Masih Adakah Dewan Kesenian Sumatera Barat?
Posted by PuJa on February 11, 2012
Sudarmoko
http://www.harianhaluan.com/
Sudah setahun lebih, masa kepengurusan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) berakhir.
Artinya, tidak ada otoritas yang dimilikinya bahkan untuk sekadar membubarkan diri dan mengadakan pemilihan kepengurusan berikutnya. Sebuah kondisi yang sangat tragis, yang mungkin disebabkan oleh sejumlah hal. Ada kabar yang berhembus, untuk mengadakan kongres seniman dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dana yang dimaksud, konon, sebenarnya ada di kas Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hanya saja, untuk mengambil dana itu diperlukan bukti bahwa kepengurusan harus aktif. Gubernur Sumatera Barat harus mengeluarkan SK perpanjangan masa kepengurusan setidaknya hingga pelaksanaan kongres berlangsung.
Demikianlah berita yang berhembus, yang perlu diselidiki juga kebenarannya. Selain itu, tulisan ini hanya ingin memberikan beberapa gagasan mengenai keberadaan DKSB dan juga kesenian di Sumatera Barat. Ada tidaknya DKSB dapat dirasakan setidaknya setelah sekian lama aktif dan beberapa waktu belakangan yang vakum. Adakah perbedaan yang berarti dari ada dan tiadanya DKSB? Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan hilangnya terminal di Kota Padang. Perlahan tapi pasti kita tak lagi peduli dengan situasi yang terjadi di hadapan kita.
Dilihat dari keberadaannya yang masih mengandalkan SK Gubernur dan juga alokasi penganggaran dari dana bantuan, mau tidak mau DKSB hanya akan mendapatkan dana yang terbatas, yang tergantung kebaikan hati dan juga kelihaian lobi. Dengan keterbatasan ini, program yang disusun dan dapat diwujudkan juga terbatas, yang kadang berakibat pada ketidakmerataan dan juga kualitas program-program yang dirancang dan dilaksanakan. Posisi seperti ini sebenarnya sudah sering didiskusikan oleh sejumlah kalangan. Pos dana yang bisa dimanfaatkan hanya berasal dari program bantuan sosial pemerintah propinsi, yang tidak seberapa dibanding misi dan visi yang dibangunnya.
Pun demikian dengan kondisi kevakuman yang dalam beberapa bulan belakangan terjadi. Patut untuk disimak dan dievaluasi, apa yang bi(a)sa dilakukan DKSB dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan, dibandingkan dengan kondisi kevakumannya. Dengan demikian, bila evaluasi ini dilakukan, akan dapat diperhitungkan apakah memang kita butuh keberadaaan DKSB, atau bentuk lain dari kelompok seniman, atau biarkan saja kondisi seperti ini terus berlangsung. Sudah sekian periode DKSB berdiri dan menjadi bagian penting dalam kesenian kita. Namun juga tidak dapat dimungkiri ada ketidakpuasan dari keberadaannya.
Yayasan Seniman Sumatera Barat
Bentuk lain yang mungkin adalah yayasan seni(man) Sumatera Barat, misalnya. Dalam bentuk badan hukum, ia dapat menjadi sebuah lembaga yang lebih leluasa dalam beraktivitas, menggalang dana, menyusun dan menjalankan program. Saya berharap betul ada sekelompok orang, baik itu usahawan, karyawan, pns, wartawan, pemilik modal, pedagang, atau siapapun, yang memiliki inisiatif untuk mengisi kekosongan seperti ini dengan mendirikan lembaga yang dapat menjadi tempat berteduh bagi program-program kesenian di Sumatera Barat. Tapi siapa hari ini yang masih berpendapat bahwa kesenian itu penting? Bukankah urusan sehari-hari saja sudah begitu banyak menyita waktu dan tenaga kita? Tidakkah kebutuhan kesenian itu bisa kita isi dengan menonton lawakan di televisi setiap sore? Tidak begitu mahal dan jauh-jauh untuk menikmatinya!
Saya tidak bisa menentukan untuk memulai dari mana mengurai benang kusut masalah DKSB ini. Atau dalam arti yang lebih luas masalah kesenian dan lalu kebudayaan. Begitu banyak sebenarnya yang terlibat dan harus bertanggung jawab untuk meresponnya. Dalam analogi yang sederhana, bisa saya perkirakan bahwa peran DKSB dalam perencanaan dan sumbangannya dalam masalah kebijakan kesenian dan kebudayaan memang tidaklah ada artinya, dengan sikap pembiaran yang dilakukan oleh si pemberi SK dan dana. Demikian juga yang terjadi dalam desain kebudayaan yang dikerjakan oleh pemerintah dan DPRD. Tidak ada pihak lain yang lebih berhak untuk menentukan hitam putih kebijakan kebudayaan, termasuk kesenian di dalamnya, selain kedua pihak ini. Dan akibatnya memang terlihat, dengan kevakuman DKSB ini kedua pihak inipun tak pernah tahu, mendapat pemberitahuan, atau memang tidak perlu tahu. Dan mudah-mudahan dengan tulisan ini dapat menjadi sebuah awal untuk memberitahukan dan jika mungkin mendapat tempat dalam pembicaraan kita semua, dan menjadi pemicu untuk menyelesaikan hambatan yang dihadapi.
Menilik pada informasi yang ada (Brecht on Theatre, ed. John Willet, 1964, 266-270), Akademi Seni Republik Demokratik Jerman yang didirikan pada 1696 pada awalnya dijadikan sebagai sebuah lembaga seni yang berisi para seniman mumpuni, yang mengurus kesenian. Lama kemudian, 1950, lembaga ini diperbaiki oleh pemerintah Jerman sebagai lembaga yang bergengsi, dengan peran yang lebih luas dalam mengurus kesenian. Rentang kedua waktu itu diisi oleh pertengkaran ideologis dalam ranah kesenian. Tetapi setidaknya dari perjalanan waktu itu ada proses perkembangan lembaga yang mengarah pada peran dan fungsi lembaga. Hal seperti inilah yang mungkin tidak diperhatikan dalam strategi kebudayaan dan kesenian kita, yang terasa lamban bergerak, minim evaluasi, dan jauh dari rancangan futuristik.
Saya kira kita tidak sedang merasa nyaman dengan kondisi kesenian kita. Bukan tidak ada masalah dalam pengemabangannya. Tapi bagaimana kita bisa mengetahui masalah itu, jika kita tidak menelisik lebih dalam, terus menerus, dan memberikan perhatian yang seharusnya. Dalam kondisi yang demikian, saya menaruh harapan besar, sebenarnya, pada pemerintah yang memang punya tanggung jawab dalam mengurusnya. Saya ingin bertanya, sebenarnya, pada Pak Gubernur Sumatera Barat itu, apakah ada masalah dalam mengurusnya? Apakah pernah dibahas dan didiskusikan dengan lembaga yang ada dalam pemerintahannya? Apa yang bisa saya dan kita bantu untuk mengurusnya? Eh, apakah perlu bantuan?
Jika tidak, mungkin harapan besar ini harus saya arahkan pada kalangan akademisi, baik di universitas atau institut seni, dan para seniman yang sangat berkepentingan untuk memikirkan lebih jauh mengenai persoalan ini. Jika tidak, ya mungkin bagian lain masyarakat dan masyarakat secara keseluruhan patut mendapat ruang untuk membicarakannya. Toh kesenian adalah milik semua orang. Dan kesenian memiliki regulasinya sendiri yang berbeda dengan aturan lain. Meski sebagian orang mempersempit ruang lingkupnya, atau pengertiannya, tetapi setiap orang juga memiliki naluri dan kebutuhan akan seni. Misal yang pernah diungkapkan Cak Nun, anggukan ritmis kaki sang kyai, yang sedang berceramah namun samar-samar mendengar alunan lagi dari tetangga sebelah.
Demikianlah informasi belum lengkap yang saya dapatkan, dan lalu saya pendam, dan karena tak tahan mengendap dalam pikiran, lalu saya sampaikan dalam tulisan. Saya berharap betul hal ini dibicarakan dan didiskusikan lagi, untuk mendapatkan jalan keluar, kembali membangun suasana kesenian yang semakin bergairah. Jika ada jalan keluar, misalnya dikembalikan pada seniman, dan mengubah apa yang patut, atau mempertahankan apa yang sudah baik, tentu juga patut untuk dikerjakan. Atau jika ada niat baik dari pihak yang selama ini diberi amanah, baik pemerintah atau juga legislatif, dan juga kepengurusan DKSB non aktif, untuk melanjutkan pembicaraan, tentu akan menjadi sesuatu yang patut untuk ditunggu.
31 Januari 2012
0 comments:
Post a Comment