Pages

Tuesday, 23 October 2012

Mo Yan Raih Nobel Sastra

Penulis China raih Nobel sastra
Jakarta (ANTARA News) - Penulis asal China, Mo Yan, meraih penghargaan Nobel bidang sastra tahun 2012.

Mo merupakan warga China pertama yang meraih penghargaan Nobel bidang sastra. Pria yang lahir di Gao Xingjian itu mendapat penghargaan tahun 2000, tapi sebagai warga Prancis.
Mo adalah peraih Nobel Sastra ke-109, penghargaan yang tahun lalu dimenangkan oleh pujangga Swedia, Tomas Transtroemer.
Penulis produktif berusia 57 tahun yang telah memublikasikan lusinan cerita pendek itu pertama menerbitkan karyanya tahun 1981.
The Swedish Academy memuji karyanya sebagai "cerita rakyat dengan gabungan halusinasi dan realisme, sejarah dan kontemporer."
"Dia memiliki gaya penulisan yang unik. Jika Anda baca pasti sudah tahu kalau itu karya dia," kata Kepala The Swedish Academy Peter Englund seperti dikutip BBC. 
Mo mulai menulis saat menjadi tentara People Liberation Army (PLA) dan namanya mulai dikenal masyarakat internasional pada 1987 dengan novelnya yang berjudul "Red Sorghum: A Novel of China."
Novel yang difilmkan dan memenangkan penghargaan Golden Bear di Berlin Film Festival tahun 1988 itu berkisah tentang kekerasan yang terjadi di  pedesaan bagian timur China dimana dia tumbuh sepanjang tahun  1920-an dan 1930-an.
Kebanyakan novel karya Mo lebih banyak berkisah tentang China pada masa lalu dengan latar masa revolusi 1911 dibanding isu-isu kontemporer, juga masa invasi Jepang dan Revolusi Budaya Mao Zedong.
"Dia punya karya yang sangat impresif," kata Professor sejarah China dari University of London Michel Hockx. 
"Dia punya banyak pembaca dan dia menyampaikan kondisi manusia dengan cara yang disukai Komite Nobel," katanya.
Karya-karya Mo lain yang terkenal antara lain "Republic of Wine," "Life and Death Are Wearing Me Out" dan "Big Breast and Wide Hips." 
Buku terakhirnya yang diterbitkan 1995 menimbulkan kontroversi karena mengandung muatan seksual dan menggambarkan perjuangan kelas melawan Partai Komunis China. Mo dipaksa menarik bukunya dari peredaran. 
Buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris satu dekade kemudian dan membawa Mo menjadi nominasi penghargaan sastra Asia, Man Asian Literary Prize. 
"Seorang penulis harus mengekspresikan kritik dan kemarahan di sisi gelap masyarakat dan wajah buruk sifat manusia," kata Mo saat berpidato di Frankfurt Book Fair tahun 2009.
"Beberapa mungkin ingin berteriak di jalan, tapi kita harus mentoleransi mereka yang bersembunyi di ruang mereka dan menggunakan tulisan untuk menyampaikan pendapat," katanya.
Novel terakhir Mo yang berjudul "Frog," yang bercerita tentang kebijakan pengendalian populasi China, memenangkan penghargaan Mao Dun Literature Prize - salah satu penghargaan sastra bergengsi di China- tahun lalu.
Mo dan penerima hadiah Nobel untuk pengobatan, fisika, kimia dan perdamaian akan menerima penghargaan dalam upacara formal di Stockholm dan Oslo tanggal 10 December - hari peringatan kematian penggagas Nobel, Alfred Nobel, tahun 1896.

Sajak-sajak Willy Fahmy Agiska



Willy Fahmy Agiska


Nyiar Lumar

Persis seperti empat tahun yang lalu.
Di mana malam lebih gaib dari biasanya.
Segelintir orang beramai-ramai dikepung
sekomplot kelelawar yang lari terpencar-pencar.
Merangsak masuk lewat sela-sela pintu dan jendela
Seperti membawa mimpi buruk atau semacam
perburuan sesuatu.

“Sungguh ! Aku tak akan mencuri buah di meja makan.
 Aku hanya ingin lumar yang kini sudah hilang itu.
 Lumar yang senantiasa memancarkan sesuatu dari dalam dadanya.
 Penjaga malam yang paling kelam ”

2012


Di Dalam Bis

Di dalam bis
aku duduk berdampingan dengan getar tubuhmu
juga bersaing sengit dengan kota yang
beranjak meninggalkan ingatanku lebih cepat.

Namun bayang-bayang kematian di matamu itu
terasa begitu lambat bahkan tak beranjak.
Terperangkap di kaca gedung-gedung kota.
Menyekap setiap gerak gerik tubuhku.

Bahkan kini kusaksikan
jalan itu seperti mengirim jarum-jarum jam panjang,
kunang-kunang, pesawahan, hutan lebat
atau semacam tikungan tajam

:
dimana, segala bisa tiba-tiba saja begitu berbahaya.

Di dalam bis
sebenarnya kita sedang berhadapan
dengan rasa kehilangan.
Kemana arah untuk  pulang.

2012


Layang-Layang 

Oh, ia si kecil mungil. Petualang ulung.
Melayari batu-batu apung, laut yang lepas.
Menjaring angin, mengulur pancing yang panjang.
Jauh ke dalam pikiranku. Mengambang dan terkekang.

2012


Penari

Sepuluh anak sungai di tanganmu,
tiba-tiba saja seperti akan meloloskan laut.
Laut yang senantiasa dibentuk oleh
gerak-gerik ombak juga ikan-ikan.
Atau dari yang karam dan tenggelam.

Sebab, kamu juga tercipta
dari segala yang bergerak.

2012


Jln. Gayam No 28 

Demi bising kereta api
yang selalu meredam suara lembutmu
Demi lantai keramik
yang menyimpan kaki mungilmu
Dan demi segelas air putih
yang pandai menangkap bayang wajahmu

Biarkanlah aku pergi
menyusuri trotoar ini
membuang potong demi potong puzzle
semacam penanda arah untuk pulang.
Tapi kita malah kebingungan
siapa yang akan memberi hadiah kejutan.

Ada banyak kemungkinan
Kau mengintaiku dari deretan tanggal,
kalkulator, atau dari balik kerudungmu.

Dan ada selalu siang
ketika diam-diam aku kehilangan alir nadiku.
Astaga ! Aku lupa. Kau sedang mengejutkan.

2012

Biodata Penulis :
Willy Fahmy Agiska, lahir di Ciamis 28 Agustus 1992. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI

Papua Dinilai Minim Penulis Sastra


Papua Dinilai Minim Penulis Sastra
Senin, 22 Oktober 2012 | 21:34 WIB


JAYAPURA, KOMPAS.com--Staf dari Kantor Balai Bahasa Jayapura, Provinsi Papua, Ummu Fatimah RL, menyatakan di provinsi paling timur Indonesia itu masih minim penulis novel atau karya sastra lainnya.

"Berdasarkan pengamatan kami, dan saya secara pribadi. Di Papua, masih kurang penulis novel atau sastra yang asli orang Papua," kata Ummu yang juga novelis itu dalam diskusi Ko’Sapa (Komunitas Sastra Papua) di Jayapura, Senin.

Menurut dia, penulis novel atau pun karya sastra lain yang asli orang Papua hanya bisa dihitung dengan jari, dan itupun mulai ada sejak tahun 2000-an.

Ia menyebut Aprilia RA Wayar yang pada Juni 2009 menulis novel Mawar Hitam Tanpa Akar, kemudian ada sejumlah nama lainya. "Kebanyakan yang menulis bukan orang asli Papua," katanya.

Dia mengutarakan, menulis bukanlah hal yang mudah dan gampang, tetapi membutuhkan semangat dan kerja keras.

"Mengubah budaya bercerita menjadi seorang penulis itu bukan pekerjaan yang gampang. Tetapi jika dimulai dengan membaca buku apa saja, saya kira itu bisa menarik minat untuk menulis tentang apa yang ada di lingkungan kita, atau yang kita lihat dan alami," kata penulis novel ’Lelaki Januari’ itu.

Ia menyarankan untuk menjadi seorang penulis ataupun sastarawan apa saja, agar banyak membaca buku.

Andi Tagimahu, Koordinator Ko’Sapa, juga mengakui hal itu. "Kami membentuk Komunitas Ko’Sapa agar semakin banyak anak-anak Papua yang tertarik untuk menjadi penulis," katanya.

Andi yang pernah menjadi presenter Tabea di PapuaTV mengatakan saat ini komunitas yang dibentuk oleh pihaknya berupa grup di salah satu jejaring sosial telah memiliki anggota sebanyak 1.300 orang lebih. "Dan kami berharap mereka, bisa menyumbangkan karya-karya asli Papua yang kurang mendapatkan perlindungan dan perhatian dari pemerintah," katanya.

Sementara Aprilia RA Wayar ketika diminta pendapat tentang bagaimana ia bisa menulis sebuah novel dengan judul yang menarik mengatakan bahwa menulis itu dimulai dari banyak memabaca novel-novel terkenal.

"Saya sejak kecil sudah gemar membaca, dan novel yang saya tulis itu mengalir begitu saja. Saya tertantang untuk menulis setelah membaca novel "Sali" karya Dewi Linggasari. Sebagai orang Papua saya harus bisa menulis," katanya.

"Saya sependapat dengan kakak Ummu, bahwa di Papua masih minim penulis novel atau sastra," katanya.

Sumber :ANT
Editor :Jodhi Yudono

Satir Imajiner dalam Sastra


Satir Imajiner dalam Sastra
Posted by PuJa on October 15, 2012
Bayu Agustari Adha *
Riau Pos, 14 Okt 2012

PADA tataran tertentu sastra dianggap sebagai suatu refleksi kehidupan seperti apa yang dipandang oleh Plato. Makanya Plato sendiri agak merendahkan sastra karena kalau sastra adalah refleksi maka itu adalah mimesis lapis ketiga. Itu terjadi karena dia menganggap bahwa kehidupan ini adalah suatu refleksi dari ide. Maka dari itu jikalau kehidupan sendiri adalah refleksi dari ide, jadi sastra mengalami dua kali tingkat turunan mimesis.
Bermula dari ide turun ke kehidupan, dan barulah bergenerasi kepada sastra sehingga ibarat penyaringan, akan terdapat unsur-unsur yang tereliminasi. Namun faktanya apa yang terjadi dengan dunia sastra tidak menunjukkan hal yang demikian. Banyak diantara karya sastra tidak melulu merupakan refleksi utuh kehidupan, namun juga dibumbui imajinasi dan beragam gaya para penulis. Rasanya mendekati tepat pula apabila kita mengikuti murid Plato sendiri yang menyatakan bahwa sastra adalah sebuah representasi.
Sastra sebagai representasi berarti bahwa apa yang ada pada sastra adalah suatu wujud perwakilan dari kehidupan nyata. Dia tidak sama persis dengan kehidupan nyata, tetapi mengambil bahan dari kehidupan nyata lalu diramu oleh seorang sastrawan. Hasilnya karya-karya yang dihasilkan salah satunya berbentuk imajinasi yang berakar pada kehidupan nyata. Secara kasat mata mungkin apa yang disajikan tidak logis untuk dicerna, namun hal itu merupakan gaya tersendiri di mana sastra tak utuh untuk menyentuh logika tapi yang utama adalah menyentuh emosi. Karya-karya imajinatif itulah yang menjadi representasi dari kehidupan dan bukanlah rekaan si pengarang. Salah satu tujuannya juga untuk memberikan satir atau sindiran atau olok-olokan terhadap suatu hal yang menjadi perhatian si pengarang. Pada umumnya di Indonesia saat ini genre sastra cerpenlah yang sering menggunakan hal ini. Upaya pengungkapan satir yang imajinatif dapat kita lihat pada karya-karya cerpen Agus Noor dalam bukunya berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia.
Agus Noor memang dikenal sebagai cerpenis mapan Indonesia. Karya-karyanya yang bersifat imajinatif tersebut memang sangat menggelitik melalui penjelajahan gaya yang dilakukannya. Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini sangat terlihat jelas betapa nakalnya Agus Noor bermain dengan imajinasi. Bagian pertama yang hadir dalam buku ini berjudul ‘’Empat cerita buat Cinta’’. Cerita pertama berjudul ‘’Pemetik Air Mata’’. Awalnya Agus Noor menjelajahi penceritaannya mengenai asal-usul adanya peri pemetik air mata manusia. Setelah lika-liku cerita imajinatif mengenai hal itu, tibalah akhirnya bahwa air mata-air mata itu dicuri dan telah dijadikan bahan dagangan oleh para pedagang asongan. Sandra, tokoh yang ada dalam cerita tak mempercayai ini karena dia tak melihat peri datang setiap dia dan ibunya yang seorang pelacur menangis. Mama Sandra selalu marah melihat Sandra menangis. Sandra kemudian juga mempunyai anak. Nasibnya lebih baik dari ibunya yang pelacur. Sandra adalah wanita simpanan yang beroleh anak. Anaknya mengetahui adanya peri pemetik air mata itu dan juga membeli air mata itu dari pedagang asongan dan Sandra tidak menyukainya.
Secara kasat mata memang kisah ini tidak masuk akal sama sekali. Mulai dari cerita peri yang entah ada atau tidak sampai pada cerita dijualnya air mata. Namun menarik untuk ditelusuri unsur satir yang ada dalam cerita ini. Air mata merupakan suatu yang identik dengan kesedihan. Dengan air mata, sesuatu yang tidak dapat terselesaikan dapat hilang dengan mencucurkan air mata. Intinya adalah air mata adalah kebutuhan manusia dan telah menjadi takdir bagi manusia untuk menangis menitikkan air mata. Berhubungan dengan konteks cerita bisa dipahami bahwa satir yang hadir adalah suatu sindiran terhadap kehidupan nyata yang telah akrab dengan kesedihan dan kepedihan hidup. Itu terlihat dari apa yang dialami Sandra, ibunya, dan anaknya. Kesedihan terjadi tentu ada sebabnya yang tak lepas dari lingkungannya. Tetapi apa yang dilakukan Sandra dengan melarang anaknya membeli air mata itu adalah suatu upaya kemunafikan dalam menafikan kodrat manusia sebagai makhluk yang berteman dengan kesedihan. Sandra tidak ingin menunjukkan kesedihan yang ada dan memilih untuk terus hidup dalam kebohongan seperti yang dilakukan kepada anaknya dengan menyembunyikan kenyataan bahwa papanya adalah suami orang.
Satu hal lagi satir yang ada bisa dikupas dengan membaca fenomena mengapa air mata itu telah menjadi barang dagangan. Hal ini menandakan bahwa memang saat ini kesedihan juga telah menjadi suatu komoditas. Itu terlihat mulai dari yang beroperasi secara jelas dan yang abstrak. Yang beroperasi dengan jelas adalah seperti para pengemis yang menjual kesedihan dan kemelaratan untuk memperoleh uang. Banyak juga diantaranya yang memperlihatkan bagian fisik yang terlihat menyedihkan untuk memperoleh simpati agar dikasihani. Kemudian menjual kesedihan sebagai komoditi dalam bentuk abstrak bisa dilihat dari populernya cara-cara menarik simpati oleh berbagai pihak. Contohnya program televisi yang mengekspos kesedihan sebagai produknya dan ada juga yang menarik simpati dengan kisah hidupnya dahulu yang menyedihkan agar karya atau produknya terjual. Jadi, hakikatnya mereka menjual kesedihan untuk menarik simpati, bukan menjual produknya melalui kualitasnya.
Cerita kedua di sini berjudul ‘’Penyemai Sunyi’’ menceritakan seorang laki-laki yang menemui rumahnya di mana keluarganya semuanya terbunuh. Saat itulah dia melihat setangkai sunyi yang ada di halamannya sambil terus membayangkan kenangan bersama keluarganya.
‘’Setangkai sunyi yang cemerlang dengan perpaduan warna-warna yang paling rahasia membuatku tergetar dan bertanya-tanya’’. Begitulah gambaran keindahan yang dilukiskan lelaki itu. Sebelum pulang dia membayangkan istrinya akan membukakan pintu dan menyiapkannya kopi hangat dan anak-anaknya yang masih belajar ataupun menonton TV. Dalam renungan diapun masih merasakan seakan-akan ada suara istrinya dan anaknya dari dalam memanggil masuk, namun itu hanya ada dalam kenangan. Setelah itu setangkai sunyi yang berbentuk bunga itu terus tumbuh mekar dan besar sehingga memukau banyak orang, namun ketika ditanya orang dia selalu menjawab bahwa itu adalah setangkai kesunyian.
Cerita ini bersifat filosofis melalui perenungan yang dilakukannya. Satir yang ada di sini bisa dimaknai sebagai suatu fase kehidupan di mana manusia harus melalui suatu masa kesunyian. Kesunyian itu dimaknai sebagai suatu akibat dari tindakan manusia yang telah lupa akan anugerah sosial, dalam hal ini adalah keluarga. Karakter semasa hidupnya tak memanfaatkan waktu kebersamaan dengan keluarganya. Dia yang selalu pulang malam membohongi istrinya dan dia yang menganggap remeh kehadiran dari anaknya. Akhirnya dia mengalami kehampaan tanpa mereka semua. Hanya kesunyian yang akan hadir apabila waktu yang telah ada tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Namun hal menarik yang dihadirkan oleh Agus Noor adalah metaphor bunga sebagai lambang kesunyian. Apa yang mendasari ini? Ini merupakan suatu hal yang berbeda lainnya di mana biasanya bunga dianggap sebagai suatu hal yang menggambarkan keindahan dan bukanlah kesunyian. Mungkinkah ini sebagai perlawanan simbol pada pemahaman umum orang-orang bahwa bunga perlambang dari kegembiraan karena hidupnya warna yang dimilikinya? Apakah manusia telah salah kaprah atau manusia yang hanya melihat kulit luar dari sewujud bunga yang sebenarnya di dalamnya adalah tawaran kesunyian? Interpretasi bisa berbeda di sini.
Cerita ketiga dengan judul ‘’Penjahit Kesedihan’’ menceritakan fenomena tukang jahit dalam suatu kota. Dulu banyak gerombolan tukang jahit datang menjelang Lebaran dan semua orang gembira. Lebaran tak lengkap tanpa menjahitkan pakaian pada para penjahit itu. Setelah beberapa lama, penjahit itu semakin berkurang oleh imbas modernisme. Akhirnya merekapun menyingkir ke pinggir kota. Tak lama kemudian merekapun juga hilang satu per satu oleh zaman. Namun masih ada satu penjahit yang masih bertahan. Ceritanya dia tak hanya bisa menjahit pakaian tapi juga bisa menjahit kesedihan menjadi kebahagian karena memiliki jarum yang diakuinya didapat dari Nabi. Lama kelamaan banyak saja orang yang datang kepadanya untuk menjahit kesedihan sampai antriannya sepanjang ujung cakrawala ini.
Unsur satir yang dapat dilihat dari karya imajinatif ini pada mulanya adalah fenemona tersingkirnya kaum tertentu oleh suatu modernisme. Masyarakat tak menyukai lagi hal-hal yang berakar dari masyarakatnya sendiri melainkan menyukai hal yang lebih modern dan materialistis. Ini merupakan satir dan balada terhadap kesedihan yang dialami oleh para pencari nafkah tradisi kita yang harus tersingkir oleh peradaban modern yang tak kenal kasihan. Selain itu, dapat dilihat di sini pertukaran pola pikir masyarakat yang telah menjadi lebih instan dan tidak mempertimbangkan proses dalam menilai suatu hal. Dulu mereka dengan setia melihat bagaimana setiap penjahit meliuk-liukkan jarumnya, tapi sekarang mereka lebih suka beli barang yang langsung jadi di mal dan butik. Namun ketika manusia telah merasakan keanekaragaman material tersebut, mereka suatu saat juga menjadi hampa sehingga tak mendapatkan kebahagian sehingga menjamurlah orang-orang yang mencari kebahagiaan untuk menjahit kepedihannya. Inilah suatu fenemona yang disebut kehampaan spiritual karena hidup didunia yang materialistis. Ketika mereka telah memiliki semuanya, mereka tak juga bahagia karena masih merasa hampa karena kosongnya jiwa. Hal ini disebabkan tidak adanya kegiatan spiritual. Kegiatan melihat penjahit melakukan jahitannya pada masa dulu bisa jadi suatu analogi kegiatan spiritual sehingga ada suatu kenyamanan dalam hati pada saat melakukan atau menyaksikan.
Cerita keempat dalam bagian cerpen ini adalah ‘’Pelancong Kepedihan’’. Di sini diceritakan fenomena pelancong dari luar yang berwisata untuk menyaksikan kesedihan pada suatu kota. Di sana para pelancong sangat terkagum-kagum melihat kesedihan dan kemelaratan yang ada karena tidak merasakan dan melihat hal tersebut di negerinya. Mereka membawa bekal dan beberapa persediaan dokumentasi. Mereka mengambil foto apa saja yang dilihatnya dan kadang-kadang mereka juga berfoto dengan penduduk setempat yang tertlihat menyedihkan. Konon pula foto itu juga dijadikan perangko yang dibanggakan sebagai bukti mereka pernah ke kota kepedihan. Salah satu hal yang membuat para pelancong tertarik adalah dimana kota ini dibangun untuk keruntuhan. Maka ketika bumi di kota ini tanahnya bergerak, para pelancongpun langsung bereaksi memperlihatkan ketertarikannya dengan apa yang terjadi.
Tentu saja imajinasi ini akan terasa tidak logis. Namun intensitas yang dibangun tentunya bukan bertujuan untuk membujuk logika, namun lebih kepada upaya untuk menyentuh perasaan. Hal ini dilakukan dengan pembuatan realita cerita yang hiperbola. Agus Noor juga memainkan bayangan diluar lingkaran yang ada untuk memberikan satir atas apa yang menjadi fenomena bagi Indonesia yang sering mengalami keruntuhan. Mulai dari keruntuhan secara fisik sampai dengan keruntuhan secara moril. Indonesia sebagai bangsa yang akrab dengan bencana akhir-akhir ini memang telah menyerap perhatian Internasional. Maka banyaklah orang asing yang berdatangan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah pelancong yang disangkakan oleh Agus Noor adalah sejumlah lembaga pemerintah ataupun NGO asing yang berkunjung dengan kedok kemanusiaan. Sejumlah kejadian telah memperlihatkan hal tersebut, seperti tsunami Aceh, gempa Jogja dan gempa Padang. Memang terkesan terlalu verbal untuk menuduh mereka sebagai pelancong di dalam cerita. Namun kembali lagi kita menilik pada hakikat sastra sebagai suatu representasi suatu realita. Sastra tidak menuduh, akan tetapi adalah mencoba untuk menggugah pembaca melalui imajinasi yang ada sehingga dapat menjadi pegangan ataupun suatu antisipasi.
_____________________________
*) Bayu Agustari Adha, Penulis yang rajin membaca karya-karya baru serta menulis esai. Bayu adalah Tutor Bahasa Inggris di EasySpeak.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/10/satir-imajiner-dalam-sastra.html

Figur Guru Sastra yang Ideal


Figur Guru Sastra yang Ideal
Posted by PuJa on October 19, 2012
Sutejo
Surabaya Post, 9 Okt 1994

Bagaimanakah fenomena pengajaran sastra dewasa ini? Banyak isu yang menyudutkan para guru sastra , dari minusnya apresiasi sampai kurangnya inovasi dalam pengajarannya.
Isu demikian menarik untuk dicermati karena secara makro kita melihat banyak aspek yang kurang mendukung dalam operasional pengajaran sastra itu sendiri. Dari segi siswa jelas tidak semuanya berminat dan berbakat terhadap bidang sastra. Apalagi jika dikaitkan dengan sarana pengajarannya, maka kendala yang akan segera tampak adalah minusnya pustaka sastra, tidak adanya sanggar sastra di sekolah, apalagi semacam ‘’laboratorium sastra’’. Di samping keberadaan kurikulum yang memberikan alokasi waktu untuk bidang sastra begitu minim, hanya sekitar 16% pada kurikulum 1984. kemudian pada kurikulum 1994 menjadi sekitar 30%. Itu pun apresiasi bahasa dan sastra Indonesia.
Romo Mangun pernah menyindir bahwasanya kegagalan selama ini disebabkan pengajaran sastra di sekolah hanya memfokuskan pada sejarah sastra dan pengajaran tentang sastra, bukan pelatihan apresiasinya. Sedangkan dari kacamata Jakob Sumardjo, kegagalan itu lebih disebabkan tidak berkembang dan tertanamnya apresiasi seni yang baik di lingkungan pelajar dan remaja kita. Mereka lebih suka membaca novel terbaru Marga T. daripada Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Mereka lebih punya apresiasi karya seni yang tidak diajarkan di sekolah, melainkan yang diajarkan masyarakat sendiri lewat jalur dagang.
Parodi Pengajaran Sastra
Jika kegagalan pengajaran sastra dianggap karena kurangnya kompetensi guru, maka sinyalemen itu menjadi lebih menarik. Realitasnya, banyak guru sastra yang apresiasinya rendah. Tak jarang seorang guru sastra dalam pengajarannya menggunakan petunjuk apresiasi tanpa mencoba berkreasi-apresiasi sendiri. Sehingga transfer apresiasi yang dilakukan pun bak mengenakan ‘’seragam apresiasi’’. Tanpa adanya pelatihan yang berarti.
Fakta lain yang segera tampak adalah ketika guru mengajarkan novel misalnya, tak jarang mereka hanya mengajarkan sinopsis tanpa mengajak siswa membaca novelnya secara langsung.
Realitas lain yang menarik adalah guru sastra cenderung tidak berani mengambil karya-karya yang tersebar di media massa. Sebaliknya sudah terpola dalam buku paket. Karenanya, logis jika Jakob Sumardjo menyindir bahwa remaja dan pelajar kita lebih suka membaca novel-novel pop daripada novel sastra. Karena iklim pengajaran sastra kita yang kurang mengenalkan buku dan karya sastra secara langsung. Sementara novel-novel pop diajarkan tiap hari oleh iklim hiburan.
Kalau sapek aspek apresiasi saja sudah direduksikan pengajarannya menjadi apresiasi sinopsis maka reproduksi sastra pun akan terdepak dari dunia pengajaran. Kurikulum 1984 misalnya, aspek reproduksi tampak pada kelas I dan II, yakni tentang pembuatan cerita pendek sederhana yang merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan pembuatan drama perjuangan yang merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan pembuatan naskah drama perjuangan yang merupakan pokok bahasan menulis.
Dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memberikan porsi bidang sastra lebih besar dari sebelumnya, maka minusnya alokasi waktu akan dapat teratasi. Minimal terkurangi.  Aspek reproduksi juga lebih terkembangkan. Karena dalam kurikulum 1994 siswa dituntut mampu menulis puisi, prosa, dan drama. Sedangkan untuk program bahasa ditambah reproduksi kritik dan esai sastra.
Aspek reproduksi seperti yang diisyaratkan kurikulum 1994 demikian jelas menjadi tantangan bagi guru-guru sastra. Kalau aspek apresiasi sastra saja yang ditekankan dalam kurikulum 1994 sudah banyak melahirkan parodi sumbang maka aspek reproduksi orientasi kurikulum 1994 diharapkan tidak akan memperpanjang pergunjingan akan kegagalan pengajaran sastra selama ini.
Dengan demikian jelas dipersyaratkan figur guru sastra yang benar-benar mempunyai kompetensi resepsi sastra yang andal di samping kemampuan reproduksinya. Sebagaimana bidang seni yang lain , yang memberikan pelatihan reproduksi maka dalam pengajaran sastra tentunya bukan hal mustahil untuk dibinakan. Toh, aneka pengakuan proses kreatif penyair sudah banyak dipublikasikan. Seperti yang terkumpul dalam ‘’Proses Kreatif I, II, III’’ yang dieditori Panusuk Este.
Figur Guru Sastra Alternatif
Dari kendala pengajaran sastra selama ini, maka menyongsong berlakunya kurikulum 1994 dapat dialternatifkan sebagai berikut: Pertama, guru sastra harus benar-benar berkompetensi, baik itu yang bersifat reseptif-kreatif maupun kreatif-produktif. Dalam kriteria ini guru dimaksudkan mempunyai ketajaman apresiasi, wawasan kesastraan, dan mau terlibat dalam proses produksi karya. Kedua, guru sastra hendaknya mau terlibat langsung dalam aneka kegiatan sastra dan budaya, minimal mengikuti lewat media massa. Dengan persyaratan ini dikehendaki guru sastra punya dinamika wawasan kesastraannya. Ketiga, guru sastra harus kreatif mengambil materi pelajaran dari karya-karya yang telah terpublikasikan lewat media massa. Bukan ter’’plot’’ oleh buku paket dan petunjuk apresiasi.
Keempat, guru sastra harus berani memfragmentasikan karya-karya sastra yang sesuai dengan nuansa kejiwaan siswa. Dengan begitu akan diperoleh aneka penghayatan aneka nuansa dan karakter dalam karya sastra. Kelima, guru sastra harus membimbing kemampuan reproduksi siswa dengan pendekatan empiris, kemudian mengikutkannya dalam aneka lomba cipta puisi dan prosa. Keenam, guru sastra hendaknya mempunyai pustaka sastra yang memadai meskipun perpustakaan sekolah tidak memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan sekolah tidak memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan begitu diharapkan guru semakin mengakrabinya.
Ketujuh, kemampuan guru menciptakan semacam ‘’sanggar sastra’’ atau ‘’laboratorium sastra’’. Adanya laboratorium sastra dengan fasilitas yang cukup: ruang pengkajian, lengkapnya pustaka, dan sarana lain yang memadai. Namun sebagaimana disadari bersama, bahwa pengajaran sastra itu pada hakikatnya suatu yang kompleks dan rumit. Maka mesti alternatif ini terpenuhi bukan jaminan akan keberhasilan pengajarannya. Sebab sistem pengajaran secara makro akan tetatp berandil besar, seperti bakat siswa dan iklim sekolah tertentu.
Namun dengan alternatif demikian, kita boleh berharap akan lenyapnya isu kegagalan pengajaran sastra selama ini. Sehingga perjuangan para perumus dan pengembang kurikulum 1994 yang mengalternatifkan alokasi waktu sekitar 30% dalam pengajarn Bahasa Indonesia tidak sia-sia.
Tapi semuanya memang bergantung pada praktik empiris di lapangan nanti di samping sistem pengajaran sastra kita secara makro.
*) Dosen Kopertis VII Surabaya, pengasuh Sanggar Wahana Sastra RKPD Suara Ponorogo, Jawa Timur.

Monday, 15 October 2012

Konser Musikalisasi Puisi Asas Zenith

PROFIL ASAS UPI Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) adalah sebuah unit kegiatan mahasiswa yang bergerak dalam bidang kesusastraan di Universitas Pendidikan Indonesia.Berangkat dari kekhawatiran lesunya gairah kesusastraan di IKIP Bandung (sekarang UPI) khususnya dan nusantara umumnya, maka para pemerhati dan penikmat sastra melontarkan sebuah gagasan untuk mendirikan sebuah wadah yang dapat menampung dan mengembangkan minat dan bakat kesusastraan mahasiswa IKIP Bandung.Gagasan tersebut terwujud saat Unit Kegiatan Mahasiswa Arena Studi Apresiasi Sastra “Zenith” didirikan pada tanggal 12 Desember 1991. Pada mulanya, ASAS Zenith merupakan metamorphosis dari sebuah wadah yang bernama Teater Zenith HMJ Diksastrasia FPBS IKIP Bandung. Namun, mengingat akan eksistensi dan tujuan ASAS dalam mengembangkan dan mewadahi potensi-potensi kesusastraan mahasiswa IKIP Bandung, maka pada Musas ke dua tahun 1993 kata Zenith dihilangkan sebagai ciri bahwa ASAS adalah dari, milik dan untuk mahasiswa IKIP Bandung tanpa dibatasi oleh jurusan disiplin ilmu pengetahuan apapun. Perubahan dan perkembangan ASAS tersebut menjadi pemicu untuk terus bergulir mengembangkan kesusastraan Nusantara.Tidak hanya itu, ASAS juga menjadi salah satu ibu yang banyak melahirkan banyak sastrawan, penulis, kritikus sastra, dan ahli-ahli sastra di Indonesia.Sebut saja (alm.)Moh. Wan Anwar (redaktur Horison), Lukman A. Sya, Widzar Al-Ghifary, Rudi Ramdhani, Dian Hardiana, Yopi Setia Umbara, Heri Maja Kelana dan lain-lain. Karya-karya berupa puisi, essai, cerpen dan novel pun sering menghiasi koran-koran nasional maupun lokal, bahkan sampai ke negeri Jiran dan Belanda. ASAS sebagai organisasi yang bergerak di tengah-tengah mahasiswa UPI.Dengan seabrek kegiatan yang dapat menampung aspirasi mahasiswa dan mampu menjadi wadah untuk menyalurkan bakat mahasiswa, ASAS senantiasa meningkatkan eksistensinya baik secara internal maupun eksternal kampus. Dengan demikian, ASAS mampu menjadi fasilitator akan kebutuhan warga dan sebagai media aspirator untuk merealisasikan apa yang menjadi cita-cita, khususnya memasyarakatkan sastra di semua lapisan masyarakat. Sejauh ini, kegiatan yang sering dilaksanakan adalah diskusi, Apresiasi, kajian, seminar dan materi akademis lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal. Salah satu kegiatan yang mencakup semua hal tersebut adalah Tour Sastra yang merupakan momentum bagi anggota ASAS untuk mengembangkan sastra di sekolah-sekolah dengan cara menjadi tutor bagi siswa-siswa di sekolah bekerja sama dengan ekstrakurikuler yang bergerak pada dunia sastra. Selain itu, ASAS memiliki kegiatan yang berskala nasional, yaitu Fokus Sastra.Acara ini mengundang sastrawan-sastrawan muda se-nusantara.Selain menjalin silaturahmi antara sastrawan muda se-nusantara, acara ini juga bertujuan untuk memperluas jaringan ASAS sebagai suatu komunitas sastra.Jaringan sangat penting bagi sebuah organisasi atau komunitas.Semakin luasnya suatu jaringan, semakin leluasa suatu organisasi atau komunitas bergerak untuk terus maju. Dalam hal prestasi, ASAS memiliki banyak prestasi yang membanggakan, baik dalam tataran kampus (regional) maupun nasional bahkan internasional.Pada bulan Juli tahun ini ASAS berhasil diundang menjadi peserta dalam acara Temu Sastrawan Indonesia II (TSI) di Bangka Belitung.Bulan September ASAS diundang dalam acara Ubud Writer Festival—suatu acara yang berskala internasional.Pada bulan Oktober lalu ASAS berhasil memborong piala (Juara I, II, III Lomba Baca Puisi Piala Taufik Ismail, Juara I Lomba Cipta Puisi, Juara I Lomba Cipta Cerpen) dalam acara Semarak Bulan Bahasa 2009—suatu acara berskala nasional yang dilaksanakan di Serang, Banten.Bulan November lalu ASAS diundang juga dalam acara Temu Penyair Nusantara di Kuala Lumpur, Malaysia.Tahun 2011 ASAS kembaldi undang dalam acara Tem Penyair Nusantara di Palembang.Banyak prestasi yang diraih ASAS dalam enam belas tahun perjalanannya dan tentunya ASAS mampu menjadi bagian dari sejarah sastra negeri ini, Indonesia. Selain melahirkan banyak penulis, ASAS juga melahirkan banyak apresiator khusunya di bidang musikalisasi puisi. Salah satunya group musikalisasi Hajar Aswad, Paretere, Rudi Ramdani. Pada tahun 2007 grop musikalisasi puisi Asas Zenit dibentuk sekaligus pada acara fokus sastra 2007 dimeriahkan dengan konser musikalisasi puisi Asas Zenit. Karya-karya mereka tidak pernah berhenti. Dalam acara fokus sastra yang akan diselenggrakan pada tanggal 15 Desember 2012. Asas Zenit kembali menggelar konser kedua kalinya dalam rangka reuni konser bertujuan mempererat silaturahmi dan mengenalkan karya-karya musikalisasi terbaru.  

Tuesday, 9 October 2012

Musikalisasi Puisi Tawis Soca-Eti RS

Friday, 5 October 2012

Praiseworthy poets at Summit County Library



Praiseworthy poets at Summit County Library
A selection of great books for the poetry-inclined
By Mary Snook
Special to the Daily


It's a snowy winter evening. There's a power outage, leaving my television, computer and CD player out of commission, and me at a loose end for something to do. I scan my bookshelves by flashlight and select a volume of poetry. I stoke the wood stove, set out some candles and settle into an armchair to keep company with Walt Whitman, whose presence seems to occupy my room just beyond the circle of candlelight.

You don't have to wait for a power failure to fall under the spell of poetry, however. The Summit County Library houses the works of a host of classical and contemporary poets from around the world, including a selection of Spanish language and bilingual editions.

For starters, “An Invitation to Poetry: A New Favorite Poem Project Anthology” and “The Language of Life: A Festival of Poets” both offer an enticing smorgasbord of poems for readers to sample. The CD entitled “Poetry Speaks, Expanded” features poets from Tennyson to Plath reading their own work.

Aspiring poets can consult “Ordinary Genius: A Guide to the Poet Within,” “The Rhythm Method, Razzmatazz, and Memory: How to Make Your Poetry Swing” and “Poet Power! The Practical Poet's Complete Guide to Getting Published.”

Kids are naturals when it comes to poetry, for they are constantly improvising with vocal variations even before meeting up with Mother Goose. Our Summit County Library shelves at all three locations (Frisco, Breckenridge and Silverthorne) are well-stocked with children's books and audios such as “Poetry Speaks to Children,” a selection of world poetry with accompanying CD, “A Family of Poems: My Favorite Poetry for Children" by Caroline Kennedy and “If Not for the Cat: Haiku” by Jack Prelutsky.

The electricity comes back on, and the refrigerator starts humming. But I don't get up to turn on the light. Instead I nestle down deeper into the easy chair and linger over my book of poetry while the snow falls outside.

Info: http://www.summitdaily.com/article/20121005/AE/121009925/1078&ParentProfile=1055

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (2)


Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (2)
Posted by PuJa on October 4, 2012
Maman S Mahayana
Riau Pos, 30 Sep 2012

MARI kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah//. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling -tombak pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan dengan seorang bocah -dan tidak anak-anak atau anak kecil- sehabis sekolah. Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para pelajar -anak-anak sekolah- pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah) selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling?
Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu. Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga sebagai lapangan tempat bermain mereka.
Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat bermain dan menghabiskan waktu luang. Lihatlah para bocah yang menjadikan dermaga Merak -Bakauheni atau Gilimanuk-Ketapang-Banyuwangi, sekadar menyebut beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan teks buku di sekolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata: asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang dicecap.
Nah, si bocah, boleh jadi menemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Jadi, frasa sehabis sekolah mengisyaratkan dua makna: dalam pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis.
Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/ sehabis badai// adalah realitas kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan keganasannya sebagai sekolah alam; dunia nyata yang sesungguhnya selalu menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru. Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja.
Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia nyata (badai) yang ganas penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu, juga tidak dapat menghindar dari tarikan sekolah alam -laut- yang sudah menjadi bagian dari lapangan permainannya. Oleh karena itu, penemuannya tentang tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah menyerah? Tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa?
Pertanyaan -siapa- sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah atau sesiapapun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak menangkap isyarat apapun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya, sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri.
Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si bocah -yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong. Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai- sebuah berita kematian! Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak menghendaki peristiwa tragisitu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang//.
Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi. Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran tak ada tanda-tanda atau isyarat apapun: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// maka bait berikutnya: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca dan karang adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga? Itulah misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah kini yang telah menyerah?/telah kalah?/
Pada bagian ini, segera muncul pertanyaan: mengapa dia menyerah, kalah Meski bagi saya kata menyerah dan kalah kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai, pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/kalah?// Mengapa harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda?
Di sinilah uniknya puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran adverbia -telah- yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi, bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu pilihan pada kata itu bukan perkara -meminjam pernyataan Sutardji Calzoum Bachri- salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi. Dia pulang ditelan alam.
Oh, rupanya tanda-tanda tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang// Apa pula maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, dua larik itu, Pindahkan pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi segala apapun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan, persiapan, kalkulasi dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat, sebelum datang penyesalan.
Lalu, apa pula maknanya dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran -menangkap ikan- selalu di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah! Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai.
***
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Bait ini -dengan kemunculan aku lirik- seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan, bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita. Si bocah berada pada posisi yang -terpaksa- harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada usia yang tidak perlu memikirkan apapun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya.
Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru-gugur, lesap-lewat-tingkap, tersuruk-tungku-menunggu, di antara-gelap. Penyair tampaknya sadar betul pada kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh sebagai analogi kematian seseorang.
***
Berbeda dengan kisah bocah yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga, tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak diketahui entah berada di mana.
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
Kini segalanya sudah terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang nelayan sejati! Dan tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut, tentang kepahlawanan seorang nelayan!
Perhatikan larik-larik di bawah ini:
Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Bait akhir ini makin memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan, bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di mana akan kutuliskan/rinduku// boleh jadi, puisi ini merupakan representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa lalu. Dan puisi Tempuling telah memancarkan mukjizatnya!
***
Tafsir puisi Tempuling ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di luar teks. Puisi Tempuling adalah kisah kepahlawanan nelayan dan Rida K Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak basi.
Tempuling sebagai pengalaman individual penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan sejati. Maka, puisi Tempuling makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair (: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya. Semoga begitu!
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/09/menikmati-puisi-menafsiri-tempuling-2.html

Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (1)


Menikmati Puisi, Menafsiri Tempuling (1)
Posted by PuJa on October 4, 2012
Maman S Mahayana
Riau Pos, 23 Sep 2012

PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.
Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).
Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana… yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***
Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.
Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.
Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?
Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.
Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.
Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.
Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***
Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!
***
Tempuling
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang
Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?
Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!
Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.
Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!
Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.
Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.
Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/09/menikmati-puisi-menafsiri-tempuling-1.html

Pesta Puisi, Spiritualitas dan Mosaik Puitik Kostela


Pesta Puisi, Spiritualitas dan Mosaik Puitik Kostela
Posted by PuJa on October 4, 2012
(Sekedar Komentar pada Buku Puisi “Kabar Debu”)
Mashuri
Jika puisi adalah Pesta, itulah pesta yang bertahan melawan musim,
di tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang
—sebuah keriangan pesta bawah tanah.
Octavio Paz

1/
Kini puisi bukan hanya sering salah dihargai, sebagaimana yang pernah disinyalir Goenawan Muhamad dalam sebuah esai tahun 1992, tetapi puisi seperti telah kehilangan daya dan yoni. Para penyair seakan telah kehilangan kata-kata karena suaranya telah dijambret media, mulut politisi dan suara-suara lain yang demikian hiperreal, hingar dan begitu mendesak masuk ke ruang kita, sekaligus memaksa kita untuk mendengarnya. Hanya saja, meski kini puisi menjadi sebuah suara yang ‘fakir’, tersingkir, yang semakin mengecil dan terasa sayup di zaman yang begitu riuh, tetapi puisi harus tetap disuarakan, dipestakan, dan ditarikan, karena puisi adalah suara yang lain, suara nurani, juga suara kemurnian yang lahir dari ‘guyuran waktu murni’, meminjam istilah Octavio Paz.
Oleh karena itu, apapun nawaitu-nya terbitnya Kabar Debu layak dirayakan, dipestakan. Begitu diminta turut merayakan buku puisi tersebut, saya langsung teringat pada penyair Ka, dalam novel Snow karya Orhan Pamuk. Ka demikian bergairah menulis puisi kembali setelah beberapa tahun merasa disapih dan ‘tidak dihadiri’ puisi. Begitu ia datang ke sebuah kota ‘asing’ dan jarang dikunjungi orang, apalagi berjumpa dengan seorang kekasih lama yang demikian memikat, puisi pun kembali hadir di hatinya. Ia merayakan kehadiran puisi dalam lawatan itu dalam sebuah pesta, tetapi tentu saja pesta tersebut seperti apa yang diungkap Paz yang saya nukil dalam awal tulisan ini: pesta di tempat yang jarang dikunjungi orang: pesta bawah tanah. Kegembiraan pesta bawah tanah ini harus dirayakan. ‘Pesta bawah tanah’ ini adalah langkah asasi kita dalam menjaga marwah kemanusiaan, agar kita tetap menyadari sisi-sisi manusiawi kita.
Tentu saja, kawan-kawan Kostela berbeda dengan penyair Ka tersebut, hal itu karena Kostela termasuk segelintir komunitas sastra di Tanah Air yang masih dan terus ‘istiqomah’ memestakan puisi. Sebuah ‘pesta’ yang menggali sunyi, menakar ke dalam diri, mengais makna dari kesementaraan dan sepi. Tak heran, memestakan puisi dimaknai sebagai sebuah ikhtiar menari dengan makna. Ihwal menari dengan makna ini, Goenawan dalam sebuah esainya pada 1972, pernah menujum: “Kematian kesusastraan bukanlah karena sensor dan pemberangusan, ialah bila ia membuat kita semua tidak bisa lagi menari dengan makna.” Dengan niat itu, tulisan singkat yang tak lebih sekadar komentar ini juga tak lebih dari ikhtiar ‘menari’ dengan makna, semacam perayaan pembacaan dan pesta penafsiran pada beberapa puisi kawan Kostela.
2/
Dalam Kabar Debu terdapat beragam mosaik puitik yang digelar kawan-kawan Kostela. Banyak puisi yang menarik, ada beberapa puisi yang sudah jadi, ada pula puisi yang menuju jadi, terutama dari kawan-kawan Kostela generasi baru. Meski demikian yang patut dicatat adalah adanya ikhtiar untuk regenerasi, meski puisi-puisi yang baru belumlah segelimang penyair-penyair sebelumnya seperti Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling, Alang Khoirudin, Syaiful Anam dan Imaduddin SA. Hal itu memang wajar. Walau begitu bukan berarti puisi-puisi dari kawan-kawan baru tersebut tanpa kekuatan dan keistimewaan. Bahkan, di antaranya terdapat puisi-puisi yang menakik tema-tema berat, seperti maut, mitos dan spiritualitas, dengan sebuah sudut pandang baru bila dibandingkan dengan tradisi perpuisian Indonesia. Oleh karena itu, dengan berpangkal pada ‘pleasure the text’, saya ingin mendekati puisi kawan-kawan Kostela dengan titik simpul pada masalah-masalah tersebut, terutama dari nuansa spiritualitas, mitos dan maut, karena hampir semua penyair menyuguhkan masalah tersebut.
Dari kawan Saipul Apet, terdapat sebuah puisi yang mengunggah ihwal maut dengan cara yang berbeda. Judulnya “Dongeng Sebelum Mati”. Judul sajak ini segera mengingatkan kita pada sebuah sajak Goenawan Muhamad, “Dongeng Sebelum Tidur”. Jika puisi Goenawan mengungkap ‘dongeng’ ihwal gundah gulana Prabu Angling Dharma ketika harus menghadapi sang isteri yang telah ‘berselingkuh’ dengan patihnya Batik Madrim, Saipul Apet mengunggah ihwal kematian. Tetapi kematian yang dihadirkan Saipul, bukanlah sebuah kematian yang selama ini selalu menjadi rahasia dan ‘ruang nganga’ para penyair kita, sebagaimana Chairil Anwar (dalam “Aku”) dan Soebagyo Sastorwardoyo (dalam “Dan Kematian Makin Akrab”), sehingga maut menjadi simpul yang bernuansa eksistensial. Maut, bagi kebanyakan penyair adalah sebuah wilayah antara yang begitu rahasia dan sunyi maha sunyi. Banyak penyair yang menganggap bahwa di sana adalah sesuatu yang tak terbayangkan. Di sana, imajinasi seakan-akan terkotak dan selesai. Tak heran, banyak penyair mengunggah ihwal maut ini dalam kerangka eksistenis: antara ada dan tiada. Saipul Apet mencoba memandang maut sebagai sebuah hal yang mengundang tawa dan komedi. Sebagaimana kutipan: “Membayangkan kematian/ Tak bisa kutahan tawa.“ Selain itu, terdapat puisi lainnya. Di antaranya puisi yang bernada sederhana tetapi menggunakan teknik reduplikasi juga menarik, di antaranya dalam “Untukmu”.
Di sisi lain, seorang Saiful yang lain, yaitu Syaiful Anam, mengunggah tentang mitos. Penyair yang satu ini agak ‘unik’ karena puisi-puisinya pada masa lampau lebih puitis dari puisinya sekarang. Jika puisinya pada masa lampau bisa masuk kategori ‘puisi’ untuk ‘puisi’, tetapi pada masa-masa ini, puisinya lebih memberat pada pesan dan verbalitas. Saya kemudian teringat pada apa yang diungkap Octavio Paz, bahwa ‘pada zaman dulu, puisi dan agama, ilmu pengetahuan dan magic, nyanyian dan tarian, ada satu dan merupakan barang yang sama’. Saya berpraduga bahwa ada hasrat yang demikian besar dari Syaiful untuk kembali ke masa lalu. Jika tidak percaya, bandingkan tiga puisi dalam ‘Kabar Debu’. Puisi pertama ‘Kupukupu di Dada’ adalah sebuah puisi yang utuh. Ia telah menjadi dunia tersendiri tanpa harus bersandar pada dunia di luar dirinya. Ia adalah sebuah dunia kupu-kupu yang pernah hinggap di dada, pada sebuah ‘malam yang rapuh’.
Kupukupu di Dada
matahari melipat senja di langit dadaku
kemudian mengendap di dadamu
tapi kita lupa bahwa di dada kita
pernah ada seekor kupukupu
dengan sayap luka
menyisir malam yang rapuh.
Lamongan, 2003
Pada puisi kedua ‘Iblis’ dan ketiga ‘Jadzab’, kita melihat bahwa puisi-puisi itu memerlukan dunia lain sebagai tempat bersandar. Beban pengetahuan atau metafisisnya demikian besar. Namun, bukan berarti puisi ini tak bisa dijadikan sandaran. Ada keinginan besar dalam puisi-puisi itu untuk mengembalikan atau mensenyawakann antara ‘agama dan puisi’ dan medan makna di sebaliknya. Iblis, adalah sebuah simbol yang superbesar dalam karya-karya sufistik. Ia menyimpan jejak dekonstruktif dan kontradiktif tersendiri terkait dengan masalah keimanan. Bahkan, ada yang mengganggap bahwa Iblis ingkar pada Tuhan karena ia tak ingin menyekutukan Tuhan. Ia menolak perintah menyembah pada Adam karena yang berhak disembah hanyalah Tuhan semata. Begitulah tafsir yang berkembang. Pada ‘Jadzab’ yang diunggah juga tentang spiritualisme, sesuai dengan judulnya. Ada jejak-jejak khasanah lama di sana, terutama dalam mantra-mantra pesisir, terutama dalam frase ‘kerudungku Jibril, tongkatku Muhammad”. Tetapi yang jelas puisi ini berbicara tentang tercerabutnya diri karena kekuasaan dan kekuatan cinta pada “Nabi/Tuhan” atau daya tarik sesuatu di luar diri yang demikian besar dan menghilangkan diri.
Sebagaimana puisi Pringgo HR lain, puisi ‘Cerita Malam Itu’ adalah puisi yang mengunggah sebuah kestabilan jiwa. Secara isi, hubungan ‘aku’ dan dunia mampu saling menopang: berdiri sendiri. Dalam puisi itu, penyair mengeksplore unsur simbolik perahu, maut dan malam. Meski puisi ini berpotensi ke arah seorang kekasih ‘berdaging’, tetapi unsur spiritualitasnya bisa saja pada ‘nir-daging’. Perahu, dalam ranah puisi kita pernah menjadi sebuah simbol bermuatan dari ikhtiar atau jalan pencarian manusia dalam mengarungi lautan mencari kebenaran sejati. Hal itu sebagaimana ‘Syair Perahu’ dalam khasanah Melayu Lama, yang pernah digurat penyair sufi Hamzah Fansuri. Perahu itu kini dalam puisi ‘Cerita Malam Itu’ diminimalisasi menjadi ‘perahuperahu kecil’ yang ‘mengusung cita-cita kecil sampai jalanan jenazah’. Berikut ini kutipannya:
Cerita Malam Itu
malam tak pernah bisa membungkusmu dalam gelap
tepian sungai, rindumu yang sesat mengeruh deras air
perahuperahu kecil tak mungkin aku larung di sedemikian malam
akan retak dan rabun
jejakjejak basah tilas nistamu memaksa perahu berangkat
memberi jelas engkau bukan setulus embun mengecup
luka rumputan sehabis siang terik
ketika kerumun orang berteriak perahu lebam dan nanah
tenggelam aku dalam bising
jalan telah lumpur cerita malam nekatmu
membikin sia puluhan tahun aku menganyam serpih papan
perahuperahu kecil mengusung citacita kecil
sampai jalanan jenazah
—lumpuh—
engkau menguburku
dalam kubang gunjing peristiwa
malam itu
Babat, 5 Mei 2011
Nurudin Zanky juga berbicara banyak hal dalam puisinya. Beberapa puisinya pun sudah kelihatan bentuknya dan sangat potensial untuk berkembang. Saya mencoba membaca sajaknya yang memiliki unsur spiritualitas, terutama dalam ‘Suatu Sore di Pantai Tuban’. Puisi ini bisa dikatakan sebagai sebuah puisi suasana. Potret tentang sebuah pantai, yang ‘kering’ dan ‘terakhir’ tampil dengan sketsa, sebagaimana dalam sajak ‘Laut Terakhir’. Dalam sajak ini juga berbicara tentang perahu. Namun simbolisasi perahu bisa saja, berkaitan dengan soal waktu, bukan soal sebuah sarana yang bisa menjadikan seorang anak manusia untuk bermain dengan ‘gelombang’.
Unsur-unsur spiritualitas juga tampak dalam karya Luthfi Sepat. Di antaranya adalah ‘Kamboja Senja’. Puisi ini mencoba memaknai ihwal ‘kamboja’ dan ‘senja’ yang dalam terminologi tafsir kepenyairan kita selalu mengarah pada soal maut dan waktu abadi yang hendak menjemput. Kamboja sebagai lambang maut, sebagaimana mawar sebagai lambang cinta memang menjadi klasik sebagai metafor. Namun, di sini, sebagaimana Saepul Apet, yang tidak takut menghadapi maut, Luthfi pun demikian. Memang, bahwa ‘kuncup kamboja’ itu telah ‘merantak’ sampai ke ‘pesisir jingga’. Tetapi itu adalah sebuah niscaya, jika kita memandangkanya ‘dalam ranum kemboja-Mu’. Tentu akan berbeda jika kita membacanya di luar ‘ranum kamboja-Mu’.
Luqman Almishr juga bicara tentang spiritualitas maut. Meski demikian, beberapa sajaknya yang benih berbicara tentang banyak hal, ihwal kesepian, penantian, juga kerinduan. Dalam “Malam Perkabungan”, kita melihat sebuah kejernihan serupa dalam memandang maut. Tema maut memang digandrungi oleh para penyair kita, sebagaimana yang telah dinyatakan di atas, di antara yang cukup fenomenal, mulai dari Chairil Anwar (dalam ‘Aku’, ‘Nisan’, ‘Kerawang-Bekasi’ dan lainnya), hingga dua almarhum: Kriapur (Solo) dan Beni R Budiman (Bandung). Sajak Kripaur ‘Menjadi Batu di Dasar Kali’ adalah nujum mautnya sendiri. Adapun buku kumpulan puisi Beni R Budiman, ‘Penjaga Makam’ adalah penanda bakat dan pengabdiannya, dan kehadirannya yang demikian sementara di atas bumi. Tetapi dalam sajak ini, penyair dengan jernih mengakrabi maut. Maut bukanlah rahasia, ‘ia telah melangkah dengan doa, tertawa bersama sepi’. Sebagaimana Saipul Apet, Luqman juga menghadapi maut dengan tertawa, bahkan ia menolak tangis juga sesal. Berikut kutipannya:
Tak perlu kau tenggelam
dalam tangis bulan
tak usah kau mengirim sesal
ke palung hatimu
Unsur spiritualitas juga nampak dalam sajak Kacoeng Latief Al Chusnan. Saya melihat terdapat gejala Atavisme dalam sajaknya yang berjudul ‘Awal’. Dalam sajak, yang berusha mengeksplore kata basmalah yang dalam setiap suku katanya bisa dijadikan sebuah baris sajak, mengingatkan saya pada mantra-mantra lama Jawa atau Melayu Kuno. Namun, tentu ada yang rumpang di sana, karena pertalian alphabet capital seakan menyuguhkan sebuah tafsir yang lain. Engkau dan Aku dengan huruf kapital, menandaskan bahwa ada subyek yang sebanding yang sedang berdialog di sana. Sajak-sajaknya yang lain juga ada yang mengunggah ihwal abjad kapital yang segera kita bisa runut sebagai pronominal persona Tuhan.
Sajak Jirin TM juga berbicara tentang spiritualitas. Jika ia menggarapnya dengan kesabaran dan kebeningan metafor, sajak-sajaknya berpotensial sebagai sajak-sajak imajis, seperti haiku Jepang. Dalam ‘Dermaga’, penyair juga menggunakan simbol perahu, yang dalam kumpulan sajak ini, juga digunakan beberapa penyair lain dan cukup utuh bisa kita lihat pada sajak Pringgo HR yang sudah dikomentari. Dalam sajak ini, penyair memotret dermaga. Benda-benda seperti bernyawa, sayangnya ada alur yang rumpang, simbolisasinya pun jumpalitan. Namun, secara umum, dermaga bisa dimaknai sebagai tempat bersandar yang lalu-lalang: tempat perahu berasal dan kembali.
Sementara itu, sajak-sajak Ishaq Fathoni R juga berbincang tentang banyak hal, tetapi saya suka sebuah sajak pendeknya yang bertajuk “Zikir Segelas Air”. Sajak ini berbeda dengan sajak Ishaq lainnya. Sebagaimana air dalam gelas, saya bisa merasakan kebeningan dan kejernihan sajak itu. Pilihan katanya tepat, tanpa perlu ‘riuh’ dan berhasrat bicara yang besar. Ia berbicara tentang waktu subuh, aku yang rindu pada segelas air putih, air putih yang tentu berembun pada malam hari, tetapi yang diembunkan adalah “namamu”. Tanpa berpretensi menjadi religius, sebagaimana judulnya yang ada ‘zikir’, sesungguhnya dalam dirinya, sajak ini sudah menyimpan arus religiusitas.
Zikir Segelas Air
Selepas subuh
Aku selalu rindu
Pada segelas air putih
Yang mengembunkan namamu
Batu, 25 September 2011
Dalam Kabar Debu, banyak sajak Imaduddin SA yang menarik. Sajak-sajak yang ranum. Beberapa di antaranya terdapat ikhtiar untuk memasukkan sajak berbahsa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, juga ada upaya membaca mitos-mitos yang ada. Yang agak mengganggu sebenarnya adalah sajak Jawa-nya, yang memiliki pretensi besar untuk berfilsafat. Selain itu, adanya potensi besar terjebak dalam lokalitas Jawa dalam arti harfiah dan tidak spiritnya. Dalam alam sajak modern, kehendak berfilsafat, apalagi dari sebuah bahasa yang berbeda dari bangun sajak secara keseluruhan bisa berbuah menjadi anomali. Hal itu akan berbeda rasanya, jika yang diunggah bukan sekedar nilai-nilai kebijakannya, tetapi masih menggunakan kadar sajaknya. Sebagaimana kita tahu, sajak dalam kesusastraan Jawa berakar panjang, mulai dari kakawin hingga sampai pada masa gagrak anyar, hingga pasca gagrak anyar. Ihwal ‘kekurangpaduan’ itu tampak dalam sajak ‘Di Garis Batas Waktu’ ada dua bait puisi Jawa: sejatining urip mung sadermo/ ora bakal nyono pesti iro, dan wong aji bakal nyawiji/ dadi pertondo kang didoleki.
Hal itu berbeda dengan yang ada pada ‘Suatu Malam Dalam Sebuah Kamar’. Dalam puisi itu, bait-bait Jawa masih kelihatan puisinya, sehingga tetap menarik: kaleming laku njejeke sabdo imanku/ sapecak-pecak nginggilake saf magatruh/ nglingsirno angkuh lebur sajroning pasrah/-lemah-/. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental di sana, dan terjaga. Ikhtiar penyair ini untuk memasukkan lokalitas Jawa, anasir-anasirnya dan muatan maknanya patut diapresiasi. Tidak mudah untuk melakukan hal ini karena perlu penyelaman yang lebih jauh terhadap khasanah-khasanah Jawa tersebut. Sementara itu, ihwal pembacaan mitos dan spiritualitas, bisa didapati pada sajak “Kali Maya”. Dalam sajak tersebut penyair berusaha menyelami kembali apa yang pernah terjadi pada perjalanan Kalijaga. Sementara itu, dalam ‘Melebur Luka Lara’. Pralambang Jawa dan anasir-anasirnya begitu kental dengan memadumadankan dengan pertarungan purba manusia, baik pada Habil-Qabil, Pendawa-Kurawa dan lain-lainnya. Di sini tergambar dengan liris, bagaimana manusia hadir di dunia dengan segala kontradiksinya.
Melebur Luka Lara
tentu, aku tengah menumpah darah
pada lembar sajadah
sebab tak mungkin hawa
hanya melahirkan habil tanpa wajah qabilnya
dan malam ini
sesabit bulan telah terlukis pandang
walau hanya seklebat bayang
yekti nyekseni brotoyudo katunggon pandowo
sileme kolo bebungahe manah: bali dadi bocah
kulihat pesta kemenangan telah dirayakan
dari akbar peperangan jalan
kudengar genderang takbir mengalun sedang
nyanyian tahmid sahut berkumandang
melebur luka lara
gaib dan nyata
antara hati dan raga
antara kesucian dan dosa
Lamongan, September 2010
Unsur spiritualitas juga terdapat pada sajak-sajak Mas Herry Lamongan. Hal itu di antaranya bisa kita lihat pada ‘Taman 1’. Dalam puisi itu, kita bisa ‘membilang’ kesementaraan kita dan ‘kekalkan musim yang terus menerus akan tiada’. Segala bakal terjadi, begitu ‘lekas’, ketika kita bertualang ke dalam gerbang: ‘memasuki engkau’ yang berbait ‘99’. Berikut ini kutipan sajak “Taman 1”
Taman 1
memasuki engkau
lekas benar 99 bait lahirmu
mengundang gema
seperti kalender membilang umur
sepanjang tahun
dari rabu ke rabu kita bersulang
kita gemburkan tanah
kita kekalkan musim yang terus menerus
akan tiada
8/10/2011
Penyair yang sangat bergairah yang memiliki nama mirip Mas Herry Lamongan adalah Heri Listianto. Jika ia tekun untuk berproses dan terus mencoba untuk mengeksplore gaya ucap beberapa sajaknya bisa menjadi pengisi celah sajak yang selama ini alpa dalam tradisi perpuisian Tanah Air. Tetapi jika ia ‘berhenti’ pada titik ini maka sajak-sajaknya serupa berita di koran-koran dan majalah atau televisi. Hal itu bisa dilihat pada beberapa sajaknya, dalam Democrazy, kita bisa melihat ikhtiarnya. Yang harus dijawab oleh penyair ini adalah kenapa ia menggunakan alfabet capital untuk negara. Saya berharap dia tidak menjawab bahwa itu adalah sebentuk licentia poetica bagi penyair. Saya tertarik dengan puisinya “Mati Rasa” yang ditujukan untuk binatang jalang, dan juga di dalamnya terdapat negara dengan alphabet capital. Dalam sajak itu, ada ikhtiar untuk mengawinkan antara yang ‘dalam’ dan ‘luar’, antara mitos lama dan mitos baru, dan lainnya, tetapi beberapa pilihan kata belum bisa menghidupkan sajak, tetapi kata yang memilihi beban referensial panjang, seperti binatang jalang, Negara, Sri, Indonesia, Gudang Uang. Jika tidak hati-hati, maka penyair bisa terjebak pada diksi anti-puisi. Berikut ini kutipannya:
Sebagaimana Heri Listianto, sajak Fathur Rohim berbicara banyak hal, tetapi saya tertarik pada ‘Jangan Mengadu Padanya’. Sajak ini adalah sajak yang sederhana, juga aneh. Ada beberapa lompatan metafor, seperti guman seorang kanak, yang tak terduga tetapi jujur. Memang terkesan lugu dan naïf. Dan, di situ sebenarnya letak kelebihannya. Hanya saja, karena di penghujung akhir sajak terdapat –Nya, maka kenaifan yang terbangun sejak awal menjadi mentah. Jika -Nya itu, ditulis -nya saja, kiranya kenaifannya akan menjadi sebuah gaya persajakan yang menarik, apalagi pada baris terakhir muncul ‘aku’ lirik yang sejak awal disembunyikan. Ini kutipannya:
Gunung-gunung merata
Gunung-gunung terlobangi
Ulah kucing-kucing kuning berbuat
Lautan jadi kopi
Karang-karang menjadi lumpur
Ikan-ikan menjadi tuna wisma
Ulah kebo hitam berbuat
Urutan selanjutnya adalah Bambang Kempling. Sebagaimana sajak Herry Lamongan dan Pringgo HR, sajak-sajaknya adalah sajak utuh. Adapun terkait dengan masalah spiritualitas, saya ingin mengutipnya dari sajak ‘Di Sebuah Ruang’. Dalam sajak ini, dalam perulangan ‘kau tersipu’ terdapat dua hal kontras hadir dalam keserentakan. Pada bait pertama, ‘tembang kanak-kanak’ bisa ‘menjelma ajal’. Pada bait kedua, ‘tak setitikpun derai gerimis singgah’ bisa bersatu padan dengan ‘jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok’, dan tentu saja pada bait ketiga, yang ‘wajah’ tak dikenal dan ‘rahasia debu’.
Di Sebuah Ruang
Kau tersipu ketika tembang kanak-kanakmu mengalun kembali di antara kering ilalang lewat lirih suara dan tiba-tiba menjelma ajal.
Kau tersipu ketika tak setitikpun derai gerimis singgah lalu memendarkan kesahajaan dan kesetiaan daun jendela yang senantiasa berkabar bahwa jalan setapak menuju ziarahmu tak lagi berkelok.
Kau pun tersipu ketika tak kau kenali wajah yang kau simpan sendiri dalam benakmu
Betapa sulit menerjemahkan itu, sementara tarian kupu-kupu di pagi hari kepaknya teramat sunyi
:rahasia debu.
19 Oktober 2011
Sajak-sajak Alang Khoirudin, ternyata sebagai menu penghabisan dalam Kabar Debu. Sajak penyair satu ini sebenarnya sudah memiliki gaya ucap yang khas. Saya melihat sajak-sajaknya bisa dikatakan sebagai kekhasan ‘mazhab’ sajak Kostela pasca-Hery Lamongan, Pringgo HR, Sutardi, dan Bambang Kempling. Sajak-sajak Alang memiliki kemiripan dalam hal gaya, obyek, serta muatan-muatannya sebagaimana sajak-sajak Saiful Anam dan kawan-kawan seangkatannya, dan ‘menitis’ pada sajak Imaduddin SA, meski penulis yang terakhir ini mengembangkannya dengan perspektif sendiri yang lebih kompleks. Meski demikian, sajak Alang juga memiliki ciri tersendiri, termasuk sajak matang, menarik, dan berbobot. Dalam sajak ‘Makrifat Purba’, kita disuguhi tentang perjalanan batin diri, yang mengandung perjanjian azali.
Makrifat Purba
Sebelum ada sesuatu
Tuhan telah bercakap dengan begitu salju
‘Aku adalah kabar bagimu’
Lantas aku
serupa pecinta yang gemulai
membikin seyum di dataran pipi
merona
tanda syahadah atasmu
Kemudian
saat rahim membuka kelopaknya
aku menjejaki lembah demi lembah
aku menyusuri sepi demi sepi
berharap saut mesra denganmu
Adakah terlalu lampau
semesta makrifat purba ini
sampai pengetahuan atasmu terjajah
3/
Demikianlah, sekelumit komentar tentang sajak-sajak dalam buku Kabar Debu. Sebagai komentar, tentu tulisan ini tak berpretensi sebagai sebuah analisis yang mendalam dan komprehensif. Komentar ini pun tak lebih hanya sebagai sebuah ikhtiar untuk turut memestakan puisi yang digelar hari ini. Semoga bisa menjadi pengantar perbincangan tentang puisi yang inspiratif, imajinatif, dan bermanfaat. Wallahu waliyyut thariq.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/pringgo-hr/makalah-launching-kabar-debu-23-januari-2012/10150499660920079

Wednesday, 3 October 2012

Textbook Poem By President's Daughter Causes Kerfuffle In Azerbaijan


Textbook Poem By President's Daughter Causes Kerfuffle In Azerbaijan
October 2, 2012 - 10:22am Azerbaijan
A EurasiaNet Partner Post from:  RFE/RL

Whatever your opinion of Azerbaijan's first daughter, Leyla Aliyeva, you have to admit that she is pretty prolific. Indeed, when it comes to her artistic, social, and cultural interests, the eldest child of authoritarian President Ilham Aliyev has far more pies than she has fingers to put in them. Besides being vice president of her mother's charitable Heydar Aliyev Foundation as well as one of the main players in Azerbaijan's aviation and telecommunications industries, she also somehow finds the time to carry out her duties as editor in chief of the "Baku" style magazine. According to Aliyeva's own snazzy website, her other accomplishments include being a business guru, friendship ambassador, and environmental campaigner. Throw in the fact that Aliyeva is also a visual artist, movie producer, and poet, it seems that she is quite the Renaissance woman (or at least a pretty enthusiastic dilettante). Her literary talents were recognized recently when one of her poems was included in a school reader for fifth-graders. Aliyeva's "Elegy" for her late grandfather and former Azerbaijani President Heydar Aliyev appears in the textbook alongside the work of revered Azeri writers such as Cafar Cabbarli. As this brief excerpt illustrates, it's a heartfelt tribute to the third president of independent Azerbaijan and expresses Aliyeva's sadness at his passing: I wish I was a bird flying to the stars And that the moon illuminated my way And I wish I met you there And we turned together toward Earth Listen to the whispers of my grief – I know well what separation is! I wish the winds would spread the cry of my heart To the whole universe The poem, however, (which carries on in the same vein for another six stanzas) is not universally appreciated and there are even people who have criticized its inclusion in an official school reader. Some have actually suggested that the poem's publication in the book might have more to do with Aliyeva's status in Azerbaijan than with her literary talent. "Maybe the girl [Aliyeva] herself doesn't know about this," prominent writer Akram Aylisli told RFE/RL's Azerbaijani Service. "Flattery is so widespread in this country that maybe somebody just took this poem and included it in the book. Schoolbooks have been never been as bad as they are now." Opposition blogger and activist Zaur Qurbanli went even further. "This is the poetry of the daughter of the dictator Ilham Aliyev," he wrote on September 25. "Look what we are coming to. This is the method of poisoning our children. We should protest as much as we can." Unfortunately, Qurbanli didn't get much of a chance to participate in any demonstrations. He was detained on September 29 in connection with illicit drug operations and "illegal documents and objects" that were found in his office. The authorities have tried to play down any controversy over "Elegy." The head of the Schoolbooks Department of the Azerbaijani Ministry of Education, Faiq Shahbazly, simply described the inclusion of the work in a school anthology as "normal." "It has not been included in a main textbook; it's a complementary reader" he said. "And the poem itself is very nice.

Info: http://www.eurasianet.org/node/65991

Ekapisme Dalam Politik Sastra


Ekapisme Dalam Politik Sastra
Posted by PuJa on October 3, 2012
Happy Ied Mubarak
Radar Banjarmasin, 26 Agu 201

Banjarbaru semakin digadang-gadang menjadi kota kebudayaan dan kesustraan. Saya percaya benar bahwa meski publik sastra Banjarbaru mungkin tidak lebih baik daripada di kota dan kabupaten lain di Kalimantan selatan tetapi setidaknya kota ini punya inisiatif dan dukungan infrastruktur yang relatif lebih siap dibanding kota dan kabupaten lainnya, meski harus saya akui saya tidak banyak mengetahui dinamika kesusastraan di kota-kota yang dimaksud.
Ada berbagai konsep yang telah, sedang, dan akan siap-siap untuk digagas untuk ditampilkan di panggung bundar Mingguraya setiap bulannya. Dari yang konvensional, sekadar baca puisi, duet, bermonolog dll hingga ekspresi sastra kontemporer sampai ke beyond innovation seperti tarung puisi. Yang terakhir ini konon murni kreasi dari maestro kita, Ali Syamsudin Arsy (ASA). Kalau di TPI ada tarung dangdut, kenapa di Mingguraya tidak boleh ada tarung puisi? Di luar dari pro kontra tentang hukum-hukum estetikanya, tarung puisi mungkin akan menjadi salah satu master piece ASA, selain gumam tentu saja.
Alhamdulillah, saya yang tidak memiliki wawasan tentang puisi kecuali keterlenaan tak putus-putus akan keindahan universalnya yang bernama sastra, sempat satu kali membacakan puisi milik pak Hamami Adaby. Waktu itu, Hudan Nur – si Pipit kecil itu – menembak dari belakang pentas. Sebelumnya ia juga membidik sahabat saya yang terkasih –Sandi Firly – untuk “membacakan sesuatu, apa saja.” Redaktur sastra Media Kalimantan dan novelis pilihan ubud writers itu menyesal kemudian, “Seandainya tahu, saya bacakan kepada mereka bab awal dari novel The Kite runner-nya Hosseini.” Kini Sandi tumun. Dia katanya bersiap untuk membacakan puisi pada pentas panggung bundar ke depannya. Dengan semangat Ied Mubarak ini, dia jelas mulai berniat merintis karir menjadi penyair. Amin ya Robbal Alamien…
Yang terbaru, tanggal 24 nanti panggung Mingguraya akan meminjam tema dari isu yang actual tentang Rohingya. Dalam dunia yang multipolar hal ini menarik karena persilangan garisnya terlalu bias. Tetapi bukankah justru karena itu dia menarik? Sesuatu yang sedang terjadi jauh melintasi batas geografi, suku, ras, budaya, sedang dilawan oleh sesuaatu lainnya (yang romantis) di sebuah tempat yang terpisah ribuan kilometer. Oleh puisi pula. Ilmu rekayasa sejarah dan politik internasional jelas mengalami kegagapan intelektual membaca fenomena ini.
Saya percaya apapun bentuknya pembacaan puisi itu nantinya menjadi semacam doa atas tregadi kemanusiaan. Nurani para seniman, penyair, sastrawan, yang sangat peka, tidak akan membiarkan kekejaman terjadi kepada sesama manusia. Mungkin akan ada tarung puisi untuk mengartikulasikan perjuangan imanen di hati masing-masing. Betapa kita semua ini jika diijinkan sangat gatal untuk bertarung melawan pemerintahan otoriter di Myanmar untuk membela saudara-saudara kita.
Di saat Banjarbaru telah melangkah jauh dengan ide-idenya tentang tarung dangdut dan -mungkin saja- sastra perlawanan lewat panggung-panggungnya yang dinamis, riuh dan revolusioner, nun jauh di ibu kota sastra sedang bergelut dengan permasalahan yang sungguh serius. ASKS Banjarmasin tahun ini berlangsung dengan kabar tak mengenakan. Saya membaca beberapa artikel dan juga maklumat. Dan menanyakan hal ini kepada beberapa teman. Rata-rata mereka mengatakan lebih baik tidak berkomentar apapun. Saya tidak tahu kenapa harus begitu. Salah seorang Begawan sastra yang saya temui juga menghindar untuk menuliskan isu ini karena flaming dan “terlalu rawan.”
Saya tidak tahu kenapa bisa rawan. Karena informasi yang saya baca sangat gamblang. Dan dituliskan dengan sangat sadar. Ada pihak yang mengundurkan diri karena sesuatu dan lain hal. Itu bukanlah hal baru. Dan “ sangat wajar” terjadi bagi dunia kesustraan kita yang belum bisa mendapatkan identitas dari miskinnya modal kultural pemerintah untuk menjadikan sastra sebagai misalnya, satu aspek penting dari pembangunan daerah. Apa yang berlangsung selama ini hanyalah edisi dari ketidakberdayaan dan lemahnya bargaining sastra dan sastrawan untuk mengambil tempat di tribun lapangan rekayasa sejarah yang disana dimainkan politik, kekuasaan, kepentingan dan uang. Para sastrawan hanyalah supporter haram yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan dan dipentungi kapan saja oleh kebijakan-kebijakan atas nama birokrasi dan keamanan resmi pertandingan.
Ironisnya, kubu-kubu antar supporter tak hanya membuat sastra semakin tidak diuntungkan posisinya, tetapi juga membuat segalanya makin kabur dan tidak terjelaskan. Tidak jelas yang mana lapangannya yang sedang main siapa, supporter mana duduk di tribun apa, yang mana stadion untuk para pemain cadangannya yang tidak mengerti apa-apa dan sebagainya.
Mungkin itu hanya semacam dialektika. Sekadar kompromi. Bahwa romantisitas sastra tidak selalu harus dihidupi dengan idealisme serupa. Di sisi lain, kelemahan tidak bisa dicanggih-canggihkan dengan gagasan patriotis tentang “penyelamatan sastra atau ASKS.” Bahwa “lebih baik sedikit daripada kada ada.” Mereka yang telah telanjur mengirim naskah untuk lomba dan naskahnya telah ketlingsut tanpa tahu kemana mereka bisa menuntut hanya bisa merutuk. Sementara kepanitian transisi pemungutak karcis tak menyisakan seusap tenggang rasa sedikitpun kepada mereka untuk masuk dalam stadion. Di saat kita sedang menerapkan sejenis belas kasihan kultural kepada saudara-saudara kita yang jauh di negeri Rohingya, kenapa kita tidak mengimplementasikannya melalui perlawanan yang jelas dan lebih berharga diri di tanah kita sendiri?
Ketika menyadari jawabannya, saya makin sedih : Justru karena kita tidak bisa mengambil peran sentral untuk membebaskan sastra kita sendiri dari ketergantungan modal lalu akhirnya lebih baik menolehkan wajah ke negeri-negeri yang jauh dengan tema-tema yang abstrak?
Dijumput dari: http://www.radarbanjarmasin.co.id/index.php/berita/detail/Budaya%20dan%20Sastra/34023