Pages

Monday 13 February 2012

Saja-sajak Faisal Syahreza Bali Post


Saja-sajak Faisal Syahreza
Istana Pasir

aku selalu memimpikan istana yang terbuat dari pasir.
yang tak pernah hancur meski ombak-ombak setia mengujinya.
meski berpuluh-puluh pasang kekasih mengukir nama mereka
di atas permukaannya. dan meski pantai mulai kehilangan senja
yang indah. tetap saja, istana itu hanya akan rubuh dan
mengubur kita berdua sampai mati. mengekalkan kenangan dan masa lalu
menjadi bagian dari kisah kita. seumpama kura-kura,
kau betina yang mengubur seluruh telur-telurmu di situ.
dan aku, si jantan yang berjaga sampai waktu tetas bagi anak-anaknya.

setiap malam, dari istana putih kita serap seluruh pancaran
cahaya bintang. kita telanjang menghadapi lautan.
saling membanggakan yang pernah kita lakukan.
menyimpan satu-satu kerinduan di lubuk hati kita terdalam.

tak kubiarkan jarak sedikit saja membentang. kau pun demikian
cinta tak pernah begitu saja luput kau genggam.
aku memandang matamu, menghujamkan sajak-sajakku.
kau dekapkan tubuhmu, bernyanyi dan menari hanya untukku.

2010


Sajak Setumpuk Buku di Sudut Kamarku

aku melihat tumpukan buku, di sudut kamarku.
lalu kubayangkan ribuan abjad, telah
lama menciptakan sejarah dan agama baru.

lalu kutawarkan pada buku, kita saling
bertukar perilaku. apa yang kutahu
akan menjadi halamananmu yang baru.
dan segala tandasan pada kulitmu,
akan mengental dalam pikiranku.

kau kuutus juga ke kota-kota.
giliranmu membaca, setelah habis
kau dieja dan perkosa.
kau mungkin akan menuju
bioskop, gym, dan lokalisasi.
atau bahkan kau ke tempat
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya
akan dituju sejumlah buku.

tapi jangan kau pernah lupa.
tengok diriku yang kini menghuni
ruang tempat engkau menyendiri.
menekuni masa lalu, dengan
menjaganya dari debu-debu waktu.

tepat di sudut kamarku itu,
yang dulu tempat aku membakarmu.

2009



Muhabah Duri

tak pernah aku lihat engkau secemas nabi,
wahai duri di tangkai mawar
yang menatap dengan kukuh besi
dan menggoda sunyi.
yang berderet di antara makam
hitam, bagai alpukat matang.
menahan diri dari usiran mereka
ruap dupa luka.
menahan diri dari sergapan hujan
kelabu dini hari.

akan diutusnya merah nyalang
dari wajah mahkota yang tengadah.
menyekap perih langit
yang masih terus menggelapar
dalam dadanya.
mendidih di penghujung musim
gugurnya tanpa ngilu.

sebelum akhirnya
duri menemukan pasang,
lewat perangkapnya, ujung
runcing yang menemukan
tembus di kulit ari jemari.

dalam limpung bulan
duri-duri, jadi doa
retih suaranya terdengar
memekak, menagih nyeri.

2010


Tubuh Angin

apa yang bisa kutuju
dari arah matamu.
selain kesenyapan yang mengendap
di pucuk-pucuk pepohonan
di puncak-puncak bebukitan
yang melabuhkan warna abu
pada senja, hingga sepasang burung
mengepakan sayapnya, murung.

sepasang burung
lantas mengasuh perihnya
di antara sekian tubuhmu
yang mengubur satu-satu
rasa sakit dan perih.

seolah-olah kau akan menunggu
di sana, di kejauhan.
engkau yang masih tengadah
bersama dingin pertama
yang tuhan ciptakan.

2010



Sajak

aku telah melukis namamu
pada ribuan lembar daun
yang mengering,
dengan huruf-huruf yang
tak mungkin bisa kau baca
selain di waktu yang sangat
rahasia–
saat senja lebih ringkas
di pelupuk matamu.

kita bisa meminjam
sepeda yang
tergeletak, milik bocah-bocah
yang sedang bermain
di taman.
untuk kita kendarai
mengitari musim
yang terus melaju
tanpa pamit,
cinta yang terus berkobar
tak mengenal padam.

aku tak ingin ada siapapun
mendahului
menuliskan sajak ini,
juga dirimu meski itu
untukku.

2010

Di Atas Batu Tengah Kolam

dijatuhkan nyeri
atas pucuk-pucuk sunyi
bagai sebongkah baja tak tercederai api.
ditulis dengan hati-hati
menyerap segala perih
bagi utusan duri-duri.

tegak tiang petang
menerungkunya yang tabah
mengasah doa.
berkabar dikepung ikan-ikan
mencuri bayangan
tapi dosa terus sepi.

menyusup di atas batu
di tengah kolam yang rinai
akan hujan
jadilah maut menugar badan
berumah dan mengakar
pada seserpih silam.

entah dari mana,
dan sejak kapan.
pastinya berabad lama
bertapa meremas duka.
mengguris kerangka wajahnya
atas garis menua
pada lumut lembabnya.

berdiri, menikam langit
yang satin memancar
di permukaan.

di atas batu, di tengah kolam
perlahan air riang
menimpakan semesta
dalam sekerat wajah
beku dan bisu, gaib semata.

2010

Utusan Batu

kalau batu-batu mengusungku
padamu di tengah beku
terpaan hujan itu.
jadilah kau mengenakan wajah duri
dan tebuslah dosaku yang murni
semurni air susu di pagi hari.

meski tak sekekal mawar
aku sudah menciummu
lewat akar impian
merambahi masa silam.
meski tak seterjal langit
aku sudah menguburmu
lewat makam-makam tak bernisan.

tak bisa aku mengepungmu
sebab engkau sudah lama lepas
jadi kabut yang tersisip belati
jadi doa yang ganas dan tegas.

yang tertunduk lugu pada rumput
akan menjadi paling liar
dalam tatap nanar.
yang tergali dalam pada tanah
akan menjadi paling dangkal
dalam ucap sangkal.

perih mengalir tak kunjung
menemu muara.
dada pepohonan terbuka
menumpah asal luka.

di tebing-tebing kembali
aku tak bernama.
meski gagu kuseru juga
meski tak memanglingkan muka
aku sudah meraba dan menyekapmu
wahai esok yang buta.

menarilah aku bersama ruap gigil daun
gaung serangga dan sihir padma.
menembus kefanaan doa
menawar takdir dan nasib
pada karam lanskap di mata kita.

aku mengenalkan diriku
lewat sapa dan bisu beku purba.
mengenaskan menjadi anak panah
yang dilesapkan ke segala arah.
berharap ampunan tertangkap
dan bebaslah kita dari khianat
mata pahat.

2010


Penanam Pohon Pisang

bukan ia ketakutakan soal percernaan tak lancar.
sudah saatnya ia menguningkan kehampaan.
menunggu usianya masak di klaras kering kecoklatan.

bertandangan anak-cucunya ke rumahnya.
disediakannya bertandan pisang, yang baru ia petik
dari pohon tersayang.

anaknya lalu bilang, pisang ini bila dijual
ke pasar cukup membeli kain kafan.

cucunya pun menambahkan, pisang ini kalau
dibagikan pada teman-temannya,
akan ada pertandingan bola sore harinya.

tapi ia sudah yakin, bahwa pisang ini buah peneman.

sehabis tak berbuah.
ia akan menumbangkan pohonnya,
bersamaan badan si-empunya ke tanah
yang pertama kali melahirkannya.

2009

Pemahat Batu

haruskah wajahmu
kulukai lagi dengan
pahatanku?
angin yang terus
bertiup dengan segala kutukannya
seakan-akan mantra hujan
memanggil dari dalam
tubuhmu.

dalam bisu
aku mengandung nyerimu.
nyeri yang menancap pasti
dalam selangkangan sepi.

ingin kukalungkan bayang-bayang
di antara ngilu
saat mata pahat
beradu dengan cangkangmu.

hendak kujadikan
kau patung ibu–

maria yang masih
begitu kau rahasiakan
dalam air mata.

2010

Sungai di Tangan

aku tahu, ia mengalirkan banyak kenangan
yang menghangatkan badan dan malam si tuan

sepertinya sungai itu leluasa bertamasya
di nadinya, memanggul banyak waktu merindu

di tangannya yang jenjang
sungai itu semakin panjang, membentang

aku tak pernah mengharapkannya melahirkanku
dalam hutan kesepian
menjelmakanku jadi si kutuk –pelayar sekaligus penyendiri

karena sampanku usai
aku akan melayarkan cintaku padamu,
sambutlah, rasakan sauhnya mencengkram urat tangan!

2009

Penyelam

telah kau selami
tubuh putih lautan,
mendedah kelam
menyentuh pepasiran
dan mencium kulit tiram.
lantas setiap
pulang
pasti dikisahkannya
tentang putri duyung
lelap kau tidurkan
di pangkuanmu.
tentang kerang-kerang
hijau
yang kau kumpulkan
untuk
dikalungkan pada perempuan
yang hendak kau pinang.

tapi lautan tak memberimu
yang kau inginkan
selain potongan-potongan
cerita yang baru.

selami tubuhku
lebih dalam lagi, jika kau berani
akan ada yang lebih
garang dan membuatmu gusar
di seluruh malam–
lubang-lubang bermata kail
berdinding sepi yang dingin.

2010


Kisah Pohon Bambu di Ujung Jalan Itu
mereka tumbuh begitu saja,
tanpa ada yang memerdulikan,
berapa ruas cerita dilahirkannya
mereka yang menuntun peziarah
sampai pada duduk-duduk istirah
di bawah kibaran langit
menebar doa, ibarat zarah
tak berarah
setiap kali kita
menengokinya,
selalu saja ada air hujan tertampung
pada buku-bukunya yang terpotong
setiap itu pula
kita menemukan wajah telanjang
perkampungan ingatan
atau setiap kali angin bertandang
menyarang, guguran daunnya yang menari
mengingatkan kembali
pada lari-lari kita
sehabis maghrib,
emak menyuruh bergegas mandi
lalu mengaji
dan bila musim kemarau tiba
bapak, mengajak kita
menebang batangnya
yang sudah tua kecoklatan
hendak ia cipta sebuah saung peneduh
tempat kita memandang matahari luruh
dan senja terjatuh ke arah yang paling jauh
Pohon Pisang Tepi Sungai
melayarkan batang pohon pisang
ke sungai bersama pura kembang-kembangan.
berarti menjemputmu dengan gemetar bayangan
yang sudah lama kurindukan, tak kunjung pulang
bertandan kesepian berjulur ke tepian.
sungguh mujur kekasih tak berpaling muasal.
buah keemasan yang kini meneretas kesal.
ayat-ayat pada sisa di daun-daun pisang
tak percuma terbuang, kujadikan layar
membentang menampung angin
segantang demi segantang.
suara tangisan bersahutan di seberang
mencuci bayanganku sendirian
deretan batu-batu tak karuan
menahan setiap deras kesetiaan.
ia, sang pohon yang mengeram geram
bergaram kesenyapan.
berharap tumbang, tumpah ke badan sungai,
sampai akhirnya terbawa
bersampan menuju lautan.
Sembilan Buku Bambu
tak ada yang perlu kau takutkan
dari kuku-kuku yang tumbuh
menjadi jemariku.
biarlah angin menggeraikan rambutku
untuk setangkup ruh
yang terperosok ke hari esok.
hari-hari akan terasa terus berbelok
menuju langit, cahaya senja yang elok.
kemana lagi usia membawaku
selain padamu, membajak
bait-bait dengan gugur daun sajak.
tertinggal menjadi keheningan
: sunyi di tepi maut yang sejenak.
tanpa menunggu lama ular hijau
yang melilit di sepanjang tubuhku.
mencari ubun dan tempurungmu
aku bukan lagu mengurung berahi.
selain nasib yang urung memandang
sehelai daunmu, masih terkungkung
di situ.
kembalinya aku ke dalam ruas-ruas
yang kini tumbuh memanjang
bagai pedang tanpa gagang
mencari daging yang ditumpangi luka.
perih yang mencekam lewat kata
cahaya yang paling biasa dipicing mata.
kau boleh merautku sesuka.
menjadi layang laut camar kata.
menerbangkan duka ke tenggara.
tanpa lagi mengenalkan aku
sebagai kekanakan yang mengusir
masa lalu ke tepian ingatan pulang.
segeralah pulang, musnah ke tanah.
aku ingin melubangi tubuhmu.
sayap-sayapku telah tumbuh.
mencari tunas dari darah-darah
yang menetas meminta merah cintanya
demi setiap guris dan garis buku-bukuku.
jikalau tak juga sampai padamu
detak jantungku yang retak
di antara berpetak-petang petamu.
akan kuganti dengan tarian lengkung
menempuhmu dengan sinar
yang menerobos-menelikung
sampai ke pinggul dan punggungmu
sulingku tak pernah berhenti
kau tiup dan mainkan dalam nyanyian
dalam rajah yang menanah
kata yang menerka-nerka
dalam bait lagu pilu berbaur batu
leliku setiap buku menumbuhkan sendu.
di buku terakhir inilah yang paling dekat
dengan kematian sekaligus kecemerlangan.
aku menerima setiap zarah tebaran tanah
menyampaikannya pada gugusan bintang.
menyusun musim yang akan datang-pulang
bertapa di setiap pinggiran makam
mengubur semua penyair-penyair
yang mengaku dirinya kesepian.
Pecinta Bunga
dialah si gila warna
pada bunga ia telah percayakan surga
dan padabunga
ia telah meniadakan gairah bercinta
lantas tuhanyakah yang membiarkan,
ia percaya
bahwa hari paling cocok mati, ialah pada hari
letusan abu?
karena ketika itulah, ia yakin
bunga-bunganya tak lagi bermekaran
hanya menebar tipis wangi kematian.
Di Tepian Sungai
mencari rumah
di sela batuan
terjebak nyanyian
rintik hujan
semak belukar
menghampar hijau kadal,
ikan-ikan merenangi
masa silam, sebelum
saling rangkul gemetaran
kupandangi seberang,
seorang penyair melambai
mengajak senja pulang
ke pangkuan
Peternak Ikan
ia telah sadar usianya mulai tergadai
ia kemudian
banyak mengandaikan dirinya adalah hujan.
yang meniriskan sepandang alam.
sejenjang jalan.
dan sebentang kolam
hingga disiapkannya segantang pakan ikan.
utnuk dinikmatinya, waktu penebaran.
ke arah manapun ia lemparkan.
di sana ikan-ikan melafazkan kesunyian.
hanya sejaring kepenatan demi kepenatan
ditumbuknya bersama kalangan ikan.
betapa hidup bergeliatan,
mencari sesuap keheningan
di ujung perjalanannya
ia mulai mencurigai, bayangan sendiri
lebih dulu meninggalkannya
di riak kemuraman.
Litani Para Petani
dialirkannya darah-darah ke nadi
ke sawah-sawah yang tanahnya rekah
memerah mawar
mewangi dupa rupa padi-padi
menekuk nadir bulir-bulir
takdir.
dibajaknya tanah-tanah sisa
kemarau menggasing, hingga
gembur nan subur
membelukar hijau menghampar
menggambar di garis-garis tangan
dan ramalan.
ditanamnya petak-petak nasib
membuahi musim
mengarak kerbau-kerbau
digiring keliling
digiling jadi berbulir-bulir
disimpan lumbung-lumbung
hingga sampai padamu
dalam semangkuk nasi
dan diam di lambung menghuni.
: mimpi, tertanak
di atas meja kembali
menagih lapar tak henti-henti.


Ketapang
demi yang menyandarkan sepeda-sepedanya di bahu pohonku, menyerah pada keteduhan.  jangan membuat iri aku dengan berjalan mengitari semenanjung laut. menghirup biru dan menumpahkan ibarat ke dalam mata kekasih.
demi buah-buahku yang jatuh, menimpa pepasiran dan terkelupas tempurungnya oleh anak-anak. jangan membuat gulana aku, mengenakan gaun putih yang akan basah juga. membiarkan rambut-rambut menjuntai dan berkilap hitam.
demi tukang perahu yang mendamparkan diri di pantai, di mana aku memandangnya sekarang. jangan membuat aku gusar, jangan pula menganggap langit kehilangan sasar. menerbangkan layang-layang, mengulur diri ke dalam kenangan.
demi bau amis ikan-ikan yang memanggil-manggil selera dalam lapar belaka, sebelum sampai ke meja-meja kalian. jangan membuat aku tersipu malu dengan merasuki seruan, tawar-menawar dalam impian.
demi garam-garam yang mengambang di udara panas, menguap dari kulit-kulit kerang yang berserakan. jangan membuat aku terkapar digarangi kesepian. setelah sekian kali tercipta trauma, akan gelombang setinggi ubunku, cukuplah gemuruh itu, menyapih surga-surga yang menumbuhkanku.
Pangandaran 2011


Di Rusuk Kebun Teh
kususur-susuri dirimu
yang semakin mengasah kabut
meruncingkan kalut,
yang tumpah dari pagi
tanpa ucapan selamat
dan doa keramat.
kuusap-usapi pucuk-pucukmu
yang makin terasa mengkilap
ditempa padang sinar pengusir gelap
setiba di jam yang sama
ketika surga yang fana
kutemu pada hamparan
hijau nilam semata.
Mata Kabut
di matamu
batu-batu tertumus
menjadi purba.
ada perih
memenggal cakrawala.
garis tua
ranting cemara.
tanah yang sabur
telah mengubur
dalam-dalam
doa.
hingga kita tertahan
pada cerap luka.
ceruk-ceruk udara
dipermainkan cahaya.
dan kau berubah
menjadi kutuk
di akhir senja
dan hujan turun tergesa.
setelah itu, gigil
yang fana bagi sayat
kuku dosa.
Bilur Langit
bila hujan
memanggil-manggil
seluruh mawar
untuk melesap ke langit.
maka di angkasa
tinggal bilur-bilur biru
yang terus terasa
ngilu, di antara
kepak burung-burung
yang telah kuyup.
membuat kabut
semakin merambati bukit
hijau karat.
di dekap cahaya renta
yang mencecar liang luka,
makam-makam
menadahkan nisannya
menebus-nebus doa.
jadilah sungai madah
menemu muara di dada,
jadilah pepohonan nubuat
tumbuh di serat-serat urat.
lantas langit
melepas anak panah dosa.
menyebat segaris- merah
memukau darah.


Ruap Pandan Wangi
engkau tak akan pernah bisa mengelak
seperti dari bubur  yang kelak mengubur.
atau dari nasi yang ditanak, mengharap
ruapanmu habis menyesap, tak bersisa
menemu nikmat selera belaka.
sampai sulurmu disingkir-kucilkannya
di pinggir mangkuk atau piring
bahkan terbengkalai di alas daun pisang
sekalipun, sendirian tanpa perhatian.
jauh hari sebelum tercerabut dari akar
bersama tampuk-tampuk lainnya
engkau mahir menempa gerimis safi,
yang jatuh ke tubuh
pewaris wangi
singgasana bagi doa murni.
2011
Shalawat Pohon Salak
yang sedang membakar reranting
juga daun-daun kering, diri mati kami
jadikanlah membubung api salam diri.
salam yang sebesar biji kami,
yang kesat di daging putih ini
yang perih bila tertusuk hati dengki.
sulur-sulur yang dihindari pejalan kaki,
biarlah kelak beliau yang mengusap
menghampiri, ikhlas tanpa takut juga ngeri.
yang berhati-hati merenggut buah-buah kami
berjubah sisik nyeri, mencuci sari-sari
kami, cincin yang belum terlubangi
melingkarlah sepanjang jalan sepi
juga sampaikanlah doa ini, kepadanya.
kami mencerap meminta safaat
dari pendamping paling akrab, penggenggam erat
penggunggah semangat menyeberangi shirat.
peluk-cium kuncup-kuncup kami, yang hina fana
sebatas doa-doa buta di malam gulita.
2011



Rebung

bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu,
hidup kalian memang akan sampai di situ.

akan sampai kalian ke dalam mangkuk-mangkuk
yang wajar, juga dilahap kami orang-orang sabar.
jangan lagi hiraukan masa depan,
merasuki langit, terlibat seteru angin yang sengit.
kalian akan  direbus sekian menit dalam kuali
sampai hilang rasa pahit, sampai hilang kenangan sepi.
Ruap kalian yang membubung
memanggil selera kami bangkit
menuju kuah yang legit
jangan menjerit, jangan pula merasa sakit!

kami lebih tahu apa itu namanya perih
nyeri, juga sedih.

karena dalam menghadapi kalian yang telah sempurna
di gigir nasi sebakul, di sindir ikan asin.
inilah waktunya menyantap kalian, kami saling berkeliling
lapar saling merangkul, nafsu saling ingin.

kalian bergiliran tersuap ke mulut kami yang dzikir,
yang karib. setelah kehabisan usianya menebak
apa itu takdir, apa itu nasib dan apa itu
kebahagian.

2011


Tungku Gunung Wayang

di depan tungku, kuhangat-hangatkan tubuhku
kuasuh-asuh jiwaku, agar membara merah
arang menyala, agar mengembara menemukan
ruang-ruang di mana doa berjaga.
kubasuh-basuh diriku, dengan pancar api
menyingkap kabut dan sepi
yang melumpuhkan dengan dinginnya,
di tepi malam hari.

dengan sisa-sisa tenaga
mengusir kantuk, sengat lelah sehabis bekerja
menggarap kebun-kebun warisan surga,
kuingat-ingat musim panen yang kelak tiba,
yang akan segera.
di mana melimpah labu-labu petikan
tangan manja, kentang-kentang lonjong
bulat mematut bulan, kubis-kubis merekah
dalam singgasananya
dan susu dari sapi perah yang telah kupelihara
dengan rumput-rumput tanpa noda.

di depan tungku, kayu-kayu kutumpang lima
saling sulang, tabah menunggu giliran
dilahap lesap api dan akan lekas menjadi abu.

lelaplah gelisahku
ya lelah, ya payah
lenyaplah sudah.

2011


0 comments:

Post a Comment