Pages

Tuesday 28 February 2012

Ide Lokalitas dalam Sastra


Ide Lokalitas dalam Sastra
Posted by PuJa on February 28, 2012
Budi P. Hatees
http://www.analisadaily.com/

Ide-ide lokalitas belakangan kerap muncul dalam kreativitas bersastra di negeri ini. Fenomena bersastra semacam ini dipicu oleh bangkitnya kesadaran para sastrawan atas realitas perubahan politik kebudayaan di daerah pasca membesarnya wewenang daerah di era otonomi daerah dalam memikirkan, merenungkan dan membangun kebudayaannya masing-masing.
***
Para sastrawan, kaum yang sebagian besar kehilangan kreativitas berkesenian dan menganggap kegiatan menulis merupakan tindak imitatif atas trend yang sedang berlangung, menyuguhkan sajak, cerpen dan novel berkadar lokalitas yang tinggi sebagai bacaan massa. Banyak dari karya-karya semacam ini mendapat penolakan dari publik, terutama karena nilai-nilai lokal itu terkesan hanya cantelan.
Lokalitas juga acap hanya ditandai dengan munculnya kosa kata lokal, istilah-istilah dari khazanah tradisional, yang memaksa pembaca mencari padanan kata pada Bahasa Indonesia dalam rangka menata kerangka pemaknaan yang justru mengganggu kenyamanan dalam mereproduksi teks. Kosa kata lokal itu kadang menjadi kode bahasa yang tak dikenal (alien code), karena padanannya sering tak bisa dijelaskan hanya dengan satu suku kata dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Sebab itu, tak semua sastra yang mengandung ide-ide lokalitas itu layak dipuji, terutama karena karya-karya itu ditulis bukan dengan pemikiran yang menganggap realitas lokal sebagai narasi besar dan bisa menjadi fondasi teks sastra Indonesia. Artinya, para sastrawan membicarakan lokalitas dalam karya-karyanya tidak didorong oleh cita-cita besar untuk mengangkat citra budaya lokal ke panggung intelektual agar bisa diterima secara terbuka oleh berbagai lapisan massa.
Tidak ada kerja keras untuk meletakkan eksistensi dirinya juga ranah kebudayaan yang telah menghidupkannya. Para sastrawan itu hanya mengimitasi teknik penulisan karya sastra dengan mengeksploitasi ide-ide lokalitas. Mereka merupakan entitas yang tidak memikirkan perkembangan teknologi komunikasi massa yang ditandai dengan masuknya budaya media ke lingkungan masyarakat perdesaan, punya andil besar untuk memaksa mayarakat agar tidak memiliki rasa nyaman terhadap budaya leluhurnya sendiri.
Kini, masyarakat kita merasa kebudayaannya merupakan beban lantaran ketidakpahamannya sendiri, sehingga harus ditolak karena dapat menghalangi upayanya untuk merengkuh kebahagian dari dinamika kehidupan global yang menawarkan ragam hal serba instant. Alhasil, di tengah-tengah arus globalisasi yang ditopang para kapitalis bisnis dan diprovokasi oleh industri media massa, masyarakat kehilangan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur justru sebelum kita sempat memahami substansi dan moralnya dari warisan itu.
Penolakan sebetulnya juga sudah berlangsung ketika konsep kebudayaan nasional dipatenkan, sehingga ragam masyarakat dengan ragam produk kebudayaan daerahnya dinilai tak memiliki rasa naionalime apabila tetap mempertahankan kebudayaan leluhur yang tak masuk dalam “puncak-puncak kebudayaan daerah”.
***
Sebetulnya, ide-ide lokalitas dalam karya sastra bukan hal baru di negeri ini. Jauh sebelum Pemerintah Hindia Belanda memfasilitasi para sastrawan pada masa kolonialisme untuk menerbitkan novel-novel mereka yang mengangkat tema-tema lokal -seperti kawin paksa dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar- hampir semua karya sastra mengangkat ide-ide lokalitas. Lokalitas itu identik dengan sastra tradisional yang penciptaannya untuk membangun tradisi budaya masyarakat karena diperuntukkan bagi masyarakat pemilik tradisi itu sendiri.
Lokalitas itu bagian dari hasil kerja pembacaan ulang para pengarangnya terhadap realitas lingkungannya. Mereka memposisikan diri sebagai satu kesatuan sistem sosial di lingkungannya dan terintegrasi melalui sebuah interaksi sosial. Artinya, ide-ide lokalitas dalam karya sastra merupakan bagian dari perilaku dalam gerak sosial yang (1) diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (2)terjadi pada situasi tertentu; (3)diatur oleh kaidah-kaidah tertentu; dan (4)terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.
Apa yang mereka ciptakan itu, hari ini kita sebut tradisi, seperti pantun, sastra lisan daerah, dongeng, cerita rakyat, foklor, bahkan mitos. Kita akhirnya mengenal Malin Kundang, misalnya, sebagai karakter lokal dari lingkungan kebudayaan Minangkabau. Malin Kundang dihadirkan pengarangnya sebagai narasi yang berpretenssi menasehati agar anak-anak Minangkabau tidak durhaka kepada ibu mereka. Meskipun dalam perkembangan saat ini narasi Malin Kundang maupun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat telah banyak yang direproduksi kembali seperti dilakukan Gonawan Mohamad ketika menarasikan potret penyair Indonesia sebagai si Malin Kundang.
Begitu juga halnya dengan karakter-karakter lain yang muncul dari lingkungan lokal masyarakat budaya kita, mulai dari Sangkuriang di Jawa Barat sampai Lala Bueng di Sumbawa Barat. Zaman ketika sosok karakter manusia dalam dongeng-dongeng itu diciptakan adalah sebuah zaman dimana konsep negara kebangsaan Republik Indonesia belum terpikirkan.
Para pencipta dongeng-dongeng itu menulis tanpa didorong oleh hasrat untuk menaikkan citra-citra lokal agar diproyeksikan sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
Sebaliknya ketika konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai disepakati pasca proklamasi kemerdekaan, para pengarang sibuk mengangkat citra-citra lokal agar eksistensinya mendapat pengakuan sebagai kebudayaan nasional. Upaya yang mereka lakukan hanya sebatas beradaptasi dengan situasi yang ada, karena semua intelektual budaya pada zaman pergerakan nasional terlalu disibukkan oleh urusan-urusan membuat manifes kebudayaan daerah yang akan dijadikan kebudayaan nasional. Kesibukan yang justru mengungkung mereka dalam suasana kolonial-sentris dan istana-sentris, dihantui oleh kontradiksi-kontradiksi yang memicu ketegangan antara sejarah dengan masa lalu.
***
Ide-ide lokalitas dalam sastra kita semakin fenomenal di era otonomi daerah. Pada era ini pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar bagi daerah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi budaya warisan leluhur budayanya, namun momentum ini tak bisa dimaksimalkan para pejabat pemerintah daerah. Pasalnya, bagi para pejabat pemerintah daerah kebudayaan itu sangat terkait dengan beban tugas dan tanggung jawabnya.
Sebab itu, segala upaya untuk memikirkan dan membangun kebudayaan yang ada sebagai sebuah strategi dalam mereproduki pemaknaan-pemaknaan yang lebih cocok dengan karakteristik masyarakat saat ini, tidak akan dilakukan mengingat hal itu hanya akan membebani. Para pejabat juga merasa nyaman dengan kebudayaan yang sudah ada karena kebudayaan memberi mereka legitimasi, menvalidasi mereka sebagai pejabat pemerintah daerah.
Dalam situasi kebudayaan daerah yang stagnan di tangan pejabat pemerintah daerah, para sastrawan muncul dengan ide-ide lokalitas dalam karya mereka. Kita bisa mengedepankan novel Lakar Pelangi yang mengangkat lokalitas Belitung, yang kemudian justru menjadi pemantik bagi pemerintah daerah untuk lebih serius memikirkan masalah-maalah kebudayaan Belitung dengan memperkenalkan sebuah festival pariwiata yang ditaja setiap tahun.
Novel Laskar Pelangi harus dilihat sebagai hasil kerja keras sastrawan untuk melakukan perubahan terhadap perpektif masyarakat dalam melihat kebudayaan Indonesia. Tujuannya mengubah sistem nilai (aspek kognitif dan normatif) pada masyarakat. Ide-ide lokalitas merupakan hasil kreativitas intelektual sastra dalam rangka membaca ulang realitas-realitas lokal dan menjadikannya sebagai fondasi teks sastra di negeri ini. Ini sebuah proyek besar untuk memproduksi kebudayaan nasional yang sebenarnya, sebagai jawaban atas fakta kebudayaan nasional yang berkembang di negeri ini—yang sejarahnya disimplikasi oleh negara hanya sebatas “puncak-puncak kebudayaan daerah”.
Lokalitas dalam karya sastra adalah pertaruhan sastrawan untuk memperkaya khazanah kebudayaan nasional dengan membangkitkan citra-citra lokal. Kita bisa juga memandangnya semacam kritik konstruktif atas buruknya pemahaman para pejabat pemerintah daerah terhadap kebudayaan daerahnya, sehingga kebudayaan daerah yang semula stagnan semakin terbuka peluangnya untuk berkembang.
13 Nov 2011

0 comments:

Post a Comment