Cerpen(is) Pilihan KOMPAS, Siapa Takut!
Posted by PuJa on May 24, 2012
Saut Situmorang
http://boemipoetra.wordpress.com/
Relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran sebenarnya merupakan sebuah isu kritik sastra yang menarik. Adakah terdapat hubungan dialektis saling pengaruh-mempengaruhi antara dua produk budaya ini yang menghasilkan sebuah sintesa yang menguntungkan keduanya, ataukah relasi intertekstual itu hanya merupakan sebuah hubungan monolateral belaka di mana salah satu produk budaya mendominasi secara hegemonik arah lalulintas pengaruh-mempengaruhi tadi? Kalau memang hal terakhir ini yang terjadi, apa pengaruhnya bagi produk budaya yang didominasi itu?
Isu di atas merupakan sebuah isu yang relevan untuk dibicarakan dalam konteks sastra kontemporer Indonesia yang dipublikasikan di media massa cetak koran. Puisi dan cerpen adalah dua genre sastra yang selalu dikaitkan identitasnya dengan apa yang disebut sebagai “sastra koran”, yaitu produk sastra yang muncul di media massa cetak koran, di Indonesia. Relevansi pembicaraan isu ini terutama disebabkan oleh pendapat populer di kalangan para sastrawan Indonesia sendiri yang menganggap bahwa media massa cetak terutama koran adalah media publikasi paling hot untuk produk sastra mereka sebelum akhirnya dipublikasi ulang dalam bentuk buku. Koran bukan lagi sebuah media publikasi alternatif karya sastra seperti di masa-masa jayanya “majalah kecil” sastra di zaman tempo doeloe tapi merupakan sebuah keharusan kalau tidak mau ketinggalan zaman dan dilupakan. Inilah realitas kontemporer sastra Indonesia.
Kondisi relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran di Indonesia bisa dilihat dari produk-produk sastra kontemporer yang muncul di koran-koran di Indonesia. Seperti yang sudah saya katakan di atas, di samping puisi, cerpen merupakan produk sastra yang selalu dikaitkan dengan apa yang disebut sebagai “sastra koran” di Indonesia karena frekuensi pemuatannya yang tinggi setiap hari Minggu di seluruh Indonesia. Bahkan ada sebuah koran terbitan Jakarta yang hanya memuat cerpen di halaman “sastra koran”-nya.
Buku kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS yang diterbitkan oleh koran Kompas setiap tahun mulai dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2002 lalu adalah sebuah penerbitan “sastra koran” yang bisa dipakai untuk membahas kondisi relasi intertekstual antara sastra dan media massa cetak koran di Indonesia. Alasan kenapa saya memilih antologi tahunan ini sebagai objek pembicaraan merupakan isi dari esei saya ini.
Dalam Kata Penutup bunga rampai Cerpen Pilihan KOMPAS 1994 Budiarto Danujaya menulis bahwa ada satu hal tentang “sastra koran” yang sulit untuk dipungkiri yaitu “bahwa sejak era R.M. Tirto Adhi Soerjo sampai pada kumpulan (Lampor) ini, sastra koran kalau boleh sedikit membuat generalisasi setidaknya terbukti juga mampu menghasilkan sejumlah karya yang lebih peka menangkap semangat zaman”. Dikatakannya “lebih peka menangkap semangat zaman” kalau dibandingkan, secara “generalisasi” mungkin, dengan karya sastra yang muncul di majalah sastra seperti Horison, seperti yang dicoba dibuktikannya pada tulisannya yang sama:
“Menilik keragaman tema yang tampil, sekurangnya kita mungkin boleh menyimpulkan bahwa sentuhan aktualitas terbukti jauh dari menghambat, setidaknya dalam kumpulan cerpen (Lampor) ini. Tentu saja pernyataan semacam ini selalu tak pernah luput dari bayang-bayang bahaya generalisasi. Akan tetapi, kenyataannya, bahkan dalam pengertian tertentu, sentuhan ini justru merangsang penjelajahan pada wilayah-wilayah tema baru. Bukan saja tema-tema aktual, khususnya semacam Timor Timur itu, tak kunjung nampak dalam majalah berkaliber sastra seperti Horison [sic]; tapi lebih lanjut lagi, sensor yang jauh lebih ketat di lingkungan media umum, terbukti justru berhasil menelurkan penyiasatan dalam pengungkapan yang demikian subtil seperti pada Misteri Kota Ningi (cerpen Seno Gumira Ajidarma).” (“Tentang Sastra Koran Itu”)
Apa yang dapat saya tangkap dari pernyataan generalisasi Budiarto di atas adalah bahwa terlepas dari “realitas koran” yang memiliki beberapa “pembatasan” teknis, atau “sensor yang jauh lebih ketat” dibanding dengan yang akan dilakukan sebuah majalah sastra – seperti pembatasan jumlah halaman, tidak pentingnya penggalian masalah tema cerita, kecenderungan berselera pop dan bertutur secara cepat dan lugas karena harus meladeni keragaman selera dan tingkat apresiasi pembaca koran, serta pemberian prioritas pada tema-tema cerita yang sedang aktual sebagai bagian dari citarasa pekerja pers – “pembatasan-pembatasan teknis” tersebut ternyata tidak mempengaruhi jenis-jenis cerpen yang diterbitkan koran, “setidaknya Kompas, (yang) bahkan juga terbukti sempat menerbitkan cerpen-cerpen dengan gaya lebih rumit lagi, entah itu bergaya tutur stream of consciousness ataupun bercorak realisme magis seperti milik Danarto [sic]”. Belum lagi “kesediaan” Kompas menerbitkan cerpen-cerpen terjemahan “pengarang terkemuka dunia”, mulai dari Petronius dari Abad I sampai Gabriel Garcia Marquez.
Tapi mungkin karena terlalu serius ingin melakukan sebuah pembelaan atas “jasa-jasa” koran (Kompas) dalam perkembangan cerpen kontemporer Indonesia, Budiarto Danujaya telah membuat pernyataan-pernyataan generalisasi yang dangkal tentang “kontribusi” media massa cetak ini walaupun dia juga berulang kali “mengingatkan” kita bahwa dia memang terpaksa mesti melakukan generalisasi dalam pernyataan-pernyataannya di Kata Penutup-nya tersebut.
Bagi saya justru generalisasi dalam pernyataan-pernyataannya itu yang menarik dan mengundang tanda tanya! Kenapa dia mesti sampai tergantung pada generalisasi belaka dalam usahanya untuk mengungkapkan apa “tentang sastra koran itu”? Apa yang terdapat di balik proses pembuatan pernyataan-pernyataan generalisasi tersebut?
Karena merupakan sebuah penerbitan tahunan selama lebih sepuluh tahun lamanya, dengan kemasan yang apik dan market-oriented lagi, bunga rampai Cerpen Pilihan KOMPAS, diakui atau tidak, telah membuat sebuah mitos atas dirinya sendiri. Mitos ini, bagi saya, memang sengaja dibuat dan lalu sengaja dipaksakan resepsinya kepada publik pembaca sastra di Indonesia dan luar Indonesia.
Penciptaan mitos atau mythomania “Cerpen Pilihan KOMPAS” itu dilakukan dengan cara yang cukup piawai: pertama, pemilihan anak-judul “Cerpen Pilihan KOMPAS” itu sendiri; kedua, pemilihan “cerpen terbaik” dari cerpen-cerpen pilihan tiap tahun; ketiga, pemuatan apa yang saya sebut sebagai “Kritik Kata Pengantar/Kata Penutup” oleh nama-nama yang dikenal oleh publik sastra Indonesia sebagai “otoritas” sastra Indonesia, apa dia seorang cerpenis senior terkenal atau seorang “kritikus” sastra Indonesia; dan terakhir adalah kemasan tiap buku yang memang apik dan market-oriented.
Sebagai sebuah koran nasional besar yang berusia lanjut Kompas sudah berhasil membuat sebuah reputasi jurnalistis yang mengagumkan di kalangan pembaca koran di Indonesia dan juga luar Indonesia. Mirip dengan pengaruh majalah mingguan Tempo, “berita” yang dikabarkan oleh Kompas dianggap merupakan news yang dipercayai kualitas profesionalisme jurnalismenya secara nasional. Latar belakang “nama besar” jurnalisme seperti ini tentu saja mempengaruhi bagaimana pembaca meresepsi sebuah buku kumpulan cerpen terbitan Kompas sendiri yang dengan sengaja diberi judul cool: “Cerpen Pilihan KOMPAS”! Walau sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa reputasi Kompas di dunia jurnalisme Indonesia akan otomatis juga mempengaruhi mutu cerpen yang diterbitkannya setiap minggu, tapi ternyata “realitas koran”nya itu malah telah menimbulkan anggapan yang semacam itu! Kesadaran akan mitos demikianlah yang, saya yakin, merupakan alasan utama untuk memanfaatkannya dan sekaligus juga menguatkannya dengan penerbitan “tahunan” buku kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS!
Keyakinan saya ini timbul karena keempat hal tentang buku Cerpen Pilihan KOMPAS yang saya sebutkan di atas tadi.
Apakah “kriteria” pemilihan Cerpen Pilihan KOMPAS? Kita diberitahu secara gamblang bahwa kriterianya adalah “tanpa kriteria”! Terjemahannya: Kompas “memilih/menentukan” sendiri, dari para wartawannya sendiri, siapa yang akan “memilih” sejumlah cerpen dari keseluruhan cerpen yang terbit dalam satu tahun untuk diterbitkan sebagai buku Cerpen Pilihan KOMPAS dan mereka yang terpilih ini akan melakukan pilihan mereka “tergantung pada kata hati” mereka saja! Atau dalam kata-kata Kompas sendiri: “Kami percaya bahwa tiap manusia memiliki sejenis estetika yang entah diperolehnya dari mana [sic], karena itu kami tidak menganut satu jenis estetika tertentu, tapi membenturkan estetika-estetika yang ada pada masing-masing penyeleksi”! Sementara kriteria “tanpa kriteria” dalam pemilihan “cerpen pilihan” dari keseluruhan jumlah cerpen yang muncul tiap minggu selama setahun itu sendiri – untuk memenuhi “jumlah” cerpen pilihan yang akan dibukukan, termasuk penentuan “cerpen terbaik” – dilakukan dengan “demokratis”, yaitu pengambilan suara terbanyak! Cerpen-cerpen yang “paling banyak” memperoleh suara voting para pemilih akan menjadi “Cerpen Pilihan KOMPAS” dan satu cerpen yang menggasak mayoritas suara menjadi “cerpen terbaik” Kompas tahun itu! (lih. Prakata dalam Cerpen Pilihan KOMPAS 1993.)
Saya jadi berpikir, kalau memang begini idiosinkrasi pemilihan Cerpen Pilihan KOMPAS tiap tahun dan Kompas sendiri merasa “oke-oke saja” dengan kriteria “tanpa kriteria” – asal terdapat “aktualitas apa yang menjadi problem masyarakat hari itu atau hari-hari itu” dalam cerpen – dalam prosedur pemilihan Cerpen Pilihan KOMPAS tersebut, kenapa Kompas masih merasa “perlu” untuk juga memuat Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para “otoritas” sastra Indonesia seperti yang saya singgung di atas!
Skizofrenia Kompas ini juga terlihat dalam isi kebanyakan Kata Pengantar dan Kata Penutup yang, bagi saya, kehadirannya jelas memiliki “maksud terselubung” dalam mempengaruhi resepsi publik pembaca sastra Indonesia atas penerbitan tahunan “proyek sastra” bernama Cerpen Pilihan KOMPAS tersebut.
Fenomena penulisan Kata Pengantar atau Kata Penutup untuk buku kumpulan puisi atau cerpen sudah menjamur di dunia sastra kontemporer Indonesia. Bahkan mulai terasa adanya semacam keyakinan atau mitos, diakui atau tidak, bahwa penerbitan sebuah buku kumpulan puisi atau cerpen, baik antologi-bersama maupun antologi-tunggal, akan berkesan kurang gagah kalau tidak dihiasi dengan sebuah Kata Pengantar, atau sebuah Kata Penutup. Jadi, mirip dengan fungsi sebuah sampul cover buku, resepsi pembaca atas buku tersebut diyakini bisa dipengaruhi apalagi kalau Kata Pengantar atau Kata Penutup itu ditulis oleh seseorang yang umum dianggap sebagai seorang “kritikus” atau “otoritas” sastra. Di sisi lain, adanya kebutuhan atas atau pentingnya dirasakan keberadaan sebuah Kata Pengantar atau Kata Penutup dalam sebuah buku kumpulan puisi atau cerpen menunjukkan sebuah kebutuhan akan adanya kritik sastra di sastra kontemporer Indonesia. Sastrawan mengharapkan karya yang diumumkannya ke publik pembaca tidak menghilang begitu saja di lautan obskuritas tanpa ada gaungnya sama sekali dalam bentuk respons kritis, di luar sekedar resensi lepas di media massa. Sastrawan mengharapkan sebuah dialog kritis dalam komunitas sastranya. Tapi absennya sebuah tradisi kritik sastra di sastra modern Indonesia telah menyebabkan sastrawan mencari alternatif dari kritik sastra yang sebenarnya dengan sebuah semi-kritik yang kita kenal sebagai Kata Pengantar ataupun Kata Penutup.
Apa yang sampai hari ini sudah terlanjur dianggap sebagai sebuah peristiwa penerbitan sastra yang “penting” dalam dunia sastra kontemporer Indonesia, yakni penerbitan tahunan buku Cerpen Pilihan KOMPAS itu, bisa dikatakan sebagai sebuah peristiwa penerbitan yang bertanggung jawab dalam memulai kebiasaan penulisan Kata Pengantar/Kata Penutup bagi sebuah buku kumpulan cerpen di Indonesia. Mulai dari penerbitan buku Cerpen Pilihan KOMPAS yang pertama di tahun 1992 sampai dengan yang terakhir tahun 2001, yaitu periode yang dibicarakan dalam esei ini, Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh berbagai “kritikus” atau “otoritas” sastra dengan sengaja diikutsertakan seolah jadi sebuah legitimasi atas “mutu” kesastraan cerpen-cerpen “pilihan” koran Kompas tersebut. Bagi saya faktor terakhir inilah yang sebenarnya membuat kesan bahwa penerbitan buku Cerpen Pilihan KOMPAS tiap tahun itu adalah sebuah peristiwa penerbitan sastra yang “penting” hingga menciptakan mitos yang saya maksud.
Kata Pengantar yang paling tidak malu-malu untuk menunjukkan jati dirinya adalah yang ditulis Nirwan Dewanto untuk buku Cerpen Pilihan KOMPAS 1993. Nirwan mengakui bahwa bagi dirinya – walau dia juga dengan seenaknya mengklaim “kita” semua seolah menyetujui pengakuan dirinya itu – media massa adalah tempat ditemukannya karya terbaik cerpen kontemporer Indonesia:
“Harus kita akui, bahwa cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan di Matra, bukan di (majalah sastra) Horison. Sungguh mengagetkan, begitu kita menyadari tiba-tiba, bahwa ‘kesehatan’ sastra kita amat bergantung kepada para redaktur cerpen itu. Tapi juga menggembirakan, kalau dengan itu para penulis cerpen dibebaskan dari (sebagian) tradisi sastra yang membelenggu”.
Dari pernyataan kategoris semacam ini dari seorang “otoritas” sastra Indonesia seperti Nirwan Dewanto tentu bisa dibayangkan efek kata pengantarnya bagi pembaca! Koran Kompas telah menemukan juru bicaranya yang paling handal dan “sastra koran” Kompas genre cerpen pun dibaptis kelahirannya!
Tapi, apa Nirwan Dewanto benar? Apa benar bahwa selama periode lima tahun yang dimaksudkannya itu “cerpen-cerpen terbaik di Indonesia” hanya muncul di Kompas dan Matra? Apa Nirwan sudah membaca semua cerpen yang muncul di semua koran dan majalah di seluruh Indonesia dalam periode lima tahun yang dimaksudnya itu?! Kalaupun memang sudah, apa “kriteria” yang dipakainya dalam membuat kesimpulannya itu? Kriteria “tanpa kriteria”, alias tergantung pada kata hatinya saja, ala para juri pemilihan Cerpen Pilihan KOMPAS seperti yang saya sebutkan di atas?
Seandainya Nirwan Dewanto benar-benar sudah membaca semua cerpen yang muncul di semua koran dan majalah di Indonesia selama periode lima tahun yang dia maksudkan dan melakukan sebuah studi perbandingan atas semua cerpen itu hingga dia sampai pada sebuah kesimpulan bahwa “cerpen-cerpen terbaik di Indonesia” hanya muncul di Kompas dan Matra, bukankah akan sangat bermanfaat bagi “kritik sastra Indonesia” yang sedang dilanda krisis eksistensial itu kalau dia mau membagi penemuannya tersebut dengan kita semua lewat penerbitan hasil studinya yang, saya yakin, pasti sangat fenomenal itu!
“Kemenangan cerpen koran” Kompas seperti yang diasersikan Nirwan Dewanto itu mendapat parade karnaval perayaannya walau terlambat hampir satu dekade. Dengan keluguan tipikal seorang penulis muda yang sangat emosional hingga tidak kritis, seorang Binhad Nurrohmat, yang mengaku sebagai seorang kritikus sastra yang bermukim di Jakarta, menulis sebuah esei di koran Kompas Minggu 9 Desember 2001 dengan kalimat-kalimat pembuka seperti ini:
Cerpen koran adalah wakil teks terkuat dan terdepan dari genre [sic] sastra terkini dan yang sebagian besar riwayat eksistensi, pertumbuhan dan perkembangannya paling inheren dan identik dengan dinamika realitas penerbitan koran. Genre puisi dan novel, dalam konteks ini, berada di posisi lain dan lebih sering dikalahkan dengan alasan atau pertimbangan tertentu. (“Kemenangan Cerpen Koran”)
Walaupun konteks pernyataan Nirwan Dewanto adalah “lima tahun terakhir” sampai 15 April 1993, seperti kebiasaan umum di Indonesia Binhad Nurrohmat telah begitu saja menelan mentah-mentah komentar Nirwan tersebut dan bahkan merayakannya. Bagi Binhad, hanya faktor bahasa dan ruang yang tersedia saja yang merupakan dua hal menentukan bagi “kemenangan” cerpen dalam meraih kesempatan untuk diterbitkan di koran dibanding puisi atau novel. Bahasa puisi yang “relatif lebih sulit dipahami” dan “secara konvensional tak beranasir dramatik sehingga kurang powerfull [sic] bagi pembaca umum” serta bentuk novel yang besar hingga “memberatkan ruang koran yang sangat terbatas” adalah dua hal yang tidak dimiliki cerpen dan membuatnya, tentu saja, “menang”, demikian menurut “kritikus sastra” Binhad Nurrohmat. Dia “lupa” bahwa puisi pun selalu muncul di koran-koran Indonesia setiap hari Minggu, bahkan cerita-bersambung yang novelistik itu malah tiap hari bisa dibaca di banyak koran di Indonesia!
Tapi “kemenangan cerpen koran” yang diklaim itu, ironisnya, malah menimbulkan aftertaste yang mulai meresahkan. Euforia karnaval kemenangan tersebut ternyata menyebabkan hangover suara-suara sumbang yang menyerukan peringatan tentang munculnya kembali penyakit lama sastra Indonesia, yakni telah terjadinya “krisis” lagi dalam sastra Indonesia, khususnya dalam cerpen kontemporer Indonesia yang “sastra koran” itu!
“Tema” merupakan isu favorit. Dikatakan bahwa sastra koran yang cerpen itu terlalu seragam isinya, mayoritas cuma berputar-putar di persoalan sosiologis sehari-hari masyarakat Indonesia seperti kemiskinan, korupsi atau ketidakadilan sosial. Dan impotensi cerpen koran untuk mampu menyastrakan/menyenikan tema yang seragam itu – dengan teknik penceritaan yang paling tidak mendekati gaya realis Anton Chekov atau realis magis Jorge Luis Borges misalnya – telah menyebabkan terciptanya tuduhan tentang krisis sastra di atas tadi bahwa cerpen koran Indonesia hanya mampu menciptakan “realitas koran” belaka dalam kecenderungan realismenya.
Kalau pada buku Cerpen Pilihan KOMPAS 1994 Budiarto Danujaya begitu antusias menyambut “kemenangan cerpen koran” seperti yang diberitakan Nirwan Dewanto, maka dalam tulisan Kata Penutup berjudul “Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran” untuk buku Cerpen Pilihan KOMPAS 2000, dengan tanpa ironi dan antusiasme yang sama, dia sekarang malah mengungkapkan dengan gamblang soal krisis “realitas koran pada sastra koran” ini dengan merujuk ke istilah sastra koran yang masih problematis maknanya itu. “Tambahan istilah koran pada sastra koran tersebut ternyata tak sekedar atributif belaka,” demikian kesimpulan Budiarto. Justru pemakaian kata “koran” pada istilah “sastra koran” telah membuat beberapa kecenderungan karakteristik koran – sebagai bagian kecenderungan media massa umumnya – masuk mewarnai cerpen-cerpen koran. Budiarto lebih lanjut menyebutkan “beberapa kecenderungan karakteristik koran” yang dia yakini telah menyebabkan terjadinya krisis “realitas koran pada sastra koran”, pada cerpen koran.
Pertama, adanya “kecenderungan mengulang-ulang rekaman peristiwa yang acapkali terlalu tergesa-gesa, sehingga mengakibatkan penghadiran ‘peristiwa’ (dalam bangunan kisah, tentunya) yang sumir, datar dan sloganistis, kalau tak hendak menyebut klise dan dangkal”. Kedua, “kecenderungan gagal membuat distansi terhadap serbuan tematis [sic] yang melanda negeri ini (berarti juga menyerbu pengarangnya), yang tampaknya bahkan justru menjadi semacam raison d’être kebanyakan cerpen-cerpen (koran) ini, sehingga terkesan sangat ‘terlibat’, dan lalu penuh amarah”.
Realitas koran pada sastra koran, demikianlah nasib cerpen yang muncul di koran-koran Indonesia. Begitukah?
Bagi saya generalisasi yang sangat partisan yang dilakukan Budiarto Danujaya melalui asersinya tentang adanya “realitas koran pada sastra koran” kurang meyakinkan karena lagi-lagi sangat stereotip. Sebagai seorang yang lama berprofesi dalam dunia media massa koran, khususnya di Kompas sendiri, latar belakangnya ini mungkin yang membuatnya membuat asersi yang dangkal tersebut. Budiarto telah mereduksi realitas sosial Indonesia – kemiskinan, korupsi dan ketidakadilan sosial – menjadi hanya sebuah “realitas koran” belaka! Karena sudah jadi cuma sebagai “realitas koran”, maka tidak menarik lagi untuk “dibaca ulang” dalam sebuah cerpen! Cerpen koran Indonesia jadinya cuma sekedar simulakrum belaka dari simulakrum realitas sosial Indonesia yang ada di media massa koran! Kesimpulan tipikal orang media massa cetak semacam ini juga dilakukan oleh mereka yang sastrawan-cum-jurnalis seperti Seno Gumira Ajidarma dengan pernyataannya yang terkesan tidak ingin membedakan apa itu “berita” di koran dan “cerita” di dalam sebuah karya sastra seperti yang bisa kita baca pada bukunya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara.
Pernyataan Budiarto Danujaya bahwa apa yang ditulis para cerpenis “sastra koran” tak lebih dari sebuah “realitas koran”, “realitas tunggal yang umum”, “realitas teranalisis”, telah juga dengan semena-mena melakukan klaim kepemilikan – atas nama dan bagi koran – atas “realitas sosial” sehari-hari masyarakat Indonesia dan atas “pengetahuan” sastrawan Indonesia tentang masyarakatnya sendiri. Koran, bagi Budiarto, adalah “pemilik satu-satunya” semua “pengetahuan” tentang “realitas sosial” masyarakat Indonesia!
Yang menjadi menarik sekarang adalah tentang siapakah Budiarto Danujaya bicara di sini? Siapakah yang dimaksudkannya sebagai “sastra koran” di atas itu? Karena dia menulis Kata Penutup untuk dua buku Cerpen Pilihan KOMPAS, bukankah tidak salah kalau saya menganggap bahwa dia sebenarnya sedang bicara tentang “sastra koran Kompas” baik yang muncul setiap minggu di koran Kompas sendiri maupun yang ada dalam buku-buku Cerpen Pilihan KOMPAS sampai tahun 2002 ini?
Bagi saya apa yang disebutkan Budiarto Danujaya sebagai “realitas koran” yang “ditemukannya” dalam “sastra koran” itu lebih tepat diartikan sebagai “realitas koran pada sastra koran Kompas”. Terutama “sastra koran” seperti yang direpresentasikan oleh buku-buku Cerpen Pilihan KOMPAS. Alasannya adalah: pertama, Budiarto menulis Kata Penutup-nya itu untuk dua buku Cerpen Pilihan KOMPAS, merupakan “komentar pesanan” atas cerpen-cerpen yang terpilih untuk muncul dalam kedua buku tersebut, dan kedua, generalisasi yang dilakukannya atas apa yang disebutnya sebagai “keunggulan” Kompas dibanding sebuah majalah sastra seperti Horison seperti yang saya kutip di awal esei saya ini di atas.
Pada dasarnya, waktu membicarakan tentang “sastra koran”, Budiarto Danujaya sebenarnya sedang membicarakan tentang “sastra koran Kompas”. Apa yang ditulisnya tentang “keunggulan” sastra koran tak lebih dari sekedar pengungkapan apa yang dianggapnya merupakan “keunggulan Kompas” sebagai salah satu media massa yang mempublikasikan cerpen tiap minggu di Indonesia. Dan kesimpulan terakhir yang dibuatnya setelah penerbitan buku-buku Cerpen Pilihan KOMPAS selama hampir sepuluh tahun, yaitu dominannya “realitas koran” pada “sastra koran” di Indonesia, sebenarnya berbicara tentang cerpen-cerpen yang muncul di koran Kompas, terutama yang dipublikasi-ulang dalam terbitan tahunan Cerpen Pilihan KOMPAS.
Tidak seperti yang “diharapkan” oleh Budiarto sendiri di masa-masa awal penerbitan kumpulan Cerpen Pilihan KOMPAS itu – bahwa Kompas memiliki “keunggulan” dibandingkan majalah sastra seperti Horison walaupun Kompas memiliki 1001 “pembatasan teknis” yang disebabkan oleh realitasnya sebagai sebuah “media umum” – “pembatasan teknis” tersebut ternyata justru akhirnya malah menggoyahkan “keunggulan” dimaksud. Bukankah apa yang disebutnya secara negatif sebagai “realitas koran pada sastra koran” itu merupakan bukti bahwa Kompas telah gagal dalam proyek besarnya untuk membuktikan bahwa “sentuhan (aktualitas koran) justru merangsang penjelajahan pada wilayah-wilayah tema baru” dalam penulisan cerpen kontemporer Indonesia! Makanya terdengarlah lagi suara-suara sumbang tentang terjadinya “krisis” pada sastra kontemporer Indonesia, yang sekaligus juga membuktikan adanya apa yang saya anggap sebagai mitos yang tercipta/diciptakan di sekitar penerbitan tahunan buku Cerpen Pilihan KOMPAS – bahwa “cerpen koran Kompas” dianggap sebagai standar baik-tidaknya cerpen koran Indonesia !
Satu hal yang cukup mengherankan dari Kata Pengantar dan Kata Penutup yang menghiasi buku Cerpen Pilihan KOMPAS setiap tahun adalah fakta bahwa mayoritas para penulisnya tidak pernah benar-benar membahas cerpen-cerpen yang terpilih apalagi “cerpen terbaik” untuk tiap tahun penerbitan antologi. Mereka seperti tidak tertarik atau malu-malu untuk menyatakan apa sebenarnya pendapat mereka atas cerpen-cerpen pilihan terutama “cerpen terbaik” Kompas di masing-masing tahun waktu mereka diundang untuk menuliskan Kata Pengantar atau Kata Penutup mereka itu!
Juga nama-nama cerpenis yang karyanya terpilih jadi Cerpen Pilihan KOMPAS hampir bisa dipastikan tidak akan banyak berbeda tiap tahunnya. Bahkan mayoritas ternyata terus menerus muncul karyanya, dan dalam satu buku malah ada yang bisa dua sampai tiga cerpennya muncul sekaligus, padahal, konon, Kompas menerima begitu banyak cerpen yang dikirimkan dari seluruh Indonesia tiap bulannya! Karena sudah ada mitos bahwa cerpen-cerpen yang muncul di koran Kompas adalah “cerpen-cerpen terbaik di Indonesia”, maka apakah para cerpenis yang cerpennya selalu terpilih ikut Cerpen pilihan KOMPAS tiap tahun, atau hampir tiap tahun, sejak penerbitan pertama buku Cerpen pilihan KOMPAS di tahun 1992 lalu, memang merupakan “cerpenis-cerpenis terbaik di Indonesia”!
Apakah makna dari peristiwa penerbitan tahunan Cerpen Pilihan KOMPAS tersebut? Perlukah penerbitan tahunan yang sudah terkesan monoton dan tidak serius ini (ingat skandal terjemahan Inggris buku Mata Yang Indah tahun 2001!) yang bahkan sudah menimbulkan “krisis kreatif” dalam sastra kontemporer Indonesia (seorang cerpenis yang cukup produktif menyatakan dalam Kongres Cerpen Indonesia Ke-2 tahun 2002 di Bali betapa tiap kali dia menulis cerpen maka yang terbayang di benaknya adalah koran Kompas hingga karena trauma dia akhirnya memutuskan untuk tidak menulis “cerpen koran Kompas”!) diteruskan? Karena “sastra koran” Kompas cuma bisa menghasilkan sastra bermutu “realitas koran” belaka – yang terjemahannya berarti “bermutu jelek” makanya menyebabkan terjadinya “krisis sastra” – bukankah sangat mengherankan bahwa produk-produk sastra ini terus-menerus dikumpulkan dan diterbitkan dalam bentuk buku setiap tahun dan diberi judul keren “Cerpen Pilihan”! Lalu, bukankah penerbitan “Cerpen Pilihan” Kompas tiap tahun itu malah hanya akan memperparah kondisi krisis “sastra koran” saja, dengan konsekuensi lanjutan merusak sastra kontemporer Indonesia, khususnya genre cerpennya, karena mitos cerpen-cerpen “pilihan” yang diterbitkan Kompas itu seolah-olah jadi standar cerpen “terbaik” yang ideal bagi Indonesia!
Kalau Kompas memang benar-benar serius ingin memberikan kontribusi positif bagi perkembangan cerpen kontemporer Indonesia – seperti yang dikesankan oleh pemuatan Kata Pengantar dan Kata Penutup pesanan oleh beberapa “otoritas” sastra Indonesia dalam tiap publikasi buku antologi cerpennya – bukankah hal logis pertama yang mesti dilakukan adalah “merubah” prosedur pemilihan Cerpen Pilihan KOMPAS melalui pemilihan juri dari kalangan para “otoritas” sastra Indonesia sendiri, seperti pada penunjukan siapa yang akan menuliskan Kata Pengantar dan Kata Penutup tadi? “Pengetahuan” tentang sastra yang mereka miliki, paling tidak, tentu akan memberikan kesan yang jauh lebih profesional dan bertanggung jawab dibanding sekedar para wartawan Kompas sendiri, yang nota bene rata-rata tidak dikenal dalam kancah dunia sastra Indonesia.
Kompas tidak bisa lagi memberikan jawaban tidak bertanggung jawab seperti kriteria “tanpa kriteria” dalam penentuan cerpen-cerpen pilihannya, atau faktor realitas Kompas sebagai “sebuah koran umum bukan majalah sastra” untuk pembelaan dirinya, karena adanya Kata Pengantar dan Kata Penutup oleh para “otoritas” sastra Indonesia dalam setiap buku Cerpen Pilihan KOMPAS menunjukkan dengan jelas bahwa Kompas memang ingin antologi cerpen tahunannya diresepsi sebagai antologi “sastra” koran! Bukankah pemakaian istilah “sastra koran” itu sendiri untuk cerpen-cerpen yang muncul baik di koran Kompas tiap hari Minggu maupun dalam semua buku Cerpen Pilihan KOMPAS seperti yang dilakukan Budiarto Danujaya dalam Kata Penutup untuk Cerpen Pilihan KOMPAS 1994 dan Cerpen Pilihan KOMPAS 2000 mendukung pernyataan saya ini!
Sebagai penutup, bagi saya isu klise dan tak terbukti tentang “krisis sastra” dalam pengertian “krisis karya sastra”, “krisis mutu”, dalam wacana sastra kontemporer Indonesia cuma menunjukkan sebuah sikap arogansi dalam membaca produk-produk sastra kontemporer Indonesia. Apa yang menjadi standar ukuran yang diterapkan para pembuat diagnosis tekstual ini dalam menyimpulkan bahwa sastra kontemporer Indonesia mengalami “krisis (mutu) karya”? Apakah cerpen-cerpen yang muncul di koran Kompas tiap minggu, misalnya, bisa dijadikan ukuran atas realitas cerpen dalam sastra kontemporer Indonesia? Apakah cerpen-cerpen yang muncul dalam buku Cerpen Pilihan KOMPAS tiap tahun, misalnya, juga bisa dijadikan standar mutu bagi keseluruhan cerpen yang tiap tahun ditulis di Indonesia? Sudah adakah sebuah studi kritis yang dilakukan yang membuktikan bahwa sastra kontemporer Indonesia memang sedang mengalami “krisis”? Ataukah isu “krisis sastra” tersebut cuma dibuat oleh mereka-mereka yang “membaca” produk sastra kontemporer Indonesia dengan tergantung hanya pada apa kata hati mereka belaka? Sebuah keisengan yang tidak lain merupakan indikasi bahwa krisis kritik(us) sastra yang sebenarnya menggerogoti kehidupan sastra kontemporer Indonesia!
Dijumput dari: http://boemipoetra.wordpress.com/2012/05/21/cerpenis-pilihan-kompas-siapa-takut/
0 comments:
Post a Comment