Pages

Friday 30 December 2011

Musikalisasi puisi, dari istilah ke aksi

Musikalisasi puisi, dari istilah ke aksi

oleh Ujianto Sadewa pada 12 Juli 2011 jam 10:39
Musikalisasi Puisi, dari istilah ke aksi
Oleh: Ujianto Sadewa*

Selama manusia masih ada, lagu dan puisi bisa jalan terus (Jim Morrison, vokalis The Doors)
                Sebelum kita mulai membahas apa itu musikalisasi puisi, ada baiknya kita simak pernyataan Jim Morrison yang saya kutip di atas. Morrison tidak menyebutkan istilah musik dari kutipan tersebut, namun lagu. Lantas apa bedanya musik dan lagu?Tentu saja istilah musik lebih luas daripada lagu. Untuk itu marilah kita simak beberapa pengertian musik dari beberapa sumber.
Beberapa pengertian musik
                Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, musik adalah sebuah letusan ekspresi perasaan dan pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi. Secara etimologi, musik berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata mousike. Kata ini diambil dari nama dewa dalam mitologi Yunani kuno yaitu Mousai, yang memimpin seni dan ilmu. Sementara Remy Sylado menyebutkan bahwa Mousai adalah Sembilan dewi, mereka adalah Clio, Thalia, Melponeme, Terpischore, Erato, Polyhymnia, Calliope, Uraina dan Uterpe (Sylado,1986:12).
                “Orang menyebut musik untuk segala substansi yang ada hubungannya dengan bunyi dan substansi itu sah dibilang musik karena ia bukan merupakan benda yang sebelumnya punya nama itu diterima sebagai persetujuan yang berlaku, misalnya: ia batu, ia kertas….walaupun sebagai batu dan kertas darinya dapat lahir musik, yaitu: sejauh batu dan kertas itu mengeluarkan bunyi, dan bunyi itu dimanfaatkan dengan substansi”. (Tambayong, 1992:55).
                Pakar musik Leon Dallin(1965:1)  menyebutkan bahwa musik berasal dari masyarakat dan merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Manusia mengekspresikan dirinya dalam pola-pola titinada dan irama-irama sepanjang ratusan tahun catatan sejarah dan selama ribuan tahun catatan sejarah dan selama ribuan tahun sebelumnya.
                Menurut KBBI(Pusat Bahasa Depdiknas,2008;987), musik memiliki dua pengertian. Pertama, ilmu seni yang menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal yang menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan. Kedua, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa, sehingga mengandung irama, lagu, dan harmonisasi dengan menggunakan alat yang menghasilkan bunyi.
                Pengertian pertama tentang musik dari KBBI ini menyiratkan bahwa dasar musik adalah nada dan suara dan merupakan suatu ilmu. Sedangkan makna kedua memberi makna yang lebih pada musik yang mengandung irama, lagu, harmonisasi.
                Sementara lagu dapat kita maknai sebagai musik yang sudah diberi teks lirik.sehingga ada makna lirik yang hendak disampaikan kepada pendengarnya selain suasana yang dibangun oleh nada dari musik itu sendiri.
Beberapa pengertian puisi
                William Wordsworth merumuskan puisi sebagai bentuk kata-kata terbaik dalam susunan terbaik. Slametmuljana(1956:58) mendefinisikan puisi sebagai bentuk sastra dalam pengulangan suara atau kata yang menghasilkan rima, ritma, dan musikalitas. Leight Hunt menggunakan pendekatan emotif dengan mengatakan bahwa puisi adalah luapan gelora perasaan yang imajinatif. Matthew Arnold menggunakan pendekatan didaktis dengan mengatakan bahwa puisi adalah kritik terhadap kehidupan, yang kemudian dibalik oleh M.Iqbal bahwa justru kehidupan adalah kritik terhadap puisi. Boris Pasternak(yang dikutip dalam Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad) menggunakan pendekatan metaforis, menurutnya puisi adalah manisnya kacang kapri mencekik leher.
                Dari beragamnya pendapat tentang puisi tersebut, paling tidak kita bisa menarik kesimpulan bahwa puisi merupakan kata-kata terbaik, luapan perasaan yang imajinatif, memiliki rima, ritma, dan musikalitas).
Pengertian Musikalisasi Puisi
                Sebenarnya KBBI edisi terakhir (2008:987) mengartikan musikalisasi sebagai hal menjadikan bersifat musik;dan perihal pemusikan. Sementara musikalisasi puisi adalah pembacaan puisi yang dipadukan dengan musik.
                Nah, makna musikalisasi puisi yang dipaparkan oleh KBBI tersebut saya kurang sepakat. Karena pembacaan puisi mengandung kesan bahwa puisi itu dideklamasikan atau poetry reading with additional music. Sementara dalam realitasnya musikalisasi puisi lebih banyak menyanyikan puisi dalam sebuah komposisi musik atau lagu. Dengan beberapa perkecualian yang akan saya paparkan.
                Beberapa studi yang saya lakukan dalam sepuluh tahun terakhir mengenai musikalisasi puisi mengindikasikan paling tidak ada tiga kategori musikalisasi puisi. Pertama, musik sebagai ilustrasi dari pembacaan puisi. Ini adalah pengertian yang diambil oleh KBBI. Dalam realitasnya kategori ini banyak dilakukan pada tahun 1950-1960an, misalnya acara Kuntum Mekar yang disiarkan RRI di Bandung.Ini juga banyak dilakukan oleh Kelompok Deavis Sanggar Matahari. Kedua, musikalisasi puisi sebagai lagu. Ini banyak dianut sejak RAJ Soedjasmin membuat musik dari puisi Chairil Anwar berjudul Lagu Biasa. Remy Sylado, Kelompok Kampungan dan Ebiet G Ade pada tahun 1970an, God Bless tahun 1980an, masing-masing dengan genre blues, balada, folk, dan rock. Beberapa puisi Rendra oleh Kantata Takwa, beberapa album musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Nadjib, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Ags. Arya Dipayana pada tahun 1997 yang dinyanyikan oleh Ari Malibu, Reda, dan Nana. Ketiga, puisi sebagai spirit bagi penciptaan suatu komposisi musik. Misalnya pada musik instrumental Kitaro yang terinspirasi dari haiku atau puisi pendek Jepang. Atau Slamet Abdul Syukur yang pada awal dekade 1990an membuat komposisi musik berjudul Parantheses yang didasarkan pada Puisi Chairil Anwar, Cerita buat Dien Tamaela.
                Saya sempat memetakan musikalisasi puisi sebagai suatu pengubahan puisi dari teks, ke dalam puisi dengan penambahan unsur musik. Atau pemusikkan puisi. Hal ini didasarkan pada suatu prinsip bahwa dalam musikalisasi puisi, proses yang pertama kali hadir adalah puisi, kemudian ditafsirulang oleh musik menjadi lagu, atau musik ilustrasi.(lihat makalah Ujianto Sadewa, Musikalisasi Puisi sebagai Media Alternatif Pembelajaran Puisi, SSI XII Forkomnas MSI di Tanjung Pura, Pontianak).

Beberapa sejarah terkait musikalisasi puisi
             Dalam pengantar kaset Musikalisasi Puisi “Akan Kemanakah Angin?” yang dirilis Q Project pada tahun 1997, Sapardi Djoko Damono mengemukakan proses yang pertama kali dalam musikalisasi puisi adalah puisi, kemudian ditafsirkan oleh pemusik maka jadilah lagu. Remy Sylado menyebutnya musikalisasi sastra, tapi bila pemusik yang terlebih dahulu menciptakan nada dan iramanya baru kemudian puisi belakangan, maka ia menyebut istilahnya literasi musik atau penyastraan musik. (Sylado, 1986:40).

Global
                Pada jaman Yunani kuno, para penyair membacakan puisi diiringi seruling atau lira. Dalam tradisi barat, lagu gereja abad pertengahan sangat erat dengan puisi zaman Elizabeth dengan tradisi musik jaman itu. Misalnya karya Verlaine “Les sanglos longs de violins” dan sajak Edgard Alan Poe “Bells” yang memanfaatkan teknik onomatopeae (Wellek&Warren, 1993:160-163).
                Puisi-puisi jaman Elizabeth dan libretto banyak dijadikan musik opera. Ada puisi Heine dan Wilhelm Muller cocok untuk music Schubert dan Schumann yang indah. Laurence Kramer berhasil membuktikan hubungan musik dengan puisi abad XIX dan sesudahnya. Ia mengembangkan relasi struktural yang dalam antara musik dan puisi jaman modern. Seperti karya Beethoven dan puisi Wordsworth, Chopin dengan Shelley, Ives dengan Wallace Stevens (Kramer,1996:44).
                Dalam khazanah musik rock, kecenderungan musikalisasi puisi ini dimulai di Inggris tahun 1960an oleh kelompok Pink Floyd, dengan menggabungkan efek suara gitar dan kibor dengan lirik yang merupakan puisi imajinatif. (Majalah Matra,  Agustus 1996). Di Amerika, The Doors membuat musik yang diambil dari puisi vokalisnya, Jim Morrison, misalnya lagu Light my Fire. Bahkan dalam beberapa pertunjukan The Doors, Jim Morrison mendeklamasikan beberapa bagian dengan suara-suara yang dramatik. Misalnya ketika membawakan The End dalam versi sebelas menitnya yang mengambil naskah Back Door Man karya Willie Dixon. Kemudian naskah Berthold Brecht/Kurt Weill dalam lagu Alabama Song (Whisky Bar). Jim Morrison kemudian menerbitkan kumpulan puisi berjudul The Lord and The New Creatures.

                Bob Dylan berhasil memainkan musik yang lebih nyastra dengan liriknya yang berirama misalnya pada Blowin in the wind. Bob Dylan mengangkat kembali tradisi musik folk yang sebelumnya juga dibawakan oleh Jesse Fuller maupun Woodie Guthrie. Bersama Joan Baez, Dylan adalah ikon generasi 1960an yang banyak menyerukan realitas sosial lewat musiknya. Jika Amerika memiliki Bob Dylan, maka di Chile ada Victor Jara.

                Gambaran lain mengenai hubungan musik, puisi, dan gambar terdapat dalam antologi puisi yang dieditori Geoffrey Summerfield (1968) berjudul Voices 2 yang juga memuat beberapa partitur yang diambil dari lagu-lagu yang berdasarkan puisi tradisional seperti Grond-Hog, Old Blue, Scarborough Fair, I Once When A Courting, The Great Silkie of Sule Skerrie, John Randall, A Lyke Wake Dirge, The Twa Corbies. Puisi-puisi anonim seperti The Gresford Disaster, The Three Ravens, dan Biby’s Epitaph. Kemudian puisi-puisi Thomas Armstrong berjudul Durham Gaol dan puisi Cyril Towney berjudul On A British Submarine.


Lokal
                Menurut Saini KM, tradisi musikalisasi puisi yang lebih modern di Indonesia dimulai  di Bandung oleh perkumpulan sastra Kuntum Mekar pada dekade 1950an, lewat acara yang disiarkan RRI, yaitu acara pembacaan puisi yang diringi musik dari piano.
                RAJ Soedjasmin membuat musik dari puisi Chairil Anwar yaitu Lagu Biasa. FX Sutopo membuat lagu untuk puisi Sanusi Pane, Chairil Anwar, Kirdjomuljo. Bimbo membuat lagu untuk puisi Taufiq Ismail dan Ramadhan KH.
                Gaya musik folk dan akustik pada dekade 1970an dan Country pada 1980an juga turut mewarnai beberapa musisi saat itu seperti Ebiet G Ade, Leo Kristi, Iwan Fals, Franky Sahilatua, dan Ully Sigar Rusadi. Konser-konser musik akustik begitu marak di kalangan remaja, seperti yang bisa kita baca reportase pertunjukannya di majalah Aktuil atau Gadis. Walaupun pada masa itu ada juga musik pop dengan lirik dangkal yang oleh Remy Sylado (1977) pernah disebut sebagai suatu kebebalan sang mengapa.
                Ebiet G Ade secara tegas menulis dalam pengantar kaset di album perdananya, yakni Camelia, bahwa ia membawakan musikalisasi puisi. Ia ingin disebut sebagai penyair yang bernyanyi. Kemandirian para pemusik dalam membuat lirik yang puitik, ada pada Leo Kristi, Ully Sigar Rusadi, Iwan Fals, Dede Harris, dan Franky Sahilatua. Franky juga membuat musik berdasarkan puisi-puisi Yudhistira Massardi. Leo Kristi memiliki kekhasan pada tema nasionalisme dan perjalanan ke pelosok Nusantara.Ully Sigar Rusadi dengan tema alam, sementara Iwan Fals dan Dede Harris pada tema kritik sosial.
                Pada dekade 1990an, Kantata Takwa yang dimotori oleh Setiawan Djodi, Iwan Fals, dan Rendra, menyertakan lagu-lagu yang diambil dari puisi Rendra berjudul Kesaksian dan Paman Doblang. Pada Album Kantata Samsara terdapat puisi Rendra, Nyanyian Preman. Sementara pada album Revolvere dengan warna music rock, Kantata membuat lagu untuk puisi Chairil Anwar berjudul Diponegoro. Walaupun tidak mengatakan secara langsung mengenai konsep musikalisasi puisi, secara praktik Kantata telah melakukannya.
                Pertengahan decade 1990an muncul kaset musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi. Kemudian Album Akan kemanakah angin(1997) yang digarap oleh Ari Malibu (vokalis band LFM) berisi puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Ags Arya Dipayana, Acep Zamzam Noor, dan Soni Farid Maulana. Yang perlu dicatat khusus adalah Deavis Sanggar Matahari, karena kelompok ini secara khusus menggarap musikalisasi puisi dengan memadukan musik akustik, etnik, lagu, dan deklamasi.
Kecenderungan ini nampak menjadi semacam tren ketika misalnya kelompok-kelompok musikyang muncul di lingkungan kampus dan Sekolah Menengah Umum seperti yang saya saksikan pada lomba Musikalisasi Puisi di Taman Budaya Jawa Barat tahun 1999.Kelompok lain yang bisa dicatat disini adalah Teater Sila dari Yogyakarta yang memusikalisasi puisi Iman Budhi Santosa. Kasidah Nurul Sembako dari Tasikmalaya, Sebuah grup di Purwokerto yang membawakan puisi Afrizal Malna dengan irama latin, atau Mustofa W Hasyim yang mentradisikan kembali poetrysinging.

Nuansa instrumental dikembangkan kembali oleh pemusik Jerman Peter Habermehl yang menyebut musiknya sebagai musique automatique, yang gubahannya didasarkan pada sastra Indonesia, ia bekerjasama dengan Berthold Damshauser. Menurut Habermehl musiknya berfungsi untuk mengiringi pembacaan puisi.
Tak lupa juga dari Bali ada Tan Lio Ie yang membuat lagu dari puisi-puisi Umbu Landu Paranggi pada album berjudul Kuda Putih.
Pada wilayah musik yang lebih populer, tampaknya di Indonesia kebanyakan pemusik dalam menulis liriknya belum menampakkan minat yang sungguh-sungguh terhadap bahasa puisi dan wilayah sastra. Padahal komunikasi dan korespondensi ini penting. Bahasa puisi tidak terbatas pada bahasa arkais saja. Dalam khazanah yang lebih kontemporer hal menarik bisa kita lihat pada kelompok Sixpence None the Richer yang membuat lagu Puedo Escribir yang di ambil dari puisi Penyair Chile, Pablo Neruda.
*****
*Ujianto Sadewa. Mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Hayatan Thayyibah Sukabumi. Pernah bergabung di grup Musikalisasi puisi Petani Gurem, Metafisis 9 knot, dan Kereta Angin Partikelir, sebagai pemain gitar,  harmonika dan melodion.


0 comments:

Post a Comment