Pages

Thursday 29 December 2011

Dam dam dam

Dam, Dam, Dam
Yopi Setia Umbara

AWALNYA saya tidak terlalu tertarik dengan esai Damhuri Muhammad (selanjutnya disebut Dam) yang berjudul “Kesadaran Puitis & Politik” yang diterbitkan di suplemen Khazanah di Pikiran Rakyat (Minggu, 5 April 2009). Karena, untuk sebuah esai judul macam itu biasa banget, kurang provokatif. Atau, mungkin Dam sengaja memilih judul itu, supaya tulisannya terkesan up to date. Maklum, pada waktu itu menjelang pemilu.
Setelah saya baca perlahan-lahan, ternyata isinya cukup berani juga, kalau tidak ingin disebut sembrono. Barangkali, seberani para calon legislatif yang berebut simpati rakyat untuk kursi yang terbatas. Dam begitu enteng, seolah tanpa tekanan, dan tanpa pertimbangan mengesampingkan beragam estetika puisi lain. Sementara, ia begitu khusyu mempromosikan estetika puisi karya Binhad Nurrohmat dalam antologi Demonstran Sexy (2008) sebagai karya yang membumi.
Dam memang gelisah juga kritis dengan perkara politik, seperti pertanyaan di awal esainya berikut ini, “Bagaimanakah semestinya sastrawan menyikapi keriuhan retorika politik yang belakangan ini tampak mentereng?” Sebuah kalimat tanya yang mengesankan kebijaksanaan dan keberpihakan Dam pada rakyat. Seakan-akan dalam pandangannya, sastrawan tidak mampu menyelamatkan negeri yang terombang-ambing situasi politik ini.
Namun, kemudian Dam terpancing untuk memaksakan opininya yang tidak sepakat dengan estetika puisi yang menurutnya, “…apalah gunanya sebait sajak yang hanya mampu menggambarkan setetes embun yang jatuh di helai daun, atau hujan bulan November yang mengingatkan ia pada serpihan-serpihan yang hilang. Mengawang-awang, tak membumi, sesekali bahkan utopia…” Pernyataan semacam itu semestinya tidak perlu diungkapkan oleh seorang Dam yang rajin menulis esai, juga seorang cerpenis itu. Bukankah Dam seorang sastrawan juga?
Mengenai empat sajak Binhad yang dipromosikan Dam sebagai karya yang membumi, bukanlah persoalan rumit. Sebab pilihan estetika merupakan komitmen dan konsekuensi setiap orang untuk memilih jalan puisi yang hendak ditempuhnya. Akan tetapi, ketika Dam mempromosikan sebuah estetika, lantas menggugat estetika yang lain tanpa ampun, apalah bedanya ia dengan politisi yang digugatnya.
Barangkali Dam lupa, bahwa sajak bukanlah kendaraan untuk menyampaikan suatu gagasan tertentu secara gamblang. Atau, Dam yang kecewa dengan fenomena politik yang bebal ini lantas mengambinghitamkan sajak-sajak yang menurutnya tidak membumi itu. Lalu, Dam menghukum para penyair, pencipta karya-karya yang sukar, dengan dalih kepentingan rakyat yang sukar memahaminya.
Sementara, Dam sendiri cukup ragu-ragu, ketika menentukan sajak Binhad berjudul “Sumpah Penyair”. Menurutnya, “alih-alih dapat dipersepsi sebagai puisi, malah terdengar begitu memukau sebagai slogan…. Lantas ia menyebutkan bahwa Binhad mendekonstruksi “syarat rukun” pencapaian estetika puisi. Ah, naif sekali Bung Dam ini. Seolah-olah konsep semacam sajak Binhad belum pernah ada sebelumnya. Tapi, saya percaya, sebagai perajin esai Dam tentu membaca karya Widji Thukul atau Rendra.
Pernyataan-pernyataan yang disodorkan Dam, tentu saja penting untuk diperhatikan, apalagi diluruskan. Sebab cara Dam memandang sajak dan mendudukkannya, seolah-olah menganggap karya-karya yang lain sebagai bersalah. Bahwa sajak-sajak yang heroik lebih baik, ketimbang sajak-sajak yang ditulis di bilik yang gelisah dengan penghayatan riwayat hidupnya.
Sedemikian tertekankah Dam? Terseret untuk menyampaikan opini yang sarkastik, di tengah-tengah situasi sosial-politik yang tidak membahagiakan ini. Sehingga dengan entengnya, ia menafikan segala kemungkinan bahasa-yang sarat simbol dan makna-sebagai medium utama karya sastra. Jika dunia sastra diharapkan mampu memberikan kesadaran politik kepada rakyat, jangan dengan menyederhanakan persoalan, dong.
Mental pragmatis seperti inilah justru yang dapat menyakiti dunia sastra sendiri. Selalu menganggap bahwa rakyat kecil adalah pembaca awam dunia sastra. Tapi mempersempit kesempatannya memasuki dunia sastra dari berbagai jalan. Setiap karya sastra dengan estetika seperti apa pun, merupakan jalan masuk bagi setiap orang untuk membaca karya sastra, kemudian berupaya memahaminya. Memahami dalam hal ini, bukan menafsirkan, tetapi bagaimana karya sastra yang dibaca memberikan kesan tertentu bagi pembacanya (setiap pembaca pasti paham tentang hal ini).
Memang, di akhir tulisannya, Dam menyerahkan pilihan kepada pembaca untuk memilih karya macam apa pun untuk dibaca. Akan tetapi, Dam tetap menegasikan jenis estetika puisi. Dam keukeuh menyatakan, mana estetika yang “berguna” dan “tidak berguna” bagi rakyat.
Maka, jika Dam ingin berbicara perkara “guna” atau “fungsi”, mau tidak mau ia harus bicara konsep paling sederhana dari puisi atau untuk apa puisi diciptakan. Meski, dalam konteks ini Dam berbicara perkara tentang kesadaran puitis dan politik. Dari zaman baheula sekali pun, pusi merupakan ekspresi seseorang dengan media bahasa, yang berguna sebagai penyucian diri.
Oleh karena itu, setiap estetika puisi yang dikreasi setiap penyair dengan kerja kerasnya, tentu saja akan berguna jika kita membacanya dengan mata dan hati yang terbuka. Sebab, segala peristiwa dan fenomena sosial politik yang tampak dan terasa dampaknya, secara reflektif akan memengaruhi setiap orang untuk tumbuh dengan kesadarannya masing-masing. Begitu juga kesadaran pada sesuatu yang puitis, atau bahkan perkara politik sekali pun. Dengan demikian, puisi tidak akan dilantunkan dalam kesia-siaan, meminjam kata-kata Pablo Neruda, penyair Chili paling dihormati di Amerika Latin, pada pidatonya saat menerima Nobel tahun 1971.
*) Penyair, bergiat di ASAS UPI Bandung.

0 comments:

Post a Comment