setia Umbara, Inggit Putria Marga, Dian Hartati, Pinto Anugrah, Aan Mansyur, Heri Majakelana, Esha Tegar Putra, Bode Riswandi, Mughia Syahreza Santosa, Edwar Maulana, dll. (sekadar menyebutkan nama-nama penyair muda)

Untuk mengetahui keumuman dari ciri khas masing-masing penyair muda tersebut, sangat diperlukan analisis secara khusus terhadap puisi-puisi mereka. Namun karena sebuah penelitian disyaratkan memiliki batasan yang jelas dan tegas. Maka dari itu, dalam kesempatan kali ini, saya akan mencoba menganalisis gaya bahasa dari puisi karya Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” yang terhimpun dalam buku yang berjudul “Tembang Sumbang”, diterbitkan oleh Literat, Bandung.

Edwar Maulana lahir di Cianjur, Jawa Barat, 08 September 1998. Ia bergiat di komunitas sastra ASAS UPI Bandung, dan berlajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Jurdik Satrasia FPBS UPI Bandung. Puisi pertamanya yang muncul di media massa adalah “Tembang Sumbang”, “Calon Arang”, di Harian Pikiran Rakyat. Kecenderungan puisinya mengedepankan hasil-hasil renungan terhadap realitas sosial di sekitarnya. Beberapa puisinya bahkan hampir tidak memerdulikan “akrobatik bahasa” yang sedang digandrungi para penyair muda lainnya. Pilihan majas dan diksinya selintas sederhana, mudah dicerna. Selain itu, puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana dan tidak sedang bernyanyi, sangat minim rima dan irama yang merdu. Dari kecenderungan tersebut, sementara saya menyebutnya puisi yang berpikir.

Dengan sederhana, tulisan ini dibuat untuk mengetahui lebih detail gaya bahasa yang digunakan oleh Edwar Maulana dalam puisi-puisinya dengan pendekatan Stilistika. Ditinjau dari aspek pengimajian, repetisi, bahasa figuratif dan diksi untuk menguatkan asumsi awal saya tentang puisinya yang berpikir atau bahkan membatahnya sama sekali. Selain dari itu manfaat penelitian dalam mencapai dua tujuan di atas dapat ditinjau dari dua segi, yaitu hasil dan proses. Dari segi hasil penelitian, pembaca akan dapat memperoleh gambaran mengenai gaya bahasa yang digunakan dalam puisi Edwar Maulana dilihat dari strukturnya. Sehingga anggapan bahwa gaya bahasa Edwar Maulana memiliki ciri khas yang berbeda dengan penyair lainnya dapat terjawab. Dari segi proses, penulis dan masyarakat pembaca dapat memahami ragam gaya bahasa yang terkandung dalam puisi Edwar Maulana

Gaya dan Daya Bedah Stilistika

Stilistika adalah style (gaya), yaitu cara seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana (Sudjiman, 1993: 13).  Karena itulah stilistika diterjemahkan sebagai gaya bahasa atau ilmu tentang gaya.

Sebagai bagian dari ilmu sastra, stilistika dapat menjabarkan ciri-ciri khusus karya sastra. Apabila kita dapat menguraikan gaya suatu karya atau pengarang, tidak diragukan lagi bahwa kita pun dapat menguraikan gaya sekelompok karya, genre (Wellek dan Warren, 1995: 233). Dengan demikian stilistika dapat menjadi pisau analisis yang tajam dalam menggambarkan gaya bahasa seorang penulis dilihat dari karya-karyanya.

Menurut Abrams secara teoretis, penelitian Stilistika dibagi menjadi dua macam, yaitu penelitian tradisional dan penelitian modern. Penelitian tradisional masih dipengaruhi isi dan bentuk, apa dan bagaimana cara melukiskan suatu objek. Isi meliputi informasi, pesan, dan makna proporsional (sasaran), sedangkan bentuk adalah (gaya) bahasa itu sendiri. Sementara Stilistika modern menganalisis ciri-ciri formal, di antaranya: fonologi (spt: pola-pola bunyi ujaran, sajak, dan irama), sintaksis (spt: tipe-tipe struktur kalimat), leksikal (meliputi kata-kata abstrak dan kongkret, frekuensi relatif kata benda, kata kerja, dan kata sifat), dan retorika (ciri penggunaan bahasa kiasan/figuratif dan perumpamaan) (Rudi, 2012).

Sementara menurut Gorys Keraf (1998), persoalan gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula wacana keseluruhan: gaya bahasa berdasarkan nada, dan langsung tidaknya makna antara retoris dan kiasan (majas), jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika kelasik.

Berdasarkan pengertian di atas maka penelitian ini akan mengkaji aspek pengimajian, bahasa figuratif (majas), repetisi (bunyi), dan diksi. Pemilihan keempat aspek ini diharapkan dapat mengungkap gaya bahasa puisi-puisi Edwar Maulana yang berjudul “Lamaran” dalam antologi puisi “Tembang Sumbang”.

Pengimajian merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase atau kalimat. Imaji ini merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi.

Menurut Abrams pengimajian meliputi tiga kategori di antaranya sebagai berikut:

Imaji yang digunakan untuk menandai seluruh objek dan indra penglihatan. Termasuk dalam kategori ini yaitu imaji dengaran, imaji gerakan, imaji rabaan, imaji rasa. Kategori ke dua adalah Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi objek visual dan pemandangan, terutama gambaran hidup dan fakta. Dan yang terkahir adalah imaji yang menandai majas terutama sebagai sarana metafora dan simile.

Bahasa Figuratif (Majas), Gorys Keraf menyatakan bahwa bahasa figuratif atau majas adalah:

Bahasa figuratif (figure of speech) yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. (1998: 129)

Kajian penelitian ini akan membahas tentang majas; Personifikasi, menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat kemanusiaan. Metafora, analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, dalam bentuk yang singkat. Sarkasme, suatu acuan lebih yang lebih karasar dari ironi dan sinisme, mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Antifrasis, semacam ironi yang berwujud penggunaan kata dengan makna kebalikannya (Keraf, 1998: 138-142).

Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam sebuah puisi kita pun akan menemukan gaya bahasa retoris, diantaranya Asonansi (ulangan bunyi vokal yang sama, berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) dan Aliterasi (ulangan konsonan yang sama dan berurutan, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan) (Keraf, 1998: 130).

Diksi menurut Keraf memiliki cakupan yang lebuh luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu. Istilah tersebut bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata yang mana yang dipakai untuk menggungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Jadi maksud dari diksi dalam puisi adalah pemilihan kata dalam puisi yang dilakukan oleh seorang penyair untuk mengekspresikan perasaan dan isi pikirannya setepat-tepatnya (Pradopo, 1999: 54). Pemilihan kata ini untuk mendapatkan kepuitisan atau nilai estetik.

Pengertian dari sebuah diksi mencakup kata kongkret dan abstrak juga kata bermakna konotasi dan denotasi. Kata kongkret (khusus) adalah kata yang mengacu kepada pengarahan-pengarahan yang khusus dan kongkret, nama diri adalah istilah istilah yang paling khusus, sehingga menggunakan kata-kata tersebut tidak akan salah paham. Kata abstrak (umum) adalah kata yang mengacu kepada sesuatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya, seperti kata kejujuran, kesedihan, dan religius merupakan contoh kata-kata abstrak (umum) karena kata tersebut akan menimbulkan gagasan yang lain pada setiap orang sesuai dengan pengalaman dan penggertiannya mengenai kata-kata itu (Keraf, 1998: 90). Kata denotasi menunjuk (denote) kepada sesuatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen yang paling dasar pada suatu kata. Kata konotasi adalah suatu jenis kata dimana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional (Keraf, 1998: 28-29). Di dalam sebuah puisi tidak hanya mengandung aspek denotasinya tetapi mengandung pula aspek konotasi. Seorang penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata agar tepat dan padat dalam memilih kata-kata dan menimbulkan gambaran yang jelas (Pradopo, 1999: 58).

Sekarang mari kita mulai menganalisis puisi “Lamaran” Karya Edwar Maulana dengan pendekatan Stilistika seperti telah dipaparkan di atas.

Teks Puisi

Lamaran

: F. Nisa Khairin


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.




Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.




Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.




Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.




Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.




Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.




Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.




Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.




Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.




Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.




Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.


2011




Analisis Struktur Teks Puisi

1) Pengimajian

Bait ke-1 sajak ini diawali imaji penglihatan dan imaji gerakan pada larik 2,3,5, dan 6.

Nisa, jika kau percaya

bahwa cinta bisa tiba lebih tergesa

dari apa saja. Bahkan dari langkah

cahaya. Kadang lebih lama

dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Imaji lihatan pada kata tiba, kedatangan, dan lambat serta imaji gerakan tergesa, langkah, yang kemudian menimbulkan efek pengimajian dalam bentuk imaji lihatan, mengarahkan perhatian pembaca terhadap deskripsi peristiwa yang dipaparkan si aku lirik. Pembaca seakan-akan mampu melihat secara langsung kedatangan cinta yang nampak tergesa, cahaya yang melangkah, bis dan kereta yang datang, juga hari kiamat yang bergerak lambat.

Pada bait ke-2 imaji Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi terutama gambaran hidup dan fakta

Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.


Deskripsi si aku lirik tentang rasa cinta yang sangat pada pasangannya saat ini meski pertemuan mereka kurang dari satu minggu, seolah-olah dapat disaksikan dan dirasakan secara langsung oleh pembaca. Pembaca dapat membayangkan betapa perasaan cinta di antara mereka datang begitu saja tanpa proses yang panjang dan kesulitan yang pelik.

Pengimajian secara visual pada bait ke-3 tentang deskripsi fakta bahwa cinta itu tak logis, dan kedatangannya tidak mengenal kata permisi. Pada bait-4 terdapat imaji gerak pada kata aba-aba, mengetuk, dan mengucap. Serta pada bait ke-5, penyair menyertakan imaji rasa pada kata mengejutkan, dan deskripsi fakta dengan pernyataan aku tahu dan begitulah adanya.

Pengimajian yang terdapat pada bait ke-2 sampai ke-5 adalah gambaran perasaan cinta yang datang pada mereka begitu saja, cepat, dan tak terduga juga sebagai penguat pengimajian awal pada bait ke-1 yang memvisualkan tentang proses datangnya sebuah perasaan cinta.

Pada bait ke-6 imaji gerak terdapat pada kata bersujud, bangun tidur, sedang makan dan imaji penglihatan terdapat pada kata cantik dan sendirian. Keseluruhannya memvisualkan deskripsi dari proses si aku lirik yang jatuh cinta melihat kekasihnya.

Bait ke-7 mendeskripsikan fakta bahwa perasaan cinta mereka akan berlangsung lama karena si aku lirik yang akan selalu mencintainya. Pengimajian itu ditekankan pada frasa kau tau, dan kata ini.

Pengimajian selanjutnya terdapat pada bait ke-9, kata pergi, dan jatuh membangun imaji gerak dan  kehilangan membangun imaji rasa. Pada bait ke-10 terdapat pengimajian rasa pada kata kalah,dan frasa jatuh cinta, imaji penglihatan pada kata patah, dan mendarat, serta imaji gerak pada kata penolakan, penerimaan, dan pengakuan.

Serta pada bait ke-11 terdapat deskripsi fakta dengan adanya kata bahwa pada larik ke-2.

2) Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif yang digunakan pada sajak ini meliputi majas personifikasi dan majas metafora, dan Satire. Penggunaan majas Personifikasi pada larik 1-2, dan 5, metafora terdapat pada larik 3, dan Satire pada larik 4, pada bait ke-1.


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Pengandaian bahwa cinta itu bisa berjalan atau berlari dengan tergesa, dengan memetaforkan kecepatan cahaya menjadi langkah cahaya, dan kiamat yang bisa bergerak. Edwar Maulana ingin menjelaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang bergerak seperti manusia. Ia bisa bergerak lebih cepat dari cahaya atau lebih lambat dari kiamat. Bahkan bis dan kereta pun tak luput dari perhatiannya, dua kendaraan tersebut sebenarnya mampu melaju di atas kecepatan 200 KM/Jam, dengan penempatan kata lama di depannya, teridentifikasi bahwa ia sedang menyindir kinerja dua kendaraan itu di negeri ini yang sering terkendala beberapa kesalahan teknis. Dengan kata lain, cinta biasanya tak datang tepat waktu.

Pada bait ke-2, penggunaan majas personifikasi terdapat pada larik pertama. Dan sarkasme pada larik kedua dengan pengistilahan tak sopan. Pada bait ke-3 kedua lariknya terdiri dari majar personifikasi.


Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.


Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.


Kedua bait ini menggambarkan bahwa kedatangan cinta bisa “nyelonong” begitu saja. Tanpa permisi dan terkesan kasar seperti perampaok, pemabuk juga penggoda.

Penggunaan majas meloncat pada bait ke-7, penggunaan kata penolakan tak mencirikan majas Antifrasis.


Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.


Penggunaan tak pada dua larik terakhir, mencirikan kecermatan penyair dalam bermain logika. Waktu yang dimiliki secara metaforik sebenarnya sudah lumrah (sudah dipakai banyak orang), namun kemudian mendapatkan originalitasnya dalam puisi ini dengan membalikkan makna yang sebenarnya (Antifrasis). Karena makna sesungguhnya adalah si-aku lirik memiliki waktu untuk mencintai kekasihnya.

Bahasa figuratif selanjutnya terdapat pada bait ke-10, pada larik ke-2 terdapat repetisi separah-parahnya yang menandakan keberadaan majas Inuendo.


Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.


Penyair dalam hal ini menyepelekan atau menyederhanakan permasalahan keumuman yang ditakutkan seorang laki-laki (dalam budaya kita—patriarkhi—laki-laki lah yang harus menyatakan perasaan cinta) ketika menyatakan perasaan cintanya. Sebenarnya hal terpenting yang harus didapatkan dari sebuah pernyataan cinta adalah pengakuan, bukan penerimaan atau tolakan.


3) Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam analisis ini akan dipadukan antara penegertian repetisi oratoris yang berbentuk kata, frasa dan klausa dalam sebuah kalimat dengan repetisi bunyi asonansi dan aliterasi yang diambil dalam gaya bahasa retoris.

Sajak berjudul Lamaran ini sarat dengan repetisi. Edwar Maulana memberi tekanan pada bunyi yang ingin disampaikannya, seperti terlihat pada bait ke-1.


Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.


Pada bait di atas terlihat jelas ada perulangan bunyi yang dihadirkan secara ketat. Asonansi vokal /a/dan /i/ pada setiap lariknya, memberi kesan pada suasana yang ringan dan tinggi. Pemaduan vokal /a/ dan aliterasi /t/ dalam larik akhir, memberi irama dalam tempo yang agresif dan represif (kakovoni). Dan pada larik 2-5 terdapat repetisi mesodiplosis dengan mengulang kata dari di tengah kalimat secara berurutan.


Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan iaku

belum genap satu minggu.


Sermentara pada bait ke-2, lebih terkesan pada permainan irama. Masing-masing lariknya bermain asonansi rima a-a, i-u, a-u, dan uu


Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.


Pada bait ke-3, permainan asonansi masih kuat, terutama pada larik pertama dengan perpaduan vokal /a/ dan /i/. Repetisi mesodiplosis kembali menjadi penegas dengan adanya kata lebih dan dari. Dan secara orkestrasi, irama yang kakofoni dalam kata perampok, dan pemabuk, ditutup dengan irama yang efoni dalam kata peng-goda. Perempuan mana yang tak ingin di goda, meski mereka sering menampakkan rasa risih ketika mendapatkannya.


Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.


Namun pada bait ke-4, keseluruhan irama yang efoni dengan adanya perpaduan asonansi vokal /a-e-ng/ dikepung oleh irama kakofoni yang memadukan aliterasi /t-k-p/ dalam setiap lariknya.


Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.


Bait ke-5 keseluruhan lariknya bermain rima /i/a/e/u/. Dan didominasi irama yang kakofoni dengan keberadaan /s,k,t,p/ yang tersebar di setiap lariknya.


Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.


Pada bait ke-6 masing-masing lariknya di dominasi asonansi bunyi /a-u/, /.u/, dan /a-i/. Lagi-lagi dominasi kakofoni /s,k,t,p/ tersebar di setiap lariknya.


Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.


Bait ke-7 secara umum masih bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /ber/lang/, s /u-ng/. Bait ini adalah kali ketiga, Edwar Maulana merepetisi oratori jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak di tengah kalimat secara berurutan. Sementara dalam gaya bahasa retoris, penggunaan kata tak tersebut mencirikan jenis Apofasis, yang berarti penyair menegaskan sesuatu, tapi tampaknya menyangkal.


Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.


Pada bait ke-8 agak berbeda dengan bait-bait sebelumnya, irama efoni yang memadukan asonansi /a/ dengan aliterasi sengau /m-n/ dan liquida /l-r/ sangat menonjol dalam bait ini dengan adanya permainan kata antara lamaran dan ramalan


Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.


Bait ke-9 secara umum sama dengan bait ke-7, bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /me-mi-lih/. Namun bait ini adalah kali pertama, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata atau di awal klausa secara berurutan.


Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.


Selain bermain rima /ah/ dan /an/ pada dua larik awal dan dua larik akhir secara berurutan, bait ke-10 ini adalah kali ke-4, Edwar Maulana merepetisi jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak dan pada di tengah kalimat secara berurutan.


Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.


Pada bait terakhir ini adalah kali ke-2, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata dan aku di awal klausa atau kalimat secara berurutan.


4) Diksi

Edwar Maulana menggunakan beberapa diksi hasil dari gabungan dua kata konkret dalam kalimtanya sehingga menjadi sebuah kata abstrak yaitu; langkah cahaya, yang bermakna konotasi sebagai (subjek) yang bertugas menafsirkan kecepatan gerak pada bait ke-1. Pada bait ke-9, kata jatuh bersamaku kemudian serta merta bermakna konotasi “menjalani hidup bersama” bukan “tersungkur secara bersamaan”. Berikutnya terdapat pada bait 10 terdapat kata kalah dan patah, kata konret yang menjadi abstrak setelah perpaduannya yang bermakna konotasi ”perasaan”, dan kata mendarat yang menjadi penyanding kata jatuh cinta, pada akhirnya berbicara tentang “nasib” bukan “hinggap atau turun”.

Ia juga menggunakan diksi gabungan antara dua kata abstrak dalam kalimatnya “lebih lambat dari kiamat”, “cinta bisa lebih gila” sehingga menjadi sebuah kata konkret dan bermakna denotasi seperti “bis dan kereta yang sering lama datang” untuk pemaduan diksi “lambat dan kiamat” pada bait ke-1. Begitu pula “kegilaan cinta” menjadi sekonkret dengan makna denotasi “perampok, pemabuk dan penggoda yang tidak sopan pada bait ke-3”. Selebihnya dan kebanyakan adalah penggunaan kata konkret yang bermakna denotasi.


Kecenderungan Gaya Bahasa

Berdasarkan analisis struktur teks puisinya, dapat dilihat kecenderungan gaya bahasa Edwar Maulana dalam sajak Lamaran ini memanfaatkan pengimajian, terutama imaji lihatan dan imaji gerakan sebagai sarana untuk membuka perspektif pembaca terhadap suasana yang ingin disampaikan. Dengan begitu penggambaran suasana pada sajak ini menjadi jelas sehingga dapat dirasakan secara langsung oleh pembaca.

Penggunaan bahasa yang terpilih, dengan diksi yang di dominasi dari kata konkret dan bermakna denotasi serta penempatannya yang akurat, secara tidak langsung mempermudah pembaca untuk memahami dan memfokuskan perhatian pada peristiwa yang ingin disampaikan. Deskripsi tentang proses datangnya perasaan cinta yang begitu cepat dan menuju pada sebuah lamaran berhasil diceritakan secara mengena dan jelas. Deskripsi peristiwa ini juga ditunjang dengan penggunaan majas personifikasi dan majas metafora yang tidak begitu mendominasi sehingga pemaknaannya tidak menjadi lebih luas. Juga penggunaan majas Satire, Antifrasis, Inuendo mendorong pembaca untuk bermain logika dalam membaca puisi ini. Di sinilah kekhasan mencolok pada puisi Edwar Maulana, bahwa ia tidak menulis puisi suasana atau “bermetaforia” melainkan yang ia mainkan adalah logika bahasa.

Pada sajak ini, dengan komposisi irama kakofoni yang mendominasi, Edwar Maulana tidak acuh pada aspek musikalitas. Pemanfaatan repetisi jenis Anafora dua kali dan Mesodiplosis sebanyak empat kali, dalam puisi panjangnya ini, menunjukkan bahwa Edwar Maulana tak sedang bernyanyi atau jenis puisi retori, melainkan sedang berorasi dengan jenis puisi oratori.

Dengan melihat kecenderungan gaya bahasa dalam puisi Lamaran ini, maka semakin menegaskan asumsi awal saya bahwa puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana yang bernyanyi tapi puisi oratori yang berpikir. ***



Daftar Pustaka

Adi, Rudi. 2012. Kajian Stilistika Terhadap Puisi. Power Poin Perkuliahan Kajian Puisi.

Keraf, G. 1998. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maulana, Edwar. 2012. Tembang Sumbang: Sekumpulan Puisi. Bandung: Penerbit Literat.

Pradopo, R. Dj. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudjiman, P. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti.

Wellek, Rene, dan Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Biodata Penulis.

Amran Halim, Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung. Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan menulis kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus. Serta sering menjuarai perlombaan cipta cerpen dengan nama Amran Banyurekso.


Info: http://bahasa.kompasiana.com/2012/11/22/gaya-bahasa-edwar-maulana-dalam-puisi-berjudul-lamaran-510191.html


0 comments:

Post a Comment