Pages

Sunday, 22 January 2012

“Sastra Kampus” dan Tantangannya


“Sastra Kampus” dan Tantangannya *
Posted by PuJa on January 21, 2012
Fahrudin Nasrulloh **
__Radar Mojokerto, 15 Jan 2012
Segala sesuatu mencari segala sesuatu
Tanpa tujuan tanpa akhir tanpa henti
(Victor Hugo)

Masa sekarang dunia sastra selalu bisa lahir dan diapresiasi oleh kalangan manapun. Hal ini menunjukkan perkembangan demokratisasi sastra yang semakin tidak terbatas. Munculnya semangat di kampus untuk memperluas apresiasi sastra baik lewat mata kuliah yang dicanangkan maupun lewat kegiatan ektra-kurikuler yang ada juga komunitas-komunitas sastra yang bergeriap di sekitarnya secara independen memberikan peluang yang luas akan apresiasi sastra itu. Banyak kemungkinan karya sastra, apapun mutu dan kuantitasnya, dapat muncul di sana. Tergantung iklim yang bagaimana yang ditumbuhkan atau tumbuh secara alami, dan ini bisa diukur dari semangat para penulis yang mula-mula hanya sekedar ingin mencoba-coba menuangkan kreatifitasnya atau yang telah memantapkan diri untuk menekuni dunia menulis sebagai profesi. Hanya saja, catatan kecilnya, setiap orang dapat memulai sesuatu, tapi tidak semua orang dapat mempertahankannya. Ini berlaku untuk semua kerja kreatif apapun bentuknya.
Kenyataan yang kerap kita amati secara sepintas bahwa kepenulisan sastra di kampus hanya berkisar dari kewajiban atau tugas kuliah yang dibebankan pada mahasiswa. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Salah satu contoh dengan lahirnya buku kumpulan puisi Barisan Awan Tempur (STKIP PGRI, Jombang, angkatan 2010) ini. Agenda penerbitan ini sangat positif bagi perkembangan minat dan etos mahasiswa dan bisa dijadikan tradisi yang baik untuk generasi selanjutnya. “Berani memulai dan tak gentar menatap masa depan” itulah kiranya pelajaran yang berharga dari tiap unsur energi yang melatari terbitnya buku ini.
Buku ini tampaknya diniatkan sebagai pengobar semangat ke-muda-an dari sebuah generasi zaman yang tercerabut dari banyak hal yang telah merenggut mereka sekaligus mengepung eksistensi mereka. Wujudnya bisa diraba sendiri dalam bait-bait yang ditorehkan, misalnya pada penggalan kalimat dari puisi “Barisan Awan Tempur”:
Mengendap, menyerbu, menghantui langkah kecilku
Sempoyongan seribu jalan…
Ini baris pertama yang langsung menggunakan kata kerja. Kenapa “mengendap”? Kenapa harus “menyerbu”? Apa yang menghantui langkah kecilnya, hidupnya, kuliahnya, ditelikung oleh apa? Terseok-seok kepayahan di sepanjang jalan, kenapa? Seperti tak ada apa-apa tapi ia, kau, dia, mereka, kita: digempur dari entah tapi harus berlari, untuk kemudian mampu bertahan bahkan bagaimana bisa balik melawan. Ya, tapi apa atau siapa yang coba menghabisi mereka?
Puisi di atas, menurut hemat saya, mewakili kegalauan anak muda yang hidup di masa kini yang serba cepat dan tak pasti, serba instan, krisis orientasi, rangsekan dunia digital-global, paranoida kemanusiaan, situasi bangsa yang ricuh dan amburadul pemimpinnya, dunia pendidikan yang carut-marut, manusia yang amoral, zaman kalabendu, seperti menghadapi sebuah bangunan tua tak terawat dan ditinggalkan penghuninya. Rumah kosong itu sepi. Reyot, rapuh dan berhantu. Tapi “seseorang” telanjur dilahirkan di sana. Dilahirkan dari cerita-cerita sinetron dan dunia maya. Rumah itu bisa meledak atau ambruk sewaktu-waktu. Berhamburan jadi bayang-bayang diterbangkan ke lelangit bolong. Dan tiba-tiba puisi lahir? Kenapa sebuah puisi dicipta? Atas nama apa? Untuk apa puisi-puisi itu dibaca dan terus saja ditulis, ditulis, dan diterbitkan, untuk apa, untuk apa?
Dari sinilah pentingnya gema suara Octavio Paz, penyair Meksiko yang memenangi Nobel Sastra pada 1990, memberi isyarat zamannya dalam bukunya The Other Voice: Hubungan antara manusia dengan puisi sama tuanya dengan sejarah kita: ia mulai ketika manusia mulai menjadi manusia. Zaman yang tak berkesudahan dari berbagai kecamuk dunia yang melahirkan aliran-aliran air teduh sebuah puisi sebagai harmoni kemanusiaan. Sejak saat itu orang-orang tidak berhenti memandang diri mereka di cermin: citra-citra ciptaan mereka sendiri. Dari situ, selama manusia masih ada, puisi akan tetap terus dilahirkan. Kendati, hubungan itu tidak sepi dari retak. Imajinasi manusia bisa saja tumpas dan dikorup demi kepentingan perut. Jika manusia melupakan puisi, mereka akan melupakan diri mereka, dan saat itulah kehancuran bermula.
Jika ada pertanyaan, dari liang kegelisahan mana puisi-puisi yang terkumpul dalam “Barisan Awan Tempur” ini bisa muncul? Selain itulah tugas dari dosennya, saya kira kemunculan itu terbit dari “kegelapan verbal” para penulisnya yang tak menemukan/tersediakan ruang (media) artikulasinya tentang bagaimana dan sejauh mana mereka memahami sebuah puisi yang justru lebih rumit dari pada memahami sajak. saya kira akan jauh lebih sulit dan tentu saja menantang jika mereka juga menulis tentang alasan prinsipil kekaryaan kenapa puisi itu mereka buat ketimbang sekedar membikin sebuah puisi.
Saya kira, melatih dan menyodorkan pemikiran tentang sastra dan fenomenanya dalam bentuk esai kepada mahasiswa juga perlu direalisasikan untuk waktu mendatang. Sebab membikin puisi itu mudah (untuk ukuran dan situasi tertentu), ketimbang menulis ulasan sastra yang membutuhkan bacaan yang luas dan pemikiran yang mendalam dan visioner. Sedangkan untuk tugas skripsi mereka dapat diberi tugas semisal membuat sebuah novel dan novel ini oleh pihak kampus dikompetisikan sehingga setiap tahun bisa dipilih 3 novel terbaik untuk dibiayai dan diterbitkan dan penulisnya mendapatkan imbalan yang sepatutnya sebagai penghargaan. Tidak hanya novel, tugas kepenulisan berupa esai, biografi manusia Jombang yang berdedikasi dalam ruang sosial masing-masing, serta dunia kuliner, situs-situs sejarah, dunia agraria dan transportasi, dunia kehutanan, dunia petani, orang-orang pasar, kaum peternak, dunia kesehatan dan perdukunan, sejarah pesantren-pesantren tua dan lain-lain merupakan bahan dari “kehidupan yang amatlah luas” yang tak habis-habisnya untuk dieksplorasi, sehingga bersastra tidak melulu ngocol puisi dan puisi saja. Karena sastra ya kehidupan yang terbatas itu sendiri yang selama ini kesannya bertimpuk-berkungkung diri di kamar sunyinya. Dengan demikian citra kampus yang bersangkutan dapat berkibar dan ikut serta menjadi bagian penting dari upaya memasyarakatkan dan memajukan dunia sastra di Indonesia.
__________________
*) Esai ini disampaikan pada diskusi antologi puisi Barisan Awan Tempur di kampus STKIP Jombang, 7 Januari 2012.
**) Fahrudin Nasrulloh, bergiat di Komunitas Lembah Pring Jombang.

0 comments:

Post a Comment