Waktu Luang untuk Puisi
Oleh: Yopi Setia Umbara
Di jaman serba cepat hari ini teknologi telah menjadi kebutuhan sebagian besar umat manusia. Dan sebaliknya, manusia seolah-olah menjadi mesin yang harus terus bergerak mengikuti perkembangan perdaban. Manusia terus menerus dituntut memenuhi kebutuhan jasmaniah semata, sementara jaman memaksa manusia lupa kepada kebutuhan ruhaniahnya.
Puisi sebagai salah satu bentuk ekpresi setidaknya dapat menarik manusia ke sisi lain dalam hidupnya. Selain sebagai ekspresi jiwa, puisi juga merupakan sebuah alat untuk menyatakan diri. Bagaimana tidak, dalam melakukan kegiatan apresiatif dan kreatif di bidang puisi manusia sempat merenungkan kehidupan. Artinya, manusia lebih sadar akan kenyataan yang dihadapi dan kemungkinan yang dapat dicapainya. Manusia dapat melihat das sein (yang ada) dan das sollen (yang seharusnya) dari kehidupan ini hingga gairahnya untuk berjuang lebih besar dari pada sekadar mencari nafkah (Saini KM, dalam Kata Penutup Jalan Menuju Rumahmu, Acep Zamzam Noor: 2004).
Nikmat hidup adalah anugerah terbesar bagi manusia, maka sayang sekali jika waktu kita untuk hidup habis oleh segala kesibukan yang seakan-akan tidak ada akhirnya. Puisi adalah sebuah upaya kecil untuk membuat hidup itu berarti yang sesudah itu mati, begitu kata penyair Chairil Anwar.
Setiap orang pasti mempunyai kisah hidupnya masing-masing dan setiap kisah itu tentunya punya kenangan tersendiri. Dengan meminjam bahasa JM Coetze, penulis Afrika Selatan dalam novelnya yang berjudul Aib, bahwa masa lalu punya hak untuk dikenang. Maka, puisi sebagai sebentuk kebudayaan purba manusia dapat memberikan ruang bagi setiap kenangan yang mungkin dituliskan tersebut.
Meluangkan waktu untuk menulis puisi adalah niscaya. Mao Tse Dong, pemimpin kharismatik Cina itu masih punya waktu luang untuk menulis puisi. Dan sebagian besar dari puisi-puisi yang ditulisnya bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kegiatan propaganda politik-nya. Ia masuk ke dunia puisi untuk rehat sejenak dari realita dengan mencoba memenuhi kebutuhan batinnya. Seperti salah satu puisinya yang terkenal berjudul Yang Tze. Puisi tersebut menceritakan pengalamannya berenang di sungai Yang Tze, bahkan ia pernah memarahi pengawalnya karena melarang Mao berenang di sana (Sigit Susanto: 2008).
Menulis puisi sesungguhnya tidak terlalu sulit, karena setiap hari semua orang pasti berbahasa. Dan, seperti kita ketahui bahasa merupakan alat ungkap dari puisi. Yang menjadi kendala hanyalah persoalan meluangkan waktu untuk menuliskannya. Dengan kata lain seringkali kita tidak punya waktu sekadar untuk merasakan hembusan angin atau yang lebih luas lagi merenungkan dampak kenaikan BBM hari ini terhadap masyarakat luas, misalnya. Kita terlalu kikuk dengan diri kita sendiri, meski untuk menyatakan yang kita yakini.
Penyair adalah pengecualian. Walau setiap penyair menyatakan menulis puisi bukan sebuah profesi karena puisi tidak mungkin menghidupinya. Namun bagi penyair, puisi lebih dari sekadar keterampilan berbahasa. Bagi penyair, puisi adalah alat untuk melakukan sebuah perjuangan dengan mengekspresikan realitas sosial hingga menuliskan pengalaman paling pribadi.
Keterampilan berbahasa memang sangatlah penting dalam menulis puisi. Bahasa yang baik dalam sebuah puisi akan membuat sebuah puisi melakukan fungsi komunikatif-nya dengan baik pula kepada setiap pembaca yang mengapresiasinya. Di sinilah kerja keras dalam menulis puisi dibutuhkan. Karena setiap penyair dituntut untuk menggunakan bahasa yang sesuai dengan apa yang ingin disampaikannya. Maka setiap penyair dituntut untuk menaklukan bahasa yang digunakannya sebelum menuliskannya dalam bentuk puisi.
Acep Zamzam Noor, misalnya. Penyair yang mendapatkan anugerah Khatulistiwa Literary Award 2007 melalui kumpulan puisinya Menjadi Penyair Lagi ini berhasil menciptakan puisi yang bermula dari dirinya dan lingkungan sekitarnya. Maksud saya, Acep mampu merenungkan apa yang terjadi pada dirinya dan yang terjadi di sekelilingnya. Kemudian Acep meramu dua hal tersebut dalam puisi-pusinya dengan kemampuan berbahasanya.
Berbagai perasaan yang secara lahiriah dianugerahkan kepada manusia, seperti kesedihan, kesenangan, perasaan cinta, rindu, kesunyian dan sebagainya disadari Acep sehingga ia mampu menuliskan puisi yang mewakili perasaan-perasaan tersebut. Akan tetapi, penyair sebagai manusia yang hidup dalam tatanan sosial tentunya perlu mengasah kepekaan sosialnya.
Selain persoalan sosial, bagi Acep puisi juga adalah alat untuk menyatakan persoalan spiritual. Oleh karena itu, Acep tidak sekadar menuliskan perasaan dari dalam dirinya saja, sebab ia juga menyaksikan berbagai fenomena alam dan kehidupan yang kemudian sinergis dalam pusi-puisinya. Dengan demikian, wajar apabila ada yang merasakan perasaannya terwakili oleh puisi-puisi yang ditulis Acep Zamzam Noor atau juga penyair lainnya.
Acep Zamzam Noor hanya salah satu contoh dari banyak penyair yang telah mampu menaklukan bahasa. Dalam karya-karyanya, Acep menjadikan alam sebagai metafora dalam puisi-puisinya. Barangkali hal ini berhubungan dengan latar belakang Acep yang berasal dari daerah Tasikmalaya, di mana lingkungannya mendukung bagi Acep untuk berproses kreatif dengan alam. Di samping pesantren Cipasung yang mendukung penghayatan spiritualnya.
Lain lagi jika kita membaca puisi-puisi Afrizal Malna, yang berlatar belakang perkotaan. Dalam puisi-puisi Afrizal kita akan menemukan metafora benda-benda yang umum di masyarakat urban. Secara sederhana, latar belakang sosial, lingkungan, dan spiritual seorang penyair akan berpengaruh besar terhadap karya-karyanya.
Dan sesungguhnya latar belakang setiap orang adalah modal besar dalam menulis puisi. Karena tidak mungkin setiap penyair menuliskan apa yang tidak dialaminya (itulah sebabnya mengapa puisi dikatakan karya yang jujur). Meski dalam dunia sastra dikenal istilah simulalcrum (ruang simulasi) di mana setiap penyair dapat menggunakan pengalaman imajiner-nya dengan leluasa. Akan tetapi ia selalu terdorong untuk mensimulasikan pengalaman empiriknya sebagai bahasa yang punya daya pukau (evokatif) bagi pembaca.
Menciptakan puisi dengan efek evokatif yang signifikan memang butuh kerja keras. Oleh sebab itu pemahaman berbahasa mesti berbanding dengan pengalaman hidup yang dijalani. Sebuah bangun puisi mestilah terdiri dari setumpuk materi yang mampu membuatnya kokoh. Logika berbahasa menjadi teramat penting dalam hal ini. Meski penyair punya licencia poetica, tapi logika bahasa dalam menciptakan sebuah puisi itu tetap diperlukan sebagai keutuhan dari struktur puisi yang ditulis.
Tidaklah heran jika ada seorang penyair yang melakukan pertimbangan sangat ketat untuk menuliskan sebuah kata yang mampu mewakili apa yang ingin disampaikannya. Berbagai pertimbangan itu didasari oleh persoalan struktur dan pemaknaan setiap diksi yang memengaruhi efektivitas juga efisiensi pada karya yang ditulisnya.
Bagi penyair yang “bertarung” dalam dunia kesusastraan, ia terus dituntut untuk melakukan eksplorasi dan inovasi dalam berbahasa untuk menciptakan idiom-idom khas yang dapat menyatakan eksistensinya sebagai penyair. Walau bagaimana pun seorang penyair dikenal karena karya-karyanya. Oleh karena itulah proses kreatif seorang penyair menjadi berdarah-darah. Selain dituntut mengasah kepekaan sosialnya ia juga dituntut untuk menciptakan karya-karya baru yang megang.
Chairil Anwar pada masanya, ia sanggup keluar dari tradisi pujangga lama dengan puisi modern-nya. Yang dilakukan Chairil tentu saja membaca, selain membaca diri dan fenoma kehidupan, tentunya ia juga membaca karya-karya sastra yang lain, seperti karya-karya penulis barat. Dari pengalaman membacanya itulah kemudian Chairil dapat merebut energi untuk hadir sebagai penyair mutakhir dengan kemampuan berbahasa yang melampaui penyair lain di jamannya. Bahkan hingga kini pengaruh karya Chairil masih hidup, dan sepertinya akan hidup lebih dari seribu tahun lagi.
Berangkat dari pengalaman Chairil, membaca merupakan salahsatu langkah awal bagi yang ingin menulis puisi. Meski tentu saja untuk mengawali menulis, ya menulis. Akan tetapi, membaca dan menulis bagai sekeping mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dengan membaca kita akan memperkaya wawasan dan menguji sejauh mana sikap kritis kita terhadap apa yang kita baca, dan menulis puisi adalah merefleksikan berbagai pengalaman dalam hidup kita dengan cara yang padat.(YSU)
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Taman Baretti Penuh Puisi
Pada Sabtu, 31 Mei 2008 Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI menyelenggarakan sebuah kegiatan bertajuk “Sastra Bulan Mei” (SBM). Kegiatan yang secara tidak langsung merebut spirit Festival Mei di Perancis, di mana Festival Mei adalah musim semi bagi puisi. Namun pada SBM tidak hanya puisi yang diungkapkan kepada publik, melainkan khazanah sastra pada umumnya.
Rangkaian acara SBM sendiri diisi dengan diskusi “Perkembangan Sastra Indonesia, Malaysia, dan Jepang” yang menghadirkan pembicara Lukman A Sya (Penyair dan ketua Komunitas Sastra Indonesia Sukabumi), Viddy AD Dairy (Penyair), dan Shiho Sawai (Peneliti Sastra dari Jepang), “WomanSow” tiga penyair perempuan dari ASAS, Serta “Baca Puisi Lintas Generasi”.
Diskusi
Diskusi “Perkembangan Sastra Indonesia, Malaysia, dan Jepang” merupakan upaya melihat sejauh mana perkembangan sastra baik secara estetik mau pun unsur non estetik lain yang mempengaruhi kesusastraan di tiga negara tersebut.
Pada makalah pengantar diskusi, Lukman A Sya menyampaikan perkembangan sastra Indonesia yang terpengaruh oleh periodisasi sastra sejak jaman pujangga lama hingga jaman “Afrizal Malna”. Di mana menurutnya peran lembaga akademik kurang memberikan kontribusi terhadap kelangsungan sastra Indonesia dan cenderung terjebak oleh periodisasi sastra yang ngawur. Selain itu lagi-lagi fungsi sosial sastra disinggung-singgung, baik secara teks mau pun peran sastrawan sendiri terhadap realitas sosial Indonesia hari ini yang “goyah”.
Sementara Viddy AD Dairy, menyampaikan pengamatannya tentang kesusastraan Malaysia hari ini yang mendapat simpati pemerintah, terutama secara infrastruktur. Viddy juga mengemukakan tentang ciri estetik karya sastra Malaysia yang terpengaruh kesusastran Indonesia karena secara bahasa masih rumpun Melayu. Meski hari ini sebagian penggiat sastra Malaysia mencoba keluar dari pengaruh sastra Indonesia dan menyatakan independensi-nya, bahwa sastra Malaysia berbeda dengan sastra Indonesia.
Di Jepang, menurut Shiho Sawai, terjadi hal yang menarik di mana banyak penulis yang secara sosiologis bukan warga negara Jepang tapi berkarya dengan bahasa Jepang. Shiho dalam hal ini menyampaikan bahwa hari ini di Jepang marak karya sastra berbahasa Jepang yang ditulis oleh penulis Taiwan, Korea atau Cina. Bahkan karya tersebut mampu mencuri perhatian dengan salah satu contohnya salah seorang penulis warga negara Cina yang menjadi nominasi pada Akutagawa Award 2008 (salah satu anugerah sastra paling bergengsi di Jepang).
WomanSow
Setelah acara diskusi, rangkaian acara SBM disambung dengan “WomanSow” pada sore hari yang menampilkan deklarasi diri atau “pembaiatan” tiga perempuan penyair dari ASAS, yaitu Ellie R. Noer, Destin F. Fatin, dan Selli Desmiarti. Woman Sow menampilkan pembacaan puisi-puisi karya tiga penyair perempuan tersebut dengan unsur dramatik panggung yang cukup menarik perhatian publik yang hadir di Gedung PKM UPI.
Deklarasi ini merupakan inisiatif tiga perempuan penyair tersebut yang menyatakan dirinya menjadi penyair. Terkesan jeprut, memang. Namun demikian acara ini merupakan sebuah upaya yang patut mendapat dukungan untuk menjaga energi bersastra setidaknya bagi anggota ASAS yang memilih dunia sastra sebagai disiplin kreatif yang coba mereka tekuni.
Setelah pembacaan puisi karya mereka sendiri kemudian ketiga penyair tersebut “dibaiat” dengan sebuah simbol penyerahan “Tongkat Kepenyairan” oleh Ketua ASAS, Heri Maja Kelana, dan Rian Angkasa Pinem (anggota Badan Peneliti dan Pertimbangan ASAS yang juga alumus WanMenSow) di hadapan publik yang hadir sebagai penyair yang kemudian hari mesti mempertanggungjawabkan pilihannya pada diri mereka sendiri.
Namun ada yang disayangkan dari WomanSow, ketika tiga penyair tersebut terjebak oleh unsur dramatik panggung sehingga karakter mereka tidak muncul dengan alamiah. Padahal ketiga penyair tersebut memiliki kekhasan tersendiri, baik secara teks mau pun karakter pribadi masing-masing. Akibatnya gaya mereka membaca puisi cenderung monoton. Padahal apresiator yang hadir mungkin mengharapkan dapat melihat kejeprutan dari penampilan mereka.
Baca Puisi Lintas Generasi
Kemudian pada malam harinya juga sebagai penutup rangkaian acara adalah “Baca Puisi Lintas Generasi” yang diisi pembacaan puisi penyair dari berbagai generasi, terutama penyair Jawa Barat. Hadir pada malam itu antara lain, Godi Suwarna, Ahmad Subhanudin Alwy, Ahda Imran, Lukman A Sya, Dian Hartati, Iman Abda, Semmy Ikra Anggara, Ujianto Sadewa, Rudy Ramdani, Rian Angkasa Pinem, Heri Maja Kelana, Jafar Fakhrurozi dan banyak lagi.
Seperti tajuknya, acara ini merupakan sebuah ruang bagi penyair dari berbagai generasi untuk berinteraksi dengan medium pembacaan puisi karya mereka sendiri. Di tengah situasi sosial yang kurang menguntungkan bagi masyarakat kecil, acara ini memberikan kesegaran tersendiri bagi para penonton yang hadir menyaksikan. Apalagi ditambah dengan sajian jagung bakar gratis oleh ASAS.
Dengan memanfaatkan ruang terbuka di UPI yang berada tepat di belakang gedung rektorat, yaitu Taman Baretti karya arsitek Jerman pada masa kolonial Belanda, dan tata lampu yang masih sangat sederhana kemeriahan “perayaan” baca puisi mendapat apresiasi positif dari para penyair yang hadir. Bahkan mereka meminta acara seperti ini diselenggarakan secara berkala atau tidak hanya pada SBM 2008 saja. Seperti yang diungkapkan oleh Godi Suwarna sesaat sebelum membacakan salah satu sajaknya “Jagat Alit”. Jadilah pada malam minggu itu Taman Baretti penuh dengan puisi.
Selain para pembicara dan pengisi acara baca puisi, SBM juga dihadiri oleh beberapa penggiat sastra dari luar Jawa Barat, seperti Ahmad Supena dan Herwan FR dari Serang; Joko Sumantri, B. Wisanggeni, Brhe Wijaya dari Solo; dan penggiat buletin sastra Histeria dari Semarang. Sesungguhnya masih banyak komunitas sastra lain dari berbagai kota seperti Yogyakarta dan Bali yang diundang namun karena berbagai kesibukan di tempat masing-masing tidak semua yang diundang tersebut dapat hadir. Kiranya hal demikian menjadi bahan evaluasi tersendiri bagi ASAS agar acara serupa di kemudian hari dapat melibatkan lebih banyak penggiat sastra dan lebih banyak apresiasi dari publik yang lebih luas.(Yopi Setia Umbara)
0 comments:
Post a Comment