Pages

Wednesday 29 February 2012

Clarendon Hills teen’s poem published ‘Chicken Soup’ series


Allison Sulouff was in middle school when her mother was diagnosed with cancer.

The Clarendon Hills resident couldn’t find a comfortable way to handle that news, so she started writing poetry.

“I’m not good about talking about my feelings,” said Sulouff, who graduated last spring from Hinsdale Central and now is a freshman at Illinois State University. “Writing was a way for me to express how I felt; it helped me to get some of my feelings out.”

Sulouff continued to write, and she wrote a very personal poem during her junior year at Hinsdale Central after her mom died. The poem, “4:08,” was a personal, therapeutic way for Sulouff to deal with her grief. But the poem later took on a life of its own.

A teen angst poetry website, which no longer is active, became the first home for “4:08” after it had been written, but it didn’t stop there.

“They had links on the side of the website, and I decided to click on one,” Sulouff said. “I posted it online there, and they contacted me last October or November to ask me if I wanted to be in their book.”

The book, Chicken Soup for the Soul: Tough Times for Teens, was published Feb. 7; Sulouff’s poem is on pages 44-45.

The “Chicken Soup for the Soul” series of books was started in 1993 and has sold more than 112 million copies of more than 200 titles, according to information from the publisher.

The book series was the idea of motivational speakers Mark Victor Hansen and Jack Canfield, who built their speaking careers by telling inspirational, motivational and uplifting stories. Getting many audience requests to put their stories into book form resulted in a decision by Hansen and Canfield to reach out to others and seek contributions of powerful tales of ordinary people doing extraordinary things. The first book in the series included those stories.

“I never expected anything like that to happen,” Sulouff said of her inclusion in the book. “When I was younger, my mom got me one of the books, and I had read another. It’s cool that the book my poem is in is something I’m familiar with. It makes it mean more than if it was something I didn’t know anything about.”

Initially, Sulouff wasn’t certain that she wanted something as personal as “4:08” made so public by its inclusion in a book that is part of a best-selling series.

“I was hesitant about that at first,” she said. “I knew the poem meant a lot to my grandma and my dad, but it was a little strange to think about it being in a book.

“My dad said it might help someone else who reads it; that’s what really made me decide to have it included. It would be wonderful if it did help someone else. It would have been nice if there had been something like that for me.”

Sulouff said she still writes poetry, but not as often as she did in middle and high school.

“I still like to do it, but I’m pretty busy now with work for school,” she said.


http://clarendonhills.suntimes.com/news/10918123-418/clarendon-hills-teens-poem-published-chicken-soup-series.html

Sastra Dalam Kepungan Warna Lokal

Sastra Dalam Kepungan Warna Lokal
Posted by PuJa on February 28, 2012
Damhuri Muhammad
Kompas, 19 Feb 2012

SEORANG pengamat sastra menuding warna lokal sebagai perhatian utama prosa yang muncul beberapa tahun belakangan ini, tak lebih dari sekadar kerja ornamentasi dengan memancangkan diktum dan peribahasa khas etnik tertentu dalam teks, hingga sebuah prosa memerlukan sederetan catatan kaki guna menjelaskan maksudnya. Sebutlah misalnya kumpulan cerpen Perempuan Bawang dan Lelaki Kayu (2009) karya Ragdi F Daye, yang penuh-sesak oleh ungkapan khas Minangkabau semacam “melepongkan,” ‘basilemak,” dan “manggoro.” Bila tidak merujuk pada glosarium yang terukur tentu akan membuat kening pembaca berkerut, utamanya pembaca non-Minang. Siasat literer serupa juga ditemukan dalam Bulan Celurit Api (2010) karya Benny Arnas, dengan diktum khas melayu Lubuk Linggau (Sumsel) seperti “Singup,” “Pudur,” dan “Tarup.” Begitupun diksi khas Bugis yang berseliweran dalam antologi cerpen Mengawini Ibu (2011) karya Khrisna Pabichara.
Sepintas lalu, klaim itu mungkin ada benarnya. Namun, warna-lokal tidak sesederhana sebagaimana disangka. Mewabahnya jenis prosa dengan ekspresi estetik yang tegak-berdiri di atas warna-lokal bukan tanpa sebab, tidak taken for granted, sebagaimana wejangan yang meluncur dari langit ke tujuh. Sebab paling absah adalah karena realitas bernama “Indonesia” yang sejak lama hendak diniscayakan sebagai fondasi kepengarangan para sastrawan bertumpah-darah Indonesia, kini sukar digenggam. Tak disangkal bahwa secara teritorial realitas “Indonesia” masih terang-benderang, tapi secara kultural, adakah yang dapat membulat-lonjongkan definisi kebudayaan Indonesia? Alih-alih mengunci sebuah pemahaman yang paripurna tentang Indonesia sebagai entitas universal, yang kerap bersilang-pintang dalam keseharian adalah Indonesia rasa Jawa, rasa Makassar, rasa Bali, rasa Batak, rasa Aceh, dan seterusnya.
Maka, inilah sebuah kurun tempat segala bentuk totalitas dan universalitas dirobohkan. Segala rupa partikularitas terus menyesak, “yang pinggiran” merangsek masuk, “yang terabaikan” bermunculan bagai jamur musim hujan. Kaum filsuf pasca-modernisme menyebut “yang partikular,” “yang tak terperhatikan” itu sebagai “yang lain” (the others). Bagi mereka, “yang lain” (Minang, Batak, Bugis, Banjar, Bali, dll) itu harus diafirmasi dan dihargai keberadaannya. Bila tidak, ia akan terus menganggu dan menjadi benalu dalam entitas universal bernama “Indonesia” itu. Dalam kacamata pascamodernisme, tak ada pusat, tak ada pula pinggiran. Semuanya berjalin-kelindan dalam jejaring permainan tanda bernama: Simulakra. Tiada makna tunggal dalam lingkar Simulakra. Makna selalu tenggelam?atau menenggelamkan diri?dalam keberbagaian tafsir yang tak berhingga. Differance, begitu Jacques Derrida (1930-2004) menamai kompleksitasnya.
Maka, baik “Indonesia” maupun “warna-lokal” tak sebatas kata-kata, bukan pula benda-benda, melainkan “peristiwa” yang terus berubah, beralih-rupa, dan karena itu akan terus ditunda kuasa tafsir tunggalnya. Lalu kenapa warna lokal menjadi lahan subur ekspresi kepengarangan belakangan ini? Saya menggambarkannya dengan sebuah ilustrasi sederhana. Suatu ketika dalam keseharian orang Melayu, seorang suami kesal lantaran sayur bikinan istrinya keasinan. Satu-dua sendok kuah sayur dicicipinya, selepas itu tak disentuhya lagi. Ia tidak marah, apalagi mengumpat. Dengan tekanan suara datar, ia hanya bergumam: apakah garam sedang murah? Istrinya gugup dan salah tingkah. Sejak peristiwa itu, ia menghafal takaran garam bagi sayur yang digandrungi suami tercintanya.
Saya menandai ungkapan yang sudah menyehari dalam kehidupan orang Melayu itu sebagai kekesalan yang artistik. Tidak berterus-terang, tapi tajamnya boleh diuji, jauh melebihi ungkapan yang paling terang-benderang sekalipun. Peristiwa kecil di meja makan itu merepresentasikan live in art, hidup di dalam kesenian. Pahit tak selekasnya mereka muntahkan. Manis tak tergesa mereka telan. Di sinilah problem utama seni mutakhir; apakah karya seni?apapun bentuk dan jenisnya?sekadar melahirkan sensasi estetik, atau justru berpretensi menenggelamkan penikmatnya dalam realitas kesenian itu sendiri. Mungkin itu sebabnya, Jacques Ranciere (2010) dalam Disensus, on Politics and Aesthetics membuat garis demarkasi antara art of beauty dengan art of living. Menurutnya, seni modern sedang berada dalam ketegangan laten antara kesadaran estetik atau hidup dan terlibat dalam lingkaran estetika itu sendiri.
Beberapa waktu lalu, pemerintahan kota Batam meluncurkan buku bertajuk Mengemban Amanah dengan Pantun Melayu (2011) karya Ahmad Dahlan. Buku itu menegaskan betapa dunia pantun telah menyehari dalam riwayat orang Melayu. Telah menjadi air berkumur-kumur saban pagi. Ahmad Dahlan?kebetulan juga walikota Batam?memaklumatkan bahwa sejak dari perkembangan sejarah paling mula, pantun telah tertandai sebagai identitas orang Melayu. Kembang mawar di dalam taman/petik sekuntum bawa berjalan/budaya bangsa kita kembangkan/pantun melayu jadi kebanggaan. Sepintas mungkin terasa biasa, namun penggalan “pantun melayu jadi kebanggaan” mengandung gairah kebersetiaan pada identitas Melayu, atau yang dalam terminologi filsuf Alain Badiou (2008) disebut fidelity.
Bila Anda dipercaya menjadi pemimpin, dan Anda berlaku adil pada rakyat yang Anda pimpin, maka muasal kearifan itu bukan humanisme universal yang selama berabad-abad dipuja-puji oleh kebudayaan dunia, melainkan karena idat-istiadat Anda mengajarkan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran. Tengok pula pantun; apa guna meranti/dibeli untuk membuat rumah/dukungan rakyat sangat dinanti/agar kami tetap amanah?disampaikan saat jumpa pers setelah pelantikan pada 2006. Media tentu mendokumentasikan peristiwa itu, namun kelisanan pantun akan jauh lebih bertahan. Sebab, pantun tidak hanya dituliskan di atas kertas, tapi juga dinukilkan dalam kenangan. Inilah yang disebut Ranciere sebagai “pembatuan” kenangan, atau dalam bahasanya; petrification. Kelak, bila ada yang melafalkan larik apa guna meranti/untuk membuat rumah, kesinambungan pantun itu tak perlu dilanjutkan, sebagaimana kita mengungkapkan kura-kura dalam perahu, atau sudah gaharu, cendana pula.
Begitulah konsekuensi estetis dari masyarakat yang senantiasa bergelimang dalam kubangan seni. Mereka tidak bisa lepas dari kesadaran artistik. Dan, inilah sebab paling nyata kenapa sastra kita bersetia pada kearifan lokal, ranah tempat para kreatornya lahir dan bergelimang dengan kesadaran estetik. Maka, berhamburannya karya sastra berbasis warna lokal adalah sebuah keniscayaan yang tiada bakal terelakkan.
Dijumput dari: http://damhurimuhammad.blogspot.com/2012/02/sastra-dalam-kepungan-warna-lokal.html?spref=fb

Tuesday 28 February 2012

Poets, Capitalism, Religion & America


Poets, Capitalism, Religion & America
By AARON GOLDSTEIN on 2.27.12 @ 5:20PM


I read Micah Mattix's article on the reflexive anti-capitalist posture of poets from America and abroad.
As someone with first hand experience amongst performance poets (slam poets in particular), I would add that if they detest captialism then chances are they equally detest religion and indeed America itself. When I speak of religion, I am of course speaking largely of Christianity. Any hostility towards Judaism is masked in anti-Israel rhetoric often by Jewish poets themselves.
On the other hand, any critique of Muslim fundamentalism is view as Islamophobic which is ironic because many of these poets (especially those who are openly gay) would be the first to have their rights suppressed if they were ruled by Islamic jihadists. When poets speak of America they typically characterize this country as war hungry, racist, sexist, homophobic and obsessed with consumerism.
Putting ideological considerations aside, much of the language is pedantic, predictable and one poem is barely distinguishable from the other. So when someone like me comes along and reads a political piece, I might as well reside another solar system. Those who raise the flag of tolerance are rather quick to lower it when they hear a dissenting thought.
It isn't to say I don't come across good poetry. My roommate Christopher Kain has written plenty of good poems and has built up a small but devoted following for his unique work. In 2010, he put out a chapbook titled Twentieth Century Limited: One Hundred Years, One Hundred Poems containing a poem for every year of the 20th Century from 1901 to 2000.
Of course, closer to our side of the ideological divide there are the good folks at The New Criterion with their annual poetry prize.
So good poetry out there. You just have to know where to look.

Holocaust poem moves teacher


Holocaust poem moves teacher
February 28, 2012 2:00 AM

STRATHAM — Cooperative Middle School English teacher Melissa Tobey shared a poem written by seventh-grade student Ryan Burchill. He wrote this poem after a monthlong study of the Holocaust in both English and social studies classes.

Tobey called his poem heartfelt and incredibly touching. It is titled, "A Comprehension of the Holocaust."

I understand.

Or at least I hope I understand.

Six million Jews perished.

One and a half million of whom were children.

Five million others of different religions or beliefs went with them.

Facts.

That is what all of these are, but what do they truly stand for, what do they really represent?

"Lives," I say.

People just like us once were, but have drifted into the unknown we all come to know as death.

Some, perhaps many, are unknown to us, but they will never be forgotten.

No.

There are too many people who have died, and some survivors who have witnessed far too much to ever forget their struggles, too many families forever scarred, children without their parents, and parents without their children.

Too many bad choices made by a lost and hateful society,

Creating an ethnic void in humanity, eleven million souls deep, and an eternity wide.

But out of all of this chaos and despair comes a second-chance of sorts, a God-given opportunity to teach the next generation of the horrors of the Holocaust, so as to prevent the occurrence of such a horrible time ever again.

Singing, poetry are gospel of 'Trombones'

Singing, poetry are gospel of 'Trombones'
Musical adaptation of praise poems is imperfect but stirring


Put trombones and musical theater together and what might first come to mind is “The Music Man.”

But “God’s Trombones: Seven Negro Sermons in Verse” doesn’t feature even one of those jaunty brass instruments (much less 76 of them).

What it does have, in the Ira Aldridge Repertory Players’ sprawling and stirring musical adaptation of James Weldon Johnson’s “song sermons,” is seven preachers, 11 dancers, dozens of singers and a whole lot of soul.

DETAILS

“God’s Trombones: Seven Negro Sermons in Verse”

Ira Aldridge Repertory Players

When: 8 p.m. Fridays-Saturdays; 3 p.m. Sundays. Through March 11.

Where: Educational Cultural Complex, 4343 Ocean View Blvd., Mountain View.

Tickets: $25 (discounts available)

Phone: (619) 283-4574

Online: iarpplayers.org

Although IARP founder and artistic director Calvin Manson’s performance troupe might be best-known for its stage meditations on the lives of such artists as Nina Simone, Billie Holiday and Ruth Brown, “God’s Trombones” is less a play than a loosely connected collection of biblical storytelling, poetry and praise music.

Manson, who adapted and directed the piece, incorporates eight works from the influential scholar, artist and activist Johnson’s 1927 book of poems. (The “trombones” in the title refers to Johnson’s likening of folk preachers’ rhetorical style to the wide-ranging sound of the instrument.)

But Manson also salts in some numbers of his own, such as the blues-infused “Welcome to Babylon,” a cautionary tale about the temptation of a Prodigal Son (played by the silky-voiced Benjamin Roy). The show, produced in partnership with the Educational Cultural Complex, is filled out with some familiar gospel tunes and spirituals — “Amazing Grace” and “Were You There They Crucified My Lord?” among them.

It’s a huge undertaking (hard to imagine that Manson rehearsed much of the show in his own cozy living room), and while some of it could be tightened and made more cohesive, it still serves as a rich sampling of songs and stories from the African-American tradition.

Much of the show’s vocal power comes from the San Diego County Gospel Music of America Choir, which delivers “We Come to Praise the Lord,” “The Fire Next Time” and others in vivid, revival-meeting style. (The latter incorporates a catchy refrain from Ohio Players’ “Fire” as well as a bass line that evokes LTD’s ‘77 R&B hit “Back in Love.”)

The Bayview Baptist Church Gospel Dance Troupe and CAC Dance Theatre contribute some gracefully choreographed visual accompaniment, and the vocal quintet Redeemed weighs in with a taste of doo-wop.

One drawback of the show’s venue: The gospel singers are set so far back from the edge of the stage (at least in the first act) that it takes some doing for them to connect with the audience, and get them where this music is best enjoyed — out of the seats and on the feet.

http://www.utsandiego.com/news/2012/feb/27/singing-poetry-is-gospel-of-trombones/

Poet and Preacher Pens New Prose

Poet and Preacher Pens New Prose
Rev. Jerry Lee Hodges writes new poetry book, God Fills Empty Vessels
Bloomfield, Ind (PRWEB) February 28, 2012


The inspiration for poetry can come from a number of places, from the beauty of nature found in the poetry of Walt Whitman, to one’s inner feelings as written in Emily Dickinson’s works. For award-winning poet and preacher Rev. Jerry Lee Hodges, it was God. In his new book, God Fills Empty Vessels (published by AuthorHouse), Hodges pens prose inspiring others to see God’s glory.
When asked about his inspiration for writing God Fills Empty Vessels, Hodges response was quite endearing, “The book is my special thanks to God for helping me write all the books and for touching other souls who help in getting them published,” he said. “From the bottom of my heart I thank God for this.”
What others are saying about Hodges and his poetry:
“He is a great friend. This man is a great writer. His poems are beautiful, and wise, and are from the heart. The moment I hear his poems I rejoice with great delight. Jerry is a very understanding guy. He helps you when you need a friend. He is a great poet-my friend Jerry.” - Leann Sue Corbin
Through his poetry, Hodges wants readers to realize they are not alone in this world, and professes that the mighty power of God and his angels are just a prayer away.
About the Author 
Rev. Jerry Lee Hodges is a street preacher and poet. He says his only goal in life is to educate souls in this world to help the poor and needy. Hodges is the author of a number of other books, including Poems of the Heart Volumes 1, 2 and 3. He is currently at work on his sixth book, The Journey. Hodges is the recipient of an Editor’s Choice Award for Outstanding Achievement in Poetry from poetry.com and the International Library of Poetry.
AuthorHouse, an Author Solutions, Inc. self-publishing imprint, is a leading provider of book publishing, marketing, and bookselling services for authors around the globe and offers the industry’s only suite of Hollywood book-to-film services. Committed to providing the highest level of customer service, AuthorHouse assigns each author personal publishing and marketing consultants who provide guidance throughout the process. Headquartered in Bloomington, Indiana, AuthorHouse celebrated 15 years of service to authors in Sept. 2011.For more information or to publish a book visit authorhouse.com or call 1-888-519-5121. For the latest, follow @authorhouse on Twitter.

http://www.prweb.com/releases/2012/2/prweb9229431.htm

Putting faith in poetry


Putting faith in poetry

Poet Tim Bowling finds a fine balance between anger and love

By Peter Simpson, Ottawa Citizen


We may be in the digital age, when everything moves and wants only to change, but even amid the hustle and e-bustle a few simple words of poetry on a page can jar me into a stillness, a brief, luxurious stillness.

That line of poetry at the top, that brilliantly visual metaphor, is by Tim Bowling, who was a boy on the west coast and is now a man in Edmonton. He is landlocked, which is a bearable but melancholy existence for anyone who was born by the sea.

"I don't think I could ever live more than one province away from it," he says.

Such longing for a place, for a perhaps fading ideal of a place, permeates Bowling's poem, which is titled West Coast, from his 2003 collection The Witness Ghost.

I ask Bowling, in an interview by email over several days last week, where he was ("literally, and in your own thoughts") when he wrote that line.

"When I fished on the Fraser River as a small boy with my father, the drink of choice was always tea, strong tea," says Bowling, who reads at Ottawa's Versefest on March 3. "Steeping tea bags were a constant, potent part of my childhood in general, and not something I might have appreciated as a poet just starting out (in youth, the more dramatic images usually overwhelm everything) -

"I try very hard to capture the essence of the physical sense of the coast in my poems, and sometimes that dark, rainy weather just has a steeping feel about it."

Oh it does, it does. I remember many nights as a teen by the ocean in my damp hometown, it steeping in the darkness, me brewing in angst.

Bowling is good at capturing the turmoil of conflicting emotions, which flower in adolescence and insist on following us into adulthood, like hateful perennials that bloom and stink up the place.

I say to him, there are a lot of emotions simmering beneath your words when you write about the coast, the people, the salmon. There's love, and longing and, I think, a level of anger.

"It's pretty clear that if you destroy watersheds and develop and pollute estuaries, if you create a fish-farming system that has been proven to destroy wild fisheries in other countries, then you don't really give a damn about the coast as a place of beauty and spirituality," he says.

"That's obvious, right? Yet it just wasn't, and still isn't, being said. In my lifetime, the lust for money has grown to such proportions that you're almost laughed at now to suggest that profit isn't a good enough motive in itself."

He wrote a book about it in 2007 - "I needed the prose form to get a lot of things off my chest" - and he called it The Lost Coast: Salmon, Memory, and the Death of Wild Culture. "I was sick and tired of hearing how fishermen were to blame for declining fish stocks," he says.

His father - a frequent and fondly cast apparition in Bowling's work - was a fisherman, a "tenderman," in the local parlance.

"The world says it's your fault/ the fish have gone," he writes in his 2011 book of poems Tenderman, "though yours was not the greater profit/ And I am scorned for translating/ my hatred of power into verses."

Fatherhood is the base element in Bowling's work, constantly poked and prodded, turned over and inspected, rolled in the hands like a puzzle to be solved. Bowling, once a son and now a father, looks back on his own late father, and looks at his own young son.

"Like Neruda," he says, "I'm sometimes tired of being a man, especially in this culture, which remains obsessed with wielding power over others (look at our politics, look at so-called sports like UFC). At the same time, I recognize that there is something honourable and true in genuine masculinity. So Tenderman is balanced, perhaps uneasily, between that anger and that love."

Why struggle for that balance, why write poetry at all in an age when everything is faster, smarter, cooler? Does poetry even matter in the Internet age?

"We live in a disrespectful, fast-paced age of mass production and mass conformity, but there's always resistance, always something in us that longs for the beauty of form," he says. "What gives any poet a sense of purpose and meaning? The work, always the work. I put my faith there as a teenager, and 30 years later I'm still putting it there."

We're in an age of digital discovery and, as Frost once wrote, "writing a poem is discovering."

READING BY TIM BOWLING

When: Versefest, 5 p.m., Saturday, March 3

Where: Arts Court Theatre, 2 Daly Ave.

More: See more on Tim Bowling at ottawacitizen.com/bigbeat

psimpson@ottawacitizen.com

Twitter.com/bigbeatottawa

© Copyright (c) The Ottawa Citizen


Bodies in poetic motion, clothed and not

Bodies in poetic motion, clothed and not

"Fort Blossom," performed at Bryn Mawr, is a fuller version of a work originated in 2000.

By Merilyn Jackson
For The Inquirer


The philosopher Ludwig Wittgenstein said, "Philosophy ought really to be written only as a form of poetry." I am never happier than when I can read choreography as poetry, as I - and, I think, the audience - did over the weekend with choreographer John Jasperse's Fort Blossom Revisited 2000/2012.
This fuller version of the original 2000 work premiered Friday at the Hepburn Teaching Theater, Bryn Mawr College's black-box theater. The college was the leading funder of the reconstructed and expanded 60-minute work.

On the black side of the divided black and white floor, Ben Asriel and Burr Johnson dance completely nude in subdued lighting (designed by Stan Pressner in its 2000 premiere, now directed by James Clotfelder). On the white side, Lindsay Clark and Erika Hand dance in contrasting brightness, wearing thigh-high dresses the rich red color of cinnabar.

A combination of mercury ore and sulfur, cinnabar is as deliberate and precise a choice as every other element in this revised work. The set's coloration is minimalistically mid-century moderne, sleek and beautiful. A compilation of Ryoji Ikeda's eerie recordings made a complementary sound sculpture.

Ever since I saw Xavier Le Roy's 1998 nude solo, Self-Unfinished, I've been thinking about the difference between seeing the naked body and the costumed body dance, and I've concluded that the skin is a costume. It hides and holds together everything that is inside, but it also exposes the kinesthetic awareness of the body in a way that even skin-tight fabric cannot. We like to see nude studies in museums and books, so why not live on stage, in three dimensions and in movement?

Jasperse packs Fort Blossom with information of a philosophically poetic and exploratory nature. He creates angular geometrics for the women's dances and simulated sex between the men, in ways that make us question intimacy and our relationship to our own bodies.

Another startling and playful thing was the repeated zoomorphism of the dancers' bodies. Asriel lies prone parallel to the audience. On the other side of the divide, Clark and Hand lie on their backs on clear plastic cushions, gyrating on them as if weightless in a gravity-free space. They harness themselves to the cushions, like turtles held upright, with legs dangling from their shells.

Asriel wriggles, wormlike, across the floor, the difficulty of the movement expressed in the tortuous rise and fall of the buttons of his spine. The women bend from the waist, triangulating their legs like flamingoes. The men carry each other at times, looking like camels bearing burdens.

In the upbeat final moments, the women swat the men with the cushions. Near the end, they bend their torsos over one another in a line and walk centipedelike. It seems Jasperse is asking us to see the human body not only as sexual and vulnerable, but also in relation to other species.


Download Novel "Reofilia" Usman Nurdiansyah dan Amran Halim

Setan Bagi Anda; Kekuasaan, Seks, dan Hahaha…


Setan Bagi Anda; Kekuasaan, Seks, dan Hahaha…
Posted by PuJa on February 28, 2012
Sutan Baginda dan Setan Bagi Anda itu hanya beda tipis!
Jemie Simatupang
http://www.kompasiana.com/jemiesimatupang

“Rakyat sekarang ini hanya mau janji yang berdasarkan ayat-ayat saja. Mereka sudah tidak percaya kepada omongan para pemimpin. Mereka sudah mulai bosan. Kalau kita bicara tanpa merujuk ayat-ayat Qur’an mereka mencibir mulut kita”
INILAH CERITA tentang Sutan Baginda cucu Murtaza cicit Salehuddin. Ia politikus ulung dari Malaysia. Sungguh lihai berpolitik. Pragmatisme ideologinya. Ia tak segan-segan melompat dari satu partai ke partai lain demi kekuasaan yang lebih besar. Sah-sah saja. Baginya, dalam politik tak ada kawan dan musuh abadi. Ia juga tak segan-segan memakai dalil-dalil agama, teori-teori politik kontemporer, bahkan cara-cara kotor demi melanggengkan kekuasaannya.
Awalnya Sutan Baginda merintis karir di parpol TRTI, kemudian ia ditawari oleh politikus lain bernama Nirwan Safari, pimpinanan PARAYU untuk masuk ke partainya. Ia lalu menjadi orang kedua di PARAYU, setelah Nirwan tentunya. Kemudian dengan segala cara ia coba mempertahankan kekuasaannya sekarang dan merebut posisi Nirwan, termasuk dengan menikahi Uji, seorang uzatadzah, menikahi Dahlia, Doktor politik, dan “menyimpan” Fidah, seorang Rocker beraliran heavy metal.
Dengan menikahi Uji, Sutan Baginda berharap ia bisa melegitimasi kekuasaannya dengan dalil-dalil agama. Tiap saat Sutan belajar agama, khususnya berkaitan dengan politik, dari isterinya itu. Ia selalu meminta isterinya untuk mencarikan dalil-dalil kitab suci tentang kepemimpinan: tentang kemimpinan yang dilakhnati Tuhan dan yang direstui Tuhan. Ia lalu menghapal-hapal dalil itu, dan ketika berpidato di depan pengagumnya Sutan pun mengeluarkan dalil-dalil itu.
Apa sebab orang ini perlu memakai dalil ayat-ayat suci. Tentang ini Sultan menyatakan: “Rakyat sekarang ini hanya mau janji yang berdasarkan ayat-ayat saja. Mereka sudah tidak percaya kepada omongan para pemimpin. Mereka sudah mulai bosan. Kalau kita bicara tanpa merujuk ayat-ayat Qur’an mereka mencibir mulut kita”.
Rupanya Sutan ini selain hasrat untuk berkuasanya besar juga hasrat akan birahi. Seks. Buktinya setelah menikahi Uji ia perlu lagi menikah dengan Dahlia. Ya, memang bukan sebatas soal seks semata, ada tujuan politik juga. Dahlia ini seorang doktor di bidang politik. Ia dosen kenamaan. Umurnya memang sudah agak tua—telat menikah—, tapi bagi Sutan tak ada jadi satu halangan. Yang penting ia bisa merenggut dua hal sekaligus darinya: seks dan siasat politik.
Dari Dahlia Sutan belajar teori-teori politik. Tentang The Ugliness and the Beuaty of the Naked Power, tentang kekuasaan individual dan kekuaasaan organisasi, dan lain sebagainya. Pada akhirnya ia juga belajar bagaimana menjatuhkan Nirwan—kawan tapi dalam politik menjadi lawan—dengan cara kotor. Dahlia menyarankan dengan mensetting sebuah affair yang bisa memburukkan citra Nirwan di dunia politik. Dan untuk itu Sutan sendri sudah punya umpan, dia adalah Fidah.
Fidah adalah seorang rocker beraliran heavy metal. Ia vokalis band The Sacred Sucker yang sedang merintis karir di dunia musik. Umurnya sangat belia. Sutan menjadikannya isteri simpanan—isteri tak yang sah. Mereka melakukan praktik simbiosis mutualisme: sutan mendapatkan seks darinya, dan Fidah dan bandnya menjadi terkenal karena selalu mendapat kontrak untuk bermain di hotel-hotel kenamaan di Malaysia. Dan akhirnya, Sutan pun memanfaatkan Fidah untuk diumpan kepada Nirwan—pada satu acara yang telah disetting oleh Sutan—berdasarkan masukan dari Dahlia, isterinya yang doktor politik itu. Sutan berharap affair yang mereka lakukan (Nirwan dan Fidah) terbongkar ke publik, sehingga ia tak diharapkan lagi di PARAYU, dan secara otomatis Sutan menggantikan posisinya.
***
CERITA SUTAN BAGINDA adalah novel karangan Shahnon Ahmad, seorang sastrawan kebangsaan Malaysia (Edisi Indonesia diterbitkan YOI, 1992). Ia menanggap fenomena dunia politik di Malaysia pada waktu itu yang penuh dengan kebobrokan: korupsi, nepotisme, affair, dan lain sebagainya. Dan orang tak segan-segan memakai segala cara—sebagaimana Sultan Baginda—untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya.
Sultan sendiri pada akhirnya diceritakan gila. Bukan gila kekuasaan lagi, tapi benar-benar gila, sehingga ia sering tertawa tanpa sebab. Ber-hahaha sendiri. Ia menceracau tentang segala macam kejadian di Malaysia yang penuh dengan politik kotor: tentang polarisasi kaum (Melayu, Cina, dan India), Money Politic, pembangunan jembatan pulang penang, peritiwa mamali (yang konon mirip peristiwa Tanjung Priok di Indonesia), dan lain sebagainya.
Walaupun ditulis 20-an tahun yang lalu, cerita ini kayaknya masih aktual, bahkan di negeri kita ini: Indonesia. Orang masih suka menjadi kutu loncat, dari partai satu ke partai penguasa, dst. Politik kotor masih berlaku. Perselingkuhan ulama (yang dalam novel itu dilambangkan dengan Uji), intelektual (dilambangkan Dahlia), dan pemanfaatan kaum muda (dilambangkan Fidah), masih terus terjadi. Bahkan belakangan kita dengar ulama di negeri ini ditarik-tarik agar membuat fatwa haram menggunakan bensin bersubsidi bagi orang kaya—yang tak lain karena kehilangan akal penguasa saja dalam mengurus energi.
Akhirnya politik dengan cara-cara kotor begini, sebagai yang dilakoni Sutan Baginda, bukanlah demi rakyat, walaupun ia tiap berpidato selalu mengatakan atas nama rakyat. Yang dilakukannya sebaliknya: memupuk kekayaan, kekuasaan, kenikmatan dunia, dlsb. Akhirnya ia tak lebih menjadi setan bagi Anda—bagi kita semua.
Awas-awaslah! [*] 30 June 2011
JEMIE SIMATUPANG tukang kompor, ayah annora filosophie sulung (2 tahun) tinggal di medan
Dijumput dari: http://media.kompasiana.com/buku/2011/06/30/setan-bagi-anda-kekuasaan-seks-dan-hahaha%E2%80%A6/

Ide Lokalitas dalam Sastra


Ide Lokalitas dalam Sastra
Posted by PuJa on February 28, 2012
Budi P. Hatees
http://www.analisadaily.com/

Ide-ide lokalitas belakangan kerap muncul dalam kreativitas bersastra di negeri ini. Fenomena bersastra semacam ini dipicu oleh bangkitnya kesadaran para sastrawan atas realitas perubahan politik kebudayaan di daerah pasca membesarnya wewenang daerah di era otonomi daerah dalam memikirkan, merenungkan dan membangun kebudayaannya masing-masing.
***
Para sastrawan, kaum yang sebagian besar kehilangan kreativitas berkesenian dan menganggap kegiatan menulis merupakan tindak imitatif atas trend yang sedang berlangung, menyuguhkan sajak, cerpen dan novel berkadar lokalitas yang tinggi sebagai bacaan massa. Banyak dari karya-karya semacam ini mendapat penolakan dari publik, terutama karena nilai-nilai lokal itu terkesan hanya cantelan.
Lokalitas juga acap hanya ditandai dengan munculnya kosa kata lokal, istilah-istilah dari khazanah tradisional, yang memaksa pembaca mencari padanan kata pada Bahasa Indonesia dalam rangka menata kerangka pemaknaan yang justru mengganggu kenyamanan dalam mereproduksi teks. Kosa kata lokal itu kadang menjadi kode bahasa yang tak dikenal (alien code), karena padanannya sering tak bisa dijelaskan hanya dengan satu suku kata dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sebab itu, tak semua sastra yang mengandung ide-ide lokalitas itu layak dipuji, terutama karena karya-karya itu ditulis bukan dengan pemikiran yang menganggap realitas lokal sebagai narasi besar dan bisa menjadi fondasi teks sastra Indonesia. Artinya, para sastrawan membicarakan lokalitas dalam karya-karyanya tidak didorong oleh cita-cita besar untuk mengangkat citra budaya lokal ke panggung intelektual agar bisa diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan massa.
Tidak ada kerja keras untuk meletakkan eksistensi dirinya juga ranah kebudayaan yang telah menghidupkannya. Para sastrawan itu hanya mengimitasi teknik penulisan karya sastra dengan mengeksploitasi ide-ide lokalitas. Mereka merupakan entitas yang tidak memikirkan perkembangan teknologi komunikasi massa yang ditandai dengan masuknya budaya media ke lingkungan masyarakat perdesaan, punya andil besar untuk memaksa mayarakat agar tidak memiliki rasa nyaman terhadap budaya leluhurnya sendiri.
Kini, masyarakat kita merasa kebudayaannya merupakan beban lantaran ketidakpahamannya sendiri, sehingga harus ditolak karena dapat menghalangi upayanya untuk merengkuh kebahagian dari dinamika kehidupan global yang menawarkan ragam hal serba instant. Alhasil, di tengah-tengah arus globalisasi yang ditopang para kapitalis bisnis dan diprovokasi oleh industri media massa, masyarakat kehilangan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur justru sebelum kita sempat memahami substansi dan moralnya dari warisan itu.
Penolakan sebetulnya juga sudah berlangsung ketika konsep kebudayaan nasional dipatenkan, sehingga ragam masyarakat dengan ragam produk kebudayaan daerahnya dinilai tak memiliki rasa naionalime apabila tetap mempertahankan kebudayaan leluhur yang tak masuk dalam “puncak-puncak kebudayaan daerah”.
***
Sebetulnya, ide-ide lokalitas dalam karya sastra bukan hal baru di negeri ini. Jauh sebelum Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi para sastrawan pada masa kolonialisme untuk menerbitkan novel-novel mereka yang mengangkat tema-tema lokal -seperti kawin paksa dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar- hampir semua karya sastra mengangkat ide-ide lokalitas. Lokalitas itu identik dengan sastra tradisional yang penciptaannya untuk membangun tradisi budaya masyarakat karena diperuntukkan bagi masyarakat pemilik tradisi itu sendiri.
Lokalitas itu bagian dari hasil kerja pembacaan ulang para pengarangnya terhadap realitas lingkungannya. Mereka memposisikan diri sebagai satu kesatuan sistem sosial di lingkungannya dan terintegrasi melalui sebuah interaksi sosial. Artinya, ide-ide lokalitas dalam karya sastra merupakan bagian dari perilaku dalam gerak sosial yang (1) diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (2)terjadi pada situasi tertentu; (3)diatur oleh kaidah-kaidah tertentu; dan (4)terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.
Apa yang mereka ciptakan itu, hari ini kita sebut tradisi, seperti pantun, sastra lisan daerah, dongeng, cerita rakyat, foklor, bahkan mitos. Kita akhirnya mengenal Malin Kundang, misalnya, sebagai karakter lokal dari lingkungan kebudayaan Minangkabau. Malin Kundang dihadirkan pengarangnya sebagai narasi yang berpretenssi menasehati agar anak-anak Minangkabau tidak durhaka kepada ibu mereka. Meskipun dalam perkembangan saat ini narasi Malin Kundang maupun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat telah banyak yang direproduksi kembali seperti dilakukan Gonawan Mohamad ketika menarasikan potret penyair Indonesia sebagai si Malin Kundang.
Begitu juga halnya dengan karakter-karakter lain yang muncul dari lingkungan lokal masyarakat budaya kita, mulai dari Sangkuriang di Jawa Barat sampai Lala Bueng di Sumbawa Barat. Zaman ketika sosok karakter manusia dalam dongeng-dongeng itu diciptakan adalah sebuah zaman dimana konsep negara kebangsaan Republik Indonesia belum terpikirkan.
Para pencipta dongeng-dongeng itu menulis tanpa didorong oleh hasrat untuk menaikkan citra-citra lokal agar diproyeksikan sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Sebaliknya ketika konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai disepakati pasca proklamasi kemerdekaan, para pengarang sibuk mengangkat citra-citra lokal agar eksistensinya mendapat pengakuan sebagai kebudayaan nasional. Upaya yang mereka lakukan hanya sebatas beradaptasi dengan situasi yang ada, karena semua intelektual budaya pada zaman pergerakan nasional terlalu disibukkan oleh urusan-urusan membuat manifes kebudayaan daerah yang akan dijadikan kebudayaan nasional. Kesibukan yang justru mengungkung mereka dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris, dihantui oleh kontradiksi-kontradiksi yang memicu ketegangan antara sejarah dengan masa lalu.
***
Ide-ide lokalitas dalam sastra kita semakin fenomenal di era otonomi daerah. Pada era ini pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar bagi daerah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi budaya warisan leluhur budayanya, namun momentum ini tak bisa dimaksimalkan para pejabat pemerintah daerah. Pasalnya, bagi para pejabat pemerintah daerah kebudayaan itu sangat terkait dengan beban tugas dan tanggung jawabnya.
Sebab itu, segala upaya untuk memikirkan dan membangun kebudayaan yang ada sebagai sebuah strategi dalam mereproduki pemaknaan-pemaknaan yang lebih cocok dengan karakteristik masyarakat saat ini, tidak akan dilakukan mengingat hal itu hanya akan membebani. Para pejabat juga merasa nyaman dengan kebudayaan yang sudah ada karena kebudayaan memberi mereka legitimasi, menvalidasi mereka sebagai pejabat pemerintah daerah.
Dalam situasi kebudayaan daerah yang stagnan di tangan pejabat pemerintah daerah, para sastrawan muncul dengan ide-ide lokalitas dalam karya mereka. Kita bisa mengedepankan novel Lakar Pelangi yang mengangkat lokalitas Belitung, yang kemudian justru menjadi pemantik bagi pemerintah daerah untuk lebih serius memikirkan masalah-maalah kebudayaan Belitung dengan memperkenalkan sebuah festival pariwiata yang ditaja setiap tahun.
Novel Laskar Pelangi harus dilihat sebagai hasil kerja keras sastrawan untuk melakukan perubahan terhadap perpektif masyarakat dalam melihat kebudayaan Indonesia. Tujuannya mengubah sistem nilai (aspek kognitif dan normatif) pada masyarakat. Ide-ide lokalitas merupakan hasil kreativitas intelektual sastra dalam rangka membaca ulang realitas-realitas lokal dan menjadikannya sebagai fondasi teks sastra di negeri ini. Ini sebuah proyek besar untuk memproduksi kebudayaan nasional yang sebenarnya, sebagai jawaban atas fakta kebudayaan nasional yang berkembang di negeri ini—yang sejarahnya disimplikasi oleh negara hanya sebatas “puncak-puncak kebudayaan daerah”.
Lokalitas dalam karya sastra adalah pertaruhan sastrawan untuk memperkaya khazanah kebudayaan nasional dengan membangkitkan citra-citra lokal. Kita bisa juga memandangnya semacam kritik konstruktif atas buruknya pemahaman para pejabat pemerintah daerah terhadap kebudayaan daerahnya, sehingga kebudayaan daerah yang semula stagnan semakin terbuka peluangnya untuk berkembang.
13 Nov 2011

Amuk Perang Ego Capgomeh


Amuk Perang Ego Capgomeh
Posted by PuJa on February 28, 2012
Sofian Dwi
http://www.seputar-indonesia.com/

Para pemain saat melakukan pementasan teater bejana dengan judul “ Nonton Capgomeh “ di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Pasar Baru, Jakarta (03/02). Pementasan teater Nonton Capgomeh ini merupakan karya Kwee Tek Hoay yang akan dipentasankan untuk melestarikan dan mengangkat karya sastra Melayu Tionghoa dan merayakan hari besar Imlek bagi warga Tionghoa.
DARI sastra Melayu Tionghoa,Teater Bejana terus berproduksi. Karya Sastrawan Melayu Tionghoa KweeTek Hoay, Nonton Capgomeh kembali diangkat.
Naskah ini mengisahkan lonflik antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga, karena mempertahankan ego masingmasing. Beberapa jam sebelum perayaan Capgome berlangsung, di sebuah ruang keluarga,pasangan suami istri Thomas (Zickry A Ramadhan) dan Lies (Devi A Satriani) tengah bertengkar. Mereka mempertahankan ego masing-masing.Thomas ingin menonton Capgome berdua saja dengan Lies,tapi Lies tidak diijinkan oleh keluarganya.
Menurut Lies, aturan keluarganya mengharuskan Lies dan Thomas pergi bersama keluarga guna menonton perayaan Capgome.Aturan itu wajib hukumnya bagi Lies dan keluarganya. Namun,menurut Thomas yang terbentuk dari keluarga moderat, aturan tersebut sudah usang. Dari persoalan ego itu lah,permasalahan makin menjadi-jadi. Thomas lantas memilih untuk tinggal di rumah,sementara Lies pergi menonton perayaan Capgome bersama keluarga besarnya.
Saat Thomas di rumah,tiba-tiba Frans Liem (Bobby Kardi) muncul. Frans mengajak Thomas untuk menonton Capgome bersamasama. Tapi justru Thomas bercerita perihal yang tengah membelitnya. Sebagai kawan baik, Frans pun melontarkan ide. Ia bersedia menyaru sebagai perempuan guna memanasi keluarga Liem.Frans berupaya menjadi perempuan asal Semarang dan akan nampak mesra menggandeng Thomas di keramaian.
Tujuannya, agar Liem cemburu dan mau diajak Thomas berjalan-jalan berdua. Thomas setuju dan rencana itu berhasil. Di depan Hongkong Resto, keluarga Liem, termasuk Diana kawan Liem, yang tengah memperhatikan lalu lalang tiba-tiba mempergoki Thomas. Diana mengejar diikuti ibunda Liem dan sanak keluarganya. Thomas tenang saja. Bahkan dengan bangga Thomas mengenalkan Frans yang berganti nama menjadi Siocia Goei ke keluarga Liem.Mereka pun gusar.
Liem cemburu berat. Ia marah dan menangis untuk kemudian pulang ke rumah. Acara nonton Capgome pun berantakan. Persoalan pun menjadi semakin pelik manakala Diana menawarkan Liem untuk membalas polah tingkah Thomas. Diana pun melontarkan ide untuk menyaru sebagai laki-laki. Berdua mereka mencari Thomas. Dengan berpakaian ala Eropa, Liem pun menggandeng Diana. Tapi belum juga bertemu Thomas, Liem yang tengah mengandeng laki-laki, justru kepergok keluarga Thomas.
Persoalan pun menjadi makin runyam,karena orang tua Thomas langsung mendatangi rumah keluarga Liem. Pertengkaran antar mertua pun semakin menjadi-jadi. Untunglah Kie Kang muncul sebagai penengah. Kie Kang yang secara tidak sengaja melihat polah pasangan suami istri itu mendatangi rumah keluarga Liem dan membawa serta Diana dan Frans yang masih menyaru.Akhirnya keluarga besar itu berdamai dan pada akhirnya membolehkan Thomas dan Liem menonton Capgome berdua.
“Pada akhirnya memang yang moderat menang.Aturan kuno itu justru menjadi persoalan,” terang sutradara Teater Bejana Daniel H Jacob usai pementasan Nonton Capgomeh di Gedung Kesenian Jakarta, 2-4 Februari. Dalam beberapa tahun belakangan, Teater Bejana kerap memainkan naskah dari sastrawan Melayu Tionghoa.Mereka sepertinya hendak menggarap naskah-naskah ini, karena jarang sekali kelompok teater yang menggarap naskah Melayu Tionghoa.
Naskah Nonton Capgome sendiri sudah pernah dipentaskan beberapa tahun lalu. Bahkan saat Jakarta Biennale #4 lalu, naskah ini juga dibawakan beberapa adegan di Kelenteng Petak Sembilan. Kala itu,mereka mementaskan lakon ini di tempat terbuka.Tapi tidak secara keseluruhan cerita dibawakan.Baru pada 2-4 Februari ini,mereka mementaskan ulang naskah ini dengan setting panggung layaknya perkampungan pecinan pada tahun 1930.
Sayangnya, dalam cerita ini set panggung seperti tidak mengalami perubahan dari tahun lalu. Panggung tetap sama seperti pertunjukan Zonder Lentera. Perkampungan China, dengan kanan dan kiri ditempatkan warung makan. Hal yang sama juga dilakukan dengan penampilan Barongsay dan Liong. “Memang naskah ini ditulis hampir bersamaan,yang terjadi di tahun 1930-an. Jadi,untuk set panggung juga kurang lebih sama seperti Zonder Lenteratahun lalu,” terang Daniel.
Tapi, apa yang dilakukan Teater Bejana dalam mengusung cerita-cerita dari Melayu Tionghoa memang layak untuk diapresiasi. Selama ini sastra Melayu Tionghoa memang sedikit tenggelam. Padahal sastrawan Melayu Tionghoa bertebaran pada tahun- tahun 30-an.Namun,nama mereka justru tenggelam karena tidak dimunculkan. Kwee Tek Hoay misalnya.
Sastrawan yang lahir di Bogor, 31 Juli 1889,dan meninggal di Sukabumi, 4 Juli 1952 ini,merupakan salah satu penulis Tionghoa yang paling terkemuka. Dia seorang Sastrawan, wartawan,penulis teori puisi, filsafat, dan pemikir soal-soal kebangsaan.Lebih dari 115 karya, yang meliputi novel,drama,teori puisi, agama,filsafat,dan politik telah ia hasilkan.
Tapi namanya tak muncul di dalam kamus pendidikan sastra.Yang terjadi kemudian, sastrawan Melayu Tionghoa kalah pamor dibanding sastrawan era Balai Pustaka.
05 February 2012

Dagang di Semenanjung Dunia Tak Berujung


Dagang di Semenanjung Dunia Tak Berujung
Posted by PuJa on February 28, 2012
Hasan Junus
http://www.riaupos.co/

MEMBANDINGKAN visi seorang penyair dengan seorang penyair lain, apalagi apabila mereka terdiri dari kutub-kutub yang berbeda pasti mendatangkan keasyikan yang berkesan. Kalau diteruskan juga kerja membanding itu akan berlipat-lipat dan mencapai tingkat kegalauan yang pasti membuat kita lebih tertarik pada mereka itu atau segera meninggalkannya karena sangat muak.
Misalkan seorang penyair (baca: sastrawan) mempunyai pandangan dunia dan pandangan hidup (Weltundlebenanschauung) yang mengiakan dunia dan kehidupan (Weltundlebenbejahung) dibanding dan dibandingkan dengan mereka yang menidakkan dunia dan kehidupan (Weltundlebenverneinung), lalu dilihat pula dari mana asal mereka yang pasti membuat pan­dangannya juga berbeda, seperti perbedaan timur dan barat, serta agama dan filsafat yang dianut. Agar jangan sampai pada tingkat kegalauan yang dahsyat seperti berdepan dengan gambar fantasmagorik yang membingungkan namun nikmat lebih baik memulainya dengan riang dan seperti saran dan petunjuk Maria Montessori mari meng­hadapi soal-soal aljabar yang paling pelik seperti halnya ber­main-main.
Johann Wolfgang Goethe dalam karya utamanya Faust berkata tentang seorang dagang sebagaimana diungkapkan oleh sang wira cerita pada sajak baris ke-3348 yang berbunyi: Bin ich der Fluechteling nicht, der Unbehauste? Bukankah aku orang dagang itu, yang tak punya rumah? Dan gambaran tentang orang ter(di)asing(kan) dan tak berumah yang mungkin dinamakan orang dagang itu telah disambung dengan sangat sempurna oleh Rainer Maria Rilke dalam salah-satu sajaknya berjudul Herbsstag dengan mengatakan bahwa ia yang sekarang tak berumah, tidak lagi mem-ban­gunnya, ia yang sendiri akan lama bersendiri, akan terjaga, membaca menulis panjang sekali (Wer jetzt kein Haus hat, baut sich keines mehr. / Wer jetzt allein ist, wird es lange bleiben, / wird wachen, lesen, lange Briefe schreiben).
Sedangkan Muhammad Haji Salleh sendiri mengisahkan tentang kedagangannya dengan berkata sebagaimana tertulis dalam Sebuah Unggun di Tepi Danau sebagai berikut, “Saya telah ditakdirkan menjadi dagang, pengembara baru dalam dunia yang kini menjadikan sebagian penghuninya dagang di antara benua, pengalaman dan bangsa. Dagang ini adalah pengembara dunia kecil, tapi pelbagai, dagang ini diserahkan dan menerima dunia ini. Maka dengan rasa separuh bersedia itu saya mengumpul cebisan-cebisan dunia yang ditemui lewat pengalaman konkritnya kerana dunia itu adalah dunianya sendiri, betapa pun buruk atau bertaburan. Itulah yang ada dan harus dimengerti oleh penyair.”
Seorang yang disebut dagang yang luas dikenal dalam kebudayaan Melayu sebenarnya ada dua macam. Jenis yang pertama ialah orang yang kedagangannya tidak karena dorongan keriangan hatinya yang dikenal dalam sajak Goethe di atas sebagai der Fluechtling yaitu orang yang diburu-buru, pelarian atau pengungsi; sedangkan jenis yang kedua ialah orang yang kedagangannya tidak karena terpaksa yang disebut der Fremder dalam bahasa Jerman atau de vreemdeling dalam bahasa Belanda.
Pada tahun 1990 di Belanda terbit sebuah buku yang membahas tentang kedagangan sastrawan dan/atau tokoh-tokohnya berjudul Het Beeld van de vreemdeling-in westerse en niet-westerse literat­uur (Ambo/ Baarn). Dari khazanah sastra Melayu/Indonesia tulisan G L Koster tentang perasaan kedagangan sang penyair dalam syair-syair Melayu berjudul “Auteurschap als oodzakelijk kwaad. Der verteller als vreemdeling in Maleise sjair gedicht”, dan tulisan H M J Maier tentang generasi 45 berjudul “Ik praat hier in mijn eigen vaderland. De retorica van de Generatie ’45 in Indonesia”. Seandainya buku seperti ini diterbitkan lagi kelak setidak-tidaknya ada dua penyair penting dari Dunia Melayu yang harus diteropong; pertama Sitor Situmorang dan yang kedua Muhammad Haji Salleh.
Kedua penyair ini dapat dipandang sama karena kedagangannya. Dan kedagangan mereka membuahkan karya-karya yang samasekali berbeda. Sitor Situmorang tumbuh dengan setengah liar sambil mereguk kebebasan Perancis, lengkap dengan eksistensialisme yang dijalaninya di Paris ketika filsafat itu sedang marak-maraknya membakar Eropa. Muhammad Haji Salleh senantiasa melangkah ber­hati-hati dengan puritanisme Inggeris yang selalu menyembunyikan gejolak hati.
Dalam menghadapi perempuan, kegarangan Sitor Situmorang samasekali bukan tandingan Muhammad Haji Salleh, dan hal ini memang sudah dapat diketahui dari eksistensialisme Perancis versus puritanisme Inggris. Dalam sajak “La Ronde” Sitor mengisahkan: Adakah yang lebih indah / dari bibir padat merekah? / Adakah yang lebih manis / dari gelap di bayang alis? dan diikuti oleh semua gambaran yang biasa dalam mimpi lelaki.
Dalam keadaan yang hampir serupa Muhammad Haji Salleh menceritakan dalam “cetera yang keenambelas – Sajak-sajak Sejarah Melayu” sebagai berikut: anum, kupilih dari seratus dayang istana / kerana kau melembutkan suaraku, / memulakan rindu kepada malam, / memadamkan marah kepada sultan, anum, kupilihmu dari seratus kampung. // kini, di tengah malam bening / kita berdua hanya, / beraja di istana ini, / aku sultan dan kau permaisuriku, / pasang-penuhlah hidup ini untuk sekarang, / bulan yang bergantung di tiang layar / dan memasukkan bayangannya ke muka selat / tentu faham bagaimana / aku kasih kepadamu. // dan ghairah sebesar ini / tak perlu esok. / malam ini / kita kumpulkan / segala yang ada pada dua manusia muda / di dalam suatu mangkuk waktu agung.
Siapakah Muhammad Haji Salleh @ Dagang di Semenanjung Dunia Tak Berujung itu? Ia lahir di Taiping (Perak, Semenanjung Tanah Melayu) pada 26 Maret 1942; berhasil menyandang gelar doktor filsafat di Universitas Michigan dengan kitab-katam-kaji berjudul “The Development of Malay-Indonesian Poetry, 1945-70”.
Penciptaan sajak secara serius baru digelutinya pada tahun 1963. Sampai hari ini ia telah berhasil menerbitkan beberapa kumpulan sajak, di antaranya Sajak-sajak Pendatang (1973), Ini Juga Duniaku (1975), Sajak-sajak Sejarah Melayu (1981), Dari Seberang Diri (1982), Kalau, Atau dan Maka (1988), Watak Tenggara (1993) dan Beyond the Archipelago (1995).
Salah-satu karya Muhammad Haji Salleh yang sampai dari pencinta kesusastraan di Malaysia ialah sebuah buku tipis yang diterbitkan oleh The Toyota Foundation dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu, Inggeris dan Jepang. Buku tipis yang berjudul mengilir timur / flowing east / (dalam huruf kanji dan hiragana) too kara too e dapat merupakan rangsangan bagi para penyair muda yang sedang meniti hari-hari mereka.
Dari tujuh buah kumpulan sajak karya Muhammad Haji Salleh yang pernah diterbitkan dari tahun 1973 sampai tahun 1993 tercipta sebuah puncak piramida berupa sebuah buku kumpulan yang diberi judul Sebuah Unggun di Tepi Danau. Untuk memperkokoh kandungan buku ini di dalamnya disertakan pula serangkaian sajak-sajak baru dengan memakai judul “Jurnal Eropa” yang dihasilkan semasa ia mengajar pada fakultas Sastra di Universitas Leiden (Belanda) selama tahun 1993-1994.
Dalam perjalanan budayanya Muhammad Haji Salleh telah berhasil memetik hasil yang senantiasa dijanjikan sang waktu berupa Anugerah Sastra Kebangsaan Malaysia pada tahun 1991 dan juga SEA Award yang meliputi kawasan Asia Tenggara. Memang nampak-nampaknya Muhammad Haji Salleh memang ingin dikenang sebagai Dagang di Semenanjung Dunia Tak Berujung. Selamat dan sejahteralah senantiasa! ***
6 November 2011

Memupuk Kebangsaan dengan Sastra


Memupuk Kebangsaan dengan Sastra
Posted by PuJa on February 28, 2012
Arie MP Tamba
http://www.jurnas.com/

Pada masa awal ‘terbentuknya‘ Indonesia, banyak karya sastra Indonesia yang bisa menjadi saksi bagaimana proses indonesiasi berlangsung. Dengan penuh semangat, dalam segala keterbatasan, para sastrawan masa itu menghasilkan karya mereka berupa buku sederhana, terbitan terbatas, yang kadang beredar dari tangan ke tangan. Dan setelah kemerdekaan tercapai, sebagian besar penulis itu kesulitan menyelamatkan naskah mereka.
Beruntunglah Indonesia memiliki seorang HB Jassin. Berkat ketekunan dan kerja kerasnya, karya-karya imajinatif dan cerdas dari para penulis Indonesia awal itu, sebagian berhasil diselamatkan HB Jassin dengan cara mengoleksi dan mengulasnya. Hingga apa yang dikumpulkan HB Jassin ini kelak tercatat jadi ‘pemula‘ sastra Indonesia modern.
Hans Bague Jassin, atau lebih sering disingkat menjadi HB Jassin (lahir di Gorontalo , 13 Juli 1917 — meninggal di Jakarta, 11 Maret 2000 pada umur 82 tahun) — adalah seorang pengarang, penerjemah, penyunting, dosen, dan kritikus sastra ternama Indonesia. Ia mendapat banyak penghargaan nasional dan internasional. Ramon Magsasay Award adalah salah satu penghargaan internasional yang disematkan padanya.
HB Jassin menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Balikpapan, lalu ikut ayahnya pindah ke Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Di sana ia menyelesaikan pendidikan menengah (HBS). Dan pada saat itu ia sudah mulai rajin menulis, dan karya-karyanya dimuat di beberapa majalah.
Dari Medan, ia sempat bekerja sukarela di kota kelahirannya, di kantor Asisten Residen Gorontalo. Kemudian ia menerima tawaran Sutan Takdir Alisjahbana untuk bekerja di badan penerbitan pemerintahan Belanda, Balai Pustaka, Jakarta, pada 1940.
Bergabung dengan Balai Pustaka, perjalanan HB Jassin semakin terfokus ke dunia sastra. Di Balai Pustaka ia berada di pusat kehidupan sastra Indonesia yang menggeliat dengan semangat “sastra nasional”. Para penulis generasi baru Indonesia menjadi teman-temannya. HB Jassin mempromosikan dan menyebarkan karya-karya mereka, yang berisi pemikiran “keindonesiaan”.
Mulai dari Balai Pustaka, selanjutnya HB Jassin menjadi redaktur dan kritikus sastra di berbagai majalah. Seperti tak ada habisnya, setiap penerbitan yang menjadi tolok ukur perkembangan sastra Indonesia menyertakan HB Jassin sebagai redaktur. Antara lain Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain.
Dalam masa paling produktifnya, ulasan-ulasan HB Jassin “berpengaruh” menentukan standar sastra. Meski kritik yang dikembangkannya dianggap bersifat edukatif dan apresiatif, lebih mementingkan kepekaan daripada teori ilmiah ‘“ banyak sastrawan merasa ‘tidak lengkap‘ bila karyanya belum mendapatkan ulasan HB Jassin. Sebuah “acc” HB Jassin seperti pengakuan sah tidaknya mereka jadi sastrawan.
Karena begitu besarnya “pengaruh” HB Jassin, pengarang dan penerjemah Gayus Siagian (almarhum) menjulukinya Paus Sastra Indonesia. HB Jassin diandaikan memiliki kapasitas untuk menentukan “benar” dan “salah” dalam sastra Indonesia. Tentu saja hal ini berlebihan, tapi begitulah adanya.
Pada 1970-an misalnya, ada beberapa penulis senior yang berada di “lingkaran luar” HB Jassin, sebelum akhirnya diakui ke “lingkaran dalam”. Di antaranya Motinggo Busye dan beberapa penulis yang aktif menulis novel populer. Meskipun karya-karya mereka laris di pasar, mereka di “lingkaran luar” karena “kepausan” HB Jassin belum memperhitungkan karya mereka sebagai sastra serius.
Saat itu istilah ‘sastra populer‘ mengemuka dan menimbulkan polemik. Hasilnya beberapa penulis sastra populer, di antaranya Motinggo Busye sendiri, kemudian menulis novelet serius di majalah Horison. Sementara beberapa penulis populer, dengan ‘sadar‘ membentuk kelompok sendiri di luar hiruk-pikuk sastra serius.
HB Jassin kerap jadi pusat kontroversi. Pada 1956, ia membela Chairil Anwar yang dituduh sebagai plagiat, melalui bukunya yang terkenal, Chairil Anwar Penyair Angkatan 45. HB Jassin sekaligus menobatkan Chairil Anwar sebagai pelopor angkatan sastra baru setelah Pujangga Baru, yakni Angkatan 45. Pro-kontra berlangsung. HB Jassin dianggap ‘memaksakan‘ penamaan angkatan sastra dengan peristiwa politik.
Ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 1963, yang membuatnya dikecam sebagai anti-Soekarno oleh Lekra. Namun ia juga memuat cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin yang dianggap ‘menghina Tuhan‘ di majalah Sastra pada 1971. Karena menolak mengungkapkan nama asli si pengarang, HB Jassin dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun. Tindakannya jadi bukti nyata adanya “perlindungan” atas kebebasan berekspresi di Indonesia. Sampai kini, siapa Ki Panji Kusmin tetap jadi ‘rahasia‘ HB Jassin dan penulisnya.
Hasil jerih-payah HB Jassin mengoleksi karya sastra, saat ini bisa ditemukan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Berdiri sejak 1977, fasilitas itu diberikan oleh Gubernur DKI Ali Sadikin, untuk mendukung perkembangan sastra Indonesia. Masa itu rumah HB Jassin memang sudah tak sanggup lagi memuat timbunan buku-buku, kliping, majalah, dan berbagai surat pengarang yang dikumpulkannya sejak tahun 1940-an.
Dengan adanya PDS HB Jassin, Indonesia telah memiliki pusat dokumentasi sastra Indonesia terlengkap. Dari sana banyak skripsi, tesis dan disertasi ditulis, yang kemudian ikut pula didokumentasikan. Labih dari 50 ribu buku dan majalah sastra, kliping koran, dan catatan pribadi para penulis menanti peneliti. Ruangan PDS HB Jassin juga terbuka untuk forum diskusi dan kunjungan sastra dari sekolah dan kampus.
HB Jassin rajin menulis. Kumpulan esai aslinya sekitar 20 buku, dan terjemahan karya asing sebanyak 10 buku. Buku-bukunya yang paling terkenal adalah Gema Tanah Air, Tifa Penyair dan Daerahnya, Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (empat jilid, 1954-1967) dan interpretasi membaca Alquran, Alquran Bacaan Mulia. Di dalam buku HB Jassin, Surat-surat 1943-1983, dikumpulkan sekitar 100 surat dari 100 penulis dan seniman Indonesia.
HB Jassin mendapat gelar sarjana pada 1957 dan Doktor Honoris Causa delapan belas tahun kemudian di kampus yang sama, Universitas Indonesia. Ia berkesempatan melakukan studi sastra perbandingan ke Universitas Yale, Amerika Serikat. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.
Banyak mahasiswa dan kenalannya mengenang kisah unik HB Jassin di UI. Pada saat itu ia merangkap sebagai mahasiswa dan pengajar. Selama kelas sastra, terutama mata pelajaran Jawa kuno, Sansekerta, HB Jassin jadi seorang mahasiswa yang rajin dan duduk penuh perhatian seperti mahasiswa lainnya.
Tapi ketika mata kuliah Sastra Modern Indonesia, HB Jassin akan berdiri dan maju ke depan. Memberikan kuliah dengan serius, sebagai seorang Doktor Sastra Indonesia Modern.
Arie MP Tamba/dari berbagai sumber /16 Nov 2011

Menyegarkan Kembali Sikap Islam


Menyegarkan Kembali Sikap Islam
Posted by PuJa on February 28, 2012
* Beberapa Kesalahan Ulil Abshar Abdalla
A. Mustofa Bisri
Kompas, 04 Des 2002

KETIKA harian Kompas (18/11/2002) menurunkan tulisan Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam, saya menduga bakal muncul banyak reaksi. Benar. HP saya dibanjiri komentar reaktif beberapa orang atas artikel itu. Semuanya bernada “mempertanyakan”.
Tulisan itu bernada “teror”. Saya nyaris yakin, saat menulis, di depan Ulil ada bayangan orang-orang berjubah dan berjenggot, membawa pedang yang di bayangan Ulil terus meneriakinya agar dia juga berpakaian dan berjenggot seperti mereka jika tidak mau masuk neraka. Dari awal tulisan, nada geram sudah tercium. Selanjutnya, Ulil seperti hanya ingin membuat geram mereka yang membayanginya. Mereka yang ia sebut sebagai orang-orang yang memiliki kecenderungan “me-monumen-kan” Islam.
Maka diulang-ulangnya kalimat yang mirip-atau sengaja diambil dari-ungkapan-ungkapan kebanyakan orientalis Barat yang paling dibenci oleh mereka yang “membayangi Ulil” itu.
Bila dugaan saya benar, inilah kesalahan pertama Ulil. Tulisan itu mestinya bukan di Kompas yang umumnya tidak dibaca oleh mereka yang ingin dibuatnya geram. Pembaca Kompas-wallahua lam-umumnya mereka yang masih mau menyisakan perhatian dan waktu untuk membaca atau mendengar pendapat orang lain. Melihat nada tulisannya, Ulil jelas hanya menujukan kepada mereka yang ia sendiri sepertinya sudah yakin tidak akan mau “mendengarkan”-nya. Akibat salah memilih media, tulisan itu justru lebih membuat bingung mereka yang selama ini tidak bertipe sebagaimana sasarannya. Mereka yang selama ini menyikapi artikel sebagai penuangan pikiran-bukan untuk hal lain, seperti men-”teror” orang-akan bertanya-tanya, apa maunya Ulil?
Kesalahan kedua, sekali lagi bila dugaan saya itu benar: Ulil menulis dengan geram! Kegeraman, sebagaimana sikap-sikap athifie lainnya, bisa mengacaukan pikiran yang jernih; bisa membuat orang bersikap berlebihan; membuat orang tidak bisa berlaku adil, jejeg. Sikap yang justru dia sendiri serukan sebagai sesuatu yang mesti diutamakan. Itu sebabnya hakim yang sedang geram tidak boleh memutuskan hukuman. Ulil pasti sudah hafal mahfuzhat yang berbunyi “Kaifa yastiqiemudzillu wal uudu a waj?”, “Bagaimana bayangan bisa lurus bila tongkat yang menimbulkan bayangan, bengkok?” Ya bagaimana kita akan meluruskan kalau kita sendiri kacau?
KESALAHAN lain yang mestinya tidak boleh terjadi dari seorang intelektual ialah menggunakan kemampuannya untuk atau mencampurnya dengan urusan “nafsu”. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Inna akhwafa maa akhaafu alaa ummatie: asyirku billah. Alaa inni laa aquulu ta buduuna watsanan walaa qamaran walaa syamsan; walaakin al-a maal lighairillahi wa syahwatin khafiyyah.” Au kamaa qaala Rasulullah SAW. “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas umatku ialah menyekutukan Allah. Ingat, aku tidak berkata kalian akan menyembah berhala, rembulan, atau matahari; tapi yang kumaksud: amal-amal yang dilakukan bukan karena Allah dan adanya kepentingan yang tersamar.
Amar makruf nahi munkar yang populer itu, hakikatnya adalah manifestasi dari kasih-sayang. Maka, ada dawuh, “Amar makruf nahi munkar, hendaklah dilakukan secara makruf dan tidak boleh dilakukan secara munkar.” Untuk dapat ber-amar-makruf-nahi-munkar secara benar, menurut saya, harus didahului kasih sayang. Orang yang tidak mempunyai rasa kasih sayang, sulit dibayangkan dapat melakukan amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain, amar makruf nahi munkar adalah istilah lain dari rahmatan lil alamien. Wallahu a lam.
Semua orang tahu, semangat yang berlebihan kadang menyeret orang kepada perbuatan bodoh. Apalagi, bila tidak disertai pemahaman yang cukup atas apa yang disemangati. Ulil sudah tahu, bahkan tampak sudah menjadi “obsesi”-nya, banyak di antara kaum beragama yang terlalu bersemangat dan tidak disertai pemahaman cukup atas agamanya, justru terbukti lebih banyak merugikan, terutama bagi citra agama itu sendiri. Maka sudah semestinya Ulil tidak bersikap sama. Terlalu bersemangat dalam “memerangi” apa yang dianggapnya “musuh Islam”, sehingga justru mengaburkan pikiran jernih yang ingin dikemukakan.
Kesalahan terakhir-mudah-mudahan benar-benar terakhir-Ulil menulis itu pada bulan suci Ramadhan, dimana seharusnya umat Islam menyerap kasih sayang Ilahi bagi merahmati sesama.
Sengaja saya tidak menanggapi isi atau materi tulisan, karena seperti dikemukakan di atas, saya tidak melihat tulisan Ulil kali ini dimaksudkan untuk mengutarakan pikiran, bahkan wacana sekali pun. Saya yakin kalau membaca lagi tulisannya, dia akan menyesal, minimal agak menyesal, atau saya mengharapkan begitu.
A. Mustofa Bisri, Mertua Ulil Abshar Abdalla
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/SegarTanggapan.html

Agama Islam Beku, Akal Terus Berkembang


Agama Islam Beku, Akal Terus Berkembang
Posted by PuJa on February 28, 2012
Fauzan Al-Anzhari
Kompas, 04 Des 2002

DALAM seminar di Riyadh (22 Maret 1972, yang diselenggarakan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi (KAS), hadir sejumlah cendekiawan dan ahli hukum Barat yang tertarik menyelidiki pelaksanaan syariat Islam hak asasi manusia dari tangan pertama.
Pertemuan ilmiah pertama dilakukan di Riyadh, lalu di Vatikan, terakhir di Strassbourg. Seminar diikuti delegasi KAS, dan ahli-ahli hukum beberapa negara Eropa.
Dalam seminar itu banyak pertanyaan dari delegasi Eropa, di antara undang-undang dasar, undang-undang perdata, pidana, dan sebagainya harus didasarkan pada Al Quran. Ini patut dipelajari dan dipikirkan kembali, karena kehidupan selalu berubah sesuai perkembangan zaman. Menurut mereka, bukan untuk kepentingan Islam bila semua bentuk hukum diatur berdasar Al Quran, karena hal itu dapat merusak Al Quran sendiri, karena kehidupan berkembang dan kondisi telah berubah.
Kedua, mereka menanyakan hukuman hudud (potong tangan dan rajam) yang tidak boleh diamandemen oleh akal manusia, sehebat apapun dia.
Delegasi KAS menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dan menjelaskan dimensi-dimensinya sesuai pesan Al Quran, “Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik!” (QS An-Nahl/16:125).
Jawaban untuk masalah pertama, yaitu berpegang teguhnya kaum muslimin kepada Al Quran dalam membentuk segala hukum positif mereka dianggap akan merusak Al Quran sendiri. Ketika diselenggarakan Pekan Fiqh Islam di Paris tahun 1951, yang dihadiri para ahli ilmu hukum dari berbagai universitas di dunia, di antara peserta ada yang mengemukakan persoalan berikut.
Agama tidak akan dapat mempertahankan kesuciannya bila agama itu tidak senantiasa seperti sebagaimana adanya menurut pendapat para pengikutnya, meski masa kedatangan agama telah lama. Agama seharusnya tidak berubah dan tidak berkembang, alias beku. Bila agama berubah dan berkembang, ia kehilangan tempatnya yang mulia dan kesuciannya. Karena itu, tiap kitab suci yang dimiliki agama manapun harus beku, tidak berubah. Kalau begitu, bagaimana mungkin membangun sistem hukum positif atas dasar kitab suci, karena hukum itu selalu berkembang sesuai perkembangan zaman?
Harus diakui, saat itu hukum agama akan mendapat sifat kebekuan, karena segala sesuatu yang dibangun atas dasar kebekuan pasti beku pula. Inilah yang mengkhawatirkan Ulil Abshar Abdalla, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang galau melihat meningkatnya semangat umat Islam menerapkan syariat Islam di seluruh aspek kehidupan.
Ulil menawarkan “pemahaman yang segar”, Islam harus dipandang sebagai “proses” yang tak pernah selesai. Tawarannya diturunkan dalam opini Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam (Kompas, 18/11). Alasannya, kenyataan di mana kehidupan dan kebutuhan selalu berubah dan berkembang. Karena itu, agama harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia. Sehingga QS Ali Imran/3:19 yang artinya “Sesungguhnya agama (yang diridoi) di sisi Allah hanya Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (maksudnya Kitab-kitab yang diturunkan sebelum Al Quran), kecuali setelah datang pengetahuan (wahyu ini) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa kafir (menolak) ayat-ayat Allah, maka sebenarnya Allah amat cepat hisab-Nya” harus diartikan lain menurut versinya menjadi “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesaimenuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).” Konsekuensinya, wahyu tidak boleh dianggap tuntas. Ayat alyauma akmaltu& ” (QS Al Maidah/5:3), wahyu penutup Al Quran sebagai bukti kesempurnaan agama Islam terpaksa diabaikan.
Secara keseluruhan saya memahami pemikirannya, juga komunitas JIL sesuai prinsip gagasan Islam liberal yang ditulis Greg Barton (1999) yaitu 1) pentingnya kontekstualisasi jihad; 2) Komitmen atas rasionalitas dan pembaruan; 3) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; 4) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara.
Para tokoh seniornya di Indonesia: Cak Nur, Gus Dur, Djohan Effendi, dan (alm) Ahmad Wahib. Dengan dana unlimited dari The Asia Foundation, ide-ide kelompok JIL mampu terus menghiasi media massa. Hampir seluruh media publik memberi akses tak terbatas kepada kelompok ini guna memasarkan ide-idenya. Sayang, gagasan-gagasan yang dijual, menurut saya, tidak lagi segar karena komoditasnya “barang lama yang dikemas ulang”.
MUNCULNYA pertanyaan pertama lebih karena kesalahpahaman mereka atas pengertian agama. Setiap bertemu Ulil di forum diskusi (tiga kali) ia selalu mengatakan, agama adalah masalah pribadi (privat), bukan publik, sehingga negara tidak berhak “mengatur” agama seseorang. Realitasnya Pemerintah Indonesia telah memformalkan UU Zakat, Haji, Perbankan Syariah dan sebagainya. How do you mind? Dalam La Grande Encyclopaedia des Sciences, des Letters et des Arts misalnya, memuat kata-kata “agama”. Di situ disebutkan ada seratus definisi agama, sembilan puluh delapan darinya dianggap tidak ilmiah.
Oleh karena itu, yang dipegang hanya dua definisi: 1) agama adalah cara manusia merealisir hubungannya dengan kekuatan gaib yang maha tinggi. 2) Agama mencakup segala sesuatu yang dikenal dan segala kekuasaan yang tidak sesuai ilmu pengetahuan.
Islam jelas beda pendapat dengan pengertian pertama, karena mencakup segala sesuatu yang diketahui, yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang maha tinggi, juga hubungan manusia dengan manusia. Islam juga beda pendapat dengan definisi kedua, karena Al Quran berkata, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta silih bergantinya malam dan siang, ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS Ali Imran/3:190). Maksudnya, agama dalam Al Quran adalah segala sesuatu yang sesuai dengan ilmu pengetahuan, otak, dan pemikiran.
Orang-orang yang mengajar pengertian agama kepada orang Islam hanyalah mereka yang punya pengetahuan, menggunakan otak dan kaum pemikir. Karena itu, tidak aneh bila umat Islam merasa wajib menegakkan tiap hukum positif bersumber dari syariat Islam atas dasar Al Quran dan sunnah Rasul yang telah memberi pengertian tentang agama
Beberapa ulama, seperti Ibnul Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Di mana ada kemaslahatan dan kepentingan umum, di sanalah terdapatnya syariat.” Juga yang dikatakan Ibnu Uqail, lanjutan dari apa yang tersebut tadi, “walaupun dalam hal itu tidak ada wahyu dari Tuhan dan juga tidak pernah dikatakan oleh Nabi.”
Demikianlah agama Islam yang syariatnya bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, akal, dan pemikiran, tentu sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang selalu berubah. Agama Islam sanggup memberi jawaban, berdasar maslahat dan kepentingan umum, terhadap persoalan hukum, konstitusi, perdata, pidana, perkawinan, waris, dan sebagainya, meski dalam hal itu tidak ada teksnya (nash-nya).
Sayang, Ulil tidak bisa membedakan mana hudud, mana tazir, sehingga ia ingin mengamandemen seluruh “hukum Allah” dengan mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Padahal, Allah lebih tahu. Itu tidak berarti Allah butuh manusia, tetapi sebagai bukti Allah mencintai ciptaanNya. Sayang, kebanyakan manusia tak tahu diri akan kelamahan akal mereka.
Fauzan Al-Anshari MM, Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/TanggapanSegar.html

Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam


Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam
Posted by PuJa on February 28, 2012
Ulil Abshar-Abdalla *
Kompas, 18 Nov 2002

SAYA meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat, kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk menandingi kecenderungan ini.
Saya mengemukakan sejumlah pokok pikiran di bawah ini sebagai usaha sederhana menyegarkan kembali pemikiran Islam yang saya pandang cenderung membeku, menjadi “paket” yang sulit didebat dan dipersoalkan: paket Tuhan yang disuguhkan kepada kita semua dengan pesan sederhana, take it or leave it! Islam yang disuguhkan dengan cara demikian, amat berbahaya bagi kemajuan Islam itu sendiri.
Jalan satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama, penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua, penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya, dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti. Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Yang harus diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, umat Islam hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang sejalan, bukan berlawanan, dengan Islam.
Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu, karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat, tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hukum Islam klasik yang membedakan antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan kehidupan publik adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya partikular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut saya, tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami kebanyakan orang Islam. Misalnya, hukum Tuhan tentang pencurian, jual beli, pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy syari’ah, atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga/keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini? Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan. Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang partikular”.
Umat Islam harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others, salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
Oleh karena itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh akal manusia yang merupakan anugerah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa, termasuk milik orang Islam.
Umat Islam harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus di-”lawan” adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya berpandangan lebih jauh lagi: setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam-seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain-adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik keIslam-an yang dianut oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di baliknya.
Amat konyol umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan.
Misi Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan keadilan di muka Bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan, memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk sistem dan aturan main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan di muka Bumi.
Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukum Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan seterusnya.
Kata Nabi, konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradal akhirata fa ‘alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu. Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia itu sendiri.
Pandangan bahwa syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah; sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan, itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan, yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan “Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara “kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami” itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara lembaran-lembaran Quran.
Ilmu Tuhan adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran “Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud, dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS 3:19), lebih tepat diterjemahkan sebagai, “Sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses-yang-tak-pernah-selesai menuju ketundukan (kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Maka, fastabiqul khairat, kata Quran (QS 2:148); berlombalah-lombalah dalam menghayati jalan religiusitas itu.
Syarat dasar memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusialah stake holder yang berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia. Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia itu sendiri.
ULIL ABSHAR-ABDALLA, Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta.
Dijumput dari: http://media.isnet.org/islam/Etc/Segar.html