Pages

Friday, 27 July 2012

Sides Sudyarto DS, Terbitkan Buku berjudul "Kritik atas Puisi Indonesia"


Fredrick Rieuwpassa
14/07/2012 08:24

Liputan6.com, Surabaya: Penyair yang juga novelis Sides Sudyarto DS menerbitkan buku berjudul "Kritik atas Puisi Indonesia" dengan membedah 35 puisi karya-karya penyair Indonesia. Pimpinan Rayakultura Naning Pranoto yang menerbitkan buku itu di Surabaya, Sabtu, menjelaskan, buku setebal 100 halaman tersebut menjadi semacam kado untuk para penyair muda Indonesia.

"Buku Kritik Atas Puisi Indonesia (KAPI) ini diterbitkan atas banyaknya permintaan dari berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang ingin memiliki buku tentang pembedahan puisi. Bak gayung bersambut, Sides Sudyarto DS yang sedang menulis kritik atas puisi Indonesia langsung dapat memenuhi permintaan tersebut," katanya.

Buku yang ditulis Sides berisi 35 puisi karya dari 35 penyair Indonesia dari tiga generasi, yakni Pujangga Baru, Angkatan 66, dan Angkatan Abad 21. Penyair yang karya puisinya dibahas antara lain, Armaya, Acep Zam-Zam Noor, Ahmadun Y Herfanda, Amir Hamzah, Asrul Sani, Chairil Anwar, DS Muljanto, Darmanto JT, Dharmadi, Goenawan Mohamad, Nenen Lilis A, Rendra, Mohtar Pabottingi, Ramadhan KH, Sanoesi Pane, Soesi Sastro, Sitor Situmorang, dan Sapardi Djokodamono.

Menurut Naning, KAPI sangat menarik, tidak hanya karena pembedahan Sides Sudyarto DS yang begitu cerdas tanpa menggurui maupun "menikam", tapi puisi-puisi yang dibedah selain puitis juga bernilai mistis, historis, bahkan ada yang bersifat politis. "Pembaca, khususnya para penyair muda bukan dalam arti usianya, tapi pengalaman menulis puisi, akan menemukan banyak hal-hal penting untuk mengasah kreativitas maupun kekritisannya dalam berkarya," kata Naning yang produktif menulis novel ini.

KAPI, katanya, tidak berlebihan bila disebut sebagai "Kitab Kreatif Berpuisi". Ia mengistilahkan KAPI yang diterbitkan atas sumbangsih PT Rohto Laboratories Indonesia ini sebagai bak sumur untuk menimba air bening proses kreatif para penyair dari masa ke masa.

"Masing-masing punya warna dan makna dalam menyuarakan bobotnya berdasarkan pengalaman batin yang dimiliki, pengalaman bersosialisasi, pengalaman menulis, pengalaman estetika yang dikuasai dan sebagainya," kata pengajar menulis kreatif di beberapa perguruan tinggi di Jakarta ini.

Menurut dia, ada beberapa puisi yang "mengejutkan" karena tidak hanya indah dan puitis, tapi juga brilian dan tetap relevan walau ditulis lebih dari 50 tahun yang lalu. Misalnya, puisi karya JE Tatengkeng berjudul Mengembara dan Siti Nurani berjudul Transit. (ANT/FRD)

Info: http://berita.liputan6.com/read/421036/sides-sudyarto-ds-terbitkan-buku










La Galigo, Sastra Epik Islamisasi Bugis


La Galigo, Sastra Epik Islamisasi Bugis
Posted by PuJa on July 26, 2012
Gusti Grehenson *
http://www.ugm.ac.id/

Karya sastra tidak hanya dinikmati sebagai bentuk dialektik antara teks dan pembacanya. Lebih dari itu, ia menjadi bagian penyampaian kondisi sebuah masyarakat di masa lampau dengan perubahan dari pertemuan kebudayaan. La Galigo ialah salah satu karya sastra teks Bugis kuno berbentuk epik yang ditulis pada abad ke-13. Dari naskah La Galigo ini akhirnya dapat diketahui kondisi pada masa-masa awal masuknya Islam di tanah Bugis. “Sastra La Galigo tidak hanya dinikmati sebagai sastra, tapi juga sebagai sarana islamisasi bagi orang Bugis,” kata dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Andi Muhammad Akhmar, S.S., M.Hum., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (5/6).
Ditambahkannya bahwa islamisasi yang memanfaatkan sastra dilakukan tanpa menyingkirkan unsur-unsur lama orang Bugis, tetapi menyesuaikan unsur Islam dengan sistem kebahasaan Bugis yang menjadikan Islam dapat diterima dengan baik. Padahal, sebelum menerima agama Islam, orang Bugis di Sulawesi Selatan telah menganut sebuah kepercayaan kuno, yakni kepercayaan terhadap Dewata Seuwae (Tuhan Yang Tunggal). “Orang Bugis biasa menyebutnya Dewata Sisinae,” kata Akhmar. Sisa-sisa kepercayaan pada Dewata Seuwae ini dapat dilihat dalam masyarakat To Lotang di Amparita, Kabupaten Sidenreng Rappang.
Dewa-dewa dalam kepercayaan Bugis Kuno sebagaimana dikisahkan dalam La Galigo berdiam di dunia atas (Boting Langiq) dan dunia bawah (Buriq Liu). Namun, seiiring dengan masuknya Islam dari Asia Barat, kepercayaan kepada Dewata Sisinae tergeser dengan konsep Allah Swt. melalui ajaran-ajaran tauhid. Pengucapan doa-doa dan ayat Quran pun juga disesuaikan dengan pengucapan bahasa Bugis. Dalam praktik ibadah, seperti mandi, berwudhu, shalat, dan zikir dimasukkan sebagai bagian mantra Bugis. “Strategi yang bersifat akomodatif ini menyebabkan Islam mudah diterima dengan warna tersendiri di kalangan orang Bugis,” terangnya.
Hingga kini, naskah La Galigo diyakini masyarakat Bugis sebagai kitab sakral yang tidak boleh dibaca tanpa didahului dengan sebuah ritual tertentu, seperti menyembelih sapi. Pada umumnya naskah dibaca dengan cara dilagukan pada saat akan membangun rumah, musim tanam, pesta perkawinan atau doa tolak bencana.
*) Humas UGM/ 2012-06-06

Thursday, 26 July 2012

Nuansa Spiritual dalam Karya Sastra


Nuansa Spiritual dalam Karya Sastra
Posted by PuJa on July 21, 2012
Dwi Rejeki
http://www.suarakarya-online.com/

Karya sastra bertemakan religi ternyata selalu dimintai pembaca. Paling tidak bisa dilihat dari hasil survei “Rumah Sastra” sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak khusus dalam bidang pengamatan karya sastra bernafaskan Islam, yang diadakan baru-baru ini.
Bekerja sama dengan Departemen Agama “Rumah Sastra” dihadirkan pembicara Yudi Latif (pemikir kebudayaan), Stanislaus (St) Sunardi (ahli sastra dan filsafat Islam), dan Abdul Hadi Wiji Muthari (WM) yang dipandu oleh Radhar Panca Dahana (penyair/esais).
Penyair sastra Islam Abdul Hadi membahas Relevansi Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya sufi Persia terkenal Farriduddin al-`Attar, nama lengkapnya Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (1132-1222 M).
Guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina itu mengemukakan hingga sekarang karya sufi dari Nisyapur masih jadi perbincangan di kalangan sarjana dan masyarakat sufi internasional, di Timur maupun Barat, disebabkan relevansinya.
Ada beberapa perspektif atau aspek penting yang dapat dikemukakan untuk melihat relevansi karya sufistik atau profetik seperti Mantiq al-Tayr. Pertama, berkenaan dengan wawasan estetika yang melandasi penulisannya, yang sebenarnya mencerminkan kecenderungan umum karya sejenis sufistik, mistikal, transendental, spiritual, profetik, bahkan apokaliptik, dan lain sebagainya. Kedua, aspek kesejarahan yaitu sejarah sosial budaya dan keagamaan yang melatari penulisan karya `Attar. Ketiga, sebagai karya yang berangkat dari perenungan ketuhanan dan masalah keagamaan.
Secara estetik Mantiq al-Tayr memerlihatkan bahwa kaum spiritualis atau mistikus (dalam hal ini sufi) me-mandang bahwa sastra sebagai penyajian secara simbolik gagasan dan pengalaman kerohanian yang dicapai penulisnya sebagai penempuh jalan kerohanian. Simbol-simbol tersebut diambil dari kitab suci, teks keagamaan, sejarah agama, pristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang mereka kenal, dan lain sebagainya. Apa yang dipaparkan di situ tetap ada kaitannya dengan realitas di luarnya. Persoalan-persoalan yang dikemukakan melalui kisah-kisah dalam Mantiq al-Tayr, adalah persoalan keseharian namun berhasil ditransformasikan menjadi persoalan spiritual dan keagamaan.
St. Sunardi memaparkan Sebuah Catatan tentang Surga Anak-Anak karya Najnb Mahf{z. yang mengambil tema pendidikan agama dalam masyarakat modern. Berdasarkan pengamatan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu dapat disimpulkan bahwa sastra mempunyai kekuatan spiritualitas justru karena sastra menyuarakan imanensi manusia (batas-batas kemanusiaan) dan bukannya melantunkan suara dari langit. Karena, menurut Sunardi, spiritualitas berkaitan dengan suara manusia yang terus-menerus mencari dan mencari yang lain.
Malah, nuansa spiritual tidak musti terkait langsung dengan agama. Dalam konteks ini sastra malah mempunyai caranya sendiri untuk mendefinisikan dan meredifinisikan apa itu “spiritualitas”. Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK Indonesia) Yudi Latif, mengemukakan men-tradisi sastra-spiritualitas juga memantul di kepulauan Nusantara, antara lain dengan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu telah mengalami banyak perkembangan sebelum ia digunakan sebagai alat bagi sastra metafisika dan filosofis Islam.
Sementara itu mengenai tema, teori tentang penciptaan dalam sastra Islam sama tuanya dengan ajaran Islam sendiri. Selain itu, sastra Islam juga menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan kerinduan akan cinta-Nya dan merepresentasikan asal-muasal sumber penciptaan. Amir Hamzah, misalnya, digambarkan oleh Prof A Teeuw sebagai “satu-satunya penyair Melayu ‘modern’ yang kembali pada puisi Melayu religius ‘tradisional’ yang berwarna-mistik, yang pada gilirannya bisa ditelusuri kembali secara langsung atau tidak langsung kepada para mistikus besar Islam.
Memasuki perkembangan budaya kontemporer, tampaknya tema sastra bercorak religius tidak pernah mati. Apakah ia sebagai jawaban atas kekeringan kehidupan batin manusia modern ataukah sebagai pelarian dari kekerasan kehidupan yang masih diliputi konflik antarnegara, sosial, agama, etnis, individu, batin, dan degradasi lingkungan hidup yang membuat dunia sastra mau tak mau harus ambil bagian dalam dunia yang semakin sakit ini. Maka, mau tak mau, dalam dunia seperti ini, setiap karya sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius.
Mengutip ucapan pemikir Islam terkemuka Mohammad Iqbal, bahwa di atas fase penghayatan religius dalam arti pemahaman masih ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering disebut mistik. Mistik di sini bukanlah sebentuk takhayul, melainkan pendewasaan yang lebih menuju ke dalam. Atau bagi Romo Mangun (bukunya Sastra dan Religiositas, 1988) disebut sebagai “religiositas yang dewasa.” Yakni sebuah karya sastra yang mampu menyuguhkan kandungan kadar religiositasnya. Bukan religiositas dalam arti formal keagamaan, tetapi dalam daya kemampuannya membuat orang bertanya tentang diri: apa maknanya, apa makna hidupnya? ***
/21 Juli 2012

Narasi Hujan


Narasi Hujan
Posted by PuJa on July 20, 2012
Fandrik Ahmad
http://www.lampungpost.com/

MUSIM hujan memasuki awal tahun. Aku mengintip. Langkahku ringan mendekati gorden jendela. Kusibak kain tipis itu cukup kasar serupa anak muda memberikan surprise kepada kekasihnya. Kamar yang kurang pencahayaan membuat cahaya melesat kilat. Sementara di luar, hujan tak tentu arah menghindari tatapanku.
Bulir-bulir hujan tempias di lantai. Kaca jendela buram berembun. Apakah kau juga menikmati hujan, batinku. Bila anganku berwujud di sini, di tempatku berdiri, aku yakin, kau akan mengatakan, “Di mana pun, aku suka hujan.”
Jendela kusibak. Kisinya berderet. Angin meruap menghempas bulu kuduk. Instingku begerak cepat ingin menutup kembali jendela. Dingin. Tetapi tekad dan perlawananku untuk mengetahui hujan di pagi ini, menahan kedua tangan menarik gagang jendela serta menutupnya rapat-rapat.
Ya, aku ingin memastikan hujan apa ini! Seperti yang telah kau ajarkan!
Serasa kau mengajakku, menjulurkan kedua tangan ke depan, merasakan bulir air jatuh di tangan. Persis yang pernah kau ajarkan. Aku cukup hati-hati karena hanya, cukuplah hujan menjamah tangangku. Tidak untuk bagian lain dari tubuhku. Seperti kau pernah menjamah bibirku di bawah ciuman hujan. Kupejamkan mata. Hujan apa ini? Curahnya begitu lembut namun deras.
Rinduku cair, serupa bisik air yang berjatuhan di bibir genting. Januari tiada indah tanpa hujan. Hujan tiada indah tanpamu. Hujan adalah kau. Kau adalah hujan. Kau hadir! Aku mencium aroma hujan seperti yang kau katakan. Mencium aromamu.
Apakah kau juga sedang menikmati hujan?
***
SEPULANG dari kantor, aku terjebak hujan di sebuah halte. Kau juga. Selain kau dan aku, tiga orang tengah duduk di sana. Kau menatapku sehingga aku terpaksa menatapmu. Begitulah, keterpaksaan menatapmu membuatku tahu bahwa pakaianmu lebih basah ketimbang pakaianku. Bibirmu lebih lembap ketimbang bibirku. Kau memperkenalkan diri dan aku menyebut itu hanya basa-basi.
Hujan akan segera usai. Hanya menyisakan rintik kecil. Angkutan Lin yang aku—atau juga kau—tunggu, sembari mendekapkan tangan pada dada, belum tiba. Mendadak kulitku terasa mengerut. Aku tak menduga. Tiba-tiba kau menarik tanganku, menembus rajutan basah itu.
“Indekosku dekat dari sini,” tanganku kau seret paksa, memasuki gang cukup sempit sebelum tiba di indekosmu.
Segelas cappucino—yang kau buat sendiri—menemani perdebatan kita tentang hujan. Kataku hujan bikin becek, banjir, dan macet. Hujan hanya merisaukan awak kapal. Hujan hanya membuat burung-burung bosan bertengger. Dan hujan hanya membuatku kedinginan. Bikin pusing dan sakit kepala. Kau tersenyum mendengar kataku—yang mungkin bila orang lain turut mendengarkan pembicaraan kita, penyampaianku ini dibilang ocehan. Katamu hujan itu indah, hujan itu romantis, hujan itu menyegarkan, hujan itu beraroma, hujan itu anugerah.
Aku bisa mengamini pendapatmu yang terakhir kalau hujan itu anugerah. Selain alasan daripada itu, aku tak bisa menerimanya. Hujan kok dibilang indah, hujan kok dibilang romantis, hujan kok dibilang menyegarkan, apalagi hujan beraroma. Aku benar-benar tidak bisa menerima pendapatmu.
Lalu, aku memberikanmu kesempatan untuk merasionalisasikan pendapatmu.
“Apakah kau tahu kalau serakan hujan tampak berkilau di ujung lancipnya rerumputan?”
Aku menggeleng. Kau tersenyum. Yang jelas, kau bukan menarasikan hujan atau mendeskripsikan hujan sebagimana pendapatmu. Berpuisikah? Absurd.
“Deskripsikan tentang hujanmu!”
Kupandang lekat parasmu yang putih kekuningan. Bibirmu yang basah mulai melafalkan kata hujan diulang sampai tiga kali sebelum memojokkanku pada tatapanmu. Selalu begitu kau memenjaraiku.
“Banyak ragam tentang hujan,” kau tercekat cukup lama. “Kau benar-benar ingin tahu?”
“Tentu.”
“Kenalilah hujan maka kau akan mengenali kehidupan. Hujan hampir memiliki sifat yang sama dengan manusia, denganmu dan denganku. Ada hujan jahat dan baik, ada hujan yang tergesa-gesa, ada hujan yang romantis, ada hujan yang pemalu….”
“Cukuplah kau mendeskripsikan apa yang kau sebutkan tadi,” potongku. Aku rasa kau tak lebih dari orang yang mengulur-ulur waktu. Aku mulai bosan.
“Hujan yang jahat adalah hujan yang kau sebutkan tadi: bikin becek, banjir, dan macet. Curah hujan sangat deras disertai kilat. Maka, bila hujan seperti itu turun, bersegeralah tidur. Hilangkan ketakutanmu di hari itu. Bila kau tak tidur, kau hanya akan mengutuk-ngutuk hujan dan perbuatan itu akan tampak seram sendiri kepadamu. Namun, percayalah, bahwa sebenarnya kau hanya dibayangi oleh ketakutan. Tidakkah kau lupa bahwa dalam ilmu astronomi kilat sebagai penebal lapisan ozon?”
“Kau menyalahkanku?”
Kau tak menjawab. Suatu kesempatan untuk mengalihkan topik lain. Apa pun. Tapi jangan hujan. Bagaimana kalau tentang negara? Ya! Negara dan politik. Aku suka itu. Namun, mulutmu lincah meliuk, seakan tak suka kalau topik kita dialihkan ke situ.
“Apabila kau mendapati sebentar hujan dan sebentar panas, itulah hujan yang tergesa-gesa. Itulah hujan lebih membahayakan ketimbang banjir bandang. Badan bisa panas dingin karenanya,” kau tertawa kecil. Deskripsimu berhasil. Sayang, aku tak tertarik.
“Hujan yang pemalu. Hem, ya, bagaimana bila kau melihat tingkah orang yang pemalu?”
Tak penting untuk kujawab. Kini, aku rasa kau hanya seorang pembual. Tak lebih dari sebuah pertunjukan sirkus yang menakjubkan tetapi pias sampai di luar.
“Hujan yang pemalu adalah hujan yang selalu datang diam-diam serta datang dengan lembut. Apabila ditatap, hujan itu akan menghindar. Dan….”
“Cukupkan ceritamu. Aku mau pulang saja. Aku tak mau kena hujan lagi. Aku bukan manusia hujan sepertimu. Tubuhku tak sekuat tubuhmu.”
“Aku belum menuturkan kalau hujan beraroma tanah, rerumputan, bunga, dan juga beraroma tubuhmu.”
“Aku sudah bosan!”
“Selalulah bersamaku. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu indah. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu romantis. Akan aku tunjukkan kalau hujan itu sepertimu….” nadamu tenang. Aku kembali duduk. Kita kembali sehadapan.
Aku tidak mengerti kenapa kau begitu tergila-gila pada sebuah musim yang hanya bisa menjanjikan basah. Hanya aku tahu, mengajakku berlama di ruangan yang berukuran 5 x 8 meter karena sedang menunggu hujan, bukan?
***
TIADAKAH ada yang lebih romantis daripada hujan? Aku mulai bosan berhubungan denganmu, manusia hujan, karena aku selalu merasa tubuhku selalu basah dan menggigil. Aku ingin jalan-jalan, berbelanja pakaian atau mendaki gunung.
Hujan datang. Hujan menyambangi. Aku menghela nafas. Berat. Kau tersenyum. Kau mendekatkan diri pada video player-mu. Dalam sekejap Winter Sonata from The Beginning Until Now menyesaki ruang hati kita. Lagu itu sungguh romantis. Lagu itu sungguh indah, katamu. Lagu yang paling kau suka. Nyalang matamu menembus dinding kaca….
“Aku ingin bersamamu. Hujan selalu mengingatkanku padamu!” Oh, ada mendung di matamu. Tanganmu mulai nakal meremas tanganku. Aku diam. Aku beku. Aku kaku. Semoga kata-katamu selanjutnya sama dengan yang kupikirkan.
Tapi kau memindahkan matamu kepada hujan. Kau berlari. Terpaksa aku menyusul, berusaha menghentikan tubuhmu yang meluncur deras serupa burung dadali yang berbasahan. Berkejaran.
“Apa yang kau inginkan di hujan ini?”
“Aku ingin kita segera kembali. Aku tak ingin hujan-hujanan begini.”
“Ayolah….”
“Aku bukan manusia hujan sepertimu. Aku manusia rapuh. Kurus dan pesakitan.”
“Aku tak ingin kau lebih sakit lagi.” Matamu sayup. Suaramu surup…
“Apa?”
“Bersamalah denganku.”
“Kau.”
“Pejamkan matamu! Biarkan air hujan mencium dan menyentuh hatimu,” katamu setengah berteriak.
Kau menuntunku. Di bawah hujan, satu kecupan mendarat. Aku merasakan basah namun hangat. Dingin tapi indah. Romantis! Kekuatan hujan telah memengaruhiku. Ini cinta. Sumpah, ini cinta. Aku melayang. Aku terbang. Dan, aku serasa menjadi hujan!
Siapa yang tidak tahu kalau bulir air hujan mengandung sifat asam? Kita tolol sendiri. Gemeretak gigimu sangat kuat. Hem, ternyata manusia hujan juga rapuh, sanggah batinku. Kau menggigil dengan hidung dan kepala udang rebus. Suatu kesempatan bagiku menertawaimu karena hujan. Suatu kesempatan untuk mengejekmu karena hujan. Suatu kesempatan mengomelimu karena hujan. Hujan yang sangat kau gandrungi mempersempit pembuluh darah dan mengurangi kekebalan tubuhmu. Tetapi kau benar-benar manusia hujan! Sampai, When I Need You mengalun dari suara Julio Iglesias, aku menghangatkanmu.
“Aku ingin menikahimu saat hujan beraroma tubuhmu,” nadamu tak lebih dari memohon. Tapi cukup membuatku beku.
***
PAGIKU terasa bising melenting denting di dalam hening. Hujan. Telapak kaki terasa dingin. Sedingin ketika kita usai menendang buih di tepi pantai. Atau sedingin mata dan tanganmu ketika menelanjangi air mataku. Ah, rasanya tubuhku kian letih. Kulurut selimutku hingga dingin tak lagi menjamahi kaki. Entah, sudah keberapa kalinya hujan kunikmati sendiri. Entah pula, keberapa kalinya hujan menyembunyikan air mataku. Aku merinduimu.
Aku mulai menyukai hujan. Kenapa aku tolol? Apakah karena rindu atau karena hujan? Berapa kali hujan menjamahku? Aku tak tahu persis. Yang jelas, hatiku basah dan berusahan menyembunyikan air mataku pada hujan. Aku mendekap dalam selimut. Aku tahu, cappucino atau teh sepat hangat tak akan lagi terhidangkan di atas meja. Kali ini, aku tak ingin hujan melihat air mataku. Aku tak ingin hujan merampas air mataku. Maka, kubuat sendiri hujan itu di bawah selimutku.
“Hidup bukan perjuangan menghadapi badai. Tetapi bagaimana agar tetap bisa menari di tengah hujan,” suaramu yang seperti daun kering diremukkan angin, kembali melenting. Lebur bersama rintihan sakitmu yang kini menjadi sakitku.
Kenapa kau tak pernah bercerita kalau kau manusia rapuh seperti hujan? Kenapa kau tak pernah memberitahuku kalau rekam jejak hidupmu lebih cepat dari hujan? Kau tahu, kebohonganmu selalu menghadirkan hujan di wajahku.
Tapi, aku tetap ingin menikahi hujan, sebagai gantimu.
Annuqayah, 2012
(Terkenang seorang guru; Lan Fang)

Sastra Mistik; Antara Syeikh Siti Jenar dan al Hallaj


Sastra Mistik; Antara Syeikh Siti Jenar dan al Hallaj
Posted by PuJa on July 21, 2012
Bastian Zulyeno
http://ipi2010.blogspot.com/

Sastra mistik atau yang lebih dikenal dengan tasawuf dan irfan adalah salah satu karakteristik dalam sastra Persia. Penyair sufi atau seorang arif yang penyair menghasilkan karya berdasarkan ilmu tasawuf. Di Iran tasawuf tumbuh subur pada abad 10 M yang nampak awal dalam karya Abu Hasal Alkharqani dan Ba Yazid al Busthami, akan tetapi tasawuf dalam bentuk puisi dan syair mulai berkembang dan disempurnakan pada abad 11 oleh penyair Abu Said Aba al Khair di kota Khurasan, propinsi bagian timur laut Iran sekarang. Sastra mistik ini kemudian berkembang pesat melalui tangan penyair-penyair Persia selanjutnya seperti Sanai, Attar dan Jalaluddin Rumi yang mengantarkan sastra mistik Persia ke puncaknya melalui karya besarnya Masnawi Maknawi.
Di Indonesia sendiri sastra mistik baru dikenal pada abad 16, yang oleh Abdul Hadi disebutkan bahwa sastra tasawuf di Indonesia dikenalkan oleh para penyair melayu seperti Hamzah Fansuri yang hidup di pertengahan abad 16 sampai awal abad 17 dan oleh beberapa orang muridnya seperti Abdul Jamal, Abdurrahman Singkel dan Samsuddin Pasai. Karya-karya mereka seperti yang disimpulkan oleh para ilmuwan banyak sekali pengaruh dari sastra mistik Persia, yang penulis sendiri langsung dapat melihat warna sastra Persia klasik begitu membaca karya-karya penyair melayu terutama milik Hamzah Fansuri yang kental dengan gaya bahasa Jalaluddin Rumi penyair sufi terbesar Persia yang hidup dari tahun 1207-1273 M.
Di dalam sastra tasawuf ada dua hal penting yang selalu dibicarakan pertama adalah nasehat dan kedua adalah cinta. Nasehat dalam menjalani hidup dan tahapan dalam menggapai cinta sejati, cinta sejati adalah cinta makhluk kepada khaliq. Manusia tercipta karena cinta tuhan kepadanya yang ingin selalu disembah, inilah hakikat penciptaan yang berarti cinta dan wujud ini pula yang ada di setiap yang bernyawa dan memiliki naluri kasih sayang. Kembali ke topik tulisan yang ingin mencari keterkaitan antara Syeik Siti Jenar di Indonesia dan Al Hallaj di Iran dengan pendekatan sastra mistik tentunya.
Syekh Siti Jenar, begitu namanya disebut banyak diantara kita langsung memutar memori otak dengan file “kafir” karena informasi dan pengetahuan yang kita terima memang demikian, terlepas dari kontroversi ada dan tidak ada (mitos), Siti Jenar dan ajarannya telah ikut meramaikan materi sejarah Islam di Indonesia khususnya dikalangan orang Jawa. Ia adalah seseoarang yang mengajarkan ajaran manunggaling kawulo kawalan gusti yang dianggap sesat dan bertentangan dengan ajaran Wali Songo. Menurut Achmad Chodjim ada dua versi penyebab kematiannya yang kemunkinan besar terjadi setelah tahun 1515. Pertama yang sering didengar oleh kalangan santri khususnya, Siti Jenar dihukum pancung karena ajarannya dan pada saat darahnya mengalir aliran darah tersebut membentuk tulisan “Allah”. Versi yang ke dua adalah Siti Jenar mati tidak dengan cara dihukum pancung melainkan Ia memilih kematian atas kehendaknya sendiri. Seykh Siti Jenar yang juga akrab dipanggil Syekh Lemah Abang adalah seorang wali dari wali sembilan di tanah Jawa. Tetapi dia mempunyai pandangan yang berseberangan dengan pendapat wali pada umumnya pada saat itu. Ia dianggap murtad dan keluar dari Islam. Siti jenar mengganggap “dunia ini alam kematian” hidup sejati menurutnya tak tersentuh kematian, jadi menurutnya kehidupan sekarang ini bukan kehidupan sejati karena masih dihinggapi kematian. Selanjutnya tentang bersatunya hamba dengan tuhan atau yang biasa disebut dalam bahasa Jawa manunggaling kawulo kalawan gusti adalah ajaran yang memandang hidup sebagai tekanan pribadi, hidup adalah wujud pribadi, merdeka dari belenggu gangguan dan godaan sekitar. Masuklah engkau sebagai hamba-hambaku! Masuklah engkau ke dalam taman-ku (Q.S 89:29-30) Siti Jenar berpendapat melalui ayat di atas bahwasanya hanya diri pribadi yang ada, tuhan tidak butuh tempat tinggal. Taman-Nya merupakan tempat kembali hamba-hambanya yang beriman. Tetapi Dia tidak ada di dalam maupun luar taman-Nya. Hamba menyatu dengan tuhan, hidup hamba tidak tak terpisah dari Tuhan. Diri pribadi yang ada, itu jika hamba betul-betul hidup. Di dalam “Serat Siti Jenar” yang dikisahkan dalam bait syair oleh Aryawijaya disebutkan sebagai berikut (transtlerasi dari bahasa jawa)[1]
Hakikat ilmu yang sejati
Terletak pada cipta pribadi
Maksud dan tujuannya
Disatukan adanya
Lahirnya ilmu unggul
Dalam keadaan sunyi, jernih.
Inilah sekilas ajaran utama yang diajarkan oleh Siti Jenar kepada murid-muridnya, dan menurut sastra sufistik yang bermuara pada ilmu tasawuf ajaran ini adalah ajaran yang menyingkap rahasia alam dan menurut para kebanyakan wali saat itu tidak boleh diajarkan ke sembarang orang karena akan merusak tatanan agama yang telah ditetapkan pada masa itu.
Tidak seperti halnya Syekh Siti Jenar memiliki rekaman sejarah hidup terlalu minim yang sampai ke tangan kita , Husain Ibnu Mansur Ibnu Hallaj atau yang dikenal sebagai al Hallaj cukup meninggalkan jejak untuk dikaji. Al Hallaj lahir sekitar tahun 858 M di Tur sebuah daerah di barat daya Iran atau yang dikenal sekarang bagian dari kota Shiraz. Ucapannya yang selalu ia ulang-ulang ana al haq (akulah kebenaran) yang menurut penafsiran al Hallaj Ia dan zat Tuhan telah menyatu dalam dirinya, membuat nasibnya sama dengan Siti Jenar yaitu mati dengan cara dieksekusi. Ali Mir Fitrus di dalam bukunya yang berjudul Hallaj mengutip Ali Syariati yang menyatakan bahwa al Hallaj adalah seorang gila yang tidak mengenal tanggung jawab sosial. Padahal latar belakang dan kepintaran al Hallaj bukanlah manusia biasa Jika ditelisik kembali, kebanyakan ilmuwan besar Persia juga seorang penyair, menurut beberapa sumber yang penulis temukan pada zaman itu puisi adalah simbol kualitas intelektualitas seseorang, artinya setiap ilmuan dapat dilihat keahliannya berdasarkan pada ketinggian nilai syair yang ia tulis. Begitu juga al Hallaj Ia pun juga seorang penyair, diantara syair-syairnya adalah sebagai berikut:
Aku telah mencari tempat di seluruh alam
Tapi bagiku tak ada tanah yang tenteram
Dunia telah mencicipiku, aku pun telah mencicipinya
Saat itu rasanya pahit dan manis
Saat kumengejar angan-angan ia memperbudakku
Oh! Andai aku rela dengan takdirku saat itu aku merdeka.
Bait di atas adalah bait yang ia bacakan sebelum di panggil menghadap penguasa, ada juga syair yang ia tulis setelah belajar berbagai ilmu agama sampai menemukan keyakinan sendiri:
aku berpikir dengan semua agama dan aku kaji semua dengan susah payah
dan aku temukan satu (asli) wujud dengan cabang yang banyak
karenanya biarkan orang ini tidak menerima agama, karena mungkin saja
agama itu membuatnya jauh dari keaslian yang asli.
Menurut Hallaj wujud asli itu tidak lain adalah Tuhan, beberapa abad setelah kematian Hallaj banyak penyair sufi Persia seperti Rumi dan Hafez menulis puisi yang didedikasikan kepada al Hallaj:
Bunuhlah aku wahai terpercaya yang tercela
Membunuhku adalah hidup selamanya
Kematianku kau temukan kehidupanku
Badan disisiku tak berarti
Tanpa badanku sendiri aku hidup
pedang telah menjadi surgaku
kematianku ada dikehidupanku (Rumi)
Hafez penyair sufi persia abad 13 juga menulis sebagai berikut:
Tersebutlah sahabat yang digantung kepalanya
Dosanya hanyalah menyingkap rahasia (hafez)
Disebabkan oleh keyakinan yang dianggap “nyeleneh” atau dengan bahasa penulis sebagai “manusia tuhan”, kedua orang ini sama-sama menerima hukuman dari penguasa di zamannya. Ada kemiripan pada “manusia tuhan” ini dalam memandang hidup yaitu dunia adalah alam kematian dan memandang kematian sebagai kehidupan abadi. Bagi mereka iman bukanlah bekal untuk menghadapi kematian seperti hendak membawa bekal dalam perjalanan, melainkan iman harus ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata sebagai perwjudan bersatunya zat tuhan ke dalam manusia. Kesimpulan akhir penulis mencoba mengajak pembaca untuk melihat kisah dua orang ini dari sudut pandang sastra mistik, yaitu mengkaji maknanya dari puisi-puisi yang lahir dari hasil karyanya sendiri atau dari orang lain yang terinspirasi dari kisah mereka berdua. Makna yang tersirat dari puisi-puisi tersebut dapat membawa pembaca menyelam ke alam mereka hingga dapat merasakan apa sebenarnya yang ada dalam benak dan hati penuli, karena bagi penyair perumpamaan/majas/pengkiyasan lebih mudah ditangkap daripada penjelasan, seolah-olah si pembaca adalah lawan bicara baginya. Dari bait Serat Siti Jenar, apabila kita telaah lebih dalam nampak jelas ajaran manunggaling kawulo kawalan gusti apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan yaitu ajaran tentang bersatunya tuhan dalam wujud manusia, sehingga ibadah-ibadah praktis tidak diperlukan lagi karena sudah bersatu dengan tuhan dan Tuhan bebas dari ketentuan alam. Begitu juga dengan al Hallaj yang bait syairnya merupakan implementasi dari ucapannya ana al haq. Walaupun jaraknya berabad-abad antara keduanya, tetapi pengaruh al Hallaj sampai juga ke nusantara hingga menoreh sejarah dalam penyebaran Islam di Indonesia khusunya di pulau Jawa. Al hallaj adalah salah satu khazanah dalam sastra mistik di Iran sedangkan Siti Jenar juga memperkaya pengetahuan kita tentang sastra mistik yang dikenalkan Hamzah Fansuri dan murid-muridnya dalam sejarah sastra mistik di Indonesia walaupun tidak menyebutkan kisah siti jenar dalam syair-syairnya.(BZ)
___________________
[1] Achmad Chodjim, Syeikh Siti Jenar; Makna Kematian, (Jakarta:Serambi, 2009) 120.
Dijumput dari: http://ipi2010.blogspot.com/2010/03/sastra-mistik-antara-syeikh-siti-jenar.html

Pelajaran Sastra, Kuncinya Kualitas Guru


Pelajaran Sastra, Kuncinya Kualitas Guru
Posted by PuJa on July 20, 2012
Lusia Kus Anna
_Kompas.com

Keberhasilan pembelajaran sastra di sekolah sangat bergantung kepada kualitas guru dalam mengajarkan sastra secara baik kepada peserta didiknya. Tidak hanya mengajarkan sastra secara teoritis guru juga dituntut mempraktikkan cara dan teknik bersastra secara baik.
“Kurikulum di sekolah saat ini sudah bertumpu pada terbangunnya keahlian bersastra dari peserta didik. Artinya, kurikulum kita sudah mendukung tercapainya aspek aksiologi pembelajaran sastra,” kata ketua program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia (PBSI) IKIP PGRI Semarang, Nanik Setyawati, di Semarang, Rabu (30/5).
Dalam pembelajaran sastra, guru tidak mungkin hanya mengajarkan sastra dengan menyampaikan ceramah teori di hadapan siswa, namun mempraktikkan kepada siswa bagaimana cara dan teknik untuk bersastra secara baik.
“Banyak guru yang masih mengajarkan sastra dengan membacakan teori bersastra, misalnya melakukan pembelajaran puisi dengan membacakan teori-teori berpuisi, atau mengajarkan teori menulis cerita pendek,” katanya.
Kurikulum pembelajaran sastra menuntut munculnya siswa yang mampu bersastra, bukan siswa yang menghapal teori-teori sastra sehingga guru sastra tak boleh lagi sekadar mengajarkan materi secara teori.
“Semakin bagus kualitas guru dalam menyampaikan pembelajaran sastra, semakin bagus pula kemampuan siswa dalam bersastra. Kuncinya, pada kualitas guru,” kata Nanik.
Berkaitan dengan rendahnya kualitas guru dalam pembelajaran sastra, ia mengatakan sebenarnya tidak bisa disalahkan bahwa guru kurang kreatif dalam mengajarkan sastra, namun faktor penyiapan dari perguruan tinggi turut memengaruhi.
“Artinya, perguruan tinggi yang mendidik dan mencetak calon-calon guru harus mampu memberikan modal kemampuan bersastra yang mumpuni, sebelum mereka diterjunkan menjadi guru yang mengajar di sekolah,” katanya.
Ia mencontohkan sistem pembelajaran sastra yang diterapkan di IKIP PGRI Semarang sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang mengajarkan mahasiswa untuk terlibat langsung dalam pembuatan karya sastra.
“Contohnya dalam mata kuliah drama, mahasiswa tidak hanya dibekali bagaimana cara bermain drama, namun diajari tentang manajemen pertunjukan. Selain bisa bermain drama, mereka juga mampu menyiapkan pertunjukan drama,” kata Nanik. (ANT)
/Kamis, 31 Mei 2012

MATINYA SANG PENGARANG


MATINYA SANG PENGARANG
Posted by PuJa on July 20, 2012
Roland Barthes *
Diterjemahkan: Nur Utami Sari’at Kurniati
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam tulisan Sarrasine Balzac, yang bertutur tentang seorang castrato yang diibaratkan sebagai wanita, tertulis: “Dia seorang wanita, dengan ketakutan, gagasan-gagasan yang tak masuk akal, kekhawatiran yang hanya berdasar insting, keberanian yang tanpa memperhitungkan konsekuensi, ketertarikan berlebihan akan hal-hal kecil, dan sensibilitas yang tinggi.” Siapa yang mengatakan itu? Apakah tokoh hero dalam cerita di belakang bayang castrato yang tersembunyi di balik seorang wanita? Apakah Balzac sebagai individu, dengan pengalaman pribadi dan filosofi seorang Wanita? Apakah Balzac sebagai pengarang yang meletakkan ide “sastra” pada femininitas? Apakah kearifan universal? Psikologi romantis? Kita tak pernah tahu, karena suatu alasan yang tepat bahwa menulis adalah proses destruksi segala sesuatu dari segala penjuru. Menulis adalah sesuatu yang netral, terdiri dari beragam ikhwal dan bias, di mana semua identitas hilang dan berganti dengan identitas baru.
Begitulah kenyataannya. Segera setelah sesuatu ditulis, pengarang tak lagi berhubungan secara langsung pada realitas. Namun fenomena ini makin meluas; dalam masyarakat etnografis, tanggung jawab dari sebuah pemaparan bukan pada seseorang, tetapi pada seorang mediator, shaman atau penghubung yang memiliki penguasaan mengagumkan atas kode narasi. Pengarang adalah sosok modern, produk masyarakat kita, yang muncul dari Zaman Pertengahan dengan empirisme Inggris, rasionalisme Prancis dan keyakinan personal dari gerakan Reformasi, yang memunculkan prestise individual dari seseorang. Dengan demikian, sangatlah logis bahwa dalam dunia sastra seharusnya positivisme, epitome dan kulminasi ideologi kapitalis seperti ini melekat pada diri seorang pengarang. Ia masih berkuasa dalam sejarah sastra, biografi, interviu, majalah, sebagaimana tingginya minat sastrawan menyatukan diri dengan karyanya melalui catatan harian dan memoar. Wajah sastra ditemukan dalam budaya sederhana berpusat secara tirani pada pengarang, pada dirinya, hidupnya, seleranya, nafsunya, sementara kritik sastra masih bertahan pada pernyataan bahwa karya Baudelaire adalah kegagalannya sebagai manusia, karya Van Gogh adalah kegilaannya, dan karya Tchaikovsky adalah cerminan sifat buruknya. Penjelasan dari sebuah karya selalu dicari dari orang yang menghasilkannya, dan ini adalah hal terakhir yang dilakukan seseorang, yaitu sang pengarang yang ada dalam diri kita, melalui alegori transparan dari sebuah fiksi.
Meski aliran Pengarang tetap kuat (kritik baru yang banyak dilakukan tidak lebih daripada mengkonsolidasikan itu) tidak perlu menyebutkan bahwa sebagian penulis telah lama berusaha melonggarkan keterikatan dengan teks. Di Prancis, Mallarme adalah penulis pertama yang melihat pentingnya mengganti bahasa sebuah teks dengan bahasa kaum yang dianggap sebagai pemiliknya. Baginya, dan bagi kita, bahasalah yang penting, bukan pengarang. Menulis adalah usaha mencapai tahap di mana bahasa menjalankan fungsinya, bukan ‘saya’ (sama sekali tidak mengebiri objektivitas novelis realis). Mallarme meminimalkan peran pengarang dalam hal kepenulisannya (dan mengembalikan tempat pembaca). Valery, sesuai psikologi Ego, sangat melemahkan teori Mallarme, tetapi seleranya atas sesuatu yang klasik membuatnya menjadi retoris. Ia tak pernah berhenti mempertanyakan sang Pengarang dan interioritas penulis tampaknya hanya tahayul. Proust, lepas dari karakter psikologis dari apa yang disebutnya analisis, terkait dengan kekaburan yang ekstrim dalam hubungan antara penulis dan tokohnya; dengan membuat narator bukan sebagai yang terlihat dan terasa atau bahkan sebagai pihak yang menulis, tetapi dia yang akan menulis (lelaki muda dalam novel ini – tidak jelas berapa usianya dan siapa dia – ingin menulis, tetapi tak bisa; novel ini berakhir justru ketika penulisan akhirnya menjadi mungkin). Proust memberikan warna epik pada penulisan modern. Dengan pembalikan yang radikal, alih-alih menempatkan hidupnya ke dalam novel, sebagaimana lazim dilakukan, ia membuat hidupnya sebuah model untuk bukunya; sehingga jelas kepada kita bahwa Charlus tidak meniru Montesquiou, tetapi Montesquiou-lah yang diturunkan dari Charlus, dalam realitas sejarahnya yang anekdotis. Surealisme, tak bisa memberikan tempat tertinggi pada bahasa (bahasa menjadi sistem dan tujuan, secara romantik, sebuah subversi langsung dari kode-kode ilusi: sebuah kode yang tak dapat dirusak, hanya ‘dihentikan’). Bahasa berkontribusi pada penciptaan image Pengarang dengan terus menerus menyuguhkan kekecewaan atas harapan (yang diusung oleh para surealis sebagai ‘jolt’), dengan menulis secepat mungkin apa yang tidak disadari (penulisan otomatis), dengan menerima prinsip dan pengalaman beberapa orang yang menulis secara bersama. Lepas dari sastra, linguistik telah membuat destruksi Pengarang dengan analisis bahwa pelafalan tak akan berarti tanpa adanya kebutuhan penutur akan hal itu. Secara linguistik, pengarang tak pernah lebih dari sekadar penulisan, seperti halnya kata saya tak lebih dari sekadar pelafalan kata tersebut: bahasa mengenal ‘subjek’, bukan ‘individu’, dan subjek ini, di luar palafalannya, membuat bahasa menjadi ‘padu’.
Penafian Pengarang (Brecht menyebutnya dengan istilah ‘jarak’ yang unik, Pengarang mengecil seperti miniatur di panggung sastra) tak hanya sebuah fakta sejarah atau sebuah proses menulis; tetapi mentransformasikan teks modern (atau – dalam kata lain – teks dibuat dan dibaca sedemikian rupa pada setiap level tanpa memandang kehadiran pengarang). Kesementaraannya berbeda. Pengarang selalu dianggap cermin bukunya: buku dan pengarang secara otomatis berdiri di satu garis yang terbagi antara sebelum dan sesudah proses menulis. Pengarang merawat bukunya, artinya ia ada sebelum bukunya. Ia berpikir, menderita, hidup demi buku tersebut, dalam hubungan yang sama dengan hubungan antara ayah dan anak. Sebaliknya, penulis modern lahir dengan teks yang ditulisnya, bukan subjek dengan buku sebagai predikat. Pada kenyataannya penulisan bukan lagi pencatatan, notasi, representasi, ‘penampilan’ (seperti yang dikatakan klasik); namun mengacu pada filosofi Oxford, menyatakan performatif sebagai bentuk kata kerja yang langka (secara khusus dilakukan oleh orang pertama dalam kala kini) yang merupakan tindakan mengujarkan sesuatu, misalnya I declare of kings atau I sing of very ancient poets. Penulis modern tidak percaya bahwa tangannya terlalu lamban untuk pikiran atau hasrat menulis yang dimilikinya yang membuatnya harus menahan diri. Sebaliknya, tangan itu mengungkapkan gaya penulisan (bukan hanya ekspresi), yang berasal dari bahasa.
Kita tahu kini bahwa sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral” (“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multi-dimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya. Sama halnya dengan Bouvard dan Pecuchet, para peniru abadi, yang sublim, namun lucu dan kekonyolannya menunjukkan kebenaran sebuah penulisan. Penulis dapat meniru sebuah gesture. Satu-satunya kekuatannya adalah mencampur gaya penulisan yang saling melengkapi dengan tak pernah bertumpu hanya pada salah satu di antaranya. Jika ingin mengekspresikan dirinya, seharusnya ia tahu bahwa setidaknya jiwa dari ‘sesuatu’ yang ingin ia ‘terjemahkan’ adalah sebuah kamus, kata-katanya bisa diterangkan melalui kata-kata lain, dan hal inilah yang terjadi pada Thomas de Quincey muda. Ia sangat mahir berbahasa Yunani untuk menerjemahkan ide dan image modern ke dalam bahasa yang sudah mati. Sebagaimana diutarakan oleh Baudelaire (dalam Paradis Artificiels), “Ia menulis sebuah kamus yang lebih lengkap dibanding yang dihasilkan dari sastra murni”. Penulis tak lagi berkarya dengan hasrat, humor, perasaan, kesan, namun lebih tergantung pada kamus ini, yang menjadi sumber baginya menulis tanpa henti. Hidup tak lebih dari tiruan sebuah buku.
Jika Pengarang sudah tak berperan, pengungkapan makna sebuah teks menjadi tak lagi berguna. Untuk menciptakan sebuah teks, Pengarang membuat batas pada teks itu dan melengkapinya dengan sebuah penanda akhir. Konsepsi semacam ini sangat sesuai dengan kritik, membuatnya menguak sang Pengarang (masyarakat, sejarah, jiwa, kebebasan) di balik sebuah karya. Jika demikian, teks akan mudah dijelaskan dan ini adalah kemenangan kritik sastra. Kekuasaan Pengarang dan kritik sastra sama besarnya, demikian juga saat ini ketika peran keduanya dipertanyakan. Dalam keberagaman penulisan, segala sesuatu harus dilihat dari banyak sisi, dengan struktur yang jelas. Ruang menulis harus diperluas. Menulis terus mengasah kemampuan mengungkapkan pesan. Sastra (atau proses menulis) tidak mengungkap sebuah “rahasia” makna sebuah teks (dan dunia sebagai sebuah teks), namun membebaskan aktivitas anti-teologi. Ini adalah sebuah aktivitas yang sangat revolusioner karena menolak makna, yang artinya menolak Tuhan dan segala hukumnya.
Mari kita kembali ke kalimat Balzac. Jawabannya adalah pembaca. Penelitian terkini (J.P. Vernant) menunjukkan ketaksaan dari sebuah tragedi Yunani bahwa teks dirangkai dari kata-kata dengan makna ganda yang setiap tokohnya mengerti satu satu sama lain (kesalahpahaman adalah sesuatu yang “tragis”). Namun ada seseorang yang mengerti makna setiap kata dan mendengar tokoh yang berbicara di depannya – seseorang ini adalah pembaca (atau pendengar). Hal ini membuka keberadaan total sebuah penulisan: sebuah teks melibatkan proses penulisan yang beragam, bersumber dari banyak budaya dan memperlihatkan hubungan dari sebuah dialog dan parodi. Ada satu tempat di mana keberagaman ini berfokus dan tempat itu adalah pembaca, bukan pengarang. Pembaca adalah ruang yang membuat sebuah tulisan menjadi utuh. Kepaduan sebuah teks bukan terletak pada asal, namun pada tujuannya. Namun tujuan ini tak bisa lagi bersifat personal. Pembaca tak punya sejarah, biografi dan sisi psikologis. Ia hanya seseorang yang menyatukan jejak yang ia temukan dalam sebuah teks. Inilah mengapa kritik terhadap tulisan baru atas nama hipokrit kemanusiaan menjadi hak pembaca. Kritik klasik tak pernah memperhatikan pembaca; karenanya penulis adalah satu-satunya orang dalam dunia sastra. Kini kita mulai membiarkan diri kita tak lagi dibodohi oleh debat kusir yang sombong dari masyarakat mengenai sesuatu yang dikesampingkan, diabaikan, dibutakan, atau dimusnahkan. Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang.
(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nur Utami Sari’at Kurniati, Pengajar Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor)
* Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

Intervensi Negara terhadap Kampus


Intervensi Negara terhadap Kampus
Posted by PuJa on July 23, 2012
Warjati Suharyono *
http://www.lampungpost.com/

SECARA historis, kehidupan pembelajaran pendidikan tinggi di berbagai kampus Indonesia baik negeri maupun swasta tidak pernah terlepas dari intervensi negara.
Pada 1970-an, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Tujuannya menghentikan daya kritis mahasiswa atas jalannya pemerintahan Orde Baru. Semua organisasi mahasiswa baik internal maupun eksternal dibubarkan kemudian disatukan dalam satu wadah bernama senat akademik universitas di bawah kendali mendikbud. NKK dan pembentukan senat secara langsung mendepolitisasi kampus. Mahasiswa diajak menghentikan idealisme kemudian berpikir pragmatis hanya belajar, lulus cepat, wisuda, dan mendapatkan pekerjaan.
Logika Kapitalisme
Pada era reformasi saat ini, intervensi negara terhadap kampus lebih parah karena sudah melibatkan aktor asing. Logika kapitalisme sudah merajut dalam sendi pembelajaran kurikulum pendidikan. Kita masih ingat bagaimana pemerintah memaksa kampus negeri dan swasta membiayai operasional kampus dengan melepaskan subsidi melalui UU Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian digugat itu. Status badan hukum yang disematkan kepada kampus sendiri menyimbolkan kampus sudah layaknya korporasi terselubung dengan perguruan tinggi (PT) berganti makna menjadi perseroan tinggi.
Kalau demikian adanya, kita sudahi dan rekonstruksi ulang saja makna tridharma pendidikan tinggi yang selama ini menjadi dogma pendidikan tinggi Indonesia—yakni penelitian, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat—menjadi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada yang membayar. Hal itu konkret dan menegaskan PTN dan PTS sebagaimana yang diatur RUU PT menjadi jelas bahwa universitas bukan lagi lembaga nirlaba, melainkan lembaga profit oriented.
Intervensi Pendidikan
UU Pendidikan Tinggi dibilang merupakan NKK jilid 2. Dalam UU tersebut independensi kampus ketika melaksanakan penelitian dan pendidikan diawasi Mendikbud. Dalam UU PT cukup tegas mengatur pasal-pasal subversif yang dinilai mengacaukan sistem pendidikan kampus. Dalam Pasal 9 Ayat (2) dan Ayat (4) maupun Pasal 16 Ayat (3) disebutkan menteri berhak tahu dan awas terhadap kebebasan berpendapat dan berpikir dalam mimbar akademik yang dilakukan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Keberadaan menteri selaku wakil pemerintah dalam mengurusi hal-hal teknis dan teknokratik itu saja sudah kontradiktif. Itu sudah menjadi urusan kampus yang bersangkutan. Hal itu sama saja dengan menteri bertindak subjektif terhadap pemilahan rumpun ilmu pengetahuan yang dinilai tidak membahayakan pemerintah. Sama saja pihak universitas dipasung dan tidak bisa bertindak inovatif dan kreatif dalam menghasilkan produk pengetahuan yang bermutu dan berguna bagi masyarakat.
Dalam Pasal 20 dan Pasal 32 dijelaskan menteri berhak mengevaluasi dan mengawasi pendidikan tinggi kampus dalam menjalankan Tridharma pendidikan maupun dalam upaya menjalin kerja sama penelitian dengan pihak ketiga, yakni dunia usaha dan dunia industri.
Pasal itu bisa dikatakan hipokritis dan slapstick mengingat pemerintah melepaskan fungsi pembiayaan pendidikan melalui otonomi kampus dalam mencari sumber mandiri. Sama saja pemerintah menjilat ludah sendiri karena kampus sudah terlunta-lunta mencari sumber mandiri akibat pemerintah pelit, kemudian dana yang sudah didapat pun masih harus dievaluasi pemerintah agar ditentukan kadar penerimaan dan pengeluarannya disesuaikan pihak pemerintah.
Ekspansi Asing
Sekarang ini saja, mau kuliah di PTN dan PTS saja sudah membuat dahi orang tua berkerut melihat besaran sumbangan peningkatan mutu akademik (SPMA) yang tidak logis untuk sekadar mendapat titel sarjana dan diploma. Menaikkan digit angka sumbangan SPMA merupakan modus kontemporer bagi PTN/PTS untuk mencari dana mandiri sejak subsidi dicabut.
Imbasnya kemudian hanya sosialita kelas menengah atas yang berhak kuliah, sementara yang miskin dimarginalkan dari arena tersebut. Hal yang perlu untuk disoroti secara tegas ialah longgarnya dan lemahnya regulasi terhadap keberadaan lembaga pendidikan tinggi asing yang terus melakukan ekspansi ke Indonesia.
Dimensi yang kentara dari ekspansi tersebut ialah makna pendidikan tinggi di kampus kini sudah layaknya industri waralaba. Logika orientasi bisnis semakin semerbak dengan PTN/PTS dihadapkan pada persaingan tinggi dengan PT asing yang katanya akan meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.
*) Pengamat Pendidikan pada Lingkar Kajian Profetik UGM /19 July 2012

Kapitalisasi Menggilas Dunia Pendidikan


Kapitalisasi Menggilas Dunia Pendidikan
Posted by PuJa on July 23, 2012
Bambang Satriya *
http://www.lampungpost.com/

TAJUK Media Indonesia (14-7) berjudul “Menertibkan Sekolah Nakal” menyebutkan dunia pendidikan masih memperlihatkan wajah suram. Penerimaan siswa baru (PSB) dari jenjang terendah sampai tertinggi diwarnai berbagai pelanggaran, terutama menyangkut pungutan.
Posko pengaduan PSB tahun 2012-2013 yang dibentuk Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Ombudsman mencatat 112 kasus pelanggaran di 108 sekolah di Tanah Air. Mayoritas pelanggaran terkait dengan pungutan dengan besaran sesuai jenjang pendidikan. Untuk tingkat SD Rp1,3 juta, SMP (Rp2 juta), dan SMA (Rp2,4 juta).
Masalahnya, mengapa sekolah-sekolah bergaya kapitalistis itu bisa terus berjaya dan tanpa merasa telah melanggar hak konstitusional warga? “Sekolah nakal” layak dikategorikan melanggar hak kesetaraan pendidikan. Sekolah bukan sebagai “rumah” yang memanusiakan, melainkan didesain menjadi institusi dagang.
Uang bisa digunakan untuk membeli rumah atau sekolah, tetapi tidak otomatis bisa “membeli” kasih sayang yang bisa dihadirkan di dalam rumah dan sekolah. Banyak sekolah mewah dibangun dengan biaya miliaran rupiah, tetapi itu bukan kedamaian dan kebahagiaan. Para pengelolanya bisa membeli prasarana mahal, tetapi gagal memberikan “keadaban.”
Komunitas Pembelajar
Sosiolog kenamaan, Juergen Habermas, pernah mengatakan knowledge is power atau ilmu pengetahuan adalah kekuatan. Siapa yang punya ilmu pengetahuan berarti punya sumber daya besar dan strategis yang menentukan sejarah peradaban manusia. Namun, sepanjang masyarakat dan bangsa ini masih menganaktirikan kesakralan pendidikan, masa kemajuan dan kebesaran sebagai bangsa tidak akan pernah bisa diperoleh.
Syarat fundamental kemajuan bangsa ialah mengembangkan ilmu berbasis pemanusiaan manusia. Miskin atau kaya tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan semangat mengejar ilmu pengetahuan. Menggapai dan menguasai ilmu merupakan roh konsep ideal pendidikan seumur hidup (life long education).
Kita tak akan pernah punya anak-anak bangsa yang tangguh kalau diri mereka mengidap krisis ilmu pengetahuan. Kita wajib membangun anak-anak menjadi komunitas pembelajar. Kasus tawanan perang yang dijadikan guru oleh Nabi Muhammad saw. juga menandakan urgensi dan fundamentalnya proses transformasi edukasi, bukan pada berapa besar kalkulasi ekonomi.
Kebijakan edukasi yang dikeluarkan Nabi itu seharusnya dijadikan pelajaran berharga oleh setiap warga bangsa; bahwa penyelenggaraan pembelajaran merupakan penentu kejayaan suatu bangsa. Dunia pendidikan wajib menciptakan atmosfer membebaskan dan bukan menghadirkan penindasan atau diskriminasi. Dengan atmosfer itu, kepribadian peserta didik terbentuk menjadi pembebas, dan bukan menjadi penindas.
Kita tidak boleh melihat pada siapa dan negara mana kita memperoleh “menu edukasi”, tetapi kita disuruh menjadi pembelajar yang baik. Juga berusaha maksimal mencerdaskan diri, termasuk menggerakkan semua mesin di negeri ini untuk membudayakan mental pembelajar.
Hanya dengan bermodalkan pengistimewaan pendidikan itu, berbagai bentuk problem bangsa yang menjajah itu bisa dimerdekakan. Mengamini pelanggaran HAM (hak pendidikan) ibarat mengamini berlangsungnya penindasan dan membenarkan terjadinya dan lestarinya disparitas edukasi di balik selubung korporasi edukasi. Jika pendidikan masih dikuasai semacam virus diskriminasi atau korporasi edukasi seperti maraknya “sekolah nakal”, bukan problem bangsa yang bisa dientas, sebaliknya justru pendidikanlah yang menjadi sumber penyakit bangsa.
Tagihan Biaya
Alangkah menyenangkan iklim belajar-mengajar jika anak-anak usia dini atau yang terikat “wajib belajar”, bisa menikmati iklim pembelajaran tanpa perlu “diganggu” guru, kepala sekolah, atau pihak lain. Anak-anak itu ingin belajar tenang tanpa khawatir ada tagihan uang buku pelajaran, iuran OSIS, asuransi sekolah, dana kesehatan, dan “daftar” pembiayaan selangit yang mencekik.
Betapa bergairahnya anak-anak kita dalam mendengarkan, menyerap, dan mendiskusikan pelajaran yang diajarkan para guru ketika kepala mereka tidak dijejali dengan tagihan biaya.
Sudah saatnya kita, terutama dari kalangan wong elite tidak mengamini multidimensi korporasi edukasi karena dalam ranah hukum (PP Nomor 48 Tahun 2008), sebenarnya pemerintah telah berjanji hendak mewujudkan pembebasan atau pemanusiaan manusia atas anak didik dari segi biaya.
*) Guru besar UIN Malang /21 July 2012